Subplot #1: Masa Kecil Esef Ibrahim - Muhamad Kusuma Gotansyah

@kontributor 12/26/2021

SUBPLOT #1: MASA KECIL ESEF IBRAHIM

Muhamad Kusuma Gotansyah



Setelah mendengar bel dan beberapa ketukan, dan berkat mengintip dari lantai dua mengetahui bahwa yang di depan pintu tidak lain adalah Susi, Esef Ibrahim jatuh dari tangga akibat turun terlalu terburu-buru, terkapar di sebidang kecil lantai antara dua tangga yang dibangun bersilangan, persis enam belas tahun sebelumnya saat ia masih kecil.

Jika diingat-ingat kembali, semendaratnya ia di tempat yang sama enam belas tahun lalu, Esef Ibrahim memaki Parno, tukang yang meningkatkan rumah ibunya, dan mengatakan bahwa Parno membangun tangga dengan tidak becus. Laki-laki itu konon sudah meninggal, namun tentu Esef Ibrahim kecil tidak tahu. Keluarganya mendapati kekesalan Esef Ibrahim yang dilemparkan pada Parno menggelikan, lalu lekas menahan tawa sembari menggendongnya kembali ke atas, sementara di waktu yang sama salah satu dari mereka (kalau tidak salah ibunya) keluar rumah mengunjungi seorang tetangga yang juga tukang urut.

Ia tidak tahu benar apa yang menyebabkan dirinya harus buru-buru turun waktu itu, saat ia masih berumur kira-kira empat tahun. Namun seingatnya, ia waktu kecil takut hantu, dan biasanya, di hari-hari libur, ketika seluruh anggota keluarga tinggal di lantai dua untuk bersantai-santai (di lantai satu ibunya membuka sebuah usaha kursus bahasa Inggris), Esef Ibrahim enggan turun ke lantai satu karena suasananya sungguh sepi dan menakutkan, termasuk saat pagi dan siang. Oleh karena itu, ia sering turun dan naik kembali secepat mungkin setiap ibu atau ayah atau kakaknya menyuruhnya mengambil sesuatu di lantai satu. Mungkin itulah yang terjadi, saat ia jatuh dari tangga di masa lalu. Esef Ibrahim memang seseorang yang suka terburu-buru.

Saat ini, ia memegangi lutut kirinya, lalu pindah meremas-remas bahu kanannya, kemudian ke perut, dan pinggul, sehingga Esef Ibrahim bingung karena rasa sakit ternyata ada di sekujur tubuhnya. Sekali waktu ia menutup mata untuk menahan rasa sakit, dan saat itu terlihat bayangan Susi yang muncul di depan pintu rumah. Susi pacarnya, atau mantan pacar, yang bisa jadi berpisah dengan Esef Ibrahim karena orang tuanya merasa laki-laki itu seorang aktivis antipolisi dan kemungkinan besar anak band, atau bisa jadi belum berpisah karena ia berhasil memutar pikiran orang tuanya; tambah lagi, saat ini ia datang untuk menemui Esef Ibrahim, pacar atau mantan pacarnya, yang berkemungkinan besar dengan tujuan ingin baikan.

Esef Ibrahim kenal Susi di sebuah acara angkatan yang sebelumnya tidak pernah ia datangi. Saat itu ia sudah lumayan jengah diajak terus-menerus oleh beberapa teman kampus; ia bingung mengapa mereka tidak juga paham, bahwa dengan tidak pernah ikut berarti ia tidak tertarik dengan acara tersebut, dan dengan begitu, seharusnya ia tidak perlu lagi diajak terus-terusan. Tentunya hidup tidak berpihak pada Esef Ibrahim, yang protagonis hanya dalam kepalanya, dan membuatnya terpaksa menghadiri acara tersebut tahun kemarin. Di sanalah ia bertemu Susi, yang ternyata seangkatan dengannya, dari fakultas yang sama namun jurusan yang berbeda.

“Namaku Susi.”

“Susi…? Susi saja?”

“Bukan, namaku Susi.”

Esef Ibrahim tertawa, dan Susi juga ikut tertawa.

Tidak ada satu pun dari mereka berdua yang pernah secara resmi mengutarakan perasaan kepada satu yang lain. Sebulan-dua bulan, tiba-tiba saja mereka sering berdua; saat makan siang, di toko buku, saat pulang dari kampus, saat menonton gig gratisan di venue kecil sebelah kampus, di koridor saat jam-jam pergantian kelas, dan kadang di balik pagar depan rumah masing-masing—Esef Ibrahim maupun Susi belum ada yang pernah masuk ke tempat tinggal masing-masing. Orang-orang mulai menyebut mereka berpacaran, dan mereka tidak memberikan kejelasan setiap kali harus berhadapan dengan sangkaan tersebut.

Diam-diam, dan tentunya juga dengan terburu-buru, Esef Ibrahim menarik simpulan bahwa ia dan Susi adalah sepasang kekasih. Ia tidak memiliki masalah menjalani kesehariannya dengan dibebani kewajiban menyapa dan menanya kabar Susi pada masa-masa tertentu, berjalan dengan Susi, serta menghabiskan waktu-waktu luang dengan mengobrol bersama Susi. 

Walau begitu, Ia tidak tahu jelas apakah sebenarnya ia suka kepada Susi, atau segalanya ia lakukan semata karena sudah terlanjur. Esef Ibrahim pun meyakini, bahwa bisa jadi Susi memiliki perasaan yang sama.

Esef Ibrahim masih terbaring di antara dua tangga masa kecilnya itu, padahal rasa sakit akibat jatuh perlahan-lahan sudah mulai menghilang. Susi pasti sudah pergi, pikirnya. Ia melihat ke atas, dan dari tempat ia telentang ia dapat melihat langit-langit lantai dua, yang warna putihnya mulai pudar. Ada bekas-bekas rembesan air, pasti karena hujan yang sangat deras atau sejenisnya. Enam belas tahun lalu bekas-bekas itu tidak ada. Esef Ibrahim juga belum kenal Susi saat itu.

Setelah sekian tahun ia dan keluarganya merantau, sebenarnya baru dua tahun lalu Esef Ibrahim kembali menempati rumah masa kecilnya, ketika ia baru mulai berkuliah. Sementara saat itu keluarganya belum bisa pulang karena menemani adiknya yang baru masuk SMA, ia diamanatkan untuk menjaga rumah sambil kuliah.

Ditempati sendirian, rumah yang sudah lama tidak didiami itu, yang berlantai dua itu, terasa sangat lengang dan sepi bagi Esef Ibrahim. Ia sempat berencana membuka kursus bahasa Inggris seperti ibunya dulu; kebetulan ia memang mempelajari pendidikan bahasa Inggris di perguruan tinggi. Tetapi ia takut rencananya tidak diterima baik oleh tetangga-tetangga di sekitarnya, yang secara tidak sengaja sering ia dengar sedang membicarakan keluarganya: bahwa Esef Ibrahim pulang sendirian karena kedua orang tuanya bercerai, dan adiknya dititipkan kepada pamannya dari pihak ibu. Ia juga tidak punya teman di kampus yang cukup dekat untuk diajak tinggal bersama, atau ditawarkan untuk menyewa kamar-kamar di lantai satu untuk tempat tinggal. Tambah lagi, seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa dengan hidup yang seperti itu; penuh ruang kosong, agak sepi, diam. Bahkan sehingga Susi hadir dalam hidupnya, sesungguhnya ia masih menikmati hidup yang serupa.

Kadang Esef Ibrahim takut jika Susi ternyata hanyalah figuran dalam film pribadinya yang egois. Tetapi apa salahnya juga, sesekali ia kembali mempertanyakan. Apa salahnya, pikir Esef Ibrahim, kalau hidupku semata hanya milikku, dan Susi bukanlah orang yang signifikan, sehingga tidak ada masalah jika ia ingin berpisah, tidak peduli karena perasaannya sendiri atau karena orang tuanya, dan ia tidak perlu mengunjungiku, yang membuatku turun dengan terburu-buru lagi ceroboh dan akhirnya terjatuh.

Rasa sakit di sekitar badan Esef Ibrahim hilang. Lebih dari itu, ia tidak lagi mampu merasa apa-apa.


*****


“Maaf, aku terpaksa masuk. Tambah lagi kamu lupa mengunci pintu. Kamu memang suka terburu-buru, kamu mem… ? … !? … ada apa?”

“Halo, Susi.”

Rumah masa kecilnya itu seketika terasa sangat sempit. Tidak ada ruang-ruang yang terasa kosong. Tidak sepi dan sedikit lebih berisik.


*****


Esef Ibrahim menutup matanya, dan ketika membukanya kembali, ayah dan ibu dan kakaknya ada di sekitarnya, berusaha menenangkannya yang baru saja jatuh dari tangga. Ia menyadari bahwa dirinya menangis, menahan rasa sakit yang ada pada pinggulnya. Ayah dan kakaknya menggendongnya ke atas, dan ibunya turun ke bawah, kemungkinan besar untuk mencari bantuan. Esef Ibrahim kembali menutup matanya, yang sekarang berlumur air mata, dan tidak ingin membukanya lagi.


Tangerang, Desember 2020

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »