Dari Mata Turun ke Puisi - Emi Suy

@kontributor 1/23/2022

DARI MATA TURUN KE PUISI:

Refleksi Sebuah Proses Kreatif

 Emi Suy

 


Saya pernah dengan sengaja mengamati sesuatu di tengah keramaian dan berjuang keras untuk mendengarkan, melihat, mengamati, merasakan suasana saat itu. Saya harus berkosentrasi penuh untuk fokus di suasana yang sangat bising saat itu.  Begitu pun dalam menulis puisi, di mana sangat dibutuhkan konsentrasi yang tinggi, tidak terganggu dengan gaduh yang ada di sekitarnya, tetap fokus dan konsentrasi kepada obyek yang jadi perhatian dan bahasan.

Menurut saya, berdasarkan pengalaman saya, yang paling mahal dari seorang penyair itu adalah cara pandang, dan yang paling berat dari seorang penyair itu adalah menulis, yaitu bagaimana mengungkapkan apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, apa yang dilihat, apa yang didengar, dengan kata-kata yang tepat yang puitik dan memiliki daya gugah yang tinggi. Itulah sesungguhnya tugasnya penyair. Sepintas lalu terlihat tugasnya sederhana, tetapi sesungguhnya lumayan berat. Intinya bagaimana seorang penyair dituntut mengungkapkan apa yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui kata-kata secara tepat, tentu saja maksudnya kata-kata yang puitik, sehingga orang mengerti.

Hal yang sama tentu juga berlaku untuk proses menulis lainnya seperti menulis cerpen, novel, esai, bahkan menulis karya ilmiah. Bedanya, menulis puisi itu hemat kata, menggunakan estetika bahasa yang puitik, serta memiliki daya gugah yang tinggi. Puisi itu mengajak pembacanya merenung dan berkontemplasi, lalu berpikir. Dengan demikian, yang disasar oleh puisi adalah kalbu atau rasa. Berbeda dengan esai, jurnalistik, atau karya ilmiah, di mana yang disasar adalah rasionalitas berpikir.

Dalam teori ilmu komunikasi itu ada tiga hal, yaitu konten, cara, dan waktu. Konten itu maksudnya adalah apa yang ingin kita sampaikan, termasuk apa isi hati kita. Lalu berikutnya tentang cara, bagaimana menyampaikannya dengan tepat, tentu saja dalam hal ini menggunakan bahasa puitik. Terakhir, jangan dilupakan tentang waktu, kapan sebaiknya menyampaikannya, apakah ada suatu kejadian yang relevan dan pas untuk menyampaikannya? Ketiga hal itu yang perlu menjadi pertimbangan.

Seorang penyair memiliki isi hati isi pikiran yang luar biasa, ini sudah tidak diragukan lagi karena inilah keunggulan seorang penyair. Namun, sanggupkah dia mengungkapkannya dengan kata-kata yang juga luar biasa, bahasa puitik yang dahsyat? Itu begitu pertanyaan besarnya.

Pada tahap itu penyair itu banyak gagal karena apa yang dia tulis itu tidak dipahami orang dengan baik (dalam konteks puisi tentunya),  bahkan pada tataran kalimat pun bisa amburadul dan tidak efektif. Kalimat efektif itu menentukan apa yg kita sampaikan itu mudah dipahami orang lain, karena kalau tidak, malah sebaliknya atau malah dirinya sendiri tidak paham.

Misalnya kita mengacu kepada Chairil Anwar yang merupakan salah satu contoh yang baik bagaimana memilih kata dengan baik secara tepat. Menurut saya, Chairil tidak pernah berusaha membuat puisinya itu “puitis berlebihan”,  atau tidak ada tidak ada nafsu “puitisasi berlebihan” atau overpoetics dalam puisi-puisinya. Dia hanya berjuang mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan dengan kata-kata yang terpilih dan tepat sehingga puitis dengan sendirinya.

Jadi dengan kata lain, orang yang bernafsu membuat “puitis berlebihan” dalam menulis puisi itu dikhawatirkan justru tidak puitis jadinya. Jadi menurut saya, puisi dengan otomatis akan jadi puitis saat kita bisa menuliskan apa yang ingin diungkapkan dengan kata-kata secara tepat, dan tentu saja efektif. Metafora, diksi, dan lain sebagainya tentu penting, namun jangan berlebihan.

Nah, bagaimana mengamati ide-ide kecil di sekitar kita kemudian dipungut jadi puisi? Saya berkeyakinan bahwa menulis itu adalah rangkaian dari proses berpikir. Menulis juga bagian dari menunjukkan eksistensi kita sebagai manusia. “Cognito, ergo sum” atau “I think, therefore I am” atau terjemahan bebasnya, “Saya berpikir, maka saya eksis”, demikian filsuf sekaligus matematikawan Perancis yang sangat terkenal, Rene Descartes, (1596-1650), pernah mengungkapkan. Jadi, menulis itu adalah bukti kita eksis sebagai manusia.

Menulis itu adalah suatu keterampilan yang kompleks. Dengan menulis kita akan lebih fasih memindahkan atau menyalin pikiran disertai proses kreatif, dan tentu saja diiringi dengan kemampuan membaca, menyimak, mendengar, mengamati, menganalisis, serta memformulasikan. Meminjam pemikiran proses kreatif menulis puisi yang digagas oleh sahabat saya Riri Satria, seorang ahli system thinking, matematika, dan teknologi digital, maka menulis itu ada tahapan input berupa menangkap realitas, proses mengolah realitas baik rasional maupun kreatif, mengkritalkan gagasan atau pemikiran, serta proses memformulasikan untuk membuat output berupa sebuah tulisan. Jadi menulis itu adalah inputprocessoutput. Sementara itu sahabat saya yang lain, Sofyan RH. Zaid mengatakan bahwa proses ini harus dilakukan dengan intens, fokus, dan dengan pikiran jernih.

Proses kreatif ini akan terus berlangsung- berlanjut - berkembang dan semakin tajam tahap demi tahap -- fase demi fase. Saya yakin setiap kita sedang berproses dalam tingkatan masing-masing.

Proses kreatif yang paling mudah adalah dengan mengeksploitasi ide-ide kecil di sekitar kita. Jangan pernah meremehkan ide-ide kecil. Apa ide-ide kecil itu? Kita bisa mengambil tema dari keseharian kita. Rasanya banyak sekali hal-hal yang karib dengan rutinitas kita. Contohnya, kayu, menanak nasi, minum, air, hujan, lantai, bumbu dapur, tetangga, banjir, pasar, dingin, panas, senyum, air mata, dan sebagainya. Semua adalah hal-hal kecil yang dapat diadopsi ke dalamn proses kreatif kita.

Kita juga dapat menangkap berbagai fenomena di sekitar kita. Kebetulan saya juga menyukai fotografi selain puisi. Buat saya, ada suatu kesamaan yang sangat erat antara fotografi dan puisi. Keduanya sama-sama menyampaikan pesan untuk menggugah yang membaca atau melihatnya. Sebuah puisi yang baik tentu memiliki daya gugah yang tinggi yang bisa masuk mendalam ke hati dan menyentuh rasa si pembacanya. Demikian pula dengan fotografi. Bahkan sebuah karya foto yang hebat mampu memberi pesan jauh lebih banyak daripada tulisan. Karya foto itu bukan hanya sekedar estetika semata, namun jauh di balik itu, selalu ada pesan yang disampaikannya. Buat saya, fotografi dan puisi adalah dua hal yang saling mengisi dalam hidup saya. Banyak karya puisi saya bermula dari karya foto yang saya buat sebelumnya tentang berbagai hal. Mungkin inilah contoh konkrit dari mata turun ke puisi.

Cukup banyak puisi saya yang memiliki bahan baku atau bermula dari fotografi. Misalnya, saya pernah menelusuri kawasan Kota Tua Jakarta sampai dengan jalan-jalan di sekitar Glodok, hanya untuk memotret gedung-gedung tua yang bernilai sejarah. Gedung-gedung itu diam, namun dalam diam dan sunyinya mereka mengisahkan sesuatu. Ada teks yang tidak terlihat pada diri mereka. Saya potret, lalu saya mengolahnya menjadi puisi. Teks yang tidak terlihat pada gedung-gedung itu saya olah menjadi puisi.

Salah satu karya fotografi saya pernah ikut dipamerkan pada Pamaren Fotografi Nasional di Silver Art Gallery, Bandung, karena masuk ke dalam nominasi untuk Pameran Fotografi Nasional dengan topik "The Power of Women". Saya menampilkan karya foto bagaimana perjuangan perempuan kaum marjinal untuk menjalani kehidupan. Mereka harus berjuang untuk mencari nafkah, namun di tengah himpitan berat kehidupan itu mereka masih bisa tersenyum. Saya menelusuri perkampungan di Jakarta Barat untuk "photo hunting" dan mencoba membidik beberapa momen. Belakangan semua juga saya oleh menjadi puisi.

Kita juga dapat mengulik tema persaudaraan, hubungan antar manusia, rasa kesepian, kehidupan sosial, kegembiraan anak-anak, imajinasi, dan sebagainya. Kita bisa mengambil objek kisah terdekat dengan kehidupan kita hari ini, kemarin atau bahkan kenangan dari masa lalu. Jangan mikir yang jauh-jauh, kita dapat menciptakan surga dunia nyata melalui tulisan yang ringan dan sederhana sekalipun. Kita dapat membaca karya penulis penyair terdahulu meski dengan mengusung tema tapi pengungkapan kita berbeda, sudut pandang yang berbeda.

Tema puisi boleh sama dengan penulis terdahulu, tetapi tulislah dengan pengungkapan yang berbeda. Kita bisa membandingkan gaya ungkap yang pernah ditulis para penyair untuk satu tema yang sama, misalnya tentang “alis”.

Sitor Situmorang:

Adakah yang lebih indah

dari bibir padat merekah?

Adakah yang lebih manis

Dari gelap dibayang alis?

Amir Hamzah:

Barangkali

Engkau yang lena dalam hatiku

Akasa swarga nipis-tipis

Yang besar terangkum dunia

kecil terlindung alis

Acep Zamzam Noor:

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning

Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri

Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu

Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental

Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup

Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu

Joko Pinurbo:

Di bawah alismu hujan berteduh.

Di merah matamu senja berlabuh.

Intinya banyak membaca karya besar penyair terdahulu, namun dengan berbeda pengucapan. “Meniru” namun dengan gaya teknik yang kita ciptakan sendiri dengan dahsyat dan dalam. Rajin menabung, yaitu menabung kata. Catat kata-kata baru di setiap kesempatan, nanti baru diolah menjadi beberapa tema atau poin-poin dalam puisi. Itulah yang disebut dengan menabung kata.

Kita juga dapat mengangkat tema kesadaran toleransi melalui puisi. Contohnya: Chairil Anwar yang beragama Islam menulis tentang Nabi Isa atau Yesus dengan dahsyat. Sitor Situmorang yang beragama Kristen menulis Malam Lebaran, bulan di atas kuburan. Subagyo Sastrowardoyo yang beragama Islam menulis Yesus Kristus lahir dengan putih wajah.

Kita juga dapat menulis ulang suatu topik dengan cara yang berbeda. Chairil Anwar menulis Nabi Isa dengan dahsyat, tapi Jokpin melukiskan Yesus dengan cara rileks pada tahun 2003 yaitu pada puisi Celana Ibu. Puisi Jokpin ini sempat menuai kontroversi kemudian dapat diterima bahkan menjadi lagu yang sering dinyanyikan pada saat Hari Natal dan Paskah.

Puisi yang berat beban muatannya akan menemukan titik stgnan. Jika menemui hal demikian, pecahlah menjadi beberapa bagian sub judul dan dikembangkan lagi menjadi beberapa konsep. Kemudian menjadi beberapa puisi. Metode ini akan memecahkan beban, yaitu tema sama perspektif beda.

Kesulitan terbesar adalah jika kita tidak percaya pada kata. Percayalah bahwa setiap kata punya kekuatan tersendiri. Kalau kita percaya pada kata, maka kita harus kejam memilih diksi. Berani memangkas dan jangan disayang-sayang. Percayalah, setiap kata mengandung makna.

Lalu, satu hal yang terpenting, percaya pada pembaca. Pembaca akan tahu makna tanpa harus kita jelaskan secara panjang lebar, karena membaca puisi sudah barang tentu mindset disesuaikan dengan konteks puisi.

Sebagai penutup saya ingin mengatakan, percaya kepada proses kreatif diri sendiri, kekuatan diri sendiri, tetaplah efisien dan jangan “puitik berlebihan”, dan tetap pergunakan logika terhadap apa yang ingin diungkapkan.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa menulis itu hanya 25% sisanya 75% editing. Ini menunjukkan bahwa menulis itu adalah proses yang iteratif atau berulang, bukan satu kali pukul lalu selesai.

Begitulah proses “dari mata, turun ke puisi”.

Januari 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »