Sastra Sebagai Spektrum: Urgensi dan Risiko Standardisasi - Candrika Adhiyasa

@kontributor 2/11/2024

SASTRA SEBAGAI SPEKTRUM: Urgensi dan Risiko Standardisasi

Candrika Adhiyasa

 


A great novel heightens your senses and sensitivity to the complexities of life and of individual, and prevents you from the self-righteousness that sees morality in fixed formulas about good and evil.

- Azar Nafisi

 

Saya sering gelisah: Apakah sastra perlu memiliki standardisasi atau tidak? Persoalan ini tentu bukan barang baru, bahkan sudah diperbincangkan sejak jauh di masa lalu. Namun, adakah perbincangan itu menghasilkan semacam kesepakatan yang dapat menyenangkan semua pihak? Sepertinya tidak.

            Ketika menelusuri kegelisahan itu, saya justru tidak banyak membaca ulasan-ulasan para sastrawan maupun kritikus sastra mengenai persoalan ini, dan malah beralih pada rimba filsafat—yang juga sering “adu jotos” satu sama lain. Taruhlah, rasionalisme a la Descartes senantiasa bertengkar dengan empirisisme a la David Hume.

            Namun setelah membaca lebih jauh, problem epistemologis dalam rimba filsafat itu—sedikit banyak—selalu menemukan titik tengahnya, meski memang tetap tidak dapat menyenangkan semua pihak. Dalam pertengkaran antara rasionalisme dan empirisisme, fenomenalisme yang digagas Immanuel Kant memosisikan diri sebagai wasit, meski tentu perbincangan mengenai persoalan ini terus berlanjut hingga era filsafat dewasa ini.

            Bagaimana dengan sastra? Saya membayangkan, bila sastra adalah bagian dari kebudayaan umat manusia, tentulah beberapa teori kebudayaan (yang juga merupakan produk filsafat) dapat digunakan untuk memikirkan fondasi konseptual mengenai problem ini.

            Katakanlah dahulu kala, pada abad kesembilan belas di Jerman, suatu gagasan filosofis bernama Kulturkritik hadir dengan intens. Kulturkritik menilai kebudayaan sebagai suatu piramid. Di sana ada hierarki, yang kalau kita terapkan dalam kesusastraan, maka akan dapat kita temui sastra tinggi dan sastra rendah. Pada akhirnya, cara berpikir a la Kulturkritik ini melahirkan semacam standardisasi dengan konsekuensi positif dan negatif. Positif karena dengan ketat mengawasi mutu karya sastra, negatif karena dengan pengawasan yang ketat (berbasis kesepakatan) berbagai potensi kreativitas yang tak terduga dapat terhambat. Di posisi ini, marginalisasi sangat mungkin muncul dan melahirkan kanonisasi.

            Kanonisasi, sampai batas tertentu, mungkin diperlukan sebagai alat ukur, tetapi perkembangan zaman menuntut adaptasi pada dinamika dan preferensi massa—baik itu yang organik maupun hasil determinasi berbagai hal. Namun, marginalisasi sangat mungkin memutuskan hubungan sastra dan problem kemanusiaan yang konkret dan kontekstual.

            Di Indonesia sendiri, Putu Wijaya merupakan salah satu sastrawan yang bagi saya memiliki tendensi pada cara berpikir ini. Dalam cerita pendeknya yang berjudul Kucing, saya mendapatkan kutipan seperti ini:

“… Akhirnya saya membeli sepuluh buku tua yang harganya jatuh. Bukan karena isinya sudah busuk, tapi kalah heboh oleh promosi buku-buku komoditas yang sebenarnya bermutu sampah.

            Di lain kesempatan, saya juga pernah membaca esai Haruki Murakami yang berjudul So What Shall I Write About? dan mendapatkan tendensi serupa, meski memang esai ini sebetulnya berbicara mengenai proses kreatif Murakami. Saya coba kutipkan:

“… Kau harus membaca segala jenis novel yang ada dalam jangkauanmu. Novel bagus, novel pas-pasan, bahkan novel sampah sekalipun, yang penting kau selalu membaca novel.”

Putu Wijaya dan Murakami, bagaimana pun, tidak eksplisit menguraikan secara teoretis perkara ini, tetapi tendensi yang tertulis dalam kutipan-kutipan di atas membuat saya dapat membayangkan posisi preferensial (atau bahkan paradigmatik?) mereka. Dalam kedua kutipan itu kita bisa mendapati, setidaknya, kriteria karya sastra yang bagus hingga yang bermutu sampah—sebagaimana saya beri cetak tebal. Bukankah penggunaan kata “sampah” di sini cukup berani?

Perkembangan Kulturkritik yang melihat produk kebudayaan secara hierarkis pada abad 20 dan 21 agaknya mendapat “perlawanan” melalui berbagai teori seperti: Teori Kritis Mazhab Frankfurt, Cultural Studies, Strukturalisme dan Poststrukturalisme, Postkolonial, Feminisme, Hermeneutika, Postmodernisme, hingga wacana kaum Neoevolusionis.

Karena terlalu banyak, kita bisa pilih salah satu saja, dan di sini saya hendak membentangkan cultural studies sebagai perwakilan dari ambivalen Kulturkritik.

Pertama-tama, cultural studies hadir dengan sikap yang lebih “moderat”. Ia tidak ekstrem pada pakem-pakem, klaim-klaim, legitimasi, dan juga standardisasi. Corak konstruktivisme yang melekat dalam cultural studies membuatnya terbuka pada kemungkinan bahwa nilai suatu produk kebudayaan merupakan konstruksi yang dihasilkan oleh jaringan kuasa dominan. Apa yang “baik” dan “bagus”—berikut sebaliknya—sangatlah tergantung pada justifikasi kekuasaan (melalui media, dan tentu saja, propaganda). Dalam konteks kesusastraan, karya sastra yang bagus dan sampah tidak eksis secara per se, melainkan menyembul oleh berbagai faktor yang kompleks.

            Di Indonesia, corak pemikiran seperti ini saya temukan dari Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya disingkat SGA). Dalam suatu wawancara, SGA mendapatkan pertanyaan, “apa masih ada sastra tinggi sastra rendah di kesastraan kita sekarang?” SGA menjawab seperti ini:

“Saya kira udah gak musim, gitu ya, sastra tinggi - sastra rendah, gitu ‘kan. Semuanya bacaan. Jadi saya kira ya plus-minus … ya masih kuno namanya.”

            Dalam buku kumpulan esai “Affair: Obrolan Urban”, misalnya, SGA banyak menimba inspirasi analitis dari cultural studies, dan melalui wawancara di atas, SGA menepis keberadaan hierarki kesusastraan. Di lain kesempatan, intinya, SGA mengatakan bahwa istilah “sastra” sendiri cukup menakutkan dan berpotensi membuatnya berjarak dari masyarakat. Keberjarakan inilah yang lahir dari standardisasi, oleh sebab standar sastra tinggi akan sulit—bahkan tidak bisa—dijangkau oleh mereka yang tidak memiliki kapasitas intelektual sampai batas tertentu.

            Sebagaimana Kulturkritik yang sudah kita bicarakan di atas, cultural studies juga memiliki konsekuensi positif dan negatif. Positif karena membuka ruang-ruang untuk eksplorasi dan menampung ketidakterdugaan ekspresif, tetapi negatif karena akhirnya pengawasan mutu diserahkan pada spontanitas massa yang menurutnya sendiri dilahirkan oleh hegemoni kuasa dominan—yang sudah tentu dilatarbelakangi berbagai kepentingan politis. Pada posisi ini, sastra sangat mungkin tidak lagi menjadi “pedoman”.

Konsekuensi negatif lebih lanjut diuraikan oleh Saut Situmorang, bahwa sastra juga merupakan ilmu (science), yang maka dari itu memiliki aturan, hukum, dan diajarkan di fakultas-fakultas secara berjenjang. Hilangnya standardisasi a la Kulturkritik sangat mungkin menjerumuskan kita pada apa yang disebut oleh Tom Nichols sebagai “the death of expertise”. Padahal, bila kita mengingat pesan Albert Camus, yakni bahwa “the purpose of a writer is to keep civilization from destroying itself.” Bila legitimasi karya sastra “bagus” ternyata lahir dari konsensus kekuasaan yang zalim, bukankah sastrawan yang “moderat” telah kehilangan prinsip humanisnya?

Masing-masing paradigma, atau corak berpikir, memiliki kekurangan dan kelebihan. Konfrontasi berlebihan pada salah satu kubu rentan mempertegas kekurangan kubu yang hendak dibela. Melalui dilema semacam ini, kita memerlukan, di satu sisi, semacam kriteria agar karya sastra tidak terlempar ke dalam relativisme nilai yang terlalu bebas—yang berpotensi membiaskan penilaian atas suatu karya sastra. Karena bagaimana pun, tetap ada karya sastra yang baik dan “kurang baik”. Meski demikian, kecenderungan standardisasi yang berlebihan juga menutup peluang pada kemungkinan-kemungkinan kebaharuan ragam ekspresi, yang mungkin saja memiliki spirit emansipatoris tertentu tetapi membentur hegemoni wacana dominan yang hendak dikritik. Pada titik ini, standar yang dibangun perlu memiliki celah-celah untuk dinamika, agar terhindar dari “tirani konseptual” yang sering menghasilkan marginalisasi.

Kecemasan saya—dan mungkin juga kita semua—muncul kembali melalui pertanyaan: lalu, formula semacam apa yang kita perlukan untuk bisa mendamaikan kedua perspektif ini? Bila kita melihat kembali sejarah singkat filsafat yang saya ulas di awal, mungkin kita perlu semacam “fenomenalisme” dalam konteks kesusastraan. Di satu sisi kita ingin menjaga mutu, tapi di sisi lain kita juga hendak membuka peluang pada kreativitas yang tak terduga—di luar konsensus “penjamin mutu” tersebut. Tapi, bagaimana?

Pertama-tama, kita barangkali perlu menimba inspirasi dari filsuf asal Jerman, Jürgen Habermas. Ia memang konsen di bidang filsafat, dan juga dalam beberapa area, politik. Namun buah pikirannya dapat membantu kita untuk mengurai demarkasi dan “titik tengah” ihwal dua bentangan paradigma antara Kulturkritik dan cultural studies.

Terlebih dahulu kita bisa sepakati, bahwa kesusastraan merupakan medium komunikasi antara manusia dan dunianya, dan tentu dunia semacam ini, mengutip Adorno, “telah cedera”, beschädigte Leben. Sastra perlu hadir sebagai upaya penerangan untuk meninjau sejauh mana “cedera” itu telah mengusik ideal-ideal kemanusiaan.

Habermas berbicara tentang dunia objektif, yakni dunia rasional dan riil yang bisa diterima sebanyak mungkin (atau bahkan semua) manusia. Dalam konteks kesusastraan, agaknya standardisasi perihal ini dapat disepakati: bahwa sastra yang baik adalah sastra yang menjadi wakil dari jeritan-jeritan kemanusiaan. Meski demikian, ia tidak dimaksudkan untuk menilai secara dikotomis yang “baik” dan “buruk’, melainkan menghamparkan suatu kompleksitas yang membungkus relung-relung problem kemanusiaan.

Dunia objektif ini tentu tidak cukup, oleh sebab sastra, meski memang seringkali mengandung, bukanlah filsafat. Ia tidak hanya berbicara mengenai yang objektif, melainkan juga perlu membincang, atau menggunakan sudut pandang, yang intersubjektif. Goenawan Mohamad menguraikan ini dalam esainya yang berjudul Kemajuan dan Kebebasan: Takdir dan Habermas. Saya coba kutipkan:

“… ia (Habermas) menawarkan ‘filsafat intersubjektivitas’, yang secara hakiki mengandung sifat dialogis. Bagi Habermas, setiap kali kita mengadakan komunikasi, kita mau tak mau mempunyai asumsi, meskipun sebagai ilusi sekalipun, suatu ‘ilusi transendental’, bahwa kita sedang mengatakan kebenaran, dan mengatakannya secara jujur atau tulus, dan berdasarkan ketepatan normatif. Ada klaim kesahihan yang tersirat di sana, dan itu berarti terbuka untuk kritik: orang yang diajak bicara dapat mengatakan ‘ya’, atau ‘tidak’ atau menunda mengambil sikap, berdasarkan satu atau sejumlah alasan.”

            Meski sastra, sebagai suatu “faculty”, menuntut objektivitas, ia tetap perlu berdialog. Di area ini, standardisasi kesusastraan melonggar dan menemukan tempatnya yang terbuka pada kemungkinan, pada kreativitas, pada yang-tidak-terduga. Katakanlah, sastra tidak menjadi “tiran”, melainkan menjadi instrumen, dan “kebenaran” yang rigid bertransformasi menjadi spektrum.

            Terakhir, dunia subjektif. Dalam sastra, misalnya, seorang sastrawan mendapatkan tempatnya untuk mengekspresikan autentisitas diri dan dunianya, tanpa intervensi objektivitas dan moral publik. Meski demikian, tiga “dunia” ini tidak cukup untuk membincangkan standardisasi, tetapi setidaknya dapat membantu memberi alternatif tilikan, meski bukan secara teknis.

            Tiga dunia itu; dunia objektif, dunia intersubjektif, dan dunia subjektif, merupakan tiga irisan yang perlu saling mengisi dalam suatu produk karya sastra. Sastra pertama-tama lahir melalui alam gagasan pribadi dan ekspresi penggubahnya melalui dunia subjektif, lantas kemudian mencoba menyitir problem empiris yang terjadi di dunia objektif sebagai cermin refleksi—atau mimesis. Dalam komunikasi aku (dunia subjektif) dengan peristiwa (dunia objektif) itu perbincangan akan menyentuh dimensi-dimensi etis kemanusiaan, dan di sinilah kemudian karya sastra berhubungan dengan pembebanan moral, aspirasi, preferensi, dst. (dunia intersubjektif)—termasuk ketika karya itu mendarat ke tangan pembaca untuk kemudian melahirkan efek-efek khusus.

            Efek khusus ini adalah produk dari suatu karya sastra—apakah ia membawa seorang pembaca menuju, seperti kata Nafisi, (1) peningkatan kepekaan atas kompleksitas hidup dan pribadi; (2) melindungi pembaca dari sikap merasa benar sendiri; dan (3) meyakini bahwa moral itu absolut, atau tidak, itulah indikator yang dapat kita sepakati untuk menilai suatu karya sastra yang baik atau tidak—yakni berhubungan dengan efek yang ia berikan. 

Karawang, 12 September 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »