Kupu-kupu, Nastar, dan Rindu di Dada - Anindita Buyung P

@kontributor 5/08/2022

KUPU-KUPU, NASTAR, DAN RINDU DI DADA

Anindita Buyung P





Ramadan kali ini, Mak Wati lebih sibuk dari biasanya. Ia belanja banyak makanan demi menyambut kepulangan anaknya. Harus ia pastikan bahwa tahun ini tidak ada kaleng biskuit berisi rengginang yang seringkali menipu tamu-tamunya.

Semua berawal dari suatu sore yang jingga seperti wajarnya. Waktu itu Mak Wati sedang duduk di beranda rumahnya. Kursi beranyam bambu itu selalu setia menopang punggung yang sebetulnya belum terlampau renta. Angin sore yang dingin juga hangat meniup pelan kulit mukanya yang sudah sedikit keriput. Mata Mak Wati terpejam menikmati alunan desir yang merayu telinga. Seperti meminta rebah agar betah berlama-lama.

Hingga kemudian seekor kupu-kupu melintas; memintas khayal Mak Wati yang entah sudah sampai mana. Ia tak ingat. Namun, begitu ia melihat kupu-kupu bersayap cokelat itu hinggap di lengan kanannya, matanya berbinar-binar. Ada rona kebahagiaan terpancar dari wajahnya yang mulai direnggut usia. Ia percaya bahwa kupu-kupu itu adalah pertanda bahwa Tuhan sebentar lagi mengirim tamu untuk datang ke rumahnya.

Tak ada tamu lain yang diangan-angankan Mak Wati untuk datang ke rumah selain anak semata wayangnya. Sudah hampir sepuluh tahun Pur, putranya, merantau ke pulau Sulawesi. Pur merupakan seorang karyawan di sebuah pabrik pengolahan kelapa sawit. Setiap lebaran ia pulang menengok ibunya. Sekadar melepas rindu yang setahun terakhir mengendap di dada. Meski pertemuan juga menjadi waktu bagi rindu di dadanya diperbarui dan bersiap untuk ditabung satu tahun lagi.

Setahun sekali, setiap lebaran, Pur pasti pulang ke kampung halamannya. Ia melepas rindu sekaligus mengantarkan maaf untuk ibunya sebab ia hanya bisa datang sekali dalam setahun. Tetapi bagi Mak Wati, maaf yang diantar putranya ia maknai sebagai sebingkis rindu yang mesti segera ia buka agar mereka berpencar, berlarian, berkejar-kejaran menangkap residu-residu kenangan di halaman rumah. Atau berlari ke dalam rumah, menyelinapi aroma nastar dari stoples-stoples transparan.

Tak ada kue yang lebih disukai Pur selain kue nastar. Di atas meja memang tersaji berbagai macam kue khas lebaran: satu, sagon, kastengel, lidah kucing, unthuk cacing, dan sebagainya, tetap kue nastar yang memikat mata dan lidahnya. Sebanyak apapun kue nastar yang ada di rumah, selalu saja itu yang habis lebih dahulu daripada kue-kue yang lain.  Kesukaannya adalah nastar berbentuk bulat. Dan yang paling tidak disukainya adalah nastar berbentuk keranjang. 

Pur bisa menghabiskan satu toples nastar −terlebih nastar bulat− itu dalam sekali duduk. Seperti membaca cerpen. Maka, ketika ia membaca cerpen ditemani satu stoples nastar, berakhirnya cerita yang ia baca, berakhir pula nasib satu stoples nastar yang menemaninya. Dan biasanya, Mak Wati sering mengingatkan supaya Pur tak makan terlalu banyak sebab ia tak hanya membuat nastar untuk Pur, tetapi juga sajian untuk tamu yang datang. Meski begitu, Pur tak menghiraukannya. Mak Wati hanya menghela napas. Asal Pur tidak memakan nastar pesanan saja. Begitu pikirnya.

Mak Wati memang selalu mendapatkan pesanan nastar menjelang hari raya. Ia membuat nastar ditemani Siti. Siti inilah yang membantu Mak Wati membuat nastar. Bisa dibilang, Siti merupakan karyawan Mak Wati. Bahkan, Siti seringkali menginap di rumah Mak Wati sekadar menemani mengobrol ketika malam datang.

***

Kupu-kupu bersayap cokelat itu datang lagi pagi itu. Mak Wati sedang membuat adonan nastar di dapur mungilnya. Ia menatap kupu-kupu itu sembari melontarkan senyum. Barangkali kupu-kupu itu juga tersenyum membalas Mak Wati. Entahlah. Mak Wati tak bisa memastikan. Kupu-kupu itu terlampau kecil sedang matanya kini tak sepiawai beberapa tahun lalu dalam menangkap cahaya.

Mata Mak Wati memicing melihat ke arah pintu depan rumahnya. Ternyata Siti baru datang. Semalam kebetulan Siti sedang tidak menginap di rumah Mak Wati. Namun, seperti biasa, pagi-pagi Siti sudah muncul di rumah Mak Wati. Siti tahu bahwa menjelang lebaran, Mak Wati pasti kebanjiran orderan nastar.

“Nah, pas sekali kamu datang, Siti. Kamu yang membuatkan nastar pesanan Bu Umi dan Mba Nike ya, masing-masing dua kilo,” kata Mak Wati.

Nggih, Mak.”

“Memangnya Mak Wati mau ke mana?” lanjut Siti bertanya.

“Biasa”

Mak Wati tersenyum. Hari ini ia berencana membuat nastar khusus untuk anak lelakinya. Sudah beberapa lebaran terakhir ini Pur sangat menyukai lebih banyak selai nanas di dalam nastarnya. Jadilah pagi itu Mak Wati menyerahkan semua pesanan yang masuk kepada Siti. Siti mengangguk patuh. Siti sangat mengenal ibu dan anak itu. Bagi Pur, nastar Mak Wati tak ada bandingannya. Dan bagi Mak Wati, Pur adalah pelanggan paling istimewa.

Siti adalah teman masa kecil Pur. Mereka sudah saling mengenal bahkan sebelum mereka masuk ke jenjang sekolah dasar. Pernah suatu kali Mak Wati meminta Siti menjadi menantunya. Mak Wati beralasan supaya Siti ada yang menjaga. Lagipula, menurut Mak Wati, selain memang sudah mengenal Pur sejak lama, Siti juga memiliki kriteria yang tidak mungkin Pur tolak, yakni Siti cukup mahir membuat nastar.

Siti tetap menolak permintaan Mak Wati. Dia berujar jika dirinya dan Pur menikah, mereka akan meninggalkan rumah ini dan tinggal di tempat Pur bekerja, di Sulawesi. Jika begitu, Mak Wati akan sendirian dan tak ada yang menemani. Biarlah dia di sini saja membantu Mak Wati membuat nastar setiap lebaran tiba. Begitu kata Siti.

***

Pagi lebaran tiba. Teduh seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Hari itu lapangan yang hijau didominasi warna putih. Mereka khusyuk mengikuti gerakan imam di depan. Syahdu sekali. Aroma embun dan daun menyejukkan hati dan pikiran.

Mak Wati berjalan kaki menuju pulang bersama para tetangganya. Tak ada obrolan lain kecuali tentang kepulangan. Sepanjang perjalanan pulang, ibu-ibu membicarakan anak-anak dan cucu-cucu mereka yang pada akhirnya pulang. Beberapa dari mereka juga ikut berjalan bersama. Menceritakan nikmatnya kemacetan, lelahnya duduk berlama-lama di kendaraan, dan lain sebagainya. Namun, semua sirna begitu sampai di kampung yang dirindukan. Lelah selama perjalanan semua terbayarkan begitu sampai di rumah. Begitu tutur mereka.

“Ini Pur baru nanti siang sampai rumah. Soalnya kemarin pesawatnya ada perubahan jadwal atau bagaimana gitu.”

Mak Wati menyambungkan obrolan tentang perjalanan pulang anaknya. Menurut penuturan Mak Wati, Pur akan sampai di rumah selepas zuhur. Mak Wati tak masalah dengan itu. Baginya, yang terpenting adalah anaknya pulang dan kembali ke pelukannya seperti bocah kecil yang ringkuk di pangku mamaknya.

Mak Wati berbelok masuk ke pekarangan rumahnya menuju beranda setelah sebelumnya berpamitan kepada ibu-ibu yang berjalan dengannya tadi. Ia tak sabar menyambut kepulangan Pur siang nanti. Sudah ia siapkan tiga stoples nastar khusus kesukaan Pur. Wajahnya berbinar-binar. Kerinduan segera tuntas dan terbayarkan.

“Siti, Mak Wati masih seperti itu? Dari lebaran kemarin? Kasian sekali,” tanya salah seorang ibu.

“Iya, Bu.”

“Memang tidak pernah dibawa ke dokter, Siti?”

Siti membalasnya dengan selengkung senyum. Beberapa langkah kemudian, ia berpamitan dengan ibu-ibu itu. Ia berjalan masuk menuju beranda rumah Mak Wati. Di ruang tamu, Mak Wati sudah duduk tersenyum menghadap pintu. Di depannya ada tiga stoples nastar bulat polos kesukaan Pur. Siti menawarkan segelas teh hangat yang dibalas dengan anggukan tipis dari Mak Wati. Matanya masih tak lepas dari pintu rumahnya yang terbuka.

Seekor kupu-kupu bersayap cokelat datang ke ruang tamu yang hening itu. Ia terbang berputar di langit-langit lalu hinggap di salah satu stoples nastar itu. Wajah Mak Wati meredup. Binarnya hilang digantikan kalut. Mak Wati menatap Siti yang datang mengantarkan teh hangat. Mata keduanya berkaca-kaca. Kedua orang itu tahu bahwa tamu yang ditunggu-tunggu tak akan pernah datang. Keduanya tahu bahwa nastar itu tak akan pernah dimakan oleh tamu yang dinanti-nantikan. Pur telah meninggal setahun yang lalu ketika dalam perjalanan pulangnya ke rumah. Mak Wati merebahkan punggungnya di sandaran kursi. Kaca di matanya menjelma bulir-bulir air mata. Siti tahu bahwa mata seorang ibu di hadapannya jauh lebih mengenal kesedihan dari pada orang lain.

***


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »