Nama dan Sastra (Tak) Tercetak - Bandung Mawardi

@kontributor 3/13/2022

Nama dan Sastra (Tak) Tercetak

Bandung Mawardi





Sastra cepat bertumbuh dan beredar di pelbagai benua gara-gara Gutenberg. Ia bukan penulis puisi atau novel. Lelaki yang tak menghabiskan hari-hari menikmati cerita-cerita. Ia memilih berpikir dan mengurusi benda-benda memungkinkan terjadi “keajaiban” dan menghasilkan laba. Ia bukan penerima “mukjizat” sastra tapi kita berhak mengakui ia sebagai “leluhur” atas keberlimpahan sastra tercetak berupa buku, selain suguhan sastra di lembaran-lembaran koran dan majalah.

Pada abad XV, Gutenberg bekerja dan bertaruh hidup-mati. Ia mengerjakan pencetakan Alkitab. Ia bekerja dengan menata keping-keping huruf, menata lembaran-lembaran kertas, dan mengatur tinta. Mesin mulai bekerja untuk mengubah dunia. Di buku berjudul Johann Gutenberg (1993) susunan Michael Pollard, terbaca: 


“Alkitab yang diproduksi oleh Gutenberg kadang-kadang disebut ‘Alkitab empat puluh dua baris’ karena hampir semua halamannya terdiri dari empat puluh dua baris kata yang tersusun dalam dua kolom, meskipun ada beberapa yang kurang satu atau lebih satu baris. Seluruhnya ada 1.282 halaman, dalam dua jilid.” 


Pekerjaan tak selesai. Gutenberg telanjur ditimpa masalah utang. Ia telah memulai “kecamuk” meski remuk akibat utang dan konflik ruwet.

“Kecamuk” itu mengakibatkan kemunculan rumah percetakan di pelbagai kota di Eropa. Mereka tak melulu bermisi agama dengan mencetak Alkitab. Dunia memerlukan beragam bacaan. Mesin cetak memenuhi segala hasrat bagi orang-orang terkesima huruf-huruf tercetak di halaman-halaman kertas terjilid. 

Pada suasana dan misi berbeda, “kecamuk” dipicu Gutenberg menjadi girang di Inggris. William Caxton masuk dalam bisnis percetakan dan penerbit. “Ia mencetak sekitar seratus judul buku hingga ajal menjemputnya pada tahun 1491,” tulis Michael Pollard. Konon, buku-buku dimaksudkan sebagai bacaan menghibur. Buku bisa dinikmati siapa saja. Pada akhir abad XV, kaum wanita perlahan menjadi pembaca atau penikmat buku. 

Deskripsi berlatar silam: “Membaca di depan seluruh keluarga atau tamu menjadi populer sebagai pengisi waktu senggang di malam-malam musim dingin yang panjang. Buku tidak lagi hanya milik para cendekiawan tetapi mulai merasuk ke rumah-rumah.” Gutenberg mungkin sudah berpikiran jauh berkaitan dampak mesin cetak meski ia nestapa gara-gara utang. Ia tak terlalu dikenang dalam industri buku mengobarkan gairah Eropa. Dulu, Gutenberg tak pernah mencantumkan nama di barang cetakan dihasilkan. Ia mungkin sekadar nama atau cerita menimbulkan prihatin bagi orang-orang mau sejenak memikirkan berbarengan keberlimpahan buku-buku di dunia. 

Pada saat kita mau mengenang dan menghormati berlatar abad XXI, dunia malah terlalu berubah: tak lagi oleh barang-barang dihasilkan mesin cetak. Gutenberg belum sempat dikenalkan kepada bocah dan remaja. Ia berada dalam sejarah tanpa memicu penasaran kaum memilih melulu berinternet. Buku-buku masih mudah ditemukan di pelbagai tempat tapi orang-orang tak perlu mengadakan “upacara peringatan” atau ritual pelestarian “kecamuk” gara-gara mesin cetak bertokoh Gutenberg. Ia memang pantas dianggap “leluhur” tapi abad XXI telah mendatangkan tokoh-tokoh baru terbukti memberi kemanjaan dan keterlenaan. Gutenberg diabsenkan saja pasti tak ada demonstrasi dan pengajuan petisi-petisi.   

Sekian puluh tahun dari Gutenberg mencetak Alkitab, perubahan-perubahan besar terjadi di Eropa. Pada 1501, percetakan di Italia mengenalkan format kertas seukuran saku. Pilihan ukuran itu menambahi pikat cetakan buku. Nicholas Carr dalam buku berjudul The Shallows (2011) mengingatkan: “… mengecilnya ukuran buku ikut menjadikan peristiwa membaca buku menjadi serat kehidupan sehari-hari. Tidak lagi hanya cendekia dan biarawan yang bisa duduk membaca kata-kata di ruangan yang hening.” Orang-orang biasa pun mulai menjadi penikmat buku, mengalami keheningan bersama buku. Hasrat membaca-menulis bertumbuh gara-gara buku-buku terus terbit dan tampak mata. 

Pada abad XVII, dampak mesin cetak telah beredar ke pelbagai benua, tak cuma Eropa. Tulisan-tulisan dari para pengarang besar di Eropa mulai digemari para pembaca di pelbagai negara. Buku-buku sastra mereka mencipta panggilan, hiburan, renungan, kemarahan, dan keisengan. Sastra dan bahasa sangat terpengaruh dengan mesin cetak dan bisnis perbukuan. Nicholas Carr menjelaskan: “Setelah mesin cetak ditemukan oleh Gutenberg, batasan bahasa berkembang dengan pesat saat penulis, karena saling berlomba untuk mendapatkan perhatian dari pembaca yang lebih cerdas dan lebih membutuhkan, berusaha mengungkapkan gagasan dan emosi dengan kejelasan, keindahan, dan keaslian yang tinggi.” Para penulis sadar wajib tekun mengurusi bahasa agar gubahan sastra memiliki kekhasan saat tersuguhkan di hadapan sidang pembaca. Industri buku memungkinkan gairah bahasa dan peka (mutu) sastra.

Ingatan-ingatan masa lalu itu berubah. Kita geleng-geleng kepala atau menunduk lama saat mengetahui situasi sastra di Indonesia abad XXI. Suguhan gubahan novel tak melulu berupa buku (cetak). Orang-orang menulis dan membaca novel berteknologi baru. Selera bahasa pun terdampak, berbeda dari gejolak gara-gara mesin cetak Gutenberg. Novel-novel tanpa kertas. Pamrih menjadikan novel itu tercetak bisa belakangan asal telah beredar dan mencipta selera di gawai-gawai. Konon, sastra bertambah ramai dan seru. Sastra abad XXI di Indonesia tak perlu “berdosa” bila tanpa upacara mengenang Gutenberg dan pelestarian edisi sastra tercetak untuk misi membaca hening-mendalam. Begitu. 


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »