Sastra: Merupakan Dunia Jungkir-Balik? - Budi Darma

@kontributor 10/18/2021
Sastra: Merupakan Dunia Jungkir-Balik?
Budi Darma




SASTRAMEDIA.COM - Serangkaian kata-kata yang sampai sekarang masih segar dalam ingatan saya: Dalam sastra terdapat banyak kemungkinan. Sesuatu dalam sastra mungkin bisa menjadi benar dan bisa menjadi salah, pokoknya disertai dengan argumentasi yang meyakinkan. 

Rangkaian kata-kata tersebut pernah diucapkan oleh seseorang guru besar sastra, yang juga menulis novel dan sajak. 

Lalu, saya teringat perkataan lain yang bagi saya juga menarik. Kalau Anda menulis, katakanlah esei atau kritik sastra, dan mengirim tulisan tersebut ke sebuah media sastra, mungkin tulisan tersebut dapat dimuat, dan mungkin juga tidak. Gagasan dalam tulisan itu penting, akan tetapi yang lebih penting adalah cara pengungkapannya. Mungkin, sekali Anda kirimkan, tulisan itu tidak dimuat. Tapi kalau cara pengungkapannya Anda perbaiki dan Anda kirim lagi tulisan itu, mungkin sekali tulisan itu dimuat. 

Rangkaian kata-kata ini pernah diungkapkan kepada saya oleh seorang penyair terkemuka, yang juga menulis beberapa esei dan kritik sastra. 

Lalu, saya juga teringat cerita mengenai dua orang penyair yang "dipermainkan" oleh dua orang penyair lainnya: 

a. Penyair muda John Shadwell yang gemilang masa depannya, telah dihancurkan oleh Dryden, penyair dan kritikus yang berkuasa pada jamannya. Melalui puisi-kritiknya yang pedas, Dryden meyakinkan masyarakat sastra betapa jeleknya sajak-sajak Shadwell. Masyarakat sastra percaya pendirian Dryden dan Shadwell sendiri pun patah semangatnya. 

b. Penyair John Milton adalah penyair besar. Sementara itu, seorang penyair besar yang sekaligus juga kritikus besar bernama T.S. Eliot pernah melancarkan kritik tajam terhadap Milton. Kedudukan Milton turun, dari penyair besar menjadi penyair buruk. Masyarakat sastra percaya apa saja yang dikatakan oleh Eliot. Ternyata kemudian Eliot mengakui bahwa penilaiannya terhadap Milton keliru. Dan masyarakat sastra kembali mengikuti "penobatan kembali" Milton sebagai penyair besar. 

Perkataan-perkataan tadi, dan cerita-cerita tadi, menggambarkan betapa banyaknya kemungkinan yang ada dalam sastra. Sastra tidak hanya mengandung satu kemungkinan, akan tetapi banyak sekali. Dan kemungkinan-kemungkinan itu sendiri timbul, karena sastra sendiri merupakan bahan yang terbuka terhadap penafsiran-penafsiran. 

Karya sastra barang tentu bukannya karya yang hanya mengungkapkan kata-kata belaka. Setiap kata dalam karya sastra mempunyai banyak kemungkinan. Karya sastra juga bukan karya yang hanya mengungkapkan fakta-fakta belaka. Setiap fakta dalam karya sastra juga mempunyai banyak kemungkinan. 

Dalam cerita koboi misalnya, orang naik kuda adalah orang naik kuda. Akan tetapi dalam karya sastra, orang naik kuda bisa berarti bukan hanya sekedar orang naik kuda. Fakta ini mempunyai beberapa kemungkinan. Dua orang naik kuda pada akhir novel A Passage to India mempunyai arti di belakang fakta, yaitu tidak mungkinnya rakyat India bersatu dengan rakyat Inggris.

Seandainya karya sastra hanya kata-kata saja tanpa memiliki nilai apa-apa lainnya, atau hanya menggambarkan fakta-fakta saja tanpa mempunyai arti-arti lain, maka sastra tidak mempunyai banyak kemungkinan. Dan kalau sastra tidak mempunyai banyak kemungkinan, maka tidak akan banyak pembicaraan mengenai sastra. Andai kata memang demikian halnya, tidak perlu orang membuat entah berapa juta buku, pembicaraan, analisa, dan studi mengenai Shakespeare, atau Goethe, atau Schiller, dan lain-lain. 

Dan makin banyak orang membuat pembicaraan mengenai sastra, mengenai penulis sastra, mengenai karya sastra, makin banyak pula gagasan-gagasan yang timbul. Dan gagasan-gagasan itu mungkin saja sama, mungkin berbeda, dan bahkan mungkin saling bertentangan. Semuanya mempunyai kemungkinan benar, dan semuanya juga mempunyai kemungkinan salah. Apakah sastra merupakan dunia jungkir-balik? 

Lalu saya teringat cerita lain yang bagi saya menarik. Seorang penyair terkemuka, yang juga menulis esei dan kritik sastra, pernah mengemukakan kepada saya bahwa analisanya terhadap karya sastra tergantung pada mood atau suasana hatinya. Pendapatnya mengenai karya sastra yang sama sering tidak pernah sama. 

Ingat cerita penyair ini, lalu saya pun teringat patokan-patokan kritik sastra yang pernah diletakkan oleh Alexander Pope, penyair dan kritikus sastra. Di antara sekian banyak patokan yang diletakkannya, dia mengatakan janganlah hendaknya seseorang tersandung pada mood atau suasana hati yang dapat berubah-ubah (baca: Essay on Criticism mengenai kesalahan keenam dan kedelapan dalam kritik sastra). 

Ada juga disebutkan oleh Pope, hendaknya seseorang jangan sampai tersandung oleh kemilaunya hal-hal kecil atau kejelekan kecil dalam karya sastra sehingga orang ini buru-buru menjatuhkan keputusan berdasarkan hal-hal kecil tersebut. 

Patokan yang diletakkan oleh Pope tentunya bukan sekedar patokan tanpa dasar apa-apa. Pasti Pope banyak menyaksikan hal-hal yang dikutuknya ini. Dan banyak juga orang yang mempunyai pendapat teguh mengenai seorang penulis hanya dengan membaca satu karya penulis ini. Banyak yang berpendapat T.S. Eliot itu sinting hanya dengan membaca sajaknya "Mr. Appolinax", dan banyak juga yang mengambil kesimpulan bahwa penyair Ezra Pound sinis terhadap badan-badan agama hanya dengan membaca sajaknya "Clara".

Pendapat yang dilandasi oleh suasana hati yang mungkin berubah. pendapat yang didasarkan pada fakta-fakta kecil, mungkin saja menjadi benar, meskipun mungkin juga salah. Kalau kebetulan yang mengemukakannya berpengaruh, pendapatnya yang belum tentu benar itu bisa dianggap benar. Dan orang-orang mempercayai kebenarannya. Apakah sastra merupakan dunia jungkir-balik? Hamlet, Odipes Rex, dan karya-karya besar lainnya tidak pernah tidak 

Sastra banyak mengungkapkan dunia yang aneh. Don Quixote mengungkapkan dunia yang tidak beres. Seolah, dunia yang diungkapkan oleh karya-karya sastra yang mampu mengungkapkan kebenaran abadi adalah dunia jungkir-balik. 

Kata orang, sastra memancarkan keindahan. Akan tetapi keindahan justru terjadi dari hal-hal yang bertentangan dengan akal. Banyak lukisan indah yang menurut akal sebenarnya buruk. Begitu juga dalam sastra. Banyak keindahan yang sebetulnya justru menendang logika. Misalnya kecil saja, isi salah satu cerpen Usamah tidak betul. Akan tetapi ternyata cerpen ini indah (baca: Umar Junus, "Tentang Hakikat Sastra", Horison, Januari 1969). Stream of consciousness, dadaisme, dan surealisme juga mengungkapkan dunia tanpa logika, akan tetapi ternyata bernilai sastra. 

Sastra mengungkapkan dunia yang aneh, tidak logis. Akan tetapi sastra yang demikian dianggap tidak mengkhianati kebenaran. Apakah sastra merupakan dunia jungkir-balik? 

Pada suatu hari Jean Stein vanden Heuvel mewawancarai William Faulkner, pemenang Hadiah Nobel untuk sastra. Dengan enak Faulkner mengatakan, jawaban atas suatu pertanyaan dapat berubah manakala pertanyaan yang sama itu diulang keesokan harinya. 

Apakah Faulkner juga berbuat demikian dalam menulis? Andai kata dia menulis sesuatu sekarang, lalu tulisannya hilang, dan keesokan harinya dia menulis lagi hal yang sama, apakah tulisannya yang baru akan berubah? Dia tidak mengatakan apa-apa, akan tetapi seçara tersirat dia mengakui, bahwa dalam menulis pun dia cepat berubah. 

Lalu, seorang penyair pernah mengatakan kepada saya: "Saya sangat muak terhadap sajak-sajak saya yang lama. Saya sangat muak terhadap sajak-sajak saya yang dimuat dalam antologi Jassin Angkatan 66." 

Saya bertanya kepadanya, apakah dia mempunyai rencana untuk membukukan sekian banyak sajak-sajaknya yang sudah tersebar di sekian banyak media. Seandainya ada kesempatan itu, katanya, dia akan menulis sajak-sajak baru, dan bukannya sajak-sajak tua. Kalau toh terpaksa menerbitkan sajak-sajak tua tersebut, dia akan mengubahnya terlebih dahulu. Bahan sama dengan waktu penulisan yang berbeda ternyata hasilnya juga berbeda. 

Bahkan, kata penyair itu, setiap kali dia mengetik sajak, pasti hasil ketikannya berbeda dengan konsep aslinya. Seandainya dia terpaksa mengetik kembali sajak yang sama itu, pada proses mengetik kembali itu pun dia akan mengubah lagi sajak itu. Dalam menulis esei dan kritik sastra pun dia berbuat demikian. 

Pada suatu hari penyair ini menceritakan kebiasaannya kepada seorang penyair lain yang juga kritikus. Kritikus-penyair ini tidak memberi sikap yang tegas, akan tetapi saya merasa dia membenarkan apa yang dikatakan oleh penyair ini. Mungkin penyair-kritikus ini sendiri mempunyai kecenderungan yang sama pada waktu menulis. 

Beberapa waktu yang lalu sekelompok sarjana di Universitas Pensylvania menemukan karya-karya Hemingway yang tidak pernah diterbitkan. Mereka juga menemukan surat Fitzgerald, pengarang sejaman Hemingway. Surat ini mengungkapkan mengapa Hemingway menghapus bagian pertama novelnya The Sun Also Rises. Memang surat ini tidak memuat perincian yang jelas, akan tetapi ketahuanlah sudah bahwa The Sun Also Rises yang terbit ternyata berbeda dengan naskah aslinya (baca: "Telah Diketemukan Naskah-naskah Belum Diterbitkan Karya 'Papa' Ernest Hemingway", Sinar Harapan, 2 Oktober 1969).

Cerita mengenai Hemingway, pemenang Hadiah Nobel untuk sastra ini, mungkin kurang menarik. Yang lebih menarik adalah ketika T.S. Eliot akan menerbitkan puisinya The Waste Land. Dia membaca cetakan percobaan naskahnya ke temannya, penyair Ezra Pound. Pound memberi beberapa komentar dan nasihat. Ketika datang lagi dengan cetakan percobaan yang sudah diubah, Eliot mengalami suatu kesulitan besar. Format buku yang akan dicetak memaksa beberapa bagian yang seharusnya tercetak menjadi tidak tercetak. Eliot berusaha mengubah formatnya, supaya semua bagian yang akan diterbitkannya tidak terpotong. Pound mengatakan biarkan terpotong begitu saja. Eliot menurut. Maka terbitlah The Waste Land yang tidak sama dengan yang semula dikehendaki penyairnya sendiri, Dan semua orang mengakui The Waste Land bukan karya sembarangan dalam sastra dunia. 

Penulisan karya sastra dapat terjadi semacam itu. Apakah sastra merupakan dunia jungkir-balik? 

1969

-Sumber: Solilokui, Kumpulan Esei Sastra, Budi Darma, Jakarta, Gramedia, 1983

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »