Tudung Saji Berenda Benang Emas yang Jatuh ke Lantai pada Hari Maulid - Farizal Sikumbang

@kontributor 1/02/2022

TUDUNG SAJI BERENDA BENANG EMAS YANG JATUH KE LANTAI PADA HARI MAULID

Farizal Sikumbang



Dengan tubuh letih serta muka muram, kamu mengeluarkan tudung saji berenda benang emas dari lemari kayu. Tudung saji itu berwujud kerucut dengan dominan warna hijau, kuning dan hitam.

Setelah usai membalikkan tubuh ke arah pintu dapur, kamu  mencecar suamimu dengan sebuah keluhan.

 “Hai Bang, tinggal satu minggu lagi kenduri maulid di kampung, tapi uang belum ada. Bagaimana ini abang?”

“Kan sudah kubilang, mungkin tahun ini kita tidak melaksanakan kenduri maulid Asnah,” katanya padamu.

“Malulah abang, sebab belum pernah kita tidak ikut serta kenduri maulid selama ini.”

 “Apa kau tak mengerti keadaanku Asnah? Istri macam apa kamu, tidak tahu suami lagi sakit.”

Kamu mendesah. Kamu tidak bisa mengerti mengapa suamimu tidak dapat memahami perasaanmu. Acara maulid nabi tahun ini semakin memusingkan kepalamu. Terlebih bila ingat tentang kabar Rahimah. Tetangga depan rumahmu itu yang sudah satu tahun ini selalu kamu benci dan tak pernah kamu ajak bicara itu telah bernazar akan mengantarkan kuah belangoeng lengkap dengan ayam goreng serta sesajian lainnya ke meunasah. Begitu juga dengan ibu-ibu lain yang ada di kampungmu. Mereka juga akan membawa tudung saji yang di bawahnya berisi penuh makanan seperti tahun-tahun sebelumnya.

 “Tidakkah kamu paham Asnah, bahwa semua itu hanya tradisi? Bukankah yang lebih utama dalam maulid Nabi Muhammad membuatmu semakin meneladani sifatnya, menjalankan segala ajarannya sebagai bentuk cintamu kepadanya? “ Ujar suamimu mencoba mengingatkan.

       Dengan penuh kedongkolan kamu meletakkan tudung saji itu di atas meja. Setelah itu kamu menuju ke luar rumah.

       ***
       Tiga tahun yang lalu kamu yakin sekali jika kelahiran anak pertamamu itu akan jatuh pada bulan Rabiul Awal. Bertepatan dengan bulan maulid Nabi Muhammad SAW. Kamu sangat gembira dan kadang seperti tidak sabaran menunggu kelahirannya. Kamu juga sudah mempersiapkan nama untuknya. Kelak jika ia berkelamin laki-laki, kamu akan memberinya nama Muhamad Panglima. Beberapa tetanggamu menyetujui nama itu. Apalagi mereka meyakini bahwa bayi yang berada di rahimmu memang berkelamin laki-laki. Mereka beralasan ketika melihat bentuk pinggang dan pantatmu yang padat serta caramu berjalan.

Satu minggu setelah memaski bulan Rabiul Awal, kamu mengadakan kenduri maulid di rumah. Kamu mengorbankan satu ekor sapi. Memasak kuah belangoung. Mengundang kerabat dan sahabat dari kampung seberang, dan tidak lupa membawa tudung saji berenda benang emas yang di dalamnya berisi penuh makanan ke meunasah.

Dalam kemeriahan itu, kamu melayani para tamu dengan senyum mengambang yang seperti tidak ada ujungnya. Bagimu ini adalah pesta kenduri maulid yang paling membahagiakan hati daripada yang sudah-sudah. Karena bertepatan dengan masa kehamilanmu. Tapi justru kebahagianmu itu membuat kamu alpa dengan keletihanmu.

Ketika acara usai dan para pengunjung sudah meninggalkan rumahmu, kamu segera masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuh. Merentangkan dua tangan bagai seekor merpati hendak terbang serta menjulurkan dua kaki seperti gerbong lokomotif menunggu penumpang. Dan disaat itulah kamu mulai merasakan perutmu sakitnya tidak terbilang dan nyerinya tidak terkatakan. Lalu kamu menjerit sejadi-jadinya memanggil suamimu.

Melihatmu seperti itu, ia tidak membantu tubuhmu, tapi malah berlari ke luar kamar dengan ketakutan di atas ubun-ubun. Namun tidak berapa lama ia segera kembali dengan membawa seorang bidan.

“Kamu kelelahan.” Seru bidan itu padamu.

Bidan itu menyuruhmu mengangkangkan dua kakimu. Menyuruhmu mengatur pernafasan.

Dalam penantian kelahiran yang berjam-jam itu, kamu terus menahan kesakitan. Dengan peralatan kelahiran seadanya bidan itu dengan sabar menuntunmu supaya bayi dalam rahimmu ke luar dengan selamat.

Dan enam jam terlewati, baru bayi dalam rahimmu dapat ke luar.

“Dia, tak selamat,” seru bidan itu dengan pelan. Setelah itu tangismu pecah sejadi-jadinya. Ruangan kamar itu pun menjelma seperti neraka bagimu.

Berhari-hari berikutnya kamu merasa hidup dalam kesepian. Tidak itu saja, di hatimu mulai tumbuh benih dendam pada bidan itu. Sebab kamu merasa kematian bayimu disebabkan ketidakmampuannya membantu persalinanmu.

Tidak pada bidan itu saja, kau juga marah pada suamimu. Karena memanggilnya sebagai bidan persalinan. Bukankah bidan yang bernama Rahimah itu baru saja lulus dari sekolah kebidanan dan belum punya pengalaman dalam membantu persalinan?

Kecerobohan suamimu itu bertahun-tahun lamanya sering kali sebagai pemicu pertengkaranmu dengannya. Dan tanpa kamu sadari membuatnya merasa berdosa. Akhinya ia stroke. Dan kakinya lumpuh sebelah serta tangan kirinya agak susah digerakkan. Kamu tidak tahu, jika sebenarnya hatinya pun sama seperti hatimu disaat bayimu tak selamat dalam persalinan itu.

***

Lalu, sehabis kamu ke luar rumah dan pergi entah ke mana tadi, Rahimah tiba-tiba saja bertandang ke rumahmu. Karena kamu tidak ada di rumah, ia menjumpai suamimu dan memberinya sejumlah uang dalam amplop.

“Gunakanlah uang ini untuk kenduri maulid,” katanya pada suamimu.

“Aku tak perlu dikasihi Rahimah,” ujar suamimu.

Rahimah menggelengkan kepala.

“Aku tahu, kamu mendengar istriku sering meminta uang padaku untuk kenduri.”

“Terimalah bang,” ujarnya sambil meletakkan amplop warna putih itu.

***

Ketika suamimu memberikan uang itu, kamu tidak bertanya dari mana ia mendapatkan uang dengan jumlah besar itu. Keriangan hatimu melupakannya.

Saat memasuki hari maulid, kamu mulai sibuk mempersiapkan acara kenduri. Kamu membeli beberapa kilo daging sapi untuk memasak kuah belangoeng. Beberapa ekor ayam dan ikan serta keperluan lainnya.

Setelah semua makanan matang kamu menarik nafas dalam kelelahan. Kamu membayangkan para kerabat dan sahabat yang akan sampai ke rumah. Dan tidak lupa wajah Rahimah, perempuan muda beranak kecil itu yang entah mengapa seperti mengejekmu

Dalam keriangan itu pula kamu mengisi baki dengan piring serta mangkok yang disusun. Kemudian kamu sungkup dengan tudung saji berenda benang emas. Sebelum para tamu datang, kamu akan membawa tudung saji berenda benang emas itu ke meunsah.

Kamu bangkit dari dudukmu. Mengangkat tudung saji itu di atas kepala. Di saat kau akan mengayunkan kaki. Telepon genggam milik suamimu berdering satu kali di atas meja yang ada di sampingmu. Kamu mengambil telepon genggam itu dan membaca pesan singkat yang tertulis di sana: tak usah abang pikirkan uang yang kuberikan untuk kenduri itu ya.

Sungguh celaka, kamu seperti disengat binatang berbisa usai membacanya. Tubuhmu terhuyung. Pandangan matamu mengabur. Darah di tubuhmu berdesir hebat. Tangan Rahimah seperti mencengkram.Tiba-tiba kamu tersandung sesuatu. Kamu terjatuh. Bunyi piring dan mangkok pecah berdentang-dentang memekakkan telinga. Kuah belangoeng tumpah. Dagingnya berserakan. Nasi putih bertebaran. Beberapa butir telur bebek melompat-lompat seperti bola.

“Asnah! Asnah!” Ujar suamimu dari depan rumah. Ia yakin, sesuatu telah terjadi padamu.**

 

Note:

Belangoeng=masakan khas aceh yang berupa daging sapi berkuah

Meunasah=mushalla

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »