Ouroboros - Risda Nur Widia

@kontributor 5/28/2023

Ouroboros

Risda Nur Widia



Semua orang tertegun melihat sosok Miguel Cavero yang berjalan dengan potongan rambut, baju, dan sepatu berwarna serba putih seperti penyair Kuba favoritnya: Jose Marti. Ia dengan santai menyapa teman-teman sesama penulis yang datang pada festival sastra Feria del Libro yang kali ini diadakan di kota Palermo. Padahal beberapa bulan lalu, Miguel Cavero sedang terbaring koma di rumah sakit Antonio Fernandez karena selaput darah pada otaknya mengalami peradangan.

Hari itu Miguel Cavero tampak jauh lebih segar daripada beberapa bulan lalu ketika aku menjenguknya dengan teman-teman muda penyair dari komunitas El Loco yang pernah didirikannya di toko buku lowak Aristipo Libro. Walaupun demikian wajah Miguel Cavero masih pucat seperti baru saja menegak sepuluh botol malbec wine. Cuma semangat Miguel Cavero masih sama kuatnya seperti pesepak bola Mario Evaristo yang merupakan ujung tombak utama Sportivo Palermo.

Aku mendekatinya dan menyapanya dengan ramah. Aroma sisa cerutu merek puros tobaccos yang manis dan tajam menempel di tubuhnya.

“Ola,” ucapku pertama. “Kau terlihat sangat hidup.”

“Ola,” suara keras Miguel Cavero menggema di telingaku. “Kapan terakhir kita bertemu?”

Miguel Cavero memelukku. Aku pun merasakan tubuh besar Miguel Cavero yang sangat dingin. Ada bau bunga pemakaman corn poppy merah yang menguar harum dari sela pakaiannya. Aku menatap air muka Miguel Cavero yang datar layaknya malaikat kematian Cary-Yale.

 “Dua bulan lalu,” jawabku singkat.

“Pasti waktu aku sakit, bukan?” sahut Miguel Cavero cepat. “Ya, tubuh manusia memang rapuh. Tapi tubuhku ini adalah puisi. Ia tidak akan mati.”

Miguel Cavero tertawa keras seperti meriam-meriam Inggris yang digunakan dahulu dalam perang Falkland di sekitaran samudra Atlantik. Orang-orang di sekitar Miguel Cavero pun ikut tertawa mengikuti—walaupun sebenarnya mereka tidak tahu lelucon mana yang pantas ditertawai. Aku sendiri di sana tidak paham dengan semua racauannya. Tapi aku mendengarkan semua kalimat yang keluar dari mulutnya dengan saksama, seperti keabadian yang dapat tercipta dari daya kreatif dalam sajak-sajak yang pernah ditulisnya.

“Tapi yang penting kau dapat kembali sehat,” kataku lirih. “Kami sangat senang dengan kehadiranmu.”

Miguel Cavero—yang malam itu mirip seorang santo daripada penyair—tersenyum pahit di depanku. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Akan tetapi, niat itu tampak ia urungkan. Ia lantas beralih ke kerumunan lain yang juga menyambutnya hangat.

***

Panitia festival sastra Feria del Libro secara mendadak membuat acara yang disisipkan dalam inti kegiatan malam itu. Mereka mengaku sebenarnya sangat ingin mengundang Miguel Cavero untuk mengulas puisi-puisi penyair Kuba Nicolas Guillen. Miguel Cavero dianggap memahami secara lengkap gerakan revolusi Guillen dalam bersajak dan memimpin gerilya Afro-Kuba pada tahun 1920-1930-an. Cuma karena kesehatannya yang tidak cukup baik, panitia akhirnya mengurangkan niat itu.

“Ola,” sapa panitia kepada Miguel Cavero.

Aku waktu itu masih berada tidak jauh darinya.

“Bila tidak keberatan, apakah kau bisa membuatkan kami satu atau dua sajak untuk dibacakan?” lanjut panitia itu.

“Ola,” Miguel Cavero tampak tersenyum lebar. “Apakah kau tidak melihat bahwa di tubuhku ini sampai mati akan tetap menjadi puisi.”

“Kau memang penyair terbaik kami,” panitia itu tampak senang.

“Beri aku waktu 45 menit, maka akan kugunjangkan Argentina.”

Para panitia akhirnya memberikan waktu sekitar 45 menit bagi Miguel Cavero menulis puisi. Ia pun digiring ke suatu tempat yang sepi tak jauh dari panggung utama festival Feria del Libro untuk menulis sajak. Di sana sangat tampak bahwa orang-orang tidak ada yang berani mengganggu Miguel Cavero.

Selesai menulis puisi, Miguel Cavero keluar dengan wajah puasnya. Dari matanya—walaupun terlihat sayu—aku melihat sekumpulan kuda berwarna cokelat yang berlari sangat bebas di padang Patagonia dengan latar pegunungan Andes. Aku segera berpikir barangkali memang di tubuh Miguel Cavero terdapat patah-patahan bait yang bisa kapan saja dirangkainya menjadi puisi.

Miguel Cavero kembali menyapaku saat berpapasan tak jauh dari panggung utama.

“Lihat lah bahwa sastra membuatku hidup lebih lama,” jelas Miguel Cavero.

“Menulis karya seakan membuatmu semakin hidup dari menit ke menit,” cetusku membalas.

Ia lantas menunjukkan puisi yang baru saja ditulisnya. Puisi itu berjudul “Ouroboros”. Aku yang membaca puisi itu sempat merinding. Ditambah lagi ketika aku sadar bahwa judul “Ouroboros” itu diambil dari simbol ular melingkar yang saling menggigit ekornya—yang merupakan lambang keabadian. Aku berpikir bahwa Miguel Cavero telah menjual jiwanya pada puisi-puisi yang sudah ditulisnya.

“Ia adalah doaku pada setiap penyair di dunia ini,” Miguel Cavero langsung menjelaskan. “Aku berharap mereka terus hidup abadi dengan karya-karyanya.”

“Kau lebih dari apapun yang disebut sebagai karya seni, Miguel,” jawabku bercanda.

“Kau bisa mendengar bahwa jantungku ini adalah puisi,” tandasnya sebelum meninggalkanku. “Jadi aku tidak akan pernah mati.”

Aku tidak tahu harus menjawab apa dari penyataan itu. Kata-kata yang dikeluarkan dari bibir Miguel Cavero seperti larik puisi yang menghadirkan tanda tanya besar dalam kepalaku. Bahkan untuk mengartikannya, aku minimal membutuhkan teori semiotika atau hermeneutika.

***

Malam itu Miguel Cavero membacakan puisinya dengan bara dan energi. Suaranya masih terdengar keras seperti burung Rufous Hornero yang banyak hidup di hutan Sendero de los Arrayanes. Kemudian dari sorot matanya terpancar binar gugusan bintang Gurun Patagonia yang membuatku terpukau saat mengunjunginya dahulu kala libur kuliah. Aku benar-benar tidak melihat sedikit pun semburat bahwa dirinya baru saja sakit.

“Kita semua berhutang padanya,” ungkap penonton saat menyaksikan pembacaan puisi Miguel Cavero. “Ia selalu memberikan hidupnya pada puisi.”

“Kita harus belajar darinya,” tambah lainnya.

Malam itu semua orang sangat senang dengan kehadiran Miguel Cavero. Orang-orang terus bersulang untuk puisi yang dibacakannya. Mereka seakan baru merayakan upacara Umbanda untuk memanggil seribu roh para leluhur di alam kubur. Akan tetapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh dari sosok Miguel Cavero. Di atas panggung itu ia seperti tidak nyata. Ia antara ada dan tiada di sana. Bahkan di akhir acara ia menghilang dengan sangat cepat dan tidak berpamitan dengan siapa pun.

***

Satu jam kemudian, aku mendapatkan pesan kalau Miguel Cavero meninggal di rumah sakit Antonio Fernandez dengan kondisi tubuh yang masih tertancap selang dan jarum di tubuhnya. Ia bahkan sudah mengalami koma selama tiga minggu—tersesat dalam dunia mimpi Dewa Morpheus. Demikianlah aku benar-benar tidak percaya dengan berita itu. Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang lainnya. Apalagi kami baru saja bertemu dengan Miguel Cavero di festival Feria del Libro.

“Yang benar saja,” tegas teman-teman sesama penulis. “Siapa yang baru saja membacakan puisi itu? Roh?”

“Kau gila,” sahut lainnya. “Hidup ini sudah cukup aneh. Jangan kau tambah dengan pikiran anehmu. Memang kita hidup di dalam novel Dona Flore Seus Dois Maridos karya Jorge Amado?”

“Benar! Ini dunia nyata, bro!”

Akhirnya ada beberapa orang yang mencoba mengonfirmasi kebenaran berita itu. Keluarga Miguel Cavero membenarkannya.

***

Pagi harinya, orang-orang mendatangi makam Miguel Cavero di kompleks perkuburan Chacarita. Semua orang berkabung dan menggunakan pakaian hitam serta topi cattlemanMereka semua benar-benar mirip Gaucho sang koboi legendaris dari tanah Amerika Utara. Sama halnya dengan Miguel Cavero di dalam peti matinya, ia memeluk topi cattleman-nya yang dahulu pernah beberapa kali digunakannya saat membentuk klub buku El Loco.

Seorang pendeta memimpin seremonial penguburan Miguel Cavero. Ia meminta mendoakan sang penyair sebelum tanah menenggelamkan tubuhnya. Akan tetapi orang-orang di sana tampak tidak khusuk berdoa. Mereka masih sibuk membicarakan sosok yang mereka temui sebelum Miguel Cavero dinyatakan meninggal.

“Bila kau merasa bertemu dengan Miguel di acara pembacaan puisi,” jelas seseorang di tengah kerumunan penziarah. “Aku bertemu dia di studio rekaman musikku.”

“Jangan bilang kalau kita bertemu dengan sosok arwah semalam.”

Seorang editor buku dari penerbit lokal juga mengaku bertemu dengan Miguel Cavero. Ia mengatakan bahwa dirinya sempat berjanjian melalui chat untuk bertemu. Miguel Cavero kemudian datang dengan gaya dan caranya yang biasa. Ia kemudian memberikan hutang-hutang janji kreatifnya berupa satu bundel naskah kumpulan puisi.

“Aku benar-benar bertemu dengannya,” jelas editor buku itu. “Hanya anehnya riwayat chatku dengannya hilang.”

Selain seorang editor buku, sahabatnya seorang penyair muda merasa didatangi Miguel Cavero. Pada orang itu Miguel Cavero memberikan catatan dari larik-larik sajak yang sempat ditulisnya.

“Kalau ia adalah seorang arwah,” jelas sahabatnya itu. “Dia masih sempat membantuku membenarkan puisiku. Padahal jiwanya telah diambil oleh Tuhan.”

Semua orang hari itu merasa telah bertemu dengan Miguel Cavero dalam waktu yang sama ketika dirinya dinyatakan meninggal.

***

Acara pemakaman Miguel Cavero berjalan lancar. Keluarganya tampak sangat bersedih saat tubuh tua Miguel Cavero dimakamkan. Aku sendiri tidak sadar telah menitikkan air mata kepada sosok sastrawan itu. Dan sebelum tanah kuburan memendam peti mati Miguel Cavero secara penuh, seorang anak maju ke sisi liang lahat.

“Ini adalah puisi yang ditulis papa sebelum sakit dan meninggalkan kita semua,” ucapnya. “Izinkan saya membacanya.”

Untuk yang kedua kalinya, aku dan beberapa orang di pinggir liang lahat itu mendengarkan puisi berjudul “Ouroboros” yang sempat dibacakan oleh Miguel Cavero di acara festival Feria del Libro.

“Papa pasti sangat bahagia puisinya didengarkan oleh teman-temannya,” jelas si anak.

Semua orang bertepuk tangan karena puisi itu. Aku juga tidak tertinggal ikut tepuk tangan. Hanya di sela-sela saat aku tepuk tangan, aku melihat Miguel Cavero di antara para peziarah. Aku ingin berteriak saat menyadari kejadian tidak masuk akal ini. Akan tetapi, ia seperti memberikan isyarat kepadaku untuk diam saja. Ia tidak ingin semua orang mengetahui keberadaanya di antara penziarah yang datang. (*)


Catatan:

Sportivo Palermo adalah tim asal Argentina  yang pernah jaya pada tahun 1920-an

Perang Falkland adalah perang tanpa deklarasi yang berlangsung selama dua bulan antara Argentina dan Inggris untuk merebutkan kepuluan Falkland dan Georgia Selatan

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »