Sepak Bola dalam Sejumlah Cerpen Indonesia - Erwin Setia

@kontributor 5/28/2023

Sepak Bola dalam Sejumlah Cerpen Indonesia

Erwin Setia 



Sebuah karya sastra tidak pernah muncul dari ruang hampa. Ia bisa datang dari imajinasi nan liar, perjalanan panjang sejarah suatu negeri, atau pengalaman pribadi seorang pengarang. Karya sastra mempengaruhi dan dipengaruhi oleh apa-apa yang ada di sekitarnya. Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, umpamanya, banyak bermunculan karya-karya sastra bertopik revolusi. Demikian pula karya-karya sastra pada zaman itu memberi pengaruh yang bersifat revolusioner—sedikit maupun banyak—terhadap orang-orang yang membacanya. Dengan kata lain sastra menangkap gambaran sosial di mana ia berasal. Di Indonesia masa kini banyak hal berubah. Topik yang populer bergulir seiring waktu. Di antara banyak hal yang populer dan diakrabi rakyat Indonesia masa kini adalah olahraga, wabilkhusus sepak bola. Tayangan sepak bola dan berbagai pernak-pernik terkait olahraga tersebut digemari banyak orang. Namun, di balik popularitas sepak bola di negeri ini, bagaimanakah peran pengarang karya sastra terhadapnya?

Secara umum, tema olahraga tidak banyak muncul dalam karya-karya sastra Indonesia. Sebagai topik utama maupun sub-topik, olahraga sedikit sekali mendapat tempat. Memang ada beberapa novel yang menjadikan olahraga sebagai tulang punggung cerita (sebut saja Badminton Freak karya Stephanie Zen [badminton], Lovasket karya Luna Torashyngu [bola basket], dan Jalan Lain ke Tulehu karya Zen RS [sepak bola]), tapi jumlahnya masih jauh dari cukup mengingat betapa populernya sejumlah olahraga di Indonesia. Dalam hal karya sastra yang membahas sepak bola, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah sepak bola tak cukup seksi untuk dijadikan bahan karya sastra? Ataukah para pengarang Indonesia tak cukup cakap menjadikan sepak bola sebagai dasar pembuatan karya sastra?

Tentu perlu penelitian lebih lanjut soal sedikitnya porsi sepak bola dalam karya-karya sastra Indonesia. Di sini saya hanya ingin mengulas sedikit perihal beberapa cerita pendek (jenis karya sastra yang paling mudah dicerna bagi para pembaca—sebab tidak sepanjang novel dan serumit puisi) yang mengangkat tema sepak bola. Cerpen-cerpen yang saya maksud adalah “Matinya Seorang Pemain Sepak Bola” (1981) karya Seno Gumira Ajidarma, “Kenangan pada Sebuah Pertandingan” (2015) karya Sunlie Thomas Alexander, dan “Cerita-Cerita Ganjil di Lapangan Sepak Bola” (2022) karya Aliurridha. Memang masih ada cerpen-cerpen lain yang mengangkat tema sepak bola, tapi saya membatasi pembahasan atas tiga cerpen di atas karena cerpen-cerpen itu cukup memberikan gambaran kepada kita bagaimana potret sepak bola dalam karya-karya sastra—khususnya cerpen—Indonesia.

 

Sepak Bola yang Tragis, Sepak Bola yang Nostalgis

Dalam ranah penulisan cerpen, Seno Gumira Ajidarma tidak hanya piawai menciptakan cerita-cerita soal senja atau cerita-cerita kritik sosial yang merupakan pengejawantahan dari kredo “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”. Ia juga pandai mereka cerita bertema olahraga yang jarang diperhatikan penulis lain. Dalam cerpen “Matinya Seorang Pemain Sepak Bola”, Seno menyinggung banyak hal. Cerita tentang seorang pesepak bola bernama Sobrat yang tiba-tiba meninggal sesaat setelah mencetak gol bukan hanya berisi biografi ringkas pesepak bola yang mulanya dianggap tak berbakat itu. Cerpen itu juga menyuarakan soal idealisme seorang atlet, kegigihan orang biasa untuk mencapai cita-citanya sebagai pesepak bola di kala orang-orang meremehkannya.

Yang menarik Seno secara blak-blakan menyindir masalah pengaturan skor yang marak di persepakbolaan Indonesia sejak lama. Di salah satu bagian cerita Sobrat didatangi oleh seseorang yang berusaha menyuapnya untuk sengaja mengalah. Namun Sobrat menolak suap itu dengan halus. “Saya menjadi tidak berharga ketika menentukan harga,” katanya. Dan Sobrat adalah orang yang sama yang pernah mengatakan kepada ibunya tentang alasan ia ingin jadi pesepak bola, “Bermain bola kita tidak boleh berpikir soal uang, harus ada dedikasi, harus idealis, biar tidak dibayar kita sumbangkan tenaga untuk bangsa Indonesia. Bermain bola karena uang, itu namanya pelacuran sport, hanya akan mengundang penyuap. Pokoknya hidupku akan kuabadikan untuk sepak bola Indonesia.”

Sayangnya, idealisme dan kecintaan Sobrat terhadap sepak bola tak dapat membuat dirinya berumur panjang, apalagi abadi. Ia mati di usia 30 tahun, saat dirinya sedang berada di masa jaya dengan menjadi penyerang produktif. Ketika dirinya meninggal di tengah lapangan di hadapan ribuan penonton pun kematiannya tidak menjadi sesuatu yang spesial. Seperti kata Seno di akhir cerpen, “Begitu saja jantung itu berhenti berdetak. Begitu biasa. Seperti sebuah berita kematian, yang menyedihkan bagi seseorang, tapi tak berarti sama sekali bagi yang lain.” Karier sepak bola Sobrat adalah cerita yang tragis. Kehidupan dan kematiannya tak banyak dipedulikan orang sebagaimana umumnya kehidupan dan kematian atlet di negeri ini.

Sementara itu, Sunlie Thomas Alexander menyajikan potret lain seputar persepakbolaan Indonesia dalam cerpen “Kenangan pada Sebuah Pertandingan”. Cerpen ini menggunakan sudut pandang tokoh seorang mantan pemain bola tarkam (antar-kampung) yang terpaksa harus datang lagi ke lapangan sepak bola lantaran anaknya yang bernama Riko merengek minta diajak menonton pertandingan sepak bola. Ia sebetulnya tidak mau lagi berdekat-dekat dengan sepak bola setelah kejadian yang dialaminya bertahun-tahun lampau. Waktu itu, dalam sebuah pertandingan di lapangan yang jelek, ia membela kesebelasan kampungnya dalam duel sengit melawan kampung tetangga. Nahas baginya, di akhir pertandingan ia terpeleset sehingga bola yang seharusnya ia jauhkan dari gawang malah masuk ke gawang timnya sendiri. Tim kampungnya pun kalah dan ia menjadi bulan-bulanan massa.

Sunlie menggambarkan suasana selepas gol bunuh diri itu sebagai berikut: “Keributan pecah di luar lapangan. Sorak-sorai suporter lawan seketika teredam oleh teriakan-teriakan marah. Sebagian penonton bubar berhamburan. Polisi dan petugas keamanan sama sekali tak berdaya ketika dengan beringas para pemuda kampungnya merangsek ke arah suporter lawan. Sebagian menyerbu masuk ke dalam lapangan. Belum juga sempat ia beranjak bangkit, ia merasa bagian belakang kepalanya dihantam benda keras.”

Sejak peristiwa itulah sang tokoh utama dalam cerpen tersebut berhenti bermain bola. Sepak bola yang ia cintai menjadi sepak bola yang menyisakan trauma. Efek trauma itu pun terbawa terus sampai tahun-tahun selanjutnya, sampai ia memiliki seorang anak yang ternyata menyukai sepak bola dan mengajaknya untuk menonton pertandingan sepak bola. Pada akhirnya yang traumatis dan yang nostalgis pun bersatu. Trauma dan nostalgia ia rasakan lantaran sepak bola. Dan mungkin banyak orang yang juga merasakan hal sama terhadap sepak bola.

 

Sepak Bola yang Humoris, Sepak Bola yang Mistis

Berbeda dengan dua cerpen di atas, cerpen “Cerita-Cerita Ganjil di Lapangan Sepak Bola” karangan Aliurridha ditulis dengan membawa semangat lain. Tidak ada sesuatu yang tragis atau melankolis dalam cerpen ini. Yang ada adalah humor melimpah dan olok-olok di sana-sini. Cerpen “Cerita-Cerita Ganjil di Lapangan Sepak Bola” diawali dengan cerita tokoh aku yang mendapat undangan bermain bola dari teman lamanya bernama Rahmat. Cerita-cerita ganjil dan penuh komedi pun dimulai dari situ. Ada cerita tentang orang-orang yang percaya pada peran ‘orang pinter’ terhadap jalannya sebuah pertandingan, cerita tentang pemain bola alim yang terpaksa percaya klenik demi kemenangan timnya, dan cerita tentang perjudian yang lekat dengan sepak bola—bahkan sepak bola kelas kampung!

Aliurridha menjelentrehkan dengan apik realita sosial dalam persepakbolaan Indonesia melalui cerpen itu. Dalam cerpen tersebut pertandingan sepak bola yang dimaksud memang sepak bola kelas kampung, tapi sesungguhnya berbagai perkara yang disinggung dalam cerpen itu lazim terjadi pula di ranah sepak bola profesional. Misalnya soal perjudian dalam sepak bola. Meskipun perkembangan sepak bola semakin maju seiring dengan kian mutakhirnya teknologi, perjudian tak pernah benar-benar hilang, malah kian subur dan variatif bentuknya. Di sisi lain hal-hal mistis pun belum sepenuhnya enyah dari persepakbolaan kita. Nahasnya, perjudian dan klenik bisa tetap hidup di Indonesia, kendati persepakbolaan di Indonesia sedang mati.

***

Tiga cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma, Sunlie Thomas Alexander, dan Aliurridha di atas hanyalah secuplik potret sepak bola dalam cerpen-cerpen Indonesia. Sepak bola dalam cerpen-cerpen tersebut bisa maujud dalam bentuk yang tragis, nostalgis, maupun humoris. Bisa mengundang tangisan maupun tawa. Tentu masih banyak sisi-sisi lain dari sepak bola yang dapat dialihkan ke dalam bentuk karya sastra. Ada banyak hal yang belum dikulik, ada banyak detail yang perlu diberi ruang. (*)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »