TUDUNG SAJI BERENDA BENANG EMAS YANG JATUH KE LANTAI PADA HARI MAULID
Farizal Sikumbang
Dengan tubuh letih serta muka muram, kamu mengeluarkan tudung saji berenda benang emas dari lemari kayu. Tudung saji itu berwujud kerucut dengan dominan warna hijau, kuning dan hitam.
Setelah usai membalikkan tubuh ke
arah pintu dapur, kamu mencecar suamimu dengan
sebuah keluhan.
“Hai Bang, tinggal satu minggu lagi kenduri
maulid di kampung, tapi uang belum ada. Bagaimana ini abang?”
“Kan sudah kubilang, mungkin tahun
ini kita tidak melaksanakan kenduri
maulid Asnah,” katanya padamu.
“Malulah abang, sebab belum pernah
kita tidak ikut serta kenduri maulid
selama ini.”
“Apa kau tak mengerti keadaanku Asnah? Istri
macam apa kamu, tidak tahu suami lagi sakit.”
Kamu mendesah. Kamu tidak bisa
mengerti mengapa suamimu tidak dapat memahami perasaanmu. Acara maulid nabi
tahun ini semakin memusingkan kepalamu. Terlebih bila ingat tentang kabar Rahimah.
Tetangga depan rumahmu itu yang sudah satu tahun ini selalu kamu benci dan tak
pernah kamu ajak bicara itu telah bernazar akan mengantarkan kuah belangoeng lengkap dengan ayam goreng
serta sesajian lainnya ke meunasah. Begitu juga dengan ibu-ibu lain yang ada di
kampungmu. Mereka juga akan membawa tudung saji yang di bawahnya berisi penuh
makanan seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Tidakkah kamu paham Asnah, bahwa semua itu
hanya tradisi? Bukankah yang lebih utama dalam maulid Nabi Muhammad membuatmu
semakin meneladani sifatnya, menjalankan segala ajarannya sebagai bentuk
cintamu kepadanya? “ Ujar suamimu mencoba mengingatkan.
Dengan penuh kedongkolan kamu meletakkan
tudung saji itu di atas meja. Setelah itu kamu menuju ke luar rumah.
Satu minggu setelah memaski bulan
Rabiul Awal, kamu mengadakan kenduri
maulid di rumah. Kamu mengorbankan satu ekor sapi. Memasak kuah belangoung. Mengundang kerabat dan
sahabat dari kampung seberang, dan tidak lupa membawa tudung saji berenda
benang emas yang di dalamnya berisi penuh makanan ke meunasah.
Dalam kemeriahan itu, kamu melayani
para tamu dengan senyum mengambang yang seperti tidak ada ujungnya. Bagimu ini
adalah pesta kenduri maulid yang
paling membahagiakan hati daripada yang sudah-sudah. Karena bertepatan dengan
masa kehamilanmu. Tapi justru kebahagianmu itu membuat kamu alpa dengan
keletihanmu.
Ketika acara usai dan para
pengunjung sudah meninggalkan rumahmu, kamu segera masuk ke dalam kamar dan
merebahkan tubuh. Merentangkan dua tangan bagai seekor merpati hendak terbang
serta menjulurkan dua kaki seperti gerbong lokomotif menunggu penumpang. Dan
disaat itulah kamu mulai merasakan perutmu sakitnya tidak terbilang dan
nyerinya tidak terkatakan. Lalu kamu menjerit sejadi-jadinya memanggil suamimu.
Melihatmu seperti itu, ia tidak
membantu tubuhmu, tapi malah berlari ke luar kamar dengan ketakutan di atas
ubun-ubun. Namun tidak berapa lama ia segera kembali dengan membawa seorang
bidan.
“Kamu kelelahan.” Seru bidan itu
padamu.
Bidan itu menyuruhmu mengangkangkan
dua kakimu. Menyuruhmu mengatur pernafasan.
Dalam penantian kelahiran yang
berjam-jam itu, kamu terus menahan kesakitan. Dengan peralatan kelahiran
seadanya bidan itu dengan sabar menuntunmu supaya bayi dalam rahimmu ke luar
dengan selamat.
Dan enam jam terlewati, baru bayi
dalam rahimmu dapat ke luar.
“Dia, tak selamat,” seru bidan itu
dengan pelan. Setelah itu tangismu pecah sejadi-jadinya. Ruangan kamar itu pun
menjelma seperti neraka bagimu.
Berhari-hari berikutnya kamu merasa
hidup dalam kesepian. Tidak itu saja, di hatimu mulai tumbuh benih dendam pada
bidan itu. Sebab kamu merasa kematian bayimu disebabkan ketidakmampuannya
membantu persalinanmu.
Tidak pada bidan itu saja, kau juga
marah pada suamimu. Karena memanggilnya sebagai bidan persalinan. Bukankah
bidan yang bernama Rahimah itu baru saja lulus dari sekolah kebidanan dan belum
punya pengalaman dalam membantu persalinan?
Kecerobohan suamimu itu
bertahun-tahun lamanya sering kali sebagai pemicu pertengkaranmu dengannya. Dan
tanpa kamu sadari membuatnya merasa berdosa. Akhinya ia stroke. Dan kakinya
lumpuh sebelah serta tangan kirinya agak susah digerakkan. Kamu tidak tahu,
jika sebenarnya hatinya pun sama seperti hatimu disaat bayimu tak selamat dalam
persalinan itu.
***
Lalu, sehabis kamu ke luar rumah dan
pergi entah ke mana tadi, Rahimah tiba-tiba saja bertandang ke rumahmu. Karena
kamu tidak ada di rumah, ia menjumpai suamimu dan memberinya sejumlah uang
dalam amplop.
“Gunakanlah uang ini untuk kenduri maulid,” katanya pada suamimu.
“Aku tak perlu dikasihi Rahimah,”
ujar suamimu.
Rahimah menggelengkan kepala.
“Aku tahu, kamu mendengar istriku
sering meminta uang padaku untuk kenduri.”
“Terimalah bang,” ujarnya sambil
meletakkan amplop warna putih itu.
***
Ketika suamimu memberikan uang itu,
kamu tidak bertanya dari mana ia mendapatkan uang dengan jumlah besar itu.
Keriangan hatimu melupakannya.
Saat memasuki hari maulid, kamu
mulai sibuk mempersiapkan acara kenduri.
Kamu membeli beberapa kilo daging sapi untuk memasak kuah belangoeng. Beberapa ekor ayam dan ikan serta keperluan lainnya.
Setelah semua makanan matang kamu
menarik nafas dalam kelelahan. Kamu membayangkan para kerabat dan sahabat yang
akan sampai ke rumah. Dan tidak lupa wajah Rahimah, perempuan muda beranak
kecil itu yang entah mengapa seperti mengejekmu
Dalam keriangan itu pula kamu
mengisi baki dengan piring serta mangkok yang disusun. Kemudian kamu sungkup
dengan tudung saji berenda benang emas. Sebelum para tamu datang, kamu akan
membawa tudung saji berenda benang emas itu ke meunsah.
Kamu bangkit dari dudukmu.
Mengangkat tudung saji itu di atas kepala. Di saat kau akan mengayunkan kaki.
Telepon genggam milik suamimu berdering satu kali di atas meja yang ada di
sampingmu. Kamu mengambil telepon genggam itu dan membaca pesan singkat yang
tertulis di sana: tak usah abang pikirkan
uang yang kuberikan untuk kenduri itu ya.
Sungguh celaka, kamu seperti
disengat binatang berbisa usai membacanya. Tubuhmu terhuyung. Pandangan matamu
mengabur. Darah di tubuhmu berdesir hebat. Tangan Rahimah seperti mencengkram.Tiba-tiba
kamu tersandung sesuatu. Kamu terjatuh. Bunyi piring dan mangkok pecah
berdentang-dentang memekakkan telinga. Kuah belangoeng
tumpah. Dagingnya berserakan. Nasi putih bertebaran. Beberapa butir telur bebek
melompat-lompat seperti bola.
“Asnah! Asnah!” Ujar suamimu dari
depan rumah. Ia yakin, sesuatu telah terjadi padamu.**
Note:
Belangoeng=masakan khas aceh yang
berupa daging sapi berkuah
Meunasah=mushalla