Melihat Bapak Tidur - Didik Wahyudi

@kontributor 3/10/2024

Melihat Bapak Tidur

Didik Wahyudi



Bapak tidur. Badannya membujur di tepi selatan kasur. Kakinya di timur dan kepalanya di barat. Mulutnya menganga menarik dan melepas napas. Udara mengalir dari pintu yang terbuka. Lajunya mengencang didorong pusaran kipas. Nyenyak sekali kelihatannya.  

Itu tidur nyenyak bapak yang pertama sejak sepekan lalu. Awal pekan lalu bapak mulai terlihat gelisah. Ia mondar-mandir tak jelas di dalam rumah. Dari halaman depan ke halaman belakang, kemudian kembali ke depan. Sekali waktu mampir ke meja makan tanpa menyentuh makanan.

Uang bapak habis. Uang hasil menjual tanah itu tak bersisa sama sekali. Sebagian besar uang itu untuk membayar sebuah rumah di pinggir jalan yang masih kurang setengah pembayarannya. Sebagian lain dipakai untuk membayar pengacara.

Aku melihat bapak tidur dari dapur. Ya, aku memang senang berada di dapur. Di dapur, aku melihat saja bila ada yang memasak. Kadang-kadang juga aku berbuat usil. Maklum, kehidupan di sini terasa sepi. Tak ada teman bicara. Tak ada kegiatan. Maka, berbuat usil membuatku sedikit terhibur.

Pagi itu adik-adikku sudah bangun. Adikku yang pertama sedang merebus air untuk mandi. Anaknya yang pertama, Safa, sudah selesai mandi dan salat. Anaknya yang kedua masih terlelap di kasur. Sedang suaminya duduk manis di atas, menyesap kopi seduhannya sendiri dan merokok. Kadang-kadang aku ingin juga mengambil rokoknya. Tetapi TBC yang menggerogoti dadaku membuatku tak bisa melakukannya. Lama sudah aku tidak merokok.

Aku meniup api kompor. Api itu bergoyang-goyang membuat air lebih lama matang. Aku tersenyum melihat tingkah adikku yang mulai tak sabar. Ia matikan kompor dan dengan air yang belum panas benar itu ia pergi ke kamar mandi. Pagi di sini memang selalu dingin. Dan adikku itu tak suka mandi dengan air dingin.

Adikku yang kedua masih berbaring di atas kasur. Matanya menatap layar hp, memeriksa pesan-pesan yang belum sempat terbaca tadi malam. Ia memang tak punya banyak waktu di malam hari. Ia berangkat kerja jam delapan pagi dan pulang lembur setiap hari jam sepuluh malam. Sehabis makan dan melepas kangen pada tiga orang anaknya yang masih kecil, ia langsung tidur.

Anaknya yang paling kecil baru satu tahun. Namanya Ganyang. Kami meyakini bahwa bayi montok itu adalah titisan ibu yang meninggal tak lama sebelum dia lahir. Memang, bila diperhatikan, tingkah Ganyang sangat mirip dengan ibu.

Ibu meninggal di musim wabah. Aku sendiri tak percaya ibu terkena Covid. Iya, ibu batuk-batuk. Iya, ibu pilek dan demam. Tetapi batuk, pilek, dan demam, bukan penyakit aneh. Semua orang di rumah pernah terkena penyakit seperti itu.

Ibu dimakamkan di pemakaman umum. Liang lahat dikeruk menggunakan backhoe. Hanya sedikit orang yang menghadiri pemakamannya. Rasanya sungguh menyakitkan melihat ibu pergi dengan cara seperti itu.

Adik pertamaku telah selesai mandi. Dia pergi ke atas untuk menyiapkan seragam sekolah anaknya. Dengan langkah bergegas, dia membawa seragam itu ke tempat menyetrika di samping meja makan. Di sudut meja makan itulah, bapak biasanya menaruh dupa dan sesaji untuk mengenang anggota keluarga yang sudah meninggal.

Aku pernah bertanya apa gunanya sesaji semacam itu. Orang-orang yang sudah meninggal tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi makan dan minum. Tetapi bapak membentakku. Aku tak tahu adat, katanya. Akhirnya, aku tak pernah bertanya lagi. Aku tak peduli. Biar saja bapak menyiapkan sesaji dan melakukan apa yang dia yakini.

Aku kembali ke dapur. Dari sana, aku bisa mendengar lantunan selawat dari hp suami adik pertamaku. Aku ikut bersenandung sambil melihat Safa yang sibuk di dapur. Gadis itu sudah besar, pikirku. Sudah kelas enam SD. Tubuhnya tinggi seperti ayahnya. Wajahnya cantik dan ceria seperti mamanya. Aku selalu menyayangi anak itu lebih dari keponakan-keponakanku yang lainnya.

Safa sedang membuat ayam tepung untuk sarapan dan bekal ke sekolahnya. Beda dengan zamanku dulu, membawa bekal makan ke sekolah, bagi anak-anak zaman sekarang, adalah hal lumrah. Dulu, mereka yang membawa bekal makan ke sekolah, apalagi anak laki-laki sepertiku, akan diledek sebagai anak manja. "Anak mama," kata mereka. Tetapi, syukurlah, pandangan seperti itu sekarang sudah punah.

Bicara tentang ayam, aku jadi ingat kejadian dua hari lalu. Waktu itu, aku baru saja datang dari makam. Adik pertamaku sedang ngobrol dengan suaminya di meja makan. Suami adikku, yang sebenarnya tidak suka berbicara saat sedang makan itu, bercerita tentang sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, katanya, dia bertemu dengan aku dan ibu. Bertiga, kami menikmati opor ayam buatan ibu di ruang tamu. Aku spontan tertawa mendengar cerita itu. Sebab, ibu dan aku tak mungkin lagi menyantap makanan seperti itu.

Saat semua orang telah meninggalkan rumah, aku pun pergi. Aku pulang untuk melihat keadaan istriku. Biasanya, pagi-pagi seperti saat itu, kami baru rampung membereskan rumah dan bersiap memasak untuk sarapan. Agar praktis, kami biasanya hanya memasak mie instan atau makanan instan lainnya yang tersedia di toko.

Pagi itu istriku sedang berada di toko. Beberapa barang kelihatannya baru saja datang. Barang-barang itu dikirimkan oleh agen besar langganan kami. Barang-barang lainnya kami beli sendiri ke agen-agen lain di pasar. Khusus untuk tabung gas, kami mendapat kiriman langsung dari distributor. Kepala distributornya temanku dulu di pabrik. Beruntung sekali, sebab, harga yang diberikan kepada kami sama dengan harga yang diberikan kepada agen. Jadi, kami bisa menjualnya dengan harga lebih murah dari toko lainnya.

Ah, istriku, masih cantik seperti dulu, saat pertama kami bertemu. Tangan-tangan sepi agaknya tak pernah bisa melunturkan kecantikan itu. Aku mendekat dan kucium keningnya. Ia tersenyum, barangkali ada sesuatu yang lucu berkelebat di kepalanya. Sesuatu yang berkaitan dengan si belang atau si salju, dua kucing kami yang setia menemani istriku.

Aku mengelus dada. Di balik senyum itu, sesungguhnya tersimpan danau kesunyian yang amat luas. Andai kami pernah memiliki seorang anak, pastilah kesunyiannya tak seluas itu. Ya, aku yang salah. Tak bisa memberinya benih yang sehat, hingga rahimnya tak pernah merasakan degup kehidupan baru.

"Beli!" Suara seorang gadis kecil menghentikan aktivitas istriku.

Saat itu, aku tiba-tiba terpikir untuk mengunjungi Samsi, sahabatku. Rumahnya tak jauh dari rumahku di Gang Bromo. Aku datang lewat pintu belakang. Kami memang sudah seperti saudara. Aku bisa datang kapan saja dan dari pintu mana saja ke rumahnya. Begitupun sebaliknya, dia bisa datang kapan saja ke rumahku. Saudara kadang-kadang bisa berupa orang yang berlainan darah dengan kita.

Hari itu Samsi tak ada di rumah. Dia pergi untuk urusan pekerjaan ke luar kota. Subuh-subuh dia berangkat dan baru kembali nanti malam. Saat aku akan pergi, aku mendengar percakapan yang mengejutkan. Istri Samsi sedang berbicara dengan seorang tetangga perempuan. Mereka bicara tentang istriku. Ya, istriku yang kecantikannya tidak luntur oleh tangan-tangan sepi itu. Ada seorang lelaki yang katanya sedang mendekati istriku. Bulan depan, kata mereka, lelaki dari luar kota itu akan datang ke rumah. Ah, apakah lelaki itu yang telah membuat istriku tersenyum tadi?

Aku tak kuat mendengar rasan-rasan itu lebih lama lagi. Aku pergi, balik ke rumah bapak.

Aku langsung ke dapur, tempat favoritku. Tak ada siapa-siapa di sana. Bapak masih tidur. Ini sama sekali tidak biasa. Sebab, bapak sendiri pernah berkata, hanya orang bobrok yang tidur pada jam-jam seperti saat itu.

Tetapi, seperti aku katakan tadi, saat ini, situasinya memang beda. Sejak ditinggal ibu, aku sering memergoki bapak menangis. Dia menangis di kamar. Adik-adikku dan yang lainnya tak pernah tahu. Ditambah lagi peristiwa yang baru-baru ini menimpaku. Meski kelihatannya kami tak pernah akur, tetapi aku tahu bapak sangat menyayangi aku. Aku anak laki-laki satu-satunya. Aku tahu, bapak berharap banyak kepadaku. Harapan yang terus terang saja belum bisa dan pasti tak pernah bisa aku penuhi.

Lelap sekali tidurnya. Seperti melepas semua beban yang ditanggungnya. Aku tak tega untuk mengganggu. Aku hanya memandangi wajah kerasnya. Wajah keras yang ditempa oleh waktu. Waktu-waktu yang penuh dengan kerja dan tantangan.

Ya, tantangan yang selalu ia sembunyikan dari aku dan adik-adikku.

Sebuah peristiwa tentang perjuangan bapak yang terus aku kenang adalah peristiwa yang terjadi di hari ulang tahunku yang ke enam. Waktu itu, aku menangis dan merengek minta dibelikan sepeda baru. Sebab, si Takin, anak tetangga belakang rumah suka memameriku sepeda baru. Sepeda roda dua seperti yang ada dalam iklan di majalah anak-anak.

Ibu mencoba membujukku dengan janji-janji. Tetapi aku tak mau dan terus saja merengek. Bapak kemudian pergi dan kembali dengan sebuah sepeda baru untukku. Aku bersorak kegirangan. Malamnya, aku bawa sepeda itu tidur di kasur bersamaku.

Kelak, aku tahu jika sepeda itu bapak ambil dari toko seorang China. Bapak tidak membeli, juga tidak mencurinya. Dia datang ke toko itu dan langsung mengambil sepeda itu begitu saja. China pemilik toko itu diam saja. Dia tahu siapa bapak. Suatu saat, bapak pasti akan membayarnya.

Sekarang bapak sedang tidur berselimut beban sekali lagi. Dan aku tak bisa membantunya sama sekali. Dia butuh uang dengan segera. Pemilik rumah di pinggir jalan itu beberapa kali datang. Mereka minta bapak segera melunasi pembayarannya. Rumah itu rumah waris. Hasil penjualannya dibagikan kepada para ahli waris yang tak semuanya mau sabar menunggu bapak. Ditambah lagi biaya untuk pengacara dan ongkos penyelesaian sengketa tanah yang berlarut-larut. Habis. Dan tak seorang pun yang diharapkan bisa membantu.

Selain itu, seperti yang beberapa kali sudah bapak obrolkan dengan adik-adikku, dua minggu lagi, rumah ini akan mengadakan selamatan 40 hari kematianku. Bila ada di antara sidang pembaca yang kebetulan tinggal berdekatan dengan rumah bapak, kalian pasti juga akan diundang. Datanglah bila ada waktu. Doakan aku.

(Benowo, 2023) 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »