Jalan Randu - Yin Ude

@kontributor 6/05/2022

JALAN RANDU

Yin Ude




Zarkasi memiringkan topi koboinya ke kanan untuk menghalangi paparan panas matahari di pipinya. Saat itu pula hatinya berkata bahwa pagi sudah beranjak ke pukul sembilan. Lalu seperti biasa ia pun bangkit, menyudahi aktivitas duduk tiga jamnya di kursi kayu panjang di pinggir jalan.

Jalan tempatnya itu Jalan Randu, sudah bertahun-tahun menjadi saksi kebiasaan yang dilakukan Zarkasi, yakni datang pukul enam pagi, duduk memandangi lalu lalang kendaraan, menghentikan dua tiga anak jalanan yang melintas, membelikan mereka nasi bungkus dari penjual keliling, mengajaknya ngobrol selama satu dua jam. Kadang disuguhi pula dengan minuman jika kebetulan ada gerobak minuman lewat. Setelah anak-anak itu pergi ia akan berdiam lagi, memandangi lalu lalang kendaraan lagi, hingga tiba waktu pipi kanannya panas oleh matahari, yang ia yakini pertanda jam sembilan, ia pun beranjak pulang.

Ia melangkah di trotoar dengan langkah lamban, kian lamban dibandingkan empat lima tahun lalu. Kakinya memang sudah tak kukuh lagi seiring pertambahan usianya yang kini menginjak tujuh puluh lima tahun. Beberapa orang menyapa, dijawabnya dengan ramah. Bahkan sejenak berhenti untuk diajaknya orang itu bersalaman. Ia memang dikenal ramah, walaupun baru empat lima tahun.

Zarkasi sebelumnya orang tertutup. Warga sekitar Jalan Randu, para tetangganya di Kelurahan Randu tak begitu akrab dengan lelaki ini. Ia jarang keluar seperti sekarang. Hanya muncul berolahraga sebatas di dalam pekarangan, merawat bunga atau memandikan burung piaraan. Hanya dia yang seperti itu. Isteri dan anak-anaknya bergaul layaknya orang kebanyakan.

Tak ada warga yang tahu mengapa Zarkasi bertabiat seperti itu. Seperti tak adanya orang yang bisa menjelaskan pula kenapa kini ia mendadak berubah; tiap pagi keluar rumah, jalan-jalan dan duduk di tepi jalan, perhatian kepada anak-anak jalanan, baik kepada siapa saja.

Naim, pemilik lapak kopi yang berdekatan dengan tempat Zarkasi biasa duduk, adalah orang yang paling sering mendengar suara-suara bernada penasaran pelanggannya tentang Zarkasi.

Lelaki bertubuh tambun itu akan berkata dengan mantap, “Pak Zarkasi sudah sadar sebentar lagi mati dan dia merasa sudah waktunya bergaul. Ia takut tidak ada orang yang akan mengusung kerandanya.”

*

            “Tidak! Aku tidak akan ikut kamu!” seru Zarkasi. Tatapannya tajam melekati wajah Sri, anaknya yang tampak terkejut dengan suara kerasnya barusan.

             “Aku tidak akan meninggalkan rumah ini. Aku tidak akan pergi dari kota ini,” ucap Zarkasi lagi, sudah dengan nada rendah. Ia sepertinya menyesal telah menunjukkan sikap berlebihan kepada Sri.

            Sri tertunduk, sadar telah membuat orang tuanya itu marah. Lama ia tertunduk, tanpa bicara. Jemarinya meremas-remas tumpukan serbet di atas meja di sampingnya, yang memisahkan tempat duduknya dengan Zarkasi.

            Lelaki itu pun diam, tengadah, memandang langit-langit dapur.

            Sampai Maemunah, isterinya muncul.

            Perempuan itu menarik kursi dan duduk di depan suami dan anaknya.

            “Tak perlu keras begitu sama anak, Pak,” katanya pelan. “Kalau memang tidak mau ikut pindah, ya tidak apa-apa. Sri juga tidak memaksa…”

            “Dia memaksaku,” potong Zarkasi. “Dari dua minggu lalu, sejak kedatangannya dia terus meminta aku dan kamu meninggalkan kota ini, ikut dia dan suaminya ke Jakarta. Aku terus menolak, dengan halus, dengan sabar, tapi dia tak mengerti juga. Itu namanya memaksa.”

            Maemunah menatap Sri, seolah hendak mengonfirmasi pernyataan suaminya.

            Yang ditatap membalas tatap, tanpa bicara. Hatinya saja yang berkata, “ya, saya hendak memaksa Bapak.”

            “Saya yakin sekali anak kita tidak bermaksud memaksa. Jadi sudahlah,” pungkas Maemunah.

            Zarkasi bangkit dari kursi, menuju ruang tengah. Sri menghela nafas, mencoba mengatasi gumpalan beban di dadanya.

            Maemunah tak peduli lagi. Ia sedang meletakkan wajan di atas kompor.

**

 

            Naim bergegas mendekati Zarkasi yang memanggilnya dari tepi jalan tempat biasa ia duduk.

            “Pak Naim tahu ke mana kursi panjang yang ada di sini?” Tanya Zarkasi begitu Naim tiba di depannya.

            Muka lelaki tua itu tampak tegang, menyiratkan pula kebingungan dan rasa kehilangan.

            Mulut Naim menganga, memperlihatkan keterkejutan mendapati kursi panjang telah raib.

            “Tidak tahu, Pak,” ucapnya pelan. “Dari tadi saya tidak memperhatikan tempat ini, jadi tidak sadar kalau kursi panjang itu sudah hilang.”

            Zarkasi mengitari sekeliling dengan matanya, mencoba menelisik sekitar, siapa tahu kursi panjang itu hanya berpindah tempat saja, dipindahkan tadi malam oleh orang yang iseng. Jalan Randu, jika malam, tempatnya mangkal anak-anak muda. Bisa saja anak-anak itu yang telah iseng.

            Tapi tidak ada. Kursi panjang itu tak terlihat sama sekali.

            “Kalau Bapak mau duduk-duduk, ada kursi plastik di lapak saya. Bisa Bapak pakai selama yang Bapak mau. Saya ambil, ya?” kata Naim mencoba menyela ekspresi tegang, bingung dan kehilangan lelaki bertopi koboi yang rambutnya sudah rata memutih itu.

            Zarkasi tak menjawab. Ia masih mengulang menjelajah sekitar dengan tatapan. Ketika harus yakin bahwa apa yang dicarinya tak akan pernah ada lagi, ia pun menggeleng-geleng, menyatakan penyesalan dan keputusasaan teramat dalam.

            “Ini kursi plastiknya, Pak.”

            Naim menyodorkan kursi plastik.

            Zarkasi duduk. Di depannya melintas-lintas peristiwa lima tahun lalu. Saat itu Katijan, pedagang kaki lima menjadi korban razia petugas trantib. Gerobak mi ayamnya diangkut dengan truk. Petugas trantib lupa menaikkan kursi kayu panjang tempat duduk pelanggan. Dari atas kendaraan petugas yang membawanya, Katijan berteriak kepada Zarkasi, “kursi itu untuk Bapak! Biar jadi kenang-kenangan saya!”

            Waktu lima tahun belum juga membuat lapuk atau rusak kursi panjang itu. Kemungkinan kayu bahannya adalah kayu pilihan, yang kuat. Atau memang Tuhan sengaja memeliharanya, agar ada sisa sejarah kesewenang-wenangan yang bertahan di tempat itu, yang berdampingan dengan cerita konyol; lapak Naim tak pernah dirazia, karena tiap hari menjadi tempat mangkal petugas trantib, yang suka berhutang kopi.

            Zarkasi tak lagi memiringkan topi koboinya walaupun sinar matahari telah mengelus pipi kanannya. Panasnya sudah berpindah ke rongga dadanya.

***

 

            Lima hari sudah sejak kejadian hilangnya kursi panjang, Zarkasi pasrah menjalani aktivitas tiga jamnya di tepi Jalan Randu dengan duduk di atas kursi plastik milik Naim.

            Kursi itu tidak membuat dia nyaman apalagi puas, sebab pantat dan hatinya sudah lekat dengan kursi kayu panjangnya. Tiba-tiba ia merasa jiwanya tertekan oleh rasa kehilangan.

            Dan pagi ini datang lagi masalah yang membuat jiwanya lebih kehilangan. Naim baru saja membawa berita bahwa dua tiga anak jalanan “sahabatnya” yang biasa keliaran di Jalan Randu telah dijaring oleh dinas sosial dan entah telah dibawa kemana.

            “Terus untuk alasan apa lagi aku duduk-duduk di sini?” keluh batinnya. “Kursiku diambil orang, kini anak-anak jalanan yang selalu kutunggu dan membuat pagiku, hidupku terus berarti, hilang pula.”

            Dada Zarkasi bergetar. Ada kehampaan meluap-luap, bentur membentur di dalamnya. Kehampaan yang sesungguhnya telah mulai pupus selama lima tahun belakangan, yang menjadi penyebab ia tak lagi mengurung diri di dalam rumah, menutup diri dari semua orang. Tapi, sepertinya dirinya sedang didorong lagi untuk menjadi Zarkasi yang dulu.

            Ada seorang ibu dan tiga anaknya meninggal bersimbah darah di dalam selokan!

            “Harusnya perempuan itu tidak bersembunyi di situ. Semua regu pasti akan memeriksa selokan dan rimbunan semak belukar sebab sangat besar kemungkinan dijadikan tempat persembunyian.”

            Seruan-seruan itu mendadak bergema dalam kepala Zarkasi. Lalu riuh. Lalu bergemuruh. Lalu seperti menumbuk-tumbuk tengkoraknya.

            Zarkasi lunglai, tak sadarkan diri. Ia hampir terjerembab ke tanah seandainya Naim tak cepat-cepat berlari, datang memeluknya.

****

 

            Seminggu Zarkasi dirawat di rumah sakit. Begitu keluar, Sri langsung mengultimatumnya agar menurut untuk diajak pindah ke Jakarta.

            “Kejadian pingsan semacam ini yang saya takutkan. Bapak sudah tua, harus selalu dalam pengawasan. Saya di Jakarta tidak akan tenang memikirkan Bapak di sini. Jadi Bapak dan Ibu harus ikut saya.” Itu alasan Sri. Maemunah pun ikut memaksa.

            Zarkasi yang merasa bersalah karena telah merepotkan anak isterinya tak lagi bisa membantah. Terlebih ia sudah benar-benar dicekam kehampaan, kesia-siaan harapan akan kembalinya sesuatu yang selalu ia tunggu, yang selama lima tahun membuat pagi-paginya, hidupnya terasa kembali berarti. Saat menjenguk, Naim mengabarkan lagi bahwa lokasi Zarkasi biasa duduk akan segera berubah menjadi halaman parkir sebuah supermarket yang akan dibangun di sana.

            Jam sembilan pagi Zarkasi terlihat duduk di jok depan mobil Sri. Suami anaknya itu yang menyetir, membawanya pergi dari kota kediamannya selama ini.

            Melewati Jalan Randu, matahari sedang memanasi tanah, rumputan dan daun-daun pohon randu yang berjejer. Tak lagi memanasi tubuhnya, pipinya. Air mata Zarkasi menetes. Berat ia pergi. Tapi apa boleh buat. Lekas disekanya, malu dilihat oleh menantunya.

            Di belakangnya, di jok tengah, duduk berdampingan Sri dan Maemunah.

            Sri tak melepas tatapan dari sebuah gudang kosong yang mereka lalui. Di dalam gudang itu, atas suruhannya, Naim telah menyembunyikan kursi kayu panjang tempat bapaknya biasa duduk.

            Lelaki tambun itu memang pintar bersandiwara setelah dibayar. Ia pun sanggup membohongi Zarkasi tentang akan dibangunnya supermarket di Jalan Randu.

            Beberapa kilometer mobil melaju, giliran pangkalan anak-anak jalanan yang tak lepas dipandangi oleh Sri. Di sana terlihat dua tiga anak jalanan yang selalu ditunggu Zarkasi. Anak-anak itu telah diwanti-wanti pula oleh Naim agar tak lagi keliaran di Jalan Randu. Untuk kepatuhannya, mereka diberikan uang, titipan dari Sri pula.

            Sri mengaktifkan layar ponsel. Dibacanya kembali sederetan pesan di sana, pesan teman psikolognya yang berbunyi, “jauhkan bapakmu dari lokasi kejadian yaitu Jalan Randu dan segala hal yang bisa memicu ingatan beliau pada peristiwa tersebut. Termasuk dari anak-anak yang selalu beliau tunggu, yang beliau ajak bicara, yang beliau beri perhatian. Beliau lakukan itu karena terdorong oleh obsesi membayar kesalahan atas apa yang menimpa tiga anak saat kejadian itu. Akan lebih efektif jika bisa membawa pindah beliau ke kota lain, yang jauh dari kota tempat tinggal beliau sekarang.”

            Sri merasa telah menjalankan saran temannya itu. Ia merasa lega, yakin bapaknya akan segera bisa dipisahkan dari kenangan buruk kejadian puluhan tahun lalu. Kejadian yang terurai dalam catatan yang sedang ia baca di layar ponsel.

            Catatan itu adalah salinan dari buku tua yang ia temukan di dalam lemari bapaknya. Buku itu berisi “curahan hati” lelaki itu pada dirinya sendiri tentang kesalahannya yang fatal, yang mengakibatkan terenggutnya nyawa tiga anak beserta ibu mereka, dalam suatu kejadian puluhan tahun lalu;

            PENGAKUANKU, SEORANG PEMUDA YANG DALAM USIA DUA PULUH TAHUN TELAH MEMBUAT NYAWA TIGA ANAK TERENGGUT BERSAMA IBU MEREKA

-entah akan kusimpan selamanya, atau suatu waktu nanti kuserahkan pada petugas hukum, sebagai pertanggungjawabanku atas dosaku- ZARKASI

Aku tulis ini pada malam Jumat tanggal 6 April 1967, setelah sebelumnya di siang hari tadi telah terjadi peristiwa terbunuhnya tiga anak beserta ibunya. Penyebabnya adalah aku. Ya, aku.

            Bermula dari kekacauan di wilayah dalam kota. Kekacauan yang sebenarnya biasa; perburuan, penangkapan terhadap orang-orang yang diduga pendukung partai yang beberapa waktu sebelumnya melakukan pemberontakan terhadap negara.

            Aku, ikut dalam salah satu regu pemburu.

Aku sedang tergesa mengejar anggota regu lain yang telah meninggalkanku masuk ke dalam kampung.

            Di ujung gang aku bertemu dengan seorang ibu yang berlari sambil menggendong bayi. Di belakangnya ada pula dua orang anak kecil. Yang satu perempuan kira-kira empat tahun, yang satu lagi laki-laki sekitar enam tahun.

            Aku tahu ibu itu adalah isteri seorang pendukung partai.

            Aku pun menghadangnya dan hendak berseru memanggil teman-temanku, memberitahukan bahwa aku memergoki seorang sasaran.

            Ibu itu berlutut, mukanya menengadah, memelas.

            “Ampun, Nak, ampun! Tidakkah kamu kasihan pada nasib anak-anakku ini kalau kami tertangkap?” ucapnya menghiba. “Betul suamiku orang partai, tapi aku, apalagi anak-anak kami tidak tahu apa-apa! Tolong, jangan tangkap kami!”

            Aku tertegun. Ucapan perempuan itu merasuk ke dalam hatiku. Mungkin saja si ibu berbohong, tapi tiga anak itu jelas-jelas tak layak menjadi sasaran penangkapan, sasaran perlakuan buruk!

            Bimbanglah aku. Diriku tiba-tiba harus berhadapan dengan musuh sekaligus makhluk-makhluk tak berdosa. Tapi apakah aku harus jadi penghianat dengan menuruti permintaan ibu itu? Mendadak melintas pikiran ngeri saat kubayangkan apa yang akan terjadi jika teman-teman reguku atau para pemburu lain melihat keberadaan ibu dan anak-anaknya itu.

            “Ke sini, cepat!” perintahku seraya menggendong bersamaan dua anak yang berdiri terpaku tak tahu apa yang sedang terjadi itu.

            Aku berlari menyeberangi Jalan Randu dan mengajak si ibu turun ke dalam selokan yang cukup dalam yang ada di depanku, yang ditutup sempurna pula oleh rerimbun semak belukar dan tanaman liar. Beberapa saat pandanganku mengitari sekitar, memperhatikan situasi di sela-sela pohon randu besar yang tumbuh rapat di sepanjang jalan.

            “Para pengejar sedang berada di dalam kampung. Ibu diam di sini, tiarap, jangan keluar sampai mereka pergi!” ucapku tegang. “Saya tidak bisa lama-lama di sini. Kalau ketahuan menyembunyikan Ibu, saya yang akan dihakimi teman-teman.”

            Aku lari kembali masuk ke dalam kampung.

            Dua jam aku di sana, ikut menggeledah rumah-rumah yang dicurigai, mengumpulkan orang-orang yang ditangkap, kemudian keluar ke jalan untuk menggelandang pendukung partai menuju tanah lapang di pusat kota.

            Saat keluar itulah diriku terkejut bukan kepalang. Kulihat sekumpulan pemburu sedang berdiri di atas selokan tempat aku menyembunyikan si ibu dan anak-anaknya. Semak belukar dan tanaman liar di atasnya telah porak poranda bekas ditebas dengan senjata tajam.

            “Apa yang terjadi!” Tanya Salim, pimpinan tertinggi para pemburu yang muncul menyeruak dari kerumunan orang-orang yang baru keluar dari dalam kampung.

            Ia bertanya sambil mendekat ke selokan.

            “Ada seorang ibu dan tiga anaknya meninggal bersimbah darah di dalam selokan!” seru salah seorang pemburu.

            “Ya, Allah, kenapa anak-anak harus diperlakukan seperti ini?” teriak Salim marah. “Regu mana pelakunya?”

            Tatapan lelaki lima puluh tahunan itu melembing ke segala arah, kepada anggota-anggotanya yang juga bingung dan saling memandang.

            “Harusnya perempuan itu tidak bersembunyi di situ. Semua regu pasti akan memeriksa selokan dan rimbunan semak belukar sebab sangat besar kemungkinan dijadikan tempat persembunyian.”

            Telingaku berdenging ditumbuk suara berbisik seorang teman satu regu yang berdiri di sampingku.

            “Aku, aku tak bisa menyelamatkan perempuan itu dan anak-anaknya! Justru aku yang telah membuat mereka terbunuh!” jerit batinku kalut.

            Tubuhku gemetar, tak sanggup berdiri. Untung di belakangku ada pagar rumah warga. Kusandarkan punggungku. Peluh dingin merayapi badanku. Aku sadar mukaku pasti pucat. Lekas kusembunyikan dengan menunduk dalam.

            Duh, kejadian ini telah membuatku tak tenang. Aku terus dibayang-bayangi trauma dan rasa bersalah. Kini pun aku tak lagi bisa tidur. Entah, setelah ini, sampai berapa puluh tahunkah aku akan bisa menepis rasa bersalah ini? Aku seperti kehilangan diriku sendiri. Pada siapa aku bisa melepaskan beban ini? Isteriku Maemunah? Oh, aku tak akan pernah berani memberitahukannya.

            Sri menutup layar ponselnya. Pandangannya beralih ke arah bapaknya yang terus memandang ke luar jendela mobil. Kota mereka, apalagi Jalan Randu telah benar-benar jauh di belakang.

Selesai

Sumbawa Timur, 27 Mei 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »