Peranan Penelitian Ilmiah untuk Pengembangan Kesusastraan Indonesia - MS. Hutagalung

@kontributor 10/16/2021
Peranan Penelitian Ilmiah untuk Pengembangan Kesusastraan Indonesia 
MS. Hutagalung







SASTRAMEDIA.COM - Dalam kehidupan kita sehari-hari, akibat dari pengamatan yang kurang cermat atau sungguh-sungguh terhadap peristiwa atau masalah tertentu, sering kita menarik kesimpulan yang keliru atau salah. Kita sering menyalahkan sistem, metode, atau cara tertentu, padahal mungkin orang yang menjalankanlah yang salah sehingga metode dan cara yang dipergunakan itu tidak berhasil. Dunia kesusastraan kita tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang demikian. 

Setelah skripsi beberapa mahasiswa Fakultas Sastra UI diterbitkan oleh "Gunung Agung" timbullah reaksi, yang beberapa di antaranya saya anggap mengambil kesimpulan yang kurang tepat. Yang saya anggap kurang tepat itu ialah anggapan bahwa kesalahan atau kekurangan yang diperbuat oleh J.U. Nasution, M.S. Hutagalung, H.B. Jassin, dan Boen S. Oemarjati dalam menyusun bukunya sebagai kelemahan/kesalahan metode analisis atau metode penelitian ilmiah pada umumnya. Akibat dari kemalasan kita untuk berpikir kritis dan bebas, maka kesalahan yang demikian lekas meluas sehingga di antara pendukung-pendukung kesusastraan banyak yang menaruh curiga atas penggunaan ilmu pengetahuan untuk penelitian kesusastraan.

Maksud utama tulisan ini ialah mengemukakan beberapa manfaat yang dapat dipetik oleh pendukung-pendukung kesusastraan dari hasil penelitian ilmiah untuk kemajuan dan perkembangan kesusastraan kita di masa datang. Saya yakin bahwa dapat tidaknya kesusastraan kita berkembang di kemudian hari sangat banyak bergantung pada penggunaan ilmu pengetahuan untuk maksud tersebut. Untuk ini, pertama-tama kita harus sadar bahwa ilmu pengetahuan dan metode penelitian ilmiah netral sifatnya, artinya ia dapat diisi dan dapat diarahkan ke pelbagai jurusan, jurusan yang baik ataupun jurusan yang jelek, untuk keuntungan manusia ataupun untuk kehancurannya. Berguna tidaknya ilmu pengetahuan itu banyak bergantung pada the man behind the science. 

Kita mengetahui bahwa hampir seluruh lapangan kehidupan ini telah dapat mempergunakan ilmu pengetahuan itu untuk mencapai kemajuan yang ajaib dan mempesonakan. Penggunaan ilmu pengetahuan memegang saham, terutama untuk memungkinkan kita tetap hidup dalam menghadapi pelbagai tantangan yang mencoba merenggut hak hidup manusia. Pada waktu-waktu yang akan datang, peranan ilmu pengetahuan ini akan semakin besar dan pada suatu saat manusia atau bangsa yang tak dapat mempergunakannya akan punah dari muka bumi ini. 

Apabila pelbagai aspek kehidupan termasuk juga agama tertentu, tak ragu-ragu mempergunakan ilmu pengetahuan, maka kita tak dapat memahami apabila kesusastraan tidak dapat membukakan diri terhadap alat yang sangat berguna ini. 

Memang menurut pengamatan saya masih banyak di antara kita yang masih menaruh curiga terhadap pemakaian ilmu pengetahuan dalam penelaahan kesusastraan. Banyak alasan dikemukakan yang seakan-akan masuk akal. Misalnya, penganalisisan cipta sastra dianggap mencincang-cincang benda hidup menjadi benda mati. Ciptaan sifatnya subjektif, tak dapat diteliti secara objektif. Ciptaan hanya bergantung pada bakat dan inspirasi, tak dapat diajarkan. 

Ketika Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta bermaksud membuka akademi sastra, beberapa pengarang bertanya dengan sinis, "Apa nanti yang diajarkan di sana?" Mereka sangsi apakah kebolehan mengarang dapat dilatih dan diajarkan pada sebuah akademi. Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Sebagian besar kebolehan mengarang dan kebolehan memahami karangan dapat diajarkan dan ditingkatkan dengan metode-metode dan cara-cara tertentu. Dan latihan serta pengajaran ini dijamin berhasil apabila didasarkan atas hasil penelitian ilmiah. Jadi, bukan atas dasar reka-rekaan saja. 

Sekarang akan saya kemukakan beberapa manfaat yang dapat kita pergunakan untuk kemajuan kesusastraan dari hasil penelitian ilmiah itu. Sebelumnya perlu dikemukakan pula bahwa dunia kesusastraan itu meliputi dunia kepengarangan, penelitian, dan penikmat. Para pengarang, peneliti, dan penikmat inilah yang secara langsung mendukung kesusastraan itu. Tentu saja masih ada bagian-bagian lain seperti penerbit, toko buku, dan yang sangat perlu lagi dikemukakan ialah orang-orang yang memegang posisi penting dalam lapangan kebudayaan pada khususnya dan seluruh lapangan pemerintahan pada umumnya. Yang disebut belakangan ini berhubungan dengan hasil penelitian ilmiah rupanya berhasil mencapai tujuan-tujuan tertentu, misalnya supaya pengajaran sastra berhasil, dan sebagainya. Merekalah yang diberi tugas menggalakkan kegiatan budaya dan seyogianya menggalakkan pula penelitian sastra. 

Tentu merupakan pendapat yang sehat apabila kita katakan, bahwa kerja sama yang baik antara pendukung-pendukung kesusastraan ini akan dapat menciptakan suasana yang baik untuk pertumbuhan kesusastraan yang tinggi mutunya dan banyak jumlahnya. Apabila kita membicarakan kemajuan dan perkembangan kesusastraan, seyogianyalah kita melihat seluruh segi ini beserta hubungan-hubungannya yang satu dengan yang lain.

Manfaat yang pertama saya lihat sebagai imbasan ilmu pengetahuan kepada kita ialah bahwa kita akan lebih wajar dan lebih tepat memandang dan mendekati kesusastraan itu sendiri. Kita akan dapat memandang kesusastraan itu sebagaimana adanya dan sebagaimana dirinya. Pengamatan saya ada dua pendapat yang bertentangan yang tidak sesuai dengan pemikiran ilmiah yang masih banyak penganutnya di kalangan pendukung kesusastraan. Yang satu terlalu mengkramatkan, memistik-mistikkan kerja sastra itu sedemikian rupa sehingga seakan-akan cipta sastra itu diliputi oleh misteri yang tak dapat disingkapkan. 

Kiranya pandangan ini adalah bekas-bekas pandangan dulu yaitu pada masa kesusastraan masih satu dengan religi dan juga jadi anggapan kaum romantikus yang secara berlebih-lebihan mendewa-dewakan emosi dan subjektivitas. 

Menurut hemat saya, pandangan yang berlebih-lebihan yang demikian itu bukanlah penghargaan yang baik terhadap kesusastraan. Sebaliknya kita temukan juga pandangan dan pendekatan yang meremehkan hakikat kesusastraan itu, melihatnya sebagai benda mati yang tak berbeda dengan benda-benda mati yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa kesusastraan bukanlah benda yang tak terdekati dan bukan pula benda mati. Kesusastraan merupakan benda yang dapat menghidupkan imaji tertentu yang dapat memberi kesan terhadap penikmat. Sastra bukan hanya ekspresi pribadi pengarangnya, tetapi juga merupakan komunikasi. Fungsi sastra sebagai komunikasi inilah yang sering kita lupakan hingga kita menjadi curiga mempergunakan analisis untuk meneliti kesusastraan. Padahal, menurut pendapat kami, tanpa komunikasi ini tak mungkin sastra mencapai kesempurnaannya. Komunikasi inilah yang paling banyak menentukan apakah sastra itu akan hidup di masyarakat atau jadi barang antik di museum.

Hubungan antara pencipta dan penikmat dapat kita umpamakan dengan hubungan antara pemancar radio atau televisi dengan pesawat penerima. Pesawat penerima baru dapat menangkap siaran yang bagus apabila pemancar bagus. Sebaliknya betapapun baiknya apa yang dipancarkan, tetapi bila radio atau televisi kita rusak, kita mungkin hanya menangkap siaran yang tak sempurna atau gambar yang kabur atau tidak ada siaran atau gambar sama sekali. Dalam hubungan-hubungan demikianlah, akan nampak betapa pentingnya ilmu pengetahuan itu. Dengan melihat gejala-gejala tertentu, kita dapat menentukan bagian mana yang salah atau alat mana yang tak mengerjakan fungsinya. 

Pemahaman kita akan kesusastraan dewasa ini maupun kesusastraan yang akan datang banyak bergantung pada apa yang kita ketahui tentang karya-karya pujangga sejak dulu kala sampai dewasa ini, baik di negeri ini maupun di negara lain, juga kepada apa yang dikatakan orang dan bagaimana tanggapan orang atas hasil kesusastraan itu. Ciptaan dan peristiwa-peristiwa sastra itu terlalu banyak. Tak seorang manusia pun dapat membaca dan meneliti semuanya. Tetapi sebagaimana majalah Tempo Saudara Goenawan Mohamad dan kawan-kawannya dapat memilih, menyeleksi peristiwa-peristiwa penting dari peristiwa dan hal yang tak terbatas banyaknya itu, demikian jugalah ilmu kesusastraan menyingkat, menyederhanakan, dan menyimpulkan berbagai peristiwa sastra yang tak terhitung jumlahnya itu. Dan memang alat yang paling ampuh untuk ini ialah ilmu pengetahuan. Tetapi di samping untuk menyederhanakan dan membuat abstraksi, ilmu pengetahuan juga dapat lebih memperinci persoalan sampai mendetail, terutama dalam mencoba prinsip-prinsip yang sudah ada maupun dalam pengumpulan data dan masalah yang hendak dianalisis dan diamati. 

Di samping itu, ilmu pengetahuan dapat memberi pandangan yang lebih luas dan lebih jauh. Ilmu pengetahuan akan melihat di samping hubungan antar unsur dan ragam kesusastraan, hubungan antarpendukung kesusastraan juga memperhatikan apakah yang dapat disumbangkan segi kehidupan dan ilmu-ilmu yang lain untuk perkembangan dan kehidupan kesusastraan. Musik, psikologi, linguistik, filsafat, sosiologi pada gilirannya dapat memberikan saham kepada ilmu kesusastraan pada khususnya, dunia kesusastraan pada umumnya. Linguistik akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bahasa yang harus lebih dahulu dikuasai para pengarang. Konsep kesusastraan mengenai kemerduan dan gaya bahasa akan menjadi lebih jelas. Musik mungkin akan lebih menerangi pengertian kita mengenai irama, matra, melodi, yang selalu kita pergunakan dengan kacau-balau. 

Sekarang marilah kita alihkan perhatian kita kepada golongan yang menentukan kehidupan kesusastraan kita di masa datang, yakni siswa-siswa di sekolah menengah dan sekolah dasar. Yang kita harapkan dapat menikmati dan membaca kesusastraan tentulah orang-orang yang dapat dan gemar membaca. Secara sepintas dan umum, kita sudah mengetahui mutu pendidikan di negara kita dewasa ini. Dan kita makin sedih bila kita lihat bagaimana tentang pendidikan kesusastraan. Saya beranggapan bahwa pendidikan dan pengajaran, termasuk pendidikan dan pengajaran sastra yang baik, haruslah didasari oleh penelitian ilmiah. Sudah terang pendidikan dan pengajaran yang sekarang tidak didasarkan atas penelitian ilmiah sebab kita hampir tak pernah mengadakan penelitian ilmiah mengenai pengajaran sastra dan pemahaman sastra di sekolah-sekolah dan masyarakat. Kita tak pernah membuat angket bagaimana tanggapan siswa-siswa pada pelajaran, dan minat mereka terhadap buku-buku sastra. Kita tak pernah meneliti sastra yang bagaimana yang mudah dapat ditangkap oleh siswa-siswa.*) 

Memang kalau kita teliti pelajaran kesusastraan, di sekolah dasar atau sekolah menengah, kita menjadi sangsi apakah pengajaran itu membangun apresiasi sastra di kalangan pelajar, atau malah sebaliknya, mematikan atau mengeringkan hati anak-anak yang peka dan terbuka kepada kesenian termasuk kesusastraan. Kita tak dapat lagi mengharapkan siswa-siswa sekolah menengah itu akan menjadi pembaca kesusastraan yang baik. Memang menurut pengamatan, bahan yang diberikan dan cara menyajikan bahan sastra itu sangat tidak memadai. Banyak buku pelajaran di sekolah dasar yang diutarakan dalam kalimat-kalimat yang berbelit-belit, yang masih menyukarkan sarjana. Tentu saja hal ini tak dapat kita salahkan hanya kepada penyusun buku-buku itu, sebab rangsangan untuk mengadakan penelitian hampir tidak ada. Teori kesusastraan yang memadai yang akan dijadikan dasar oleh penulis-penulis buku teks belum ada. Di samping itu, tidak juga ada usaha agar siswa-siswa itu bergaul dengan karya-karya sastra. Begitu juga, konsep-konsep dan istilah-istilah kesusastraan sangat longgar dan suar-sair pemakaiannya sehingga sulitlah didapati pemahaman yang memadai atas kesusastraan itu. 

Melihat situasi yang dituliskan di atas, pantaslah kita mencari upaya untuk mengatasinya atau paling sedikit mulai mengatasinya. Sebab, sulitlah kita bayangkan adanya perkembangan kesusastraan tanpa penikmat. Saya condong menyetujui pendapat Popo Iskandar beberapa waktu yang lalu yang mengatakan bahwa bila tidak ada perubahan situasi, cepat atau lambat kesusastraan (kesenian) kita akan mati. 

Ada kalangan tertentu memandang persoalan ini terlalu sederhana. Mereka berpendapat bahwa segala sesuatunya akan beres apabila ekonomi kita berkembang. Memang kita semua mengetahui perkembangan ekonomi penolong atau obat yang ampuh. Tetapi kalau kita tak bekerja dari sekarang, apabila perbaikan ekonomi itu datang, kita tak dapat berbuat apa-apa, kita sudah terlalu terlambat dan terpaksa menunggu satu atau dua generasi lewat. Menurut pendapat saya di samping kegunaan ilmu itu untuk yang lain-lain, yang terutama dan terpenting ialah untuk penyebaran dan perluasan sastra. 

Sekarang marilah kita lihat pula manfaat penelitian ilmiah itu bagi kritik sastra, sebagai bidang yang dianggap masih dekat, dan bahkan satu dengan kesusastraan itu sendiri. Sudah dapat kita pastikan bahwa kritik sastra yang bersifat ilmiah akan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Dalam menilai suatu kerja sama, ia mempunyai prosedur tertentu hingga pendapat-pendapat dan pertimbangan pribadi yang sangat subjektif dapat dihindarkan. Pemakaian istilah dan konsep-konsep tertentu tidak begitu longgar lagi sebab disiplin ilmiah menginginkan istilah dan pengertian yang jelas dan konsisten. Juga kriterium yang dipergunakan untuk menilai itu lebih jelas. Pengertian tentang nilai-nilai akan lebih jelas. Penghargaan kritik terhadap ilmu pengetahuan akan membuat sang kritikus lebih berhati-hati dan serius. Pengetahuannya tentang sejarah perkembangan sastra membuatnya tidak begitu kaget dengan perubahan-perubahan baru. 

Sejarah dan fakta-fakta yang lebih lengkap membuatnya lebih lekas dapat membedakan mana yang bergaya orisinal dan mana yang usang atau tiruan belaka. Dan rasanya kritik yang berdasarkan pandangan ilmiah inilah kelak yang dapat memberikan arah dan rangsangan kepada pengarang-pengarang, dan kritik yang demikian pulalah yang akan membimbing masyarakat menilai dengan kritis. 

Kita akan meninjau pula peranan pengetahuan itu langsung kepada peningkatan dan perkembangan kepengarangan para calon dan sastrawan-sastrawan. Banyak yang berpendapat bahwa kepengarangan itu tak dapat diajarkan. Kepengarangan hanya bergantung kepada bakat dan inspirasi. Mungkin hal ini dapat berlaku pada beberapa orang yang istimewa. Dan mungkin juga kita tak dapat benar melihat bahwa ia banyak juga belajar secara tidak langsung. Saya kira terutama pada waktu yang akan datang sutuasi makin sulit untuk pengarang alamiah. Mungkin pengarang alamiah bisa mekar sebentar, tetapi pada suatu saat ia akan sampai kepada jalan buntu. Lain halnya dengan pengarang-pengarang yang punya wawasan ilmiah yang tak pernah merasa selesai mempelajari persoalan dan selalu menginginkan perkembangan. Saya beranggapan bahwa pengarang-pengarang yang berani dan suka melakukan eksperimen adalah pengarang-pengarang yang punya wawasan ilmiah; bahwa sebagian besar kepengarangan itu dapat dilatih dan diperkembangkan. Kecekatan mempergunakan bahasa, kecakapan membuat latar atau setting cerpen yang baik, penokohan dan sebagainya dapat dilatih dalam sanggar-sanggar, demikian juga membuat kalimat yang plastis dan padat. Bacaan mereka dapat diatur sedemikian rupa untuk membuka pikiran dan mengenal gaya yang istimewa dari pengarang-pengarang yang telah berhasil dan besar. Bahkan mencari tema-tema tertentu dapat dirangsang dengan membukakan hati mereka untuk selalu segar dan terbuka mencari makna dan hakekat dari dunia sekelilingnya maupun pengalaman-pengalamannya. Rangsangan-rangsangan untuk yang lainnya tentu dapat juga dicari dengan pelbagai penelitian.

Hasil penelitian ilmiah banyak juga yang mungkin dapat memudahkan para pengarang dalam mencipta seperti kamus sinonim, kamus kata-kata yang berima. Kamus yang demikian memudahkan memilih kata-kata yang lebih tepat dan lebih sesuai untuk menggambarkan apa yang terbayang dan terasa dalam hatinya. Daftar jumlah perbendaharaan kata anak-anak, remaja, dan dewasa dapat memudahkan pengarang-pengarang yang berminat menulis untuk anak-anak dan remaja. 

Pendaftaran gaya bahasa tiap-tiap pengarang yang penting secara sistematis, akan merangsang pengarang-pengarang yang lain untuk menciptakan yang lebih baik, mengatasi gaya yang sudah ada yang lebih orisinil dan plastis. Orang juga lebih gampang mengetahui mana gaya tiruan, mana gaya yang tidak maju. Kita juga mengetahui bahwa calon pengarang juga akan datang dari bangku sekolah. Pengajaran yang baik di sekolah mengenai apresiasi sastra merupakan pelajaran mula pendahuluan baik juga bagi mereka sebagai calon pengarang. Dalam memulai karier sebagai pengarang tentu mereka tak terlalu banyak menghabiskan waktu, untuk hal-hal yang sangat elementer. Juga kita tidak bisa lupa bahwa salah satu unsur yang sering dimiliki oleh kesusastraan yang berhasil adalah unsur kecendekiaan. Perlu dikemukakan juga bahwa orang-orang yang telah banyak bergaul dengan sastra asing menganggap sastra kita itu terlalu remaja, isinya tidak padat dan mendalam, banyak mengandung frase-frase dan klise yang membosankan. 

Sekarang marilah kita teliti pula manfaat dari penelitian ilmiah ini bagi bapak-bapak kita yang memegang posisi penting dalam sektor pendidikan dan kebudayaan di pemerintahan. Seperti telah dikemukakan, mereka ini memegang peranan penting untuk perkembangan kesusastraan. Kita mengetahui bahwa mereka inilah yang menentukan bahan dan kurikulum di sekolah-sekolah. Saya kira masih jarang sekali mereka ini merencanakan dan merangsang usaha-usaha untuk mengembangkan kesusastraan. Penelitian-penelitian jarang dilakukan. Syukurlah dewasa ini kita dengar (sebagai proyek Pelita) sedang dilakukan penelitian-penelitian buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Kita dapat membayangkan bahwa pada mulanya usaha ini tidak akan begitu berhasil. Karena jarangnya penelitian, kita masih canggung dan kurang gesit melaksanakannya. Yang penting ialah hasrat untuk meneliti dan menanamkan kesadaran bahwa penelitian itu penting dan harus selalu dirangsang. Hasil-hasil penelitian itu akan dapat memberikan kebijaksanaan kepada mereka dalam memutuskan serta merencanakan sesuatu untuk kesusastraan itu. Mereka perlu mengetahui mana yang harus didahulukan dan mana yang tak begitu perlu cepat-cepat dilaksanakan. Mereka dapat mengarahkan tujuan pendidikan sastra. Mereka akan maklum bahwa untuk pemahaman kesusastraan perlu siswa-siswa itu langsung membaca hasil karya pengarang-pengarang. Penyajian bacaan secara terarah dan terseleksi akan dapat mendorong apresiasi kesusastraan. 

Pengusaha yang bijaksana tentu dapat mengetahui bahwa di sekolah-sekolah dewasa ini hampir tak ada pendidikan kepribadian, dapat mempergunakan bacaan atau sastra sebab cara yang terbaik untuk ini ialah melewati bacaan-bacaan. Tidaklah berlebih-lebihan rasanya bila orang mengatakan bahwa kesusastraan dapat mengembalikan manusia itu kepada kemanusiaannya yakni manusia yang punya emosi, intelek, imajinasi, dan moral. 

Tentu saja di sini tak perlu segala guna penelitian ilmiah itu saya paparkan. Dari apa yang telah diutarakan di atas dapatlah kita lihat betapa banyaknya manfaat yang dapat kita petik dari penelitian ilmiah itu untuk perkembangan kesusastraan. Tentu saja ilmu pengetahuan tidak berpretensi dapat menerangkan segala sesuatu dengan sempurna dan lengkap. Sebaliknya ilmu pengetahuan merangsang kita berendah hati. Berendah hati untuk selalu bertanya apakah kesimpulan yang dibuat itu atau masih benar. Berendah hati untuk menerima pendapat orang lain yang lebih baik dan lebih benar dari pendapat sendiri. Ilmu pengetahuan terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan baru. Ilmu juga merangsang orang untuk menjadi jujur karena ia ingin fakta, dan kenyataanlah yang selalu menonjol dan berbicara.

Memang ilmu pengetahuan menuntut sikap dan disiplin tertentu. Sikap jiwa yang dirangsangnya itu sangat ideal untuk masa kita dewasa ini, negara kita yang sedang bergerak menuju pembangunan dan modernisasi. Sikap terbuka ilmu pengetahuan akan dapat melenyapkan pikiran yang sempit. Ilmu pengetahuan juga dapat merangsang kita berani mengemukakan apa yang kita anggap benar. 

Pada dasarnya, ilmu pengetahuan atau penelitian ilmiah tidak begitu mementingkan tujuan-tujuan tertentu. Ilmuwan sering meneliti tanpa pamrih. Orang-orang yang memerlukannyalah yang kemudian memanfaatkan hasil penelitiannya. Tujuan utama ilmuwan terutama membangun teori yang menyeluruh tentang satu-satu bidang. Oleh karena itu, sering hasil penelitian tidak begitu lekas nampak, terutama dalam penelitian-penelitian dasar. Tak ada persoalan yang terlalu kecil atau terlalu besar untuk diteliti yang sering membuat kita merasa penelitian itu terlalu sepele. Tetapi bila kita kaji lebih jauh, penelitian-penelitian ini berguna untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 

Secara umum dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sekumpulan pengetahuan dan pengalaman manusia yang disusun secara sistematis, berupa pengetahuan dan pengalaman yang telah diuji atau bakal diuji kebenarannya. Karena tujuan-tujuan utamanya ialah membuat abstraksi, maka sering orang menyingkirkan hal-hal yang terlalu unik. Tetapi tidak berarti hal-hal yang unik tak dapat pula dikaji secara ilmiah. Ilmu pengetahuan timbul karena masalah-masalah. 

Ilmu pengetahuan ingin mengetahui dan mencari jawaban atas masalah atau peristiwa tertentu. Kita sekarang dapat bertanya, "Apakah masalah yang dihadapi dan akan dihadapi dunia kesusastraan Indonesia?" Sungguh banyak sekali persoalan yang menyongsong kita dan harus kita tanggulangi apabila kita ingin melihat kesusastraan kita yang berkembang di masa depan. Masalah yang ada di depan hidung kita (maaf kalau saya mengulangi ini) ialah semakin berkurangnya dan semakin habisnya penikmat dan pembaca kesusastraan, penciptaan yang lesu, dan pergolakan zaman. Lesunya pembaca seperti telah kami utarakan tadi sering dianggap hanya karena kesulitan ekonomi. Tentu saja ekonomi berpengaruh besar, tetapi wawasan ilmiah menyuruh kita lebih teliti. Banyak persoalan lain yang mungkin luput dari pikiran kita yang membuat orang lupa atau merasa tak perlu membaca sastra. 

Buku picisan dan buku cabul, film, televisi, pendidikan, surat kabar, majalah dan lain-lain mungkin saja dapat menjadi saingan buku-buku sastra. Kita juga harus insaf bahwa benda-benda dan hal-hal di dalam hidup kita ini akan hilang atau tempatnya berpindah ke museum apabila ia tak punya fungsi lagi untuk kehidupan (fungsinya semula). Setiap bidang dalam kehidupan kita ini saling mempertahankan hidup dan fungsinya. Bertahannya suatu bidang bergantung kepada fungsi bidang itu dalam masyarakat atau manusia pada umumnya. Fungsi kesusastraan itupun harus selalu jelas kalau ja mau tetap hidup. Kita harus insaf bahwa fungsi kesusastraan itu berubah dari zaman ke zaman. Dalam menghadapi pergolakan zaman, pendukung-pendukung kesusastraan harus dapat menghilangkan mimpi-mimpinya tentang fungsi pujangga di masa silam, yaitu pengarang sebagai orang yang paling bijaksana, perantara antara manusia dengan Tuhan serta alam gaib; pujangga sebagai pengobat penyakit jasmani dan rohani. Fungsinya sebagai perantara antara Tuhan dan manusia sudah diambil oleh agama, fungsinya sebagai dokumen sosial telah diambil oleh bidang-bidang lain. Fungsi kesusastraan yang mentereng yang masih tinggal mungkin ialah sastra yang berfungsi memanusiawikan manusia dan merangsang perasaan estetis, mendekatkan manusia ke dalam kehidupan, serta merangsang manusia untuk lebih menghayati kehidupan. Oleh karena itu, sastra yang hidup dan akan hidup adalah sastra yang dapat menafsirkan hidup kita kini dan hidup kita yang akan datang dalam karya sastra yang artistik. Itulah sebabnya kita tidak cukup hanya menerjemahkan karya-karya besar dunia ini saja ke dalam bahasa Indonesia. Kehidupan modern menurut keyakinan saya tak dapat lagi ditafsirkan oleh pengarang-pengarang yang berpikir picik. Kesusastraan dewasa ini menginginkan pengetahuan hidup yang menyeluruh dan itu hanya dapat diciptakan oleh pengarang yang berpengalaman luas, berhati terbuka, dan jauh horisonnya. Dengan perkataan lain, saya ingin mengemukakan bahwa pendukung-pendukung kesusastraan dewasa ini harus berpandangan luas tidak hanya mengurung diri di bidangnya saja. Tidak percuma kita mengulang semboyan-semboyan "politik mencerai-beraikan, seni menyatukan". 

Pada zaman pembaharuan ini, kita mendambakan rakyat dan masyarakat yang berilmu pengetahuan yang dapat menilai dan memandang duduknya suatu perkara secara realistis dan objektif, maka pendukung-pendukung kesusastraan yang dianggap sebagai orang yang bijaksana tentu lebih diharapkan lagi demikian. Sarjana-sarjana budaya kita merumuskan bahwa tugas mereka adalah untuk mengetahui hambatan-hambatan mental untuk pembangunan, merangsang masyarakat tradisional menuju modernisasi. Ini saya kira juga merupakan tugas seniman-seniman kita terutama sastrawan. Dan menurut hemat saya, memang inilah tugas sastra yang mau hidup di zaman dan di negeri kita ini. 

Demikianlah sekadar pendapat saya mengenai peranan ilmu pengetahuan untuk pengembangan sastra. Sebagai akhir kata saya ingin menyimpulkan hal-hal yang telah saya uraikan di atas.

1. Pemahaman kita akan kesusastraan dewasa ini maupun kesusastraan yang akan datang, banyak bergantung pada apa yang kita ketahui tentang karya-karya pujangga sejak dahulu sampai sekarang, baik di negeri kita maupun di luarnya. Juga bergantung pada apa yang dikatakan orang dan bagaimana tanggapannya atas ciptaan-ciptaan itu. Ciptaan dari peristiwa-peristiwa dan hal-hal kesusastraan itu sangat banyak sehingga tak seorang manusia pun dapat membaca serta mengetahuinya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan perlu menolong kita untuk memilih, membuat ikhtisar, dan menyajikan peristiwa dan hal sastra yang perlu bagi kita. 

2. Di kalangan pendukung kesusastraan masih banyak yang menaruh curiga akan penggunaan ilmu dan penelitian ilmiah terhadap penelaahan kesusastraan, padahal ilmu itu netral dan kehidupan sastra kita di masa datang banyak bergantung pada penelitian ilmiah yang berguna untuk menambah kecakapan mengarang, atau berguna untuk pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Penyebaran kesusastraan pada umumnya juga bergantung pada orang-orang yang memegang posisi yang menentukan di lapangan, pejabat-pejabat Departemen P dan K pada khususnya, pemerintah pada umumnya. 

3. Di kalangan pendukung kesusastraan, masih banyak yang memandang kesusastraan itu secara kurang tepat. Yang pertama adalah yang hendak memistik-mistikkan cipta sastra, mengkramat-kramatkannya seakan-akan diliputi oleh misteri yang tak tertembus. Pandangan yang kedua memandang sastra itu sebagai benda mati. Pandangan yang lebih benar ialah pandangan ilmiah yang memandang sastra itu sebagaimana mestinya, sesuai dengan hakikatnya. Sastra ialah ciptaan manusia yang dapat membangun imaji tertentu yang dapat memberikan kesan terhadap orang lain. Di samping sastra sebagai ekspresi pribadi pengarang, ia juga alat komunikasi. Untuk tercapainya komunikasi perlu syarat-syarat tertentu. Jika tidak ada keserasian di antara pendukung-pendukung sastra kita untuk dapat menentukan kesalahan-kesalahan dan penghambat-penghambat secara lebih tepat, pengobatannya pun mungkin akan kurang berhasil. 

4. Penelitian ilmiah akan membuat kita lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan, serta membina kesusastraan kita di masa datang. 

5. Ilmu pengetahuan mendewasakan kita untuk berpikir objektif, menciptakan istilah-istilah serta konsep-konsep sastra, yang tak terlalu longgar serta lebih konsisten hingga akan melancarkan diskusi di antara pendukung-pendukung kesusastraan. 

6. Fungsi kesusastraan itu berubah setiap zaman hingga, apabila kita mengharapkan perkembangan kesusastraan, hendaknya kita melihat dengan jelas fungsi itu.


Catatan Kaki:___
*)Memang ada beberapa penelitian mini yang pernah dilakukan. Yang kami ketahui misalnya, wawancara yang berguna untuk dilakukan oleh Lien Tobing seorang pegawai Departemen P dan K kepada siswa-siswa SMA mengenai buku-buku kesusastraan. Jawaban yang didapatnya atas beberapa pertanyaan antara lain bahwa siswa-siswa itu hanya membaca buku-buku sastra Indonesia karena dipaksa, karena hanya itulah yang ada di perpustakaan sekolah. Mereka tak menyukai buku-buku sastra karena persoalan yang dikemukakan dalam buku-buku sastra itu mereka rasakan sebagai bukan persoalan mereka. Mereka lebih menyukai komik dan buku-buku saku yang lain karena mudah dibaca, gambar-gambarnya menarik, ceritanya sedih, kocak dan seru, dan... lekas tamat, Mereka juga menggemari buku terjemahan Mrs. Alcott: Gadis Remaja, (dikemukakan dalam sebuah konferensi pengarang-pengarang Kristen di Sukabumi 1966). Juga ada penelitian mini dari Sr. Francelene di Yogyakarta yang berkesimpulan, murid-murid membaca buku-buku sastra itu karena mereka anggap penting. Usul penelitian ini diumumkan dalam majalah Basis. Seperti diutarakan, penelitian ini adalah penelitian mini, tetapi sangat penting, dan sebaiknya diteruskan.


-Sumber: Membina Kesusastraan Indonesia ModernMS Hutagalung, Jakarta: Corpatrin Utama, 1987

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »