Membaca Banyuwangi dari Perspektif Seorang Penyair -Sunu Wasono

@kontributor 10/13/2021

MEMBACA BANYUWANGI DARI PERSPEKTIF SEORANG PENYAIR

 Sunu Wasono

(Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia)

 




Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki keunikan budaya adalah Banyuwangi. Secara geografis, Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau Jawa. Secara administratif, Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten yang termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini merupakan salah satu penghasil beras terbesar di Jawa Timur.  Secara historis, Banyuwangi memiliki sejarah yang tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan kerajaan-kerajaan masa lalu di Jawa, khususnya Majapahit, Mataram, dan kerajaan di wilayah Bali. Nama Minak Jinggo atau Menak Jinggo senantiasa disebut-sebut bila orang berbicara tentang Majapahit. Dalam kaitannya dengan orang Banyuwangi, Minak Jinggo adalah tokoh historis yang sangat dihormati. Ia merupakan sosok pribadi yang gagah perkasa, berani, dan konsisten. Sebaliknya, bagi wilayah “pusat” (Majapahir, Mataram) atau kulonan, Minak Jinggo adalah sosok pemberontak. 

Terlepas dari soal itu, Banyuwangi—yang dulu lebih dikenal sebagai Blambangan—merupakan daerah yang secara kultural menarik. Di wilayah ini terdapat masyarakat Using atau Osing yang memiliki budaya yang unik. Ritual-ritual tertentu sebagai bagian dari keyakinan masyarakat Osing masih terus diadakan (dilestarikan) hingga kini.  Berbagai kesenian tradisional masih bertahan di sini. Tari Gandrung Banyuwangi yang menjadi kebanggaan masyarakat Banyuwangi tetap terpelihara dengan baik. Di Banyuwangi terdapat batik yang khas Banyuwangi. Bahasa Osing menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah. Masyarakat Banyuwangi berpendirian bahwa bahasa Osing bukan merupakan variasi dari bahasa Jawa. Dari segi alamnya, Banyuwangi pun memiliki objek-objek wisata alam (pantai dan hutan) yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan daerah lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya bilamana daerah ini belakangan banyak dikunjungi wisatawan, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Kekayaan dan keunikan budaya tampaknya tidak hanya menjadi daya tarik wisatawan, tetapi juga menjadi daya tarik dan perhatian para seniman, khususnya penyair. Salah seorang penyair yang tertarik atau merasa terdorong untuk melukiskan kekayaan dan kekhasan budaya Banyuwangi adalah Rissa. Antologi ini pada dasarnya merupakan ekspresi rasa bangga dan  tanggapan Rissa terhadap Banyuwangi, kota kelahirannya, yang  kaya akan budaya itu. Sesuai dengan judulnya, sajak-sajak yang terhimpun dalam buku ini sebagian melukiskan sosok penari dan seni tari itu sendiri yang menjadisalah satu kekuatan, kebanggaan,  dan daya tarik Banyuwangi. Berbagai jenis tari, utamanya tari seblang dan gandrung Banyuwangi, terlukiskan  dalam antologi ini.

Sajak pertama yang menjadi awal atau pembukaan antologi menggambarkan latar yang menjadi tempat berpijaknya para penari yang digambarkan dalam sajak-sajak berikutnya. “Tanah Penari,” judul sajak itu, melukiskan karakteristik tempat yang segera menautkan pikiran orang pada Banyuwangi. Sejumlah nama, seperti Prabu Menak, Sri Tanjung, Damar Wulan, dan Banterang yang disebut dalam bait pertama sajak itu menjadi penandanya. Karakteristik tempat itu dilukiskan dalam bait-bait berikutnya yang antara lain disebutkan bahwa tanah penari itu bertuah, tanak akan ritual, dan kental akan adat-istiadat.  Lukisan pada bait berikutknya makin meyakinkan bahwa tanah penari itu memang Banyuwangi. Daerah mana lagi kalau bukan Banyuwangi ketika nama Osing disebut-sebut.  Munculnya bait selanjutnya yang sepenuhnya menggunakan bahasa Osing kiranya mengukuhkan tafsiran bahwa memang Banyuwangilah yang dimaksud “tanah penari” dalam sajak ini.

“Tanah Penari” yang ditempatkan di pembukaan kiranya menjadi latar sekaligus panggung bagi tema yang diusung dalam sajak-sajak berikutnya. Dijumpailah sajak-sajak tentang sampur dan penari gandrung, seblang di Olehsari, para penari jaranan, janger, gandrung sewu, dan lain-lain. Perbendaharaan budaya di Banyuwangi diperkenalkan sekaligus ditunjukkan, juga seni tari tertentu yang tampaknya kini tinggal nama.

Hal itu terlihat dalam sajak “Janger”. Pada sajak itu, aku lirik mengutarakan pengalaman masa kecilnya ketika menonton tari janger yang kini agaknya sudah tidak ada lagi, setidak-tidaknya di tempat aku lirik yang sedang mengenang masa lalunya. Ada nada sesal pada aku lirik ketika seni tari janger yang di masa kecilnya menjadi tontonan baginya itu kini hanya tinggal kenangan yang menikam, seperti yang terlukis dalam penggalan bait berikut ini. 

tak ada yang membekas di sana

kecuali kenangan yang menikam

Demikian antara lain kata aku lirik dalam sajak itu. Dua larik dalam sajak itu jelas melukiskan perasaan kecewa aku lirik yang merasa kehilangan apa yang di masa kecilnya menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan kesehariannya. Namun, di sisi lain, tergambar juga rasa bangga dan kagum subjek lirik terhadap seni tari lain yang indah dan menakjubkan. Hal itu terlukis dalam “Gandrung Sewu” yang terdiri atas lima bait. Melalui lima bait itu dilukiskan bagaimana indahnya tari Gandrung Sewu yang dibawakan di sebuah pesisir pantai. Subjek lirik di situ bertutur layaknya seorang pemantau  yang melaporkan jalannya pertunjukan di suatu perhelatan. Supaya lebih jelas dan terlihat konkret, ada baiknya dikutip sepenuhnya bunyi sajak yang dimaksud.

 GANDRUNG SEWU

 pesisir banyuwangi

tiba-tiba riuh oleh penari

seribu gandrung memadati

di tengah cuaca terik matahari

 

gending-gending menggerakan

semua penari menyeblang

selendang di kanan kiri

bersama debur ombak

 

seribu penari meliuk

melenggang melenggok

sampur-sampur menyalak

mengikuti irama yang rampak

 

matahari bergerak di atas kepala

seolah ikut merituali suasana

tak perduli peluh di dada

kuyup oleh keringat

 

gandrung sewu

wonderfull indonesia

hari itu ribuan mata bersaksi

pada helat yang tak diingkari

 

 bekasi, 20.11.2020

Sekadar informasi, di Banyuwangi sering diadakan ritual sekaligus perayaan untuk menarik minat wisatawan. Salah satu tempat ritual itu adalah pantai. Di pantai itulah diadakan pertunjukan tari gandrung Banyuwangi yang dibawakan oleh seribu penari. Sajak di atas, “Gandrung Sewu,” melukiskan tarian gandrung Banyuwangi yang ditarikan oleh seribu penari.  Melalui sajak itu terbayang betapa meriahnya acara tersebut. 

Tanah penari yang tidak lain adalah Banyuwangi memang memiliki kekayaan budaya yang—setidaknya-tidaknya bagi Rissa Churria, penyair ini—menakjubkan. Di tanah ini tersimpan sejarah dan budaya yang menginspirasi para budayawan dan seniman, khususnya budayawan dan  seniman yang berasal dari Banyuwangi, dalam berkarya. Hasnan Singodimayan, peraih berbagai penghargaan yang juga sesepuh dan sastrawan Banyuwangi, misalnya, melalui sejumlah novelnya telah mengungkapkan berbagai aspek kultural dan historis Banyuwangi.  Persoalan-persoalan yang terkait dengan Gandrung Banyuwangi sebagai seni yang menjadi ikon dan kebanggaan masyarakat Banyuwangi telah diangkatnya ke dalam novel Kerudung Santet Gandung. Sementara itu, hal-hal yang terkait dengan sejarah  Banyuwangi diangkatnya pula  ke dalam novel Niti Negari Bala Abangan. Dalam esai-esainya yang dimuat di media lokal, Hasnan Singodimayan juga mengupas berbagai persoalan seni dan budaya Banyuwangi. Antariksawan Jusuf dan sejumlah nama lainnya melalui karya-karyanya juga telah mengusung berbagai persoalan yang terkait dengan dinamika masyarakat dan budaya Banyuwangi. Kini Rissa dengan antologi ini telah menambah daftar panjang “Lare Banyuwangi”  (putra Banyuwangi) yang  menunjukkan perhatian terhadap tanah leluhurnya sendiri: Banyuwangi.

Hampir semua yang terkait dengan seni dan budaya Banyuwangi tercakup dalam antologi ini. Kisah-kisah heroik dan kisah-kisah lain serta adat-istiadat budaya Banyuwangi (kawin colong dan berbagai ritual di desa Kemiren) yang menjadi kekayaan sejarah dan budaya masyarakat Banyuwangi terlukis dan terabadikan dalam sajak-sajak Rissa. Dalam melakukan itu Rissa sering bertindak sebagai seorang peliput yang melaporkan  suatu event atau peristiwa tertentu yang disaksikannya sendiri. Dalam melukiskan kisah-kisah heroik di sekitar  tokoh Minak Jinggo (Menak Jinggo), misalnya,  ia bertindak bagai juru kisah yang berhadapan dengan khalayak penontonnya.  Paparan dan narasinya tentang peristiwa atau kejadian begitu detail dan runtut. Terkait dengan itu, sejumlah nama yang barangkali amat dikenal oleh sebagian orang Jawa yang masih akrab dengan seni kethoprak, seperti Minak Jinggo, Damar Wulan, Kebo Marcuet, dan Sri Suhita hadir dalam serangkaian sajak tentang Minak Jinggo.  Semua tokoh itu—berikut ciri fisik dan karakternya—dilukiskan sedemikian rupa dengan diksi yang lugas sehingga mudah dicerna. Namun, di sana-sini muncul kosakata lokal atau tempatan (bahasa Osing) yang kadang-kadang  disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, kadang-kadang tidak. Untuk itu, mungkin ada baiknya disertakan semacam senarai kata atau glosarium di belakang agar pembaca non-Banyuwangi dapat memahaminya.

Satu hal perlu ditambahkan bahwa kadang-kadang penutur dalam sajak-sajak ini, ketika menggambarkan sesuatu, berdiri di luar (sebagai pelapor), kadang-kadang berada di dalam sebagai aku lirik yang terlibat dalam pokok masalah atau peristiwa yang digulirkan. Keterlibatan aku lirik—yang boleh jadi merupakan representasi dari tokoh yang terlukiskan—tidak terlepas dari upaya seorang penyair untuk meresapi dan menghayati pokok masalah yang diusung ke dalam karyanya. Di sini perlu digarisbawahi pentingnya sikap konsisten dan berhati-hati dari penyair. Konsistensi cara bertutur (yang menjelaskan sudut pandang penutur) akan memengaruhi kejelasan sikap penutur terhadap berbagai hal yang digambarkan dalam sajak. Begitu penutur mengambil posisi di luar objek yang dikisahkan, ia tidak bisa sekonyong-konyong mengubah posisi itu sampai penuturannya selesai, kecuali pengubahan itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan atau mengejar efek tertentu.  Dengan pernyataan itu tidak dimaksudkan bahwa penutur (subjek lirik) dari himpunan sajak yang diikat oleh satu tema tertentu, contoh konkretnya antologi ini, harus diri yang terlibat terus (sudut pandang orang pertama—akuan) dalam objek yang dituturkan atau diri yang berada di luar objek yang dikisahkan (sudut pandang orang ketiga—diaan). Pemilihan sudut pandang itu amat bergantung pada kebutuhannya. Di kala penutur ingin berada di luar yang dituturkan, ia menggunakan sudut pandang orang ketiga, sebagaimana terlihat, misalnya, dalam sajak berikut.

 SEBLANG OLEHSARI

 

dialah seblang oleh sari

perempuan dedara yang dipinang

oleh budaya masyarakat osing

mentadaburi bersih desa

tawasul cinta dan rasa syukur

 

liuk gemulai yang tak pernah dimengerti

inilah laduni menggerak dan digerakkan

tanpa aba-aba hanya mengikuti alun gending

tak pernah belajar sebelumnya

dia melenggang melenggok

mengikuti aroma angin

yang berdesir

 

tangan kaki dan seluruh tubuhnya

menjelma gerak yang rampak

lentik jemari simbol ketentraman

matanya tertutup omprok

hanya terpejam tanpa berkedip

 

dia gadis seblang

menari mengikuti pusaran bumi

entak kakinya adalah mata kehidupan

didaulat alam sebagai dewi pembawa keberkahan

 

ada aroma mistis di antara selendang

kain yang menutup jelenjang tubuh

gambuh meniupinya dengan mantra

sembari kepul dupa mewarnai ritual

dia terus menyeblang

menari tanpa henti

 

bekasi, 13.07.2021

Dengan sudut pandang orang ketiga, penutur menempatkan dirinya sebagai pengamat yang melaporkan apa yang diamati. Konsistensi   sudut pandang itu kiranya membuat sesuatu menjadi jelas, setidak-tidaknya jelas siapa menuturkan apa  atau siapa bersikap bagaimana terhadap sesuatu. Terkait dengan itu, barangkali ada baiknya ditampilkan satu contoh lagi untuk memperjelas apa yang saya maksud.

 

SAMPUR GANDRUNG

 

cerita dalam lakon hidup

serupa sritanjung menyeblang

di hadapan banterang

 

pandang aku dengan teduh mata

tanggalkan gairah yang merusuhi pikir

niatkan segala gerak hanya pada keagungan

sang wisesa memberi energi

dibarengi perintah suci

 

akulah penari

pada mata ini

telah dititipkan sorotnya

pada lengan dan bahu

diletakkan keindahan cipta

pada pinggang terbebat kendit

peredam cuaca dari segala gersang dunia

pada kaki gemerincing gentamaya

cipta sempurna mahluk

 

sampur-sampur berjatuhan

di antara bahu dan lengan

pitutur dan penghambaan

pada angin kutitipkan bisik

pada hujan kutitipkan cinta

pada cuaca kutitipkan kesejukan

padamu aku ada di sembarang ladang

 

bekasi, 07.07.2021

Dengan sudut pandang orang pertama, jelas kiranya bahwa yang bertutur dalam sajak di atas adalah aku lirik yang terlibat dengan objek yang dituturkannya yang tidak lain adalah dirinya sendiri, yakni penari. Persoalan sudut pandang tidak dapat dipandang sepele dalam kaitannya dengan penulisan sajak. Rissa di dalam himpunan sajak ini jelas menyadari hal itu. Ia kadang-kadang ber-ia, kadang-kadang ber-aku sesuai dengan kebutuhan. Ketika ia ingin menjadikan objek yang dilukiskan itu "tontonan" bersama, ia menempatkan penutur di luar objek yang dituturkan. Sebaliknya, ketika objeknya bercerita sendiri, ia menempatkan penutur  di dalam objek yang dituturkan. Sebetulnya masih ada satu lagi sudut pandang yang dapat diambil, yakni sudut pandang orang ketiga yang  juga memberi ruang  orang pertama ikut bertutur sehingga ada dua penutur dalam satu sajak. Bisa juga ada dua sudut pandang, seperti yang terjadi dalam prosa. Sajak-sajak dalam himpunan ini banyak yang naratif. Dalam sajak naratif, kesempatan untuk menampilkan sudut pandang yang beragam sangat dimungkinkan. Namun, semua bergantung pada kebutuhan. Tampaknya Rissa tidak memerlukan itu. Tiap penyair berhak atas pilihannya.

Terlepas dari persoalan tersebut, secara keseluruhan sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi ini telah memberikan gambaran yang relatif “banyak” tentang Banyuwangi—dengan segala aspek yang terlingkup di dalamnya—yang menjadi tumpah darah penyairnya sendiri. Melalui antologi ini pembaca seakan-akan “digiring” ke Banyuwangi untuk menyaksikan kekayaan  serta keelokan budaya dan  panorama alam Banyuwangi yang nyatanya memang kaya dan elok. Dari sikap penuturnya, jelas sajak-sajak yang terhimpun dalam buku ini memperlihatkan nada yang positif tentang Banyuwangi.

Secara tersirat terlihat betapa Rissa amat mencintai dan bangga terhadap Banyuwangi: tanah penari dan tanah airnya. Boleh jadi Rissa bukan orang pertama yang membaca dan mengabadikan “keindahan” Banyuwangi ke dalam seni, utamanya ke dalam bentuk puisi. Namun, melalui antologi ini ia telah berusaha menampilkan sebanyak mungkin apa yang dialami, diketahui, dipahami, dirasakan, dan dihayatinya tentang Banyuwangi ke dalam bentuk  puisi yang rapi (dengan memperhitungkan aspek tipografi) dan komprehensif. Tentu saja sebagai pembaca dan penikmat puisi, saya menyambut baik dan gembira atas kelahiran antologi ini. Selamat dan sukses untuk Rissa.

 

Pondok Rajeg, 13 September 2021.

-Sumber: Epilog Bisikan Tanah Penari, Rissa Churria, Jakarta: JSM Press: 2021

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »