Harga Sebuah Kasih Sayang - Kei Ra

@kontributor 4/10/2022

Harga Sebuah Kasih Sayang

Kei Ra






Dia menyukai lembaran merah. Setiap detik yang berputar di kehidupannya haruslah bernilai. Uang adalah bahan baku terbaik yang dapat gadis berambut panjang susun hingga menjadi sebuah tangga. Benda yang akan mengantarkan dirinya ke tempat menyenangkan.

***


Beker dalam ponsel berbunyi nyaring sejak tadi, bahkan beberapa kali mati kemudian menyala lagi. Saling mengisi bersama suara milik wanita dewasa yang berteriak memanggil dari luar kamar. Keduanya sama-sama berusaha membuat gadis berambut panjang beranjak dari tempat berbaring. Sudah sejak tadi sinar mentari menyelinap melalui celah tirai, mengusiknya yang masih berada di atas ranjang. 

Gadis berambut panjang memandang lurus ke atas. Menatap langit-langit kamar yang terlihat kosong. Masih jelas terukir dalam ingatannya, terakhir kali dia berharap menerima perhatian saat terbaring seorang diri di dalam kamar beberapa waktu lalu. 

“Ada apa? Kamu sakit?” setelah menyaksikan gadis berambut panjang masih menggunakan selimut di saat terik mentari menusuk kulit. “Sudah makan…? Makanya, jangan pilih-pilih makanan! Jangan begadang, sudah tahu gampang sakit. Dijaga badannya!”

Dari balik selimut, dia tidak menghiraukan deretan kata yang merayap ke dalam telinga. Ini bukan kejadian kali pertama, sudah seharusnya dia tahu kalau bukan kasih sayang yang akan dia dapat di saat seperti ini.

“Kalau sudah bisa bangun, jangan lupa nyapu, sama cuci piring juga.” Setelah suara derit pintu terdengar menutup, dia membuka selimut sebatas dada. Denyut di kepala yang sebelumnya dia pikir akan berkurang setelah bertemu wanita nomor satu dalam hidupnya, ternyata justru bertambah buruk. 

Dia mengerjapkan mata, sekarang kedua matanya lebih panas dan berat. Ingatan itu datang lagi, selalu menghampiri saat gadis berambut panjang tidak sanggup jauh dari ranjang. Baginya, lebih baik sakit seorang diri, dibanding bersama orang lain yang justru hanya akan menambah beban.

Kadang, saat setan-setan berhasil mengganggu, gadis berambut panjang akan terlena dan akhirnya terperangkap pada lubang hitam. Makhluk-makhluk bertanduk selalu berbisik saat hening lebih sering menemani. Lalu menggiringnya ke dalam sebuah opini tentang perbedaan antara kasih sayang yang dicurahkan kepadanya dan si bungsu.

Setiap kali nama gadis berambut panjang mengudara dengan lantang, apa pun yang sedang diakerjakan haruslah ditinggal. Setengah berlari dia mendatangi sumber suara, meninggalkan panci di atas kompor yang menyala. 

“Ambilkan baskom, air, dan sapu tangan handuk. Adikmu sakit.” Perintah langsung tercetus, tanpa diberitahu gadis berambut panjang dapat melihat si bungsu yang sedang tergeletak di sebelah wanita setengah baya. “Sudah seminggu dia kurang tidur, begadang untuk tugas kuliah dan kerjaan, sekarang ambruk.” Tanpa ditanya oleh siapa pun wanita itu bercerita.

Gadis berambut panjang tidak terlalu mendengarkan, memilih berbalik dan berlalu. Ada jarum-jarum yang tiba-tiba saja menusuk hatinya, lantas makhluk merah bertanduk datang dan membisikkan pertanyaan yang membuat dirinya tersenyum miris.

Kepalanya terasa penuh, diterjang berbagai memori dari berbagai waktu. Dia ingin membiarkan benih-benih penyakit hati tumbuh subur, namun setelah terdiam dan mencerna potongan-potongan kejadian yang telah terjadi, akal sehatnya menolak. Wanita nomor satunya tidak bersalah, wajar bila memang si bungsu lebih diprioritaskan. Di usianya yang telah dewasa, sudah seharusnya dia yang membantu, bukan dibantu. Seperti si bungsu yang telah berpenghasilan dan memanjakan wanita setengah baya.

***


Gelas ketiga telah menggeser tumpukan kertas di atas meja. Berisi cairan berwarna cokelat kehitaman yang menemani sejak semalam. Setelah membasahi tenggorokan beberapa kali, kedua matanya kembali mengarah ke layar sembari sesekali menatap tulisan di atas kertas. Tangan kiri terjaga di pinggir keyboard, sementara jemari tangan lainnya memeluk mouse sambil bergerak ke sana kemari.

Selama sembilan puluh menit dia duduk tanpa beranjak. Awalnya dia selalu menyempatkan bibirnya menyentuh gelas. Namun lambat laun dia membiarkan benda berukuran 300 ml itu dengan isi yang masih seperempat bagian. Mengalihkan perhatian. Memilih bercengkrama bersama pena dan tumpukan kertas. Mencoret bagian-bagian yang dirasa perlu tanpa melupakan karakter sang penulis. Setiap kali kerutan di dahi bertambah rapat, pada saat itu pula dia bergerak. Mengubah posisi dengan berbagai gaya sembari merenggangkan otot. 

“Halo. Selamat pagi,” sapa gadis berambut panjang setelah menyentuh layar enam inci yang terus berbunyi. “Hm, kira-kira cover-nya dikirim jam berapa, ya?” 

Obrolan berlangsung singkat. Setelah melempar ponsel ke atas kasur, dia kembali fokus pada tumpukan kertas. Lalu membuka sisa halaman yang belum tersentuh.

Dering ponsel memecah konsentrasi lagi, kali suaranya menggelegar memenuhi ruangan. Beruntung gelas di tangan sekaligus bibir hanya terguncang pelan. Sehingga tak sedikit pun cairan gelap itu tepercik keluar. Dia mendatangi kasur yang menjadi sumber suara. Gambar jam beker bergerak-gerak di dalam layar ponsel, sepersekian menit kemudian gadis berambut panjang menghilang dibalik pintu bersama handuk berwarna biru.

Jalanan utama di akhir pekan ini sedikit terlihat lebih senggang. Ada sejumlah kendaraan yang melintas namun tidak cukup banyak untuk menciptakan kemacetan. Setelah berhenti dan berganti angkutan umum tiga kali, dia menyusuri trotoar, lalu melintasi zebra cross bersama orang-orang asing, menuju ke seberang jalan. 

Sesampai di sana orang-orang berpencar, termasuk gadis berambut panjang yang bergerak menuju bangunan berlantai dua bertuliskan grafiti di tembok. Saat menginjakkan kaki di dalam ruangan, harum manis dari roti panas yang baru keluar dari oven menusuk hidung.

Lima puluh menit lalu sekelilingnya adalah tembok berwarna kuning, namun kini telah berubah menjadi warna lain yang tak kalah lembut. Gadis berambut panjang memilih tempat duduk di pojok ruang yang terlihat lebih tenang. Kemudian memungut ponsel dari dalam tas, sesaat waktu yang disepakati berlalu, seorang perempuan menyapa dan menjelaskan keterlambatannya.

Langit berangsur berubah, warna kuning yang sebelumnya terlihat terang sekarang meredup. Sementara hening menyelimuti keduanya meskipun lantunan musik di dalam ruangan tidak pernah berhenti. Seperti ada sekat transparan yang melindungi mereka dari keramaian. Tubuh mereka berada di atas kursi, tetapi lain dengan pikiran keduanya yang memiliki ruang tersendiri. Sesekali perempuan dengan terusan selutut berbicara sembari menunjuk-nunjuk beberapa bagian di lembaran kertas berjilid kasar di tangan. Kadang pula gadis berambut panjang yang memulai obrolan.

Dia telah kembali duduk, di depan meja dalam ruangan berdinding kuning seperti malam kemarin. Matanya bergerak dari kiri ke kanan, lalu turun menuju baris selanjutnya yang berada di bawahnya. Perjalanan kedua matanya terhenti, ada hal mengganggu yang menggantung. Sekali, dia Menutup mata sejenak, kemudian membuka. Terus berulang beberapa kali. 

Dia menggulung rambut yang telah dikumpulkan menjadi satu, lalu beranjak dan pergi  ke ruangan berdinding keramik. Beberapa saat dia di dalam sana, kemudian keluar dengan wajah yang basah sekaligus meneteskan air. Gadis itu kembali, tetapi bukan untuk bercengkrama dengan ribuan kata. Kali ini dia mengambil pensil dan kertas seukuran A4. Menumpahkan ide yang baru saja muncul setelah membaca deretan kriteria yang klien ajukan.

"Jangan bilang lagi kerja?!" Setelah menyapa, lawan bicara di ujung telepon menebak. Gadis berambut panjang mengetahui arah pembicaraan, dia meletakkan ponsel di samping gelas sembari mengembuskan banyak udara dari mulut. Tidak lupa menyentuh gambar pengeras suara di dalam layar 5 inci.

“Padahal aku pikir kalau kamu lagi tiduran di kasur. Tadi siang kita, kan, sudah kerja.

"Aku sudah sering bilang, jangan terlalu gila kerja. Hidup santai saja. Tidak semua kebahagiaan memerlukan uang. Sadar nggak, sih? Kamu terlalu keras sama diri sendiri? Senin-Jumat kerja, kadang Sabtu lembur, dan Minggu freelance. Belum lagi kalau ngejar deadline, kasihan sedikit sama badan, dong!”

Gadis berambut panjang tidak merasa memiliki kewajiban untuk menyanggah omongan yang baru saja merambat ke dalam telinga. Sampai mulut berbusa pun perkataan semacam itu tidak akan pernah benar-benar lenyap. 

Bekerja adalah cara gadis berambut panjang untuk mendapatkan uang. Dia akan dengan senang hati menguras tenaga dan pikiran, meskipun bayaran yang diperoleh tidak benar-benar cukup untuk membeli kasih sayang milik wanita yang telah melahirkannya. 

***


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »