Puisi-puisi Emi Suy: Sepotong Ayat, Sesunyi Riwayat - Effendi Kadarisman

@kontributor 1/28/2024

Puisi-puisi Emi Suy: Sepotong Ayat, Sesunyi Riwayat

Effendi Kadarisman



Puisi-puisi Emi Suy yang terbit di Kompas.id 20 Januari 2024 adalah karya sastra yang telah matang. Serasa memetik mangga suluhan. Ada kreativitas yang dahsyat: judul keenam puisi dalam rubrik sastra ini bermula dengan kata “ayat”; namun setiap puisi hadir sebagai makhluk sastrawi yang unik dan merdeka. Dalam seluruh puisi ini, kata “ayat” —yang dalam bahasa Arab berarti ‘tanda’—hadir dengan tafsir yang amat kaya. Dalam Islam ada ayat qauliyah (al-Qur’an) dan ayat kauniyah (seluruh ciptaan sebagai tanda kebesaran Tuhan). Dalam puisi-puisi Emi Suy, kata “ayat”, yang secara literal bermakna ‘tanda’, membawa makna sugestif, variatif, dan terkadang elusif. Pembaca dimanjakan dengan pelangi makna.

Empat dari enam puisi dimuat itu mengisyaratkan “sunyi”, yang telah jadi trade mark penyair Emi Suy. Perhatikanlah, kata “ayat” yang masing-masing diikuti oleh kata “kehilangan”, “rindu”, “penantian”, dan “cinta”. Secara bersamaan, keempat puisi ini menyarankan nuansa ngelangut—dalam rongga jiwa ada sepi tak bertepi. Lukisan wajah perempuan berurai air mata merupakan ilustrasi visual dari Kompas yang mencoba menangkap bayang-bayang makna yang lembut menghunjam dari puisi-puisi itu.

Juga, jangan lewatkan kata “kopi”, yang semula netral artinya. Lazimnya ia jadi bagian dari rutual pagi yang riang. Namun, dalam puisi “Ayat Kopi”, aku lirik bukan aroma yang menguar semangat, tapi zat yang melekat di jantung mangalir di nadi. Bukan aku yang menepuk bahumu dengan telapak hangat matahari, tapi aku yang hanyut mengikutimu ke mana pun kau pergi.

Perjalanan sunyi Emi Suy terbaca amat jelas pada jejak kepenyairannya. Kata “sunyi” lekat pada ketiga antologi puisi tunggalnya: Alarm Sunyi (2017, cetakan pertama), Ayat Sunyi (2018), dan Api Sunyi (2020). Bagian I, Ayat, dari antologi kedua Ayat Sunyi memuat judul yang sama: “Ayat Sunyi 1” sampai dengan “Ayat Sunyi 34”. Baru kali ini saya menyimak judul yang sama, diulang sampai 34 kali. Karena intensnya menggeluti makna “sunyi”, kesan saya, Emi Suy seolah telah menenggelamkan seluruh kesunyian yang mengeram dalam antologi Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah (1911-1946), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus karya Chairil Anwar (1922-1949), Dukamu Abadi karya Sapardi Djoko Damono (1940-2020), sampai dengan Pariksit dan Asmaradana, keduanya karya Goenawan Mohamad (lahir 1941).

Kesunyian dalam puisi-puisi Emi Suy mengingatkan saya pada Emily Dickinson (1830-1886), penyair sunyi Amerika abad 19. Kedua penyair ini, lewat sajak-sajaknya yang begitu sugestif, menyerap jiwa pembaca ke dasar palung sunyi yang asing namun sekaligus menggetarkan. Emily Dickinson memproklamirkan diri dengan I am nobody, ‘Aku manusia hampa’ dan di ujungnya menyatakan How dreary to be somebody ‘Alangkah suram menjadi pribadi. Emi Suy menyatakan “rindu” sebagai kesedihanku / sumur yang kerap ditimba / di musim kemarau.

Ada kemiripan keduanya dalam melukiskan dan mengagungkan “sunyi”. Tentu, masing-masing hadir sebagai penyair yang merdeka dan mandiri. Emily, sepanjang kepenyairannya, hanyut dan larut dalam sepi yang meniada. Sementara Emi masih menyempatkan diri berbagi aura dan cahaya. Puisi “Ayat Penantian” berakhir dengan baris-baris optimistis: engkau adalah terang / kulewati dan kujalani / dengan hati lapang / : juga riang.

Tambahan lagi, kepedulian sosial Emi Suy nampak jelas terhadap kaum yang menderita dan terpinggirkan. Dalam “Ayat-ayat Perih”, empati penyair nampak jelas sejak baris pertama: tubuh-tubuh buruh adalah hutan rimba / yang pohon-pohonnya sibuk digergaji / menjelma kotak-kotak tanpa arloji / serupa peta luka: terbuka dan menganga. Berpihak pada yang lemah dan yang kalah oleh nasib, itulah posisi yang diambil oleh sajak ini. Kesengsaraan terus terbaca: langkah mereka serupa duri / yang menjejaki nadi seluruh negeri. Pada akhirnya, bahagiakah mereka, para buruh? Ini jawabnya: Tapi kami belajar untuk diam / Ketika negeri ini pelan-pelan / Menjelma menjadi nisan. Yang melarat tetap tersayat, bahkan sampai di tepi lubang kubur.

Akhirnya, apa yang layak dicatat dan diingat? Puisi Emi Suy telah dan terus membuka jati dirinya: ia puisi sunyi yang resah dan indah, selalu hadir dengan wajah baru lewat metafora-metafora yang segar dan mengejutkan (jauh dari klise). Makna “sunyi” terus-menerus menyergap pembaca; ia tak henti menukik ke dasar hati, menjalar sampai ke serpih-serpih nalar, bahkan terus mengikutimu ke balik tirai mimpi. Dengan canggih, sang penyair bermain bunyi bahasa. Rima mengalir begitu wajar, begitu santai; padahal itu adalah hasil dari berlatih jurus-jurus sastrawi tingkat tinggi.

Ah, aku takut kehabisan wacana. Tanpa ulasan ini pun puisi-puisi Emi Suy telah berbicara begitu gamblang: mahkota puitika itu mimpi tapi sekaligus nyata. Sunyi yang teramat sunyi: ia hadir lewat kata-kata.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »