Kisah-kisah Duka Wanita
Asing dalam Novel Indonesia
Koko Hendri Lubis
Sejak masa 1970-an, wanita
yang mengukir namanya menjadi penulis produktif terus bermunculan seiring
dengan perjalanan waktu. Wacana yang mereka angkat merupakan
sumbangan positif terhadap khazanah kesusasteraan Indonesia.
Sensibilitas untuk
mengangkat eksistensi sesama wanita di novel yang mereka tulis, akan terus
dikaji, dan didiskusikan oleh generasi berikutnya.
Novel yang bagus
biasanya akan diingat oleh pembacanya dalam jangka waktu lama. Karena di
dalamnya tergambar mimesis/tiruan dari berbagai persoalan manusia yang ada di
masyarakat sekaligus jawaban mengenai problem-problemnya.
Novel Selembut
Bunga karya Aryanti, dan novel Selamat Tinggal Jeanette karya
Titie Said, menceritakan stereotip (pelabelan negatif) tak umum bangsa asing
yang datang ke Indonesia dengan tujuan berbeda-beda pula. Saat
mereka mendapatkan kenyataan sosial budaya di masyarakat yang tak selalu
“indah”, imbasnya adalah terkena penyakit Homesick.
Homesisck dirasakan sangat berat
dirasakan oleh seseorang yang jauh dari keluarga dan handai taulannya. Homesick bisa
dimaknai sebagai perasaan yang lara karena teringat kampung halaman.
Akibatnya terjadi
semacam “cultural shock” yang semestinya harus dihadapi dengan jiwa yang kuat
sebelum penyakit itu semakin parah.
Persoalan kejiwaan ini membuat perbedaan-perbedaan pandangan yang awalnya tumbuh dari rasa tidak puas karena perasaan tegang akibat perubahan lingkungan. Semua itu dikarenakan adanya manifestasi unsur sosial budaya masing-masing tokohnya yang sulit berubah kala menyesuaikan diri di tempat baru.
Lalu ia menyambung,”Kau tahu, Mimi, bukan pertama kali ini saya meninggalkan Tanah Air. Saya pernah bersekolah di Inggris. Tetapi baru sekarang ini saya berada dalam suatu negeri yang kebudayaannya dan cara hidupnya asing sekali bagi saya!” (Selembut Bunga: 1978: 14)
Demikian nukilan dialog dari novel yang populer di Indonesia, Selembut Bunga karangan Aryanti (Gaya Favorit Press, 1978).
Novel yang
diceritakan lugas ini bisa membuat pembaca memperoleh gambaran utuh yang menyelimuti
wanita bangsa asing sewaktu hatinya gundah gulana.
Biarpun demikian,
terdapat kontradiksi tokoh-tokohnya yang ditemukan di bagian internal teks
novel. Untuk mengatasi persoalan yang muncul akibat rasa cemas yang
berlebih dalam diri manusia, ia akan melakukan mekanisme pertahanan diri dengan
sebaik-baiknya.
Contohnya adalah
saat Cynthia—protagonis di novel Selembut Bunga—menawarkan untuk
membagi ilmunya untuk mengajar bahasa Inggris kepada ibu-ibu orang Indonesia.
Mimi, yang orang Indonesia mendukungnya. Malahan ia minta bantuan Ibu Martini,
salah seorang Dosen Senior di Universitas, untuk membantu promosi mencari
murid. Pelajaran itu sendiri akhirnya berlangsung di rumah Cynthia. Kerja
kreatif ini dilakukan Cynthia untuk merespon saran suaminya supaya
bisa berkenalan dengan orang Indonesia.
Selain itu, para
ilustrator yang dengan sepenuh hati membuat goresan indah untuk mempercantik
kemasan novel, di antaranya Steve Kamajaya, Tony G, Mieke SD, Rip Santosa, Fung
Wayming, Gerdi, Cindy Laura, As Utama, Ipe Maaruf, dan lain-lain.
Coba bayangkan kalau
tak ada novel yang merekam puspa ragam pikiran manusia terdalam, maka setiap
generasi akan menemukan kebenaran bagi dirinya hanya lewat tradisi lisan yang
ala kadarnya— diturunkan dari mulut ke mulut— dan hal itu tak akan luput dari
penyimpangan yang tak terelakkan.
Para pengarang
wanita yang merintis ke jalan itu di antaranya La Rose, Nina Pane Budiarto,
Lastri Fardani Sukarton, Yati Maryati Wiharja, Aryanti, Maria A Sardjono, Titie
Said, Marga T, Ike Soepomo, Tuti Nonka, Mira W, N.H. Dini, Sri Bekti Subakir,
Marianne Katoppo, dan penulis yang lainnya lagi.
Satu sisi, dunia
penerbitan jadi bergairah. Novel yang tuturannya tidaklah njelimet sehingga
mudah dipahami pihak mana pun terus melaju dan “naik daun”. Lektur seperti itu
berjaya menambah penghasilan penerbit dan bagus buat periuk nasi penulis.
Ragam novel yang
disuguhkan wanita hadir di pasar ditengarai untuk mengusir rasa jenuh pembaca
terhadap buku saku bertema sex yang lebih dahulu gencar membanjiri pasaran
sejak 1960-an, dan konon kematian angin sekitar tahun 1970.
Aktualisasi mereka
tak bisa lepas dari keberadaan majalah ‘wanita’ yang punya basis pelanggan
kuat.
“Mungkin sekali
para pembaca majalah wanita itu, yang tentunya kebanyakan wanita, memang lebih
menaruh kepercayaan kepada wanita pengarang; nama wanita sebagai pengarang
merupakan salah satu jaminan menarik tidaknya sebuah novel kepada pembaca,” sebagaimana dijelaskan
Sapardi.
Salah satu
pembaharuan yang digencarkan adalah kompleksnya masalah hidup wanita—baik di
kota dan di desa. Hal ini menarik karena diperhatikan penulis. Jika pembaca
wanita mendapat masalah yang hampir serupa atau persis sama, maka jalan keluar
yang ditulis pengarang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan.
Apalagi kaum
wanita terpelajar menambah dan menyerap pengetahuannya
dengan membaca novel. Terutama yang lahir dari pengarang populer dan
terpelajar.
Sebagaimana
tertulis dalam buku Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik (1982) karya Jakob Soemardjo, halaman 143 berikut ini:
“Sebab utama dari larisnya novel-novel wanita ini adalah timbulnya massa pembaca wanita terpelajar, situasi sosial politik yang relatif tenang, dan masuknya teknologi modern. Timbulnya massa pembaca wanita terpelajar ini baru muncul sekitar tahun 1970-an. Mengapa? Hal ini bisa kita simak demikian. Kesempatan bagi kaum wanita Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang sama dan terbuka dengan pria baru terlaksana sejak tahun 1950. Karena tahun-tahun sebelumnya penuh gejolak revolusi.”
Pengaruh
kepopuleran penulis wanita tak bisa dinapikan begitu saja. Majalah bercorak
hiburan, umum, menyediakan ruang buat mereka. Adanya cerita pendek, cerita
bersambung, novelete, merupakan salah satu upaya untuk memahami permasalahan
kehidupan dengan perspektif wanita.
Dari rangkaian
tulisan tersebut terasa bahwa mereka tidak berpretensi dianggap sebagai ahli,
melainkan lebih berbuat untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada
orang lain lewat rangkaian tulisan.
Interaksi yang
demikian ‘kuat’ dengan sendirinya mengatrol kenaikan
oplah.
Penerbit-penerbit
buku yang memiliki kemampuan finansial, amat tanggap membaca peluang pasar
dengan cara menerbitkan novel bergenre dan bercorak seperti ini.
“Sebab rata-rata
novel populer ini dicetak sekitar 5000 eks—di antaranya ada yang mencapai 60000
eks—dan lewat berbagai cara dan sarana niaga, bisa habis dalam waktu yang
relatif singkat.
Seandainya sebulan diterbitkan 20 judul @5000, berarti setahun beredar 1.200.000 buku. Dan seandainya saja, setiap buku itu dibaca 3 orang pembaca, maka setahunnya ada 3.600.000 pembaca—di luar novel pop terjemahan—. Tentu saja hal ini sangat menggirangkan kalau ditinjau dari segi penerbit, pengarang, dan minat baca. Sebab selama ini minat baca di kalangan bangsa kita sangat rendah sekali,” tulis Korrie dalam Perjalanan Sastra Indonesia (1983) Jakarta: Gunung Jati, halaman 123.
Dibandingkan
dengan ‘buku saku’ yang lebih dahulu merajai pasaran, kemasan novel
populer lebih bagus dan terlihat artistik. Buku saku kebanyakan
diproduksi secara stensilan dan masih menggunakan tangan, bukan
mesin cetak. Ilustrasinya digarap secara sederhana, dan dari judulnya yang
aneh, pembaca sepertinya dapat “menebak” isi dan jalan ceritanya,
misalnya: Main Tjinta Diachir Minggu, Malam Penganten Jang Kasip,
Skandal Sex Seorang Diplomat, dan lain sebagainya.
Sedangkan fisik
novel populer, selain covernya cukup bagus dan ‘spesifik’, pewarnaannya juga
digarap secara tepat. Tipografi judul diselaraskan dengan ukuran besar buku.
Novel jenis ini rata-rata ukurannya sebesar 18 x 14 cm. Novel Selembut
Bunga besarnya 18, 5 x 13 cm, novel Selamat Tinggal Jeanette formatnya
berukuran 18 x 12 cm. Jumlah halaman umumnya bervariasi. Dari 140 sampai 350
halaman. Terkadang bisa juga lebih. Harga jualnya sesuai iklan yang tertera di
dalam novel berkisar dari Rp. 2900-Rp.3400 per eksemplaar.
***
Kisah yang
menggambarkan kemelut rumah tangga dan memiliki penerokaan jiwa yang
mendalam terdapat di novel Selembut Bunga, dan Selamat
Tinggal Jeanette.
Kesedihan di lubuk
kecil hati Cynthia, dan tertekannya batin Jeanette, seakan
menegaskan bahwa hidup di dunia penuh suka dan duka. Ada pahit dan ada
manisnya. Semuanya tergantung dari tindakan dan sikap seseorang dalam menyikapi
kehidupan.
Munculnya sosok-sosok
tersebut akan membuat semakin jelas tokoh mana yang punya kepercayaan diri
kuat, tenang, bijaksana, egois, dan menjunjung tinggi pendirian orang lain.
Aryanti
(1928-2007), pengarang novel Selembut Bunga ,nama aslinya
adalah Haryati Subadio. Ia adalah seorang Professor Sastra Klasik dan pernah
menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di Universitas Indonesia. Novelnya yang
lain adalah Hidup Perlu Akar (1981), dan Tak Berhenti
Berputar (1982). Ia juga menulis kumpulan cerpen yang dibukukan
menjadi Kaca Rias Antik (1970).
Novel yang
mendapatkan juara pertama dalam sayembara novel Femina 1977
ini berkisah tentang pasangan suami istri asal Australia Lewis (Lu) dan
Cynthia. Lewis adalah seorang sosiolog yang mau menulis buku dalam bidang
sosiologi. Mereka bersahabat baik dengan Adil dan Mimi.
Untuk membantunya
bekerja di lapangan saat riset dan di rumah, Lu mempekerjakan Harni, seorang
gadis cekatan yang mula-mula sekali bekerja sebagai asisten Pater Haryo.
Harni lancar
berbahasa Inggris, pandai masak, menjahit, mengetik, membuat kue ala Australia,
sekaligus terampil dalam mencatat wawancara lapangan.
Gosip di belakang
punggung yang menyatakan bahwa Lu berselingkuh dengan ‘seorang gadis’ yang tak
disebutkan namanya, awalnya diacuhkan saja oleh Cynthia. Ia sendiri terus
terkungkung oleh perasaan rindu dengan Tanah Airnya. Sedangkan ragam seni budaya
di Indonesia, tak terlalu menarik minatnya. Sikapnya ini berkebalikan dengan
suaminya.
Namun ketika suatu
hari Lewis, Adil dan Pater Haryo menghadap Cynthia, ia sudah “bisa” menduga apa
yang telah terjadi. Lewis ternyata menghamili Harni.
Reaksi pertama
dari Cynthia ketika mengetahui suaminya mengadakan penyelewengan seksual adalah
terkejut. Tak disangka Lewis berbuat demikian. Berarti apa yang
didesas-desuskan selama ini terbukti benar.
Berbagai perasaan
negatif menyelimuti dirinya. Rasa sedih, dongkol, kecewa, panas
hati, merasa direndahkan dan sebagainya.
Namun
balasannya, Cynthia tidak agresif. Apalagi menyerang suaminya dengan
kata-kata kasar dan memakai fisik. Tidak. Ia matang, mampu mengendalikan emosi,
dan memilih pulang sementara waktu ke Australia untuk mencari penyelesaian.
Waktu berjalan
terus. Kedua orangtua Harni dipusingkan oleh status anaknya yang hamil di luar
nikah. Siapa pula yang mau bertanggung jawab menjadi suami Harni yang telah
berbadan dua? Adil sendiri bilang kalau untuk bercerai Lewis dan Cynthia tidak
mungkin terjadi. Hukum di negara mereka ketat sekali mengatur soal ini.
Lalu, untuk
sementara waktu, Harni diungsikan ke rumah Nani, adiknya Adil, di Magelang yang
memiliki peternakan ayam. Di tempat itu ia bisa membantu Nani di bagian
administrasi sambil menunggu kelahiran bayinya.
Bila ditinjau ke
belakang, penyelewengan terjadi karena beberapa faktor. Tapi yang paling masuk
akal adalah hubungan ini terjadi atas dasar suka sama suka secara sesaat. Sudah
tentu “kualitasnya lain” ketimbang hubungan seksual suami-istri yang sifatnya
kegiatan rutin.
Penyelewengan ini
lebih dikarenakan akan adanya ketegangan jiwa serta pengendalian diri Lewis dan
Harni yang lemah.
Datang suatu siang
waktu ia dibawa oleh Lewis ke tempat wawancara jauh dari kota. Mereka mendapat
ruangan di kecamatan. Orang yang diharapkan, tidak memperlihatkan diri. Lewis
amat kesal hati. Mereka pulang, dan rumah ternyata kosong.
Cynthia hari itu
berpergian…Lewis memeluk Harni seketika,
“Kau harus menghibur saya! Saya berfrustasi besar!” katanya mengejek. Namun perasaan kedua belah pihak tidak terbendung lagi. (Selembut Bunga: 1978: 132-133).
Setelah berpikir
matang-matang, Cynthia datang lagi ke Indonesia. Ia berdialog dengan suaminya
dan dengan sahabat-sahabatnya. Semua pihak setuju bahwa skandal dengan wanita
lain memang berbahaya dalam perkawinan. Namun begitu, untuk menyelamatkan anak
bayi perempuan tanpa dosa yang baru lahir itu, Cynthia secara terbuka mau
mengambil dan mengakuinya sebagai anak ‘sendiri’. Dengan cara begitu ia
menyelamatkan perkawinannya dan melepaskan beban mental Harni dari ketiadaan
laki-laki yang mau bertanggung jawab sebagai suami pengganti.
***
Novel Selamat
Tinggal Jeanette merupakan karangan Titie Said (1935-2011), dan
diterbitkan oleh Alam Budaya, medio 1986. Ia juga dikenal sebagai cerpenis dan
jurnalis. Novel yang pernah ditulisnya antara lain Doktor Dewayani,
Reinkarnasi, Perasaan Perempuan, dan seterusnya.
Novel ini
mengungkapkan perkawinan campur antara pasangan yang berlainan budaya dan agama
di Indonesia.
Faktanya di
Indonesia yang mengakui banyak agama, perkawinan campur bukan kejadian baru.
Malahan sering terjadi. Sebabnya adalah pergaulan yang kerap tak membedakan
soal kepercayaan. Cinta terjalin di antara dua insan berlainan agama bukan
suatu hal yang mustahil.
Raden Mas Suryono
minta izin ibunya, Raden Ayu Suryo untuk menikahi seorang wanita Prancis
pilihannya, Jeanette.
Padahal ibunya
lebih mempertimbangkan masalah “bibit, bobot, bebet”, dan ingin menjodohkannya
dengan Raden Ayu Pangastuti, yang masih terhitung sepupu Suryono.
Namun, setelah
mengkaji baik- buruk efek yang akan timbul bila keinginan Suryono ditolak,
akhirnya ia mendukungnya.
Suryono dengan
Jeanette menikah secara sederhana. Hadir dalam acara, yakni penghulu, saksi dan
sepuluh orang undangan pilihan. Perkawinannya sendiri tak dirayakan karena
Raden Ayu Suryo kurang yakin kepada keduanya. Biarpun begitu, hal itu
dipendamnya saja di hati.
Seiring
berjalannya waktu, rupanya banyak unsur ‘X’ yang naik ke permukaan secara tak
terduga. Padahal, waktu masih pacaran, semua serba indah dan bahagia. Setelah
selang beberapa bulan hidup dalam perkawinan, menjaga keharmonisan tidak
semudah yang dikira.
Kesulitan ini semakin bertambah karena Jeanette terkena ‘Homesick’,—soal ini menuntut pengorbanan yang besar sekali. Apalagi sikap Jeanette yang tak bisa menyesuaikan diri saat satu atap bersama suami, dan terus menerus mempertahankan keunggulan diri sendiri, dijabarkan dengan menarik di halaman 129- 130:
Kehidupan yang magis, sesuatu yang selalu meletup-letup, yang dulu didambakan, kini tak ubahnya seperti kebosanan-kebosanan yang pernah melanda kehidupannya dulu. Sudah bermalam-malam dia tidak tidur. Dua butir luminal telah ditelannya, tetapi matanya toh tidak berhasil dikatupkan. Setiap malam, dorongan untuk pulang kembali ke Paris semakin mendesak kalbunya. Seperti desakan lumpur dari Gunung Arenas yang menimbun kota Amarelo. Sesak napas Jeanette jika harus hidup di desa yang sepi ini. Dia ingin secepatnya ke luar dari suasana yang menghimpit dadanya itu. Dia ingin melihat lampu-lampu, ingin mendengarkan musik, ingin jalan-jalan, ingin hura-hura, dan ingin dipeluk hangat-hangat.
Pada akhirnya Jeanette ingin agar langit runtuh dan dirinya mati!
MATI. Persis keinginannya sewaktu masih menjadi gadis remaja belasan tahun.
Suryono mencoba
mengalah untuk memperbaiki dirinya. Ia mencoba menyelamatkan perkawinannya dan
memilih ikut dengan Jeanette ke Paris.
Rupanya di sana
roda kehidupannya tak berjalan mulus. Akibat situasi ini, Suryono jadi tak tahu
mau berpijak dimana.
Pekerjaan sebagai
bankir dan staf lokal Kedutaan RI tak sesuai bakat dan kemampuannya. Ia merasa
dunia begitu kejam padanya. Lalu ia memilih jadi pelukis lagi. Seorang nyonya
yang dilukisnya sempat memberikan upah setelah pekerjaannya selesai. Rasa
bangga tak berlangsung lama karena ia tahu uang itu bersumber dari pundi-pundi
uang Jeanette.
Dan akhirnya,
selain sebab-sebab di atas, ada lagi satu penyebab yang membuat Suryono tak
betah di Paris, yaitu si-Trimah—pembantu setia ibunya di rumah. Wanita desa
yang lugu itu bayangannya kerap hadir di ingatan Suryono.
Terakhir, setelah
Suryono merasa senantiasa “tertekan perasaan tiada henti” akibat perlawanan
Jeanette saat mereka berbeda pendapat, memutuskan pulang ke Indonesia.
Dari Indonesia
Suryono mengirimkan surat cerai yang dilemparkan Jeanette ke dalam perapian
setelah selesai dibaca.
Ujung cerita:
Suryono mengawini Trimah, dan Jeanette resmi menjadi Nyonya Girard Palante.
Begitulah cara dua insan yang dulunya saling menyintai untuk mengatasi
kesusahannya.
***
Aryanti dan Titie
Said kali ini membentangkan kesejajaran gender dalam karyanya.
Walaupun Cynthia dan Jeanette digambarkan sebagai wanita modern, memiliki hak
untuk bertindak, sejajar dengan pasangannya masing-masing, terdapat
kelemahan-kelemahannya juga yang wajar sebagai manusia biasa—dalam hal ini agak
mudah depresi serta kerap mengambil tindakan yang tidak logis.
Tak bisa dibantah
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki persoalan gender. Di Jawa ada
berbagai ungkapan yang tetap lestari sampai saat ini, seperti “wanita wani ditata”
—menjadikan seorang wanita bersedia untuk diatur—, “swarga nunut neraka katut”
—menjadikan bahwa sedih dan bahagianya sang wanita tergantung oleh suaminya—,
dan yang lainnya lagi.
Nah, dampak
langsung berdasarkan kenyataan tersebut, membuat posisi wanita jadi lemah.
Wanita kerap dikorbankan dan status sosialnya tepat di bawah laki-laki.
Berbekal legitimasi yang berurat-berakar itulah, laki-laki punya kekuasaan
untuk mengatur perempuan seperti dalam lingkup budaya patriarkat. Hal ini
menguatkan telah terjadi ketidakadilan gender di Indonesia yang dalam novel ini
diwakili oleh sosok Harni dan Trimah. Keduanya adalah representasi wanita yang
tersakiti di dalam karya sastra.
Aryanti mampu
menyajikan sosok Cynthia dalam bingkai cerita yang menarik. Dengan latar
belakang keilmuannya, ia berhasil menciptakan novel yang adegan-adegannya
berisi pengetahuan budaya Indonesia dan Australia.
Sedangkan Titie
Said, dengan kecermatan dan kepiawaiannya, berhasil meramu sosok Jeanette
secara jernih—seorang wanita yang tindakannya cenderung ingin mengubah keadaan,
meski kerap gagal karena berbagai alasan.
Sungguhpun tema
cinta sama tuanya dengan usia manusia— dan merupakan kisah yang tak ada
habisnya jika ditulis, tapi lewat novel ini kita jadi tahu bahwa “keluhuran
cinta” bisa menyebabkan orang mengambil keputusan sekaligus tindakan yang
bertentangan serta penuh dilema.
Inilah yang
menyebabkan kedua novel di atas lebih bernilai ketimbang sebuah cerita biasa.[]
---
Bahan Bacaan
Aryanti. Selembut Bunga. Jakarta: Gaya Favorit Press. 1978.
Damono, Sapardi Djoko. “Catatan Ringkas Kedudukan Novel
Populer dalam Perkembangan Sastra Indonesia” dalam Temu Pengarang Femina,‘Membedah Novel Pop
Indonesia’ bersama Umar Kayam dan Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Femina. 16
April 1987.
Minderop, A. Psikologi Sastra Karya Sastra, Metode, Teori,
dan Contoh Kasus. Jakarta: Pustaka Obor. 2013.
Said, Titie. Selamat Tinggal Jeanette. Jakarta: Alam Budaya.
1986.