Antara -ku dan -mu - Suyat Aslah

@kontributor 5/05/2024

Antara -ku dan -mu

Suyat Aslah

 


Keyakinanku, terakhir kali aku membaca wajahmu waktu kau duduk di sebuah halte yang terletak di dekat perempatan jalan sekitar dua kilometer dari terminal kota Cilacap. Dua tahun sebelum halte itu dipugar lebih rapi. Waktu itu masih ada sebuah tiang lampu masih miring, pohon entah apa namanya berdiri kokoh di pinggir jalan, daunnya lebat memayungi atap halte yang sebagian telah lumat oleh waktu. Bulir hujan yang jatuh ke daun akan turun ke daun yang lebih rendah, begitu seterusnya sampai menaburkan tetesan air itu di atap halte. Ada juga yang lolos sampai ke kepalaku. Waktu itu kupikir ada alasan aku berpindah duduk lebih dekat denganmu, karena di situlah tempatmu lebih teduh.

Lalu kau mengubah arah posisi dudukmu menghadap hampir membelakangiku. Aku bermain tafsir waktu itu. Mungkin kau malu, atau bahkan terganggu. Tapi aku mencoba tak terlalu cepat pada kesimpulan. Saat sebuah bus melintas, pandangan matamu mengikuti ke mana arah kendaraan itu melaju. Dalam posisi seperti itu, aku sempat melihat tahi lalat kecil berdiam di bawah mata kirimu, sebelum pada akhirnya kau kembali hampir menghadap membelakangiku. Namun saat jeda makin panjang dan tak ada percakapan sama sekali, kupikir itu malah jadi terasa aneh dan makin menjaraki kita. Sebelum aku berucap tanya padamu, aku mencium segurat harum dari rambutmu.

“Ke mana tujuanmu?” tanyaku.

“Hanya menyusuri jalan ini, ke arah sana,” jawabmu sedikit berjeda sambil tanganmu menuding.

Gestur dan detonasi katamu cukup mendukung penafsiranku bahwa kau tak baik-baik saja. Sementara aku tak tahu harus berkata apa lagi. Dua jenak kemudian ponselku bergetar singkat, itu nada pesan masuk. Kubuka dan kubaca dalam hati.

“Dia bilang akan berangkat pukul tujuh.” Windy yang mengirim.

Aku tahu siapa yang dia maksud. Berangkat dari sebuah keresahanku, beberapa kalimat langsung mengalir dalam kepalaku, lalu jempolku melakukan tugasnya menekan-nekan layar ponselku.

“Seperti apa sorot matanya? Apa pandangannya termasuk jenis milik orang baik-baik?” balasku.

Lalu sambil menunggu balasan, bayangan tereka dalam kepalaku. Aku benar-benar tak tahu siapa perempuan yang akan kutemui di rumah Windy. Sementara Windy hanya pernah sekali bertemu perempuan itu. Perempuan yang ingin menemuiku hari ini. Lalu saat aku kembali mencium harum rambutmu karena angin berembus ke arah cuping hidungku, itu membuat perhatianku kembali padamu.

“Kau dari mana?” tanyaku lagi.

“Dari jalan yang penuh dengan mobil-mobil tamu undangan pernikahan, itu membuatnya macet,” jawabmu.

Aku manggut saja. Jalan Juanda sering kali macet saat gedung dengan pelataran luas disewa oleh orang berduit banyak untuk acara pernikahan. Gedung itu ada di belakang kita dan terpisahkan oleh jalur kereta. Lalu sebuah pesan masuk lagi ke ponselku dan kubaca dengan teliti dalam hati, “Kau akan terkejut nanti, dia sangat manis.”

Aku tak langsung membalasnya. Hingga pesan berikutnya masuk lagi ke ponselku “Perempuan itu mengaku suka membaca tulisan-tulisanmu. Bahkan dia mengatakan salah satu tulisanmu seolah sedang berbicara dengannya.”

“Kau tak tanyakan namanya?” balasku.

“Aku melupakan itu,” balasnya.

Aku menggeragapi tiap jengkal kamus ingatan dalam kepalaku. Tentang tiap wajah-wajah perempuan yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Namun tak ada yang kutemukan terkait perempuan itu. Bahkan aku sempat menganggap dia tidak benar-benar ada, hanya lelucon yang dibuat Windy belaka. Windy memang terkadang suka membuat lelucon yang bahkan sulit untuk diambil tawanya.

Tak lama kemudian kau beranjak dari dudukmu saat bus mendengus di depan kita duduk. Saat itu kuingat apa yang ada padamu: rambut hitam sepundak, rok panjang yang longgar, baju atasan berlengan panjang serta tas jinjing tak terlalu besar yang kaupegang.

Setelah itu aku tak melihatmu lagi. Windy terus menghubungiku dengan pesan-pesannya yang sesekali ada beberapa kata disingkat pendek. Lalu karena sibuk membalasi pesannya, aku mulai lupa padamu. Entah sampai mana sudah melaju dengan bus yang kautumpangi.

“Katanya kau pernah menuliskan dalam ceritamu, tubuhnya beraroma karpet basah.”

Pesan Windy kali ini membuatku membuka kembali lembaran masa lalu. Sementara aku punya kelemahan dalam hal ingatan. Apalagi sesuatu yang bertahun-tahun jauh di belakang. Seperti membongkari reruntuhan sejarah yang sebagian telah berjelaga.

“Ada lagi yang dia bilang?” tanyaku.

“Jaketnya berwarna hijau lumut dan rambutnya yang bau tergerai di belakang lehernya,” balas Windy.

Sebuah memori melintas dalam kepalaku. Tentang sosok perempuan pelintas zaman yang tak pernah kutahu arah dan tujuannya. Sendirian dengan segala pertengkaran dalam kepalanya. Teriakan demi teriakan keluar dari mulutnya di setiap tempat dan sepanjang jalan. Aku mengingatnya sekarang. Pernah menuliskan tentangnya, dan kunamai dia Amelia.

“Kau yakin dia baik-baik saja?” Tanyaku sedikit terbawa suasana yang baru.

“Ya. Tapi dia lebih banyak mendengarkan daripada bicara.” Windy masih terus menjawabi pertanyaanku.

Tiba-tiba muncul rasa entah yang cukup mengganggu pikiranku. Sudah pasti aku tak bisa menjelaskan seutuhnya tentang seseorang. Cerita yang kutulis bisa saja mengerat hatinya tanpa kutahu.

Lalu bus yang kutunggu, mendengus di depanku. Aku menaikinya sambil masih memegang ponsel di tanganku. Pikiranku juga tetap membayang tentang Amelia. Nama yang kuciptakan sendiri. Dan tak ada pesan dari Windy lagi hingga bus yang kutumpangi sampai ke jalan dekat stasiun Maos. Saat itu kulihat Windy berdiri di pinggir jalan sambil seperti memanjangkan lehernya melihat ke arah bus yang akan berhenti, kuyakin dia sedang menunggu kedatanganku. Kemudian dia benar-benar melihatku saat aku turun dari bus. Tampak dari raut wajahnya sangat antusias, seakan ingin segera memulai percakapan denganku.

“Kau kesulitan mendapatkan bus?” tanya Windy saat aku masih berjalan beberapa meter mendekatinya.

“Tidak juga. Hanya perlu menunggu sebentar,” jawabku.

Lalu kita berjalan kaki sekitar lima puluh meter melewati jalan setapak, dan terlihatlah tubuh bangunan yang didominasi dengan warna putih tulang. Windy mengajakku duduk di kursi depan rumah. Sambil menunggu perempuan itu datang, kita bercakap tentang apa saja, tapi topik utama tetaplah perempuan itu. Jika menimbang waktu, mungkin dia tak lama lagi bakal sampai.

Namun sampai cukup lama menunggu, seperti tak ada isyarat akan kedatangannya. Kita sempat berpikir mungkin dia salah jalan. Windy bilang perempuan itu tak punya ponsel atau apapun yang bisa dihubungi, bahkan Windy pun lupa untuk menanyakan alamat rumahnya.

Sebagai penulis, pikiranku terbiasa melayang ke mana-mana. Dia adalah Amelia yang dulu tak mengenali diri sendiri. Merayapi muka bumi yang penuh tatapan mata menghakimi. Pertemuan dengannya pertama kali saat kita menaiki bus yang sama. Dia memakai jaket berwarna hijau lumut dan sebuah rantai masih memborgol kakinya. Namun kali ini anganku beralih tiba-tiba, hinggap pada peristiwa di halte sebelumnya. Seorang perempuan dengan rambut hitam sepundak, rok panjang yang longgar, baju atasan berlengan panjang serta tas jinjing tak terlalu besar yang dia bawa. Dia menaiki bus entah tujuan mana. Lalu sebuah pertanyaan besar menggantung tiba-tiba dalam kepalaku. Sebelum aku menanyakannya pada Windy, dia lebih dulu mengatakan sesuatu.

“Dia benar-benar manis kautahu? Sebuah tahi lalat kecil berdiam di bawah matanya yang coklat basah,” katanya.*

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »