Transformasi Sofa Hijau dari Farliani - Yohan Mataubana

@kontributor 5/08/2022

TRANSFORMASI SOFA HIJAU DARI FARLIANI

Yohan Mataubana


 


Ada pepatah Yunani berbunyi Panta rhei kai uden menei yang berarti semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap. Perkataan ini sebetulnya menegaskan tentang suatu perubahan yang akan selalu terjadi. Bahwasannya Herakleitos membayangkan bahwa perubahan itu terus terjadi secara terus menerus. Ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir. Air yang mengalir sebagai simbol perubahan. “Engkau tidak bisa turun dua kali ke dalam sungai yang sama.”  Maksudnya sungai selalu mengalir terus, sehingga air sungai terus dibaharui (Bertens). Demikian manusia selalu ada perubahan dalam hidupnya.

Karya sastra lahir dari suatu pertemuan antara dunia imajinasi dan dunia nyata yang melebur dalam diri seorang seniman. Karya sastra selalu mentransformasi nilai-nilai untuk dimaknai atau dinikmati oleh pencinta seni. Berkaitan dengan penikmat seni, seorang penikmat seni, akan merasakan suatu perubahan dalam diri entah itu cara pikir, cara bertindak maupun cara mengolah rasa. Kekuatan karya sastra itu sebetulnya ada dalam penemuan penikmat sastra itu sendiri. Sastra secara khusus cerita pendek, hemat saya mempunyai daya refleksi yang mendalam. Daya refleksi itu hanya mampu dimaknai apabila seorang penikmat menghadirkan suatu penerimaan karya sastra dalam diri atau ruang dimana sastra itu bisa diterima dan dimaknai. Cerita pendek pula tak sekedar seni dengan kata-kata tetapi ia mampu memberikan sumbangsih perubahan pada pembaca itu sendiri.

Berkaitan dengan suatu perubahan. Saya menemukan salah satu cerpen Sofa Hijau Nyonya Yos karya Iin Farliani yang terbit dalam kolom cerpen Sastramedia edisi minggu, 17/4/2022. Sastra sebagai karya imajinatif telah mendorong kreativitas pengarang untuk membongkar daya katarsis para pembaca. Dengan kata lain pengarang memberikan dorongan nilai perubahan terhadap kepribadian pembaca itu sendiri.

Dalam perubahan itu, saya mencoba merefleksikan simbol sofa hijau [1] di dalam rumah dan sofa hijau [2] di luar rumah. Saya mengakui bahwa lin saat ini sedang mengaris bawahi suatu pertanyaan bagaimana manusia memikirkan suatu perubahan dalam dirinya.

Sofa Hijau di dalam Rumah

Sofa di sini saya pahami sebagai tempat kedamaian, kenyamanan dan ada sukacita. Sedangkan Hijau menyimbolkan “kehidupan”, tetapi di sini saya membatasi pemahaman sebagai “pribadi” karena sofa itu milik Nyonya Yos. Sofa hijau dalam rumah menyimbolkan kepribadian yang nyaman dan damai penuh sukacita tetapi sebetulnya kebahagian yang dialami hanya sebatas pada diri sendiri “dalam rumah”.  Apabila seseorang merasakan kebahagian dalam dirinya, apalah arti dari sebuah kehidupan? bukanya kehidupan membutuhkan kebahagian itu pula diwujudnyatakan dalam kebersamaan?

Sofa Hijau di luar  Rumah

Karena kebahagian hanya dialami secara pribadi, Nyonya Yos sangat mengharapkan Sofa kesayangannya itu dibawa keluar. Bukan tanpa alasan Nyonya Yos mengatakan demikian, karena sebetulnya Nyonya Yos ingin mentransfer kebahagian dalam dirinya kepada semua orang. Nyonya Yos seakan menegaskan bahwa kedamaian, sukacita dalam diri kita, dibagikan ke semua orang seperti yang ia katakan “biar anak-anak bisa duduk dan bermain.” Biar kebahagiaan itu bisa dirasakan oleh orang lain.

Sayangnya, sofa hijau itu tetap dipertahankan dalam rumah. Itu artinya kepribadian kita kerap mempertahankan kedamaian, sukacita, dan kenyamanan dalam diri sendiri ketimbang dibagikan kepada sesama di sekitar kita.  Tetapi menarik bahwa tokoh Nyonya Yos sangat inspiratif. Ia mampu membongkar cara berpikir tokoh si Aku. Ketika si Aku pulang ke rumahnya, dia dibayangi dengan kalimat ini,

Semestinya seorang laki-laki bersikap seperti Yos. Laki-laki yang baik itu seperti Yoss. Semua laki-laki di dunia ini, tanpa terkecuali, seharusnya seperti Yos! Yos yang terbaik, bukankah begitu?

Cuplikan bait terakhir cerita pendek karya Lin Farliani, seorang penyair dari Mataram, Lombok. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram. Sebetulnya benar-benar merasuki diri saya sebagai seorang pembaca.  Menurut saya cerpen ini cukup mengandung daya kritik terhadap kaum pria zaman ini. Dalam cerpen Sofa Hijau Nyonya Yos, tokoh yang memberikan katarsis pada pemikiran tokoh Aku (Suaminya Mira). Nyonya Yos menjadi tokoh penggugat siapa laki-laki sebenarnya yang disukai perempuan. 

Silent Is Gold. Mungkin ini yang mau dikatakan dalam tokoh Yos. Yos digambarkan sebagai seorang pekerja keras yang dalam cerpen ini tidak hadir sebagai pembicara tetapi lebih pada banyak bertindak. Perubahan akan terjadi apabila orang bertindak bukan hanya berdiam atau berbicara saja.

“Kemarin Yos datang dan potong rumput di belakang rumah” kata Nyonya Yos dan kata tokoh si Aku “Aku melihat Yos sibuk menggergaji kayu, tubuhnya berkeringat. Kakinya bertumbuh pada atas kayu” adalah dua kutipan percakapan yang sama-sama memberikan gambaran bahwa Yos adalah seorang pekerja keras. Seorang pekerja keras yang tidak banyak berbicara bahkan tidak berbicara melainkan banyak bertindak atau berbuat suatu perubahan.

Seperti apa yang dikatakan Albert Einstein Cobalah untuk tidak menjadi orang sukses, tapi cobalah jadi orang yang bernilai. Sofa hijau, Nyonya Yos dan Yos sama-sama mengerti bahwa menjadi bernilai untuk diri sendiri dan orang lain itu lebih baik ketimbang pribadi kita sukses tapi tidak menampilkan suatu nilai yang berharga buat orang lain. Selamat Iin Farliani, Anda sudah memberikan nilai terbaik dalam karya sastra dan kehidupan pembaca. Satu pesan dari Andrie Wongso “Hati baik, perbuatan baik, nasib juga akan baik.”


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »