Kisah-kisah Duka Wanita Asing dalam Novel Indonesia - Koko Hendri Lubis

@kontributor 3/17/2024

Kisah-kisah Duka Wanita  Asing dalam Novel Indonesia

Koko Hendri Lubis



Sejak masa 1970-an, wanita yang mengukir namanya menjadi penulis produktif terus bermunculan seiring dengan perjalanan waktu. Wacana  yang mereka angkat merupakan sumbangan positif terhadap khazanah kesusasteraan Indonesia.

Sensibilitas untuk mengangkat eksistensi sesama wanita di novel yang mereka tulis, akan terus dikaji, dan didiskusikan oleh generasi berikutnya.

Novel yang bagus biasanya akan diingat oleh pembacanya dalam jangka waktu lama. Karena di dalamnya tergambar mimesis/tiruan dari berbagai persoalan manusia yang ada di masyarakat sekaligus jawaban mengenai problem-problemnya.

Novel Selembut Bunga karya Aryanti, dan novel Selamat Tinggal Jeanette karya Titie Said, menceritakan stereotip (pelabelan negatif) tak umum bangsa asing yang datang ke  Indonesia dengan tujuan berbeda-beda pula. Saat mereka mendapatkan kenyataan sosial budaya di masyarakat yang tak selalu “indah”, imbasnya adalah terkena penyakit Homesick.

Homesisck dirasakan sangat berat dirasakan oleh seseorang yang jauh dari keluarga dan handai taulannya. Homesick bisa dimaknai sebagai perasaan yang lara karena teringat kampung halaman.

Akibatnya terjadi semacam “cultural shock” yang semestinya harus dihadapi dengan jiwa yang kuat sebelum penyakit itu semakin parah.

Persoalan kejiwaan ini membuat perbedaan-perbedaan pandangan yang awalnya tumbuh dari rasa tidak puas karena perasaan tegang akibat perubahan lingkungan. Semua itu dikarenakan adanya manifestasi  unsur sosial budaya masing-masing tokohnya yang sulit berubah kala menyesuaikan diri di tempat baru.

Lalu ia menyambung,”Kau tahu, Mimi, bukan pertama kali ini saya meninggalkan Tanah Air. Saya pernah bersekolah di Inggris. Tetapi baru sekarang ini saya berada dalam suatu negeri yang kebudayaannya dan cara hidupnya asing sekali bagi saya!” (Selembut Bunga: 1978: 14)

 Demikian nukilan dialog dari novel yang populer di Indonesia, Selembut Bunga karangan Aryanti (Gaya Favorit Press, 1978).   

Novel yang diceritakan lugas ini bisa membuat pembaca memperoleh gambaran utuh yang menyelimuti wanita bangsa asing sewaktu hatinya gundah gulana.

Biarpun demikian, terdapat kontradiksi tokoh-tokohnya yang ditemukan di bagian internal teks novel.  Untuk mengatasi persoalan yang muncul akibat rasa cemas yang berlebih dalam diri manusia, ia akan melakukan mekanisme pertahanan diri dengan sebaik-baiknya.

Contohnya adalah saat Cynthia—protagonis di novel Selembut Bunga—menawarkan untuk membagi ilmunya untuk mengajar bahasa Inggris kepada ibu-ibu orang Indonesia. Mimi, yang orang Indonesia mendukungnya. Malahan ia minta bantuan Ibu Martini, salah seorang Dosen Senior di Universitas, untuk membantu promosi mencari murid. Pelajaran itu sendiri akhirnya berlangsung di rumah Cynthia. Kerja kreatif  ini dilakukan Cynthia untuk merespon saran suaminya supaya bisa berkenalan dengan orang Indonesia.

Selain itu, para ilustrator yang dengan sepenuh hati membuat goresan indah untuk mempercantik kemasan novel, di antaranya Steve Kamajaya, Tony G, Mieke SD, Rip Santosa, Fung Wayming, Gerdi, Cindy Laura, As Utama, Ipe Maaruf, dan lain-lain.

Coba bayangkan kalau tak ada novel yang merekam puspa ragam pikiran manusia terdalam, maka setiap generasi akan menemukan kebenaran bagi dirinya hanya lewat tradisi lisan yang ala kadarnya— diturunkan dari mulut ke mulut— dan hal itu tak akan luput dari penyimpangan yang tak terelakkan.

Para pengarang wanita yang merintis ke jalan itu di antaranya La Rose, Nina Pane Budiarto, Lastri Fardani Sukarton, Yati Maryati Wiharja, Aryanti, Maria A Sardjono, Titie Said, Marga T, Ike Soepomo, Tuti Nonka, Mira W, N.H. Dini, Sri Bekti Subakir, Marianne Katoppo, dan penulis yang lainnya lagi.

Satu sisi, dunia penerbitan jadi bergairah. Novel yang tuturannya tidaklah njelimet sehingga mudah dipahami pihak mana pun terus melaju dan “naik daun”. Lektur seperti itu berjaya menambah penghasilan penerbit dan bagus buat periuk nasi penulis.

Ragam novel yang disuguhkan wanita hadir di pasar ditengarai untuk mengusir rasa jenuh pembaca terhadap buku saku bertema sex yang lebih dahulu gencar membanjiri pasaran sejak 1960-an, dan konon kematian angin sekitar tahun 1970.

Aktualisasi mereka tak bisa lepas dari keberadaan majalah ‘wanita’ yang punya basis pelanggan kuat.

“Mungkin sekali para pembaca majalah wanita itu, yang tentunya kebanyakan wanita, memang lebih menaruh kepercayaan kepada wanita pengarang; nama wanita sebagai pengarang merupakan salah satu jaminan menarik tidaknya sebuah novel kepada pembaca,” sebagaimana dijelaskan Sapardi.

Salah satu pembaharuan yang digencarkan adalah kompleksnya masalah hidup wanita—baik di kota dan di desa. Hal ini menarik karena diperhatikan penulis. Jika pembaca wanita mendapat masalah yang hampir serupa atau persis sama, maka jalan keluar yang ditulis pengarang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

Apalagi kaum wanita terpelajar menambah dan menyerap pengetahuannya dengan  membaca novel. Terutama yang lahir dari pengarang populer dan terpelajar.

Sebagaimana tertulis dalam buku Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik (1982) karya Jakob Soemardjo, halaman 143 berikut ini:

“Sebab utama dari larisnya novel-novel wanita ini adalah timbulnya massa pembaca wanita terpelajar, situasi sosial politik yang relatif tenang, dan masuknya teknologi modern. Timbulnya massa pembaca wanita terpelajar ini baru muncul sekitar tahun 1970-an. Mengapa? Hal ini bisa kita simak demikian. Kesempatan bagi kaum wanita Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang sama dan terbuka dengan pria baru terlaksana sejak tahun 1950. Karena tahun-tahun sebelumnya penuh gejolak revolusi.”

Pengaruh kepopuleran penulis wanita tak bisa dinapikan begitu saja. Majalah bercorak hiburan, umum, menyediakan ruang buat mereka. Adanya cerita pendek, cerita bersambung, novelete, merupakan salah satu upaya untuk memahami permasalahan kehidupan dengan perspektif wanita.

Dari rangkaian tulisan tersebut terasa bahwa mereka tidak berpretensi dianggap sebagai ahli, melainkan lebih berbuat untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada orang lain lewat rangkaian tulisan.

Interaksi yang demikian ‘kuat’  dengan sendirinya  mengatrol kenaikan oplah.

Penerbit-penerbit buku yang memiliki kemampuan finansial, amat tanggap membaca peluang pasar dengan cara menerbitkan novel bergenre dan bercorak seperti ini.

“Sebab rata-rata novel populer ini dicetak sekitar 5000 eks—di antaranya ada yang mencapai 60000 eks—dan lewat berbagai cara dan sarana niaga, bisa habis dalam waktu yang relatif singkat.

Seandainya sebulan diterbitkan 20 judul @5000, berarti setahun beredar 1.200.000 buku. Dan seandainya saja, setiap buku itu dibaca 3 orang pembaca, maka setahunnya ada 3.600.000 pembaca—di luar novel pop terjemahan—. Tentu saja hal ini sangat menggirangkan kalau ditinjau dari segi penerbit, pengarang, dan minat baca. Sebab selama ini minat baca di kalangan bangsa kita sangat rendah sekali, tulis Korrie dalam Perjalanan Sastra Indonesia (1983) Jakarta: Gunung Jati, halaman 123.

Dibandingkan dengan ‘buku saku’ yang lebih dahulu merajai pasaran, kemasan novel populer  lebih bagus dan terlihat artistik. Buku saku kebanyakan diproduksi secara stensilan dan  masih menggunakan tangan, bukan mesin cetak. Ilustrasinya digarap secara sederhana, dan dari judulnya yang aneh, pembaca sepertinya dapat “menebak” isi dan jalan ceritanya, misalnya: Main Tjinta Diachir Minggu, Malam Penganten Jang Kasip, Skandal Sex Seorang Diplomat, dan lain sebagainya.

Sedangkan fisik novel populer, selain covernya cukup bagus dan ‘spesifik’, pewarnaannya juga digarap secara tepat. Tipografi judul diselaraskan dengan ukuran besar buku. Novel jenis ini rata-rata ukurannya sebesar 18 x 14 cm. Novel Selembut Bunga besarnya 18, 5 x 13 cm, novel Selamat Tinggal Jeanette formatnya berukuran 18 x 12 cm. Jumlah halaman umumnya bervariasi. Dari 140 sampai 350 halaman. Terkadang bisa juga lebih. Harga jualnya sesuai iklan yang tertera di dalam novel berkisar dari Rp. 2900-Rp.3400 per eksemplaar.

***

Kisah yang menggambarkan kemelut rumah tangga  dan memiliki penerokaan jiwa yang mendalam terdapat di novel Selembut Bunga, dan  Selamat Tinggal Jeanette.

Kesedihan di lubuk kecil hati Cynthia, dan  tertekannya batin Jeanette, seakan menegaskan bahwa hidup di dunia penuh suka dan duka. Ada pahit dan ada manisnya. Semuanya tergantung dari tindakan dan sikap seseorang dalam menyikapi kehidupan.

Munculnya sosok-sosok tersebut akan membuat semakin jelas tokoh mana yang punya kepercayaan diri kuat, tenang, bijaksana, egois, dan menjunjung tinggi pendirian orang lain.

Aryanti (1928-2007), pengarang novel Selembut Bunga ,nama aslinya adalah Haryati Subadio. Ia adalah seorang Professor Sastra Klasik dan pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di Universitas Indonesia. Novelnya yang lain adalah Hidup Perlu Akar (1981), dan Tak Berhenti Berputar (1982). Ia juga menulis kumpulan cerpen yang dibukukan menjadi Kaca Rias Antik (1970).

Novel yang mendapatkan juara pertama dalam sayembara novel Femina 1977 ini berkisah tentang pasangan suami istri asal Australia Lewis (Lu) dan Cynthia. Lewis adalah seorang sosiolog yang mau menulis buku dalam bidang sosiologi. Mereka bersahabat baik dengan Adil dan Mimi.

Untuk membantunya bekerja di lapangan saat riset dan di rumah, Lu mempekerjakan Harni, seorang gadis cekatan yang mula-mula sekali bekerja sebagai asisten Pater Haryo.

Harni lancar berbahasa Inggris, pandai masak, menjahit, mengetik, membuat kue ala Australia, sekaligus terampil dalam mencatat wawancara lapangan.

Gosip di belakang punggung yang menyatakan bahwa Lu berselingkuh dengan ‘seorang gadis’ yang tak disebutkan namanya, awalnya diacuhkan saja oleh Cynthia. Ia sendiri terus terkungkung oleh perasaan rindu dengan Tanah Airnya. Sedangkan ragam seni budaya di Indonesia, tak terlalu menarik minatnya. Sikapnya ini berkebalikan dengan suaminya.

Namun ketika suatu hari Lewis, Adil dan Pater Haryo menghadap Cynthia, ia sudah “bisa” menduga apa yang telah terjadi. Lewis ternyata menghamili Harni.

Reaksi pertama dari Cynthia ketika mengetahui suaminya mengadakan penyelewengan seksual adalah terkejut. Tak disangka Lewis berbuat demikian. Berarti apa yang didesas-desuskan selama ini terbukti benar.

Berbagai perasaan negatif  menyelimuti dirinya. Rasa sedih, dongkol, kecewa, panas hati, merasa direndahkan dan sebagainya.

 Namun balasannya, Cynthia tidak agresif.  Apalagi menyerang suaminya dengan kata-kata kasar dan memakai fisik. Tidak. Ia matang, mampu mengendalikan emosi, dan memilih pulang sementara waktu ke Australia untuk mencari penyelesaian.

Waktu berjalan terus. Kedua orangtua Harni dipusingkan oleh status anaknya yang hamil di luar nikah. Siapa pula yang mau bertanggung jawab menjadi suami Harni yang telah berbadan dua? Adil sendiri bilang kalau untuk bercerai Lewis dan Cynthia tidak mungkin terjadi. Hukum di negara mereka ketat sekali mengatur soal ini.

Lalu, untuk sementara waktu, Harni diungsikan ke rumah Nani, adiknya Adil, di Magelang yang memiliki peternakan ayam. Di tempat itu ia bisa membantu Nani di bagian administrasi sambil menunggu kelahiran bayinya.

Bila ditinjau ke belakang, penyelewengan terjadi karena beberapa faktor. Tapi yang paling masuk akal adalah hubungan ini terjadi atas dasar suka sama suka secara sesaat. Sudah tentu “kualitasnya lain” ketimbang hubungan seksual suami-istri yang sifatnya kegiatan rutin.

Penyelewengan ini lebih dikarenakan akan adanya ketegangan jiwa serta pengendalian diri Lewis dan Harni yang lemah.

Datang suatu siang waktu ia dibawa oleh Lewis ke tempat wawancara jauh dari kota. Mereka mendapat ruangan di kecamatan. Orang yang diharapkan, tidak memperlihatkan diri. Lewis amat kesal hati. Mereka pulang, dan rumah ternyata kosong.

Cynthia hari itu berpergian…Lewis memeluk Harni seketika,

“Kau harus menghibur saya! Saya berfrustasi besar!” katanya mengejek. Namun perasaan kedua belah pihak tidak terbendung lagi. (Selembut Bunga: 1978: 132-133).

Setelah berpikir matang-matang, Cynthia datang lagi ke Indonesia. Ia berdialog dengan suaminya dan dengan sahabat-sahabatnya. Semua pihak setuju bahwa skandal dengan wanita lain memang berbahaya dalam perkawinan. Namun begitu, untuk menyelamatkan anak bayi perempuan tanpa dosa yang baru lahir itu, Cynthia secara terbuka mau mengambil dan mengakuinya sebagai anak ‘sendiri’. Dengan cara begitu ia menyelamatkan perkawinannya dan melepaskan beban mental Harni dari ketiadaan laki-laki yang mau bertanggung jawab sebagai suami pengganti.

***

Novel Selamat Tinggal Jeanette merupakan karangan Titie Said (1935-2011), dan diterbitkan oleh Alam Budaya, medio 1986. Ia juga dikenal sebagai cerpenis dan jurnalis. Novel yang pernah ditulisnya antara lain Doktor Dewayani, Reinkarnasi, Perasaan Perempuan, dan seterusnya.

Novel ini mengungkapkan perkawinan campur antara pasangan yang berlainan budaya dan agama di Indonesia.

Faktanya di Indonesia yang mengakui banyak agama, perkawinan campur bukan kejadian baru. Malahan sering terjadi. Sebabnya adalah pergaulan yang kerap tak membedakan soal kepercayaan. Cinta terjalin di antara dua insan berlainan agama bukan suatu hal yang mustahil.

Raden Mas Suryono minta izin ibunya, Raden Ayu Suryo untuk menikahi seorang wanita Prancis pilihannya, Jeanette.

Padahal ibunya lebih mempertimbangkan masalah “bibit, bobot, bebet”, dan ingin menjodohkannya dengan Raden Ayu Pangastuti, yang masih terhitung sepupu Suryono.

Namun, setelah mengkaji baik- buruk efek yang akan timbul bila keinginan Suryono ditolak, akhirnya ia mendukungnya.

Suryono dengan Jeanette menikah secara sederhana. Hadir dalam acara, yakni penghulu, saksi dan sepuluh orang undangan pilihan. Perkawinannya sendiri tak dirayakan karena Raden Ayu Suryo kurang yakin kepada keduanya. Biarpun begitu, hal itu dipendamnya saja di hati.

Seiring berjalannya waktu, rupanya banyak unsur ‘X’ yang naik ke permukaan secara tak terduga. Padahal, waktu masih pacaran, semua serba indah dan bahagia. Setelah selang beberapa bulan hidup dalam perkawinan, menjaga keharmonisan tidak semudah yang dikira.

Kesulitan ini semakin bertambah karena Jeanette terkena ‘Homesick’,—soal ini menuntut pengorbanan yang besar sekali. Apalagi sikap Jeanette yang tak bisa menyesuaikan diri saat satu atap bersama suami, dan terus menerus mempertahankan keunggulan diri sendiri, dijabarkan dengan menarik di halaman 129- 130:

Kehidupan yang magis, sesuatu yang selalu meletup-letup, yang dulu didambakan, kini tak ubahnya seperti kebosanan-kebosanan yang pernah melanda kehidupannya dulu. Sudah bermalam-malam dia tidak tidur. Dua butir luminal telah ditelannya, tetapi matanya toh tidak berhasil dikatupkan. Setiap malam, dorongan untuk pulang kembali ke Paris semakin mendesak kalbunya. Seperti desakan lumpur dari Gunung Arenas yang menimbun kota Amarelo. Sesak napas Jeanette jika harus hidup di desa yang sepi ini. Dia ingin secepatnya ke luar dari suasana yang menghimpit dadanya itu. Dia ingin melihat lampu-lampu, ingin mendengarkan musik, ingin jalan-jalan, ingin hura-hura, dan ingin dipeluk hangat-hangat.

Pada akhirnya Jeanette ingin agar langit runtuh dan dirinya mati!

MATI. Persis keinginannya sewaktu masih menjadi gadis remaja belasan tahun.

Suryono mencoba mengalah untuk memperbaiki dirinya. Ia mencoba menyelamatkan perkawinannya dan memilih ikut dengan Jeanette ke Paris.

Rupanya di sana roda kehidupannya tak berjalan mulus. Akibat situasi ini, Suryono jadi tak tahu mau berpijak dimana.

Pekerjaan sebagai bankir dan staf lokal Kedutaan RI tak sesuai bakat dan kemampuannya. Ia merasa dunia begitu kejam padanya. Lalu ia memilih jadi pelukis lagi. Seorang nyonya yang dilukisnya sempat memberikan upah setelah pekerjaannya selesai. Rasa bangga tak berlangsung lama karena ia tahu uang itu bersumber dari pundi-pundi uang Jeanette.

Dan akhirnya, selain sebab-sebab di atas, ada lagi satu penyebab yang membuat Suryono tak betah di Paris, yaitu si-Trimah—pembantu setia ibunya di rumah. Wanita desa yang lugu itu bayangannya kerap hadir di ingatan Suryono.

Terakhir, setelah Suryono merasa senantiasa “tertekan perasaan tiada henti” akibat perlawanan Jeanette saat mereka berbeda pendapat, memutuskan pulang ke Indonesia.

Dari Indonesia Suryono mengirimkan surat cerai yang dilemparkan Jeanette ke dalam perapian setelah selesai dibaca.

Ujung cerita: Suryono mengawini Trimah, dan Jeanette resmi menjadi Nyonya Girard Palante. Begitulah cara dua insan yang dulunya saling menyintai untuk mengatasi kesusahannya.

***

Aryanti dan Titie Said kali ini  membentangkan kesejajaran gender dalam karyanya. Walaupun Cynthia dan Jeanette digambarkan sebagai wanita modern, memiliki hak untuk bertindak, sejajar dengan pasangannya masing-masing, terdapat kelemahan-kelemahannya juga yang wajar sebagai manusia biasa—dalam hal ini agak mudah depresi serta kerap mengambil tindakan yang tidak logis.

Tak bisa dibantah Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki persoalan gender. Di Jawa ada berbagai ungkapan yang tetap lestari sampai saat ini, seperti “wanita wani ditata” —menjadikan seorang wanita bersedia untuk diatur—, “swarga nunut neraka katut” —menjadikan bahwa sedih dan bahagianya sang wanita tergantung oleh suaminya—, dan yang lainnya lagi.

Nah, dampak langsung berdasarkan kenyataan tersebut, membuat posisi wanita jadi lemah. Wanita kerap dikorbankan dan status sosialnya tepat di bawah laki-laki. Berbekal legitimasi yang berurat-berakar itulah, laki-laki punya kekuasaan untuk mengatur perempuan seperti dalam lingkup budaya patriarkat. Hal ini menguatkan telah terjadi ketidakadilan gender di Indonesia yang dalam novel ini diwakili oleh sosok Harni dan Trimah. Keduanya adalah representasi wanita yang tersakiti di dalam karya sastra.

Aryanti mampu menyajikan sosok Cynthia dalam bingkai cerita yang menarik. Dengan latar belakang keilmuannya, ia berhasil menciptakan novel yang adegan-adegannya berisi pengetahuan budaya Indonesia dan Australia.

Sedangkan Titie Said, dengan kecermatan dan kepiawaiannya, berhasil meramu sosok Jeanette secara jernih—seorang wanita yang tindakannya cenderung ingin mengubah keadaan, meski kerap gagal karena berbagai alasan.

Sungguhpun tema cinta sama tuanya dengan usia manusia— dan merupakan kisah yang tak ada habisnya jika ditulis, tapi lewat novel ini kita jadi tahu bahwa “keluhuran cinta” bisa menyebabkan orang mengambil keputusan sekaligus tindakan yang bertentangan serta penuh dilema.

Inilah yang menyebabkan kedua novel di atas lebih bernilai ketimbang sebuah cerita biasa.[]


---

Bahan Bacaan

Aryanti. Selembut Bunga. Jakarta: Gaya Favorit Press. 1978.

Damono, Sapardi Djoko. “Catatan Ringkas Kedudukan Novel Populer dalam Perkembangan Sastra Indonesia” dalam  Temu Pengarang Femina,‘Membedah Novel Pop Indonesia’ bersama Umar Kayam dan Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Femina. 16 April 1987.

Minderop, A. Psikologi Sastra Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Pustaka Obor. 2013.

Said, Titie. Selamat Tinggal Jeanette. Jakarta: Alam Budaya. 1986.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »