Penyair dan Puisi yang Terasing dalam Metaverse Riri Satria - Emi Suy

@kontributor 5/29/2022

PENYAIR DAN PUISI YANG TERASING DALAM METAVERSE RIRI SATRIA

Emi Suy



 

Saya pernah menulis semacam ulasan singkat pada bulan November 2017 untuk Bang Riri Satria setelah acara peluncuran buku kumpulan puisi keduanya yang saya beri judul, Catatan Peluncuran Buku Winter In Paris di Ubud, Bali, 2017. Sepanjang saya mengenalnya, ada beberapa hal yang tidak berubah sampai sekarang. Salah satunya dan yang paling utama adalah perhatiannya terhadap hubungan manusia dengan kehidupan modern, dan saya menafsirkan itu sebagai penyair dan puisi yang terasing. Makanya, saya tidak heran jika ternyata ‘alienasi” atau keterasingan kerap menjadi tema puisi Bang Riri.

Ketika saya diminta memberikan epilog untuk buku kumpulan puisi terbarunya ini, tentu bukan tanpa sebab. Saya sangat mengenalnya sejak lama dan telah membaca banyak puisinya yang sudah terbit di berbagai buku, baik buku kumpulan puisi sendiri maupun bersama para penyair lainnya. Bahkan dalam berbagai kesempatan, saya sering mendengar pemikiran-pemikirannya tentang puisi dan hal-hal yang ia gelisahkan untuk ditulis ke dalam puisi.

Buku kumpulan puisi Metaverse ini adalah buku kumpulan puisinya yang keempat setelah Jendela (2016), Winter In Paris (2017), sebuah puisi yang ditulis dalam bahasa Inggris, serta Siluet, Senja, dan Jingga (2019). Di samping menulis puisi, Bang Riri juga menulis esai sastra dan buku tentang ekonomi, bisnis, hingga pendidikan.

Siapakah sosok Riri Satria? Ini adalah kombinasi seorang yang berkecimpung di dunia ekonomi, bisnis, teknologi, pendidikan, dan juga sastra. Selain berprofesi sebagai dosen di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Bang Riri juga seorang Founder dan CEO Value Alignment Advisory Group, yang bergerak di bidang manajemen strategis dan transformasi digital, serta komisaris sebuah BUMN di PT. Jakarta International Container Terminal (JICT). Dalam kesibukannya yang luar biasa padat, ia masih menyempatkan waktu untuk menulis puisi. Hal itu adalah sebuah anugerah luar biasa.

Ketika saya tanya kenapa masih menulis puisi? Ia menjawab, karena puisi adalah bagian dari hidupnya. Jawaban yang sederhana tetapi dalam. Mungkin itulah yang membuatnya sangat bersemangat mengelola jurnal sastra daring Sastramedia.com serta komunitas Jagat Sastra Milenia. Puisi adalah salah satu pilar penjaga peradaban, demikian kata-kata yang sering ia lontarkan.

Selain menulis buku puisi, ia juga telah menerbitkan sebuah catatan mengenai bidang yang digelutinya sehari-hari, yaitu buku trilogi kumpulan catatan ringan “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri dari tiga buku terpisah tetapi dalam satu kesatuan. Tajuk yang digarapnya dalam tiga buku tersebut tentang (1) ekonomi, bisnis, dan era digital, (2) pendidikan dan pengembangan diri, serta (3) sastra dan masa depan puisi. Ada satu lagi bukunya yaitu Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis (2003) yang merupakan kumpulan tulisannya di harian Republika tahun 1999-2001.

Rupanya Bang Riri tetap kembali kepada sumber, yaitu sastra dan puisi. Walaupun kesibukannya berkecimpung dalam dunia ekonomi, manajemen, teknologi, dan pendidikan, tapi akhirnya bermuara di puisi juga. Itu menandakan bahwa jiwanya sebagai penyair tidak pernah padam.

Sejalan dengan itu, saya ingin menggarisbawahi satu hal yang saya ingat kembali dalam catatan tahun 2017 silam itu. Bang Riri selalu membutuhkan ruang ber“sunyi” untuk menghimpun energi agar bisa ditulis menjadi puisi, dan ia pernah mengatakan bahwa ia hanya bisa menemukan kembali dunia yang hilang justru ketika menulis puisi. Maka, kegelisahan yang lama itulah sebenarnya yang menjadi cikal bakal memuncaknya perasaan “kehilangan” itu dalam kumpulan puisinya yang terbaru ini. Kehilangan dan keterasingan di tengah-tengah deras lajunya peradaban, sebuah topik yang menarik pada seorang Riri Satria yang justru sangat akrab dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Saya merasakan kehilangan itu begitu getir saat membaca puisi demi puisi dalam kumpulan ini. Dengan bahasa yang lugas tapi menyimpan geram pada kenyataan, terkesan bagi saya seperti sedang melihat paparan gambar yang dipotret apa adanya, nyata, tanpa efek yang memanipulasi, tetapi lembut nuansanya dan menyajikan kontras yang tajam. Rangkaian puisi yang menggambarkan kondisi manusia seperti yang bisa kita baca pada teori-teori besar dunia dari yang modern sampai kontemporer, yang mengutip contoh-contoh peristiwa besar sehingga memungkinkan teorinya untuk diterapkan pada realitas. Kita seperti disuguhkan berita-berita dari berbagai kejadian di belahan dunia dalam maupun luar negeri yang menantang pikiran kita untuk turut mengambil peran. Bedanya di sini adalah bahwa fakta-fakta dalam puisi-puisi di buku ini tetaplah suatu ruang imajinasi. Bagaimanapun gamblangnya bahasa puisi, penyair selalu berupaya menyusupkan metafor di dalamnya, perumpamaan-perumpamaan yang mengundang imajinasi pembaca menyusuri keadaan kekiniannya yang aktual. Itulah metaverse seorang Riri Satria.

Tampaknya Bang Riri berusaha menangkap kondisi kekinian yang bisa saja sulit untuk diartikulasikan. Di sisi yang lain, masih banyak penyair berkutat pada citraan alam, atau hal-hal yang terkesan klise dan kuno. Riri Satria berusaha mengatakan apa yang terjadi sekarang dengan menyebutkan istilah-istilah dari teknologi baru, dunia digital, dan teori yang sedang banyak diperbincangkan di bangku-bangku akademik, atau hal-hal lainnya yang mungkin akan terdengar tidak puitis bunyinya bagi sebagian kita. Namun dengan ketekunan ia berhasil memasukkan dan memadukan kata-kata itu ke dalam puisi-puisinya dan menghasilkan rangkaian frase dengan diksi berbunyi yang unik. Tampak pada judul-judul puisi dalam buku ini, seperti Drone di Atas Khatulistiwa, Hacker, Dark Web, Proxy, Glock 19, Post Truth Society, serta Hitmen. Judul yang tidak lazim untuk puisi yang biasa kita temui.

 

Bang Riri berusaha merumuskan keadaan kekiniannya yang “hilang”, mungkin tercerabut, mungkin keadaannya terlalu gamblang sehingga ia merasa hanya sebagai bayang-bayang yang mencari kenyataan itu sendiri, atau sebagai hantu gentayangan yang mencari tubuh, atau sebagai pelancong yang berusaha pulang untuk kembali menemukan rumah yang jauh, atau terlampau berjejal hiperealitas itu sehingga ia menjadi bingung dan termangu sendirian. Tentu ada paradoks akan hal itu, sebagai orang yang sibuk dengan pekerjaan yang padat ia ternyata seorang penyendiri yang sunyi dan teralienasi. Sekali lagi, inilah metaverse seorang Riri Satria.

Sebuah pekerjaan yang tidak mudah bagi seorang penyair untuk mengucapkan kekinian zamannya, untuk bertempat tinggal lagi dalam bahasa yang telah menjelma menjadi aneka barang-barang dan pernik dari masyarakat konsumsi yang rakus ini, yang semakin terarah dan terbenam ke realitas digital, yang hidup dalam bayang-bayang apa yang dinamakan realitas baru atau metaverse. Bang Riri rupanya berusaha bertahan dalam kondisi yang serba “dalam pusaran gelombang” itu, ia sekuat tenaga tetap tenang untuk mencatat apa yang terjadi di sekelilingnya, walaupun ia juga terserap dalam arusnya.

Saya kira pada bagian yang lain, akhirnya Bang Riri kembali menemukan “rumah” puisinya yang terasa seperti residu dari kumpulan puisi sebelumnya, seperti kenangannya di Paris atau pergulatannya dalam Jendela (2016), masa-masa ketika ia suntuk merumuskan dan meramu puisinya. Riri Satria seakan telah menjelma menjadi seorang romantikus yang kembali bernostalgia tentang tempat-tempat yang jauh, tempat-tempat yang lama pernah disinggahinya. Ia berbicara mengenai tokoh-tokoh yang dikagumi dari masa silam, tetapi dengan nuansa yang lebih terisolir, lebih gelisah, lebih asing, seperti avatar di sebuah perbatasan atau malah dunia antah berantah kekinian. Hal itu tampak pada judul-judul puisinya, seperti Alienasi di Kota Paris, Eiffel, Hujan di Kota Paris, Surat dari Yerusalem, Aleppo, Kota Lama Semarang, Sedulur Semarangan, Jejak Puisi Kita di Banjarbaru, Kabut di Tembagapura, Kepada Bung Karno: Tentang Revolusi Kita, danSebuah Puisi untuk Bung Hatta: Tentang Keadilan Sosial.

Tegangan antara “batas” kesadaran penyair, puisi dan realitas kekinian adalah campur aduk perasaan yang mencari dengan gelisah, adalah sebuah kondisi terasing secara eksistensial dalam sebuah dunia hiperealitas. Namun ia masih tetap ingin hidup, barangkali itulah semangat yang penuh kemarahan tapi tetap punya harapan akan masa depan. Rupanya Bang Riri memang seorang penyair yang peka, seorang humanis, dan mungkin karena pengalaman hidupnya dalam dunia ekonomi dan kesadarannya akan pengetahuan dan ideologi dunia, akhirnya ia mengambil sikap agak sosialis dalam memandang realitas yang kini dikuasai oleh sistem kapitalisme global yang menciptakan keterasingan manusia itu. Mungkin ini dikarenakan Bang Riri terpengaruh sekolah di Prancis yang katanya agak sosialis.

Bang Riri memang cemas pada ketidakjelasan yang terjadi dalam kehidupan dunia modern ini, kemerosotan moral dan etika, ketidakadilan, kekerasan, ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi dan budaya. Hal-hal semacam itulah yang membuatnya merasa “hilang” dan “terasing”, bahkan keadaan psikologis seperti itu (mungkin) yang menyebabkan ia pun terasing dari puisi dan puisi terasing dari puisi itu sendiri. Hal itu tampak pada judul-judul puisi, seperti Ada Apa dengan Puisiku?, Puisi yang Gagal Lalu Mati, Puisimu Puisiku, serta Ketika Puisi Teralienasi. Inilah yang menarik dari seorang Riri Satria, seringkali menjaga jarak dengan pemikiran serta puisinya sendiri.

Walaupun begitu, ia tetap berusaha menangkap kekosongan dan menjadikannya puisi-puisi yang utuh untuk mengekspresikan pemikiran dan keresahannya. Baginya, puisi harus mengandung intelektualitas, dan karena itu ia berusaha mengenalkan puisi dengan diksi yang memiliki istilah-istilah yang mengikuti perkembangan pemikiran zaman ini.

Riri Satria di dalam kumpulan ini juga tak luput menuliskan puisi-puisi yang resah dengan kondisi pandemi, dengan ketidakadilan pada pihak lemah, serta kritik atas pemerintah. Dalam kumpulan puisinya yang terbaru ini, tentu saja dengan nuansa terasing yang mencekam, ia kembali menyadarkan kita akan makna kehidupan.

Metaverse Riri Satria yang menggelisahkan hidup ini juga mengundang kesadaran baru yang mengajak kita menjawab pertanyaan lama dengan pertanyaan yang lebih kritis menyangkut nasib kehidupan di era digital yang semakin berlapis dan rawan. Kita perlu mendengar kesaksian Riri Satria agar kita belajar dari “suara lain” itu tentang harapan hidup di masa depan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh membuat keterasingan dalam kehidupan, ini bisa membahayakan.

Akhirnya, saya tidak perlu berpanjang lebar menemani pembaca untuk menyantap hidangan yang telah disuguhkan oleh Bang Riri Satria dalam meja perjamuan Metaverse ini yang terbagi ke dalam empat besar bagian menu, yaitu Algoritma, Alienasi, Dimensi, dan Avatar. Izinkan saya kutip salah satu puisi yang saya suka dari kumpulan ini, sebuah sajak yang gamang tapi nikmat, berjudul Puisimu Puisiku.


PUISIMU PUISIKU


Puisimu puisiku adalah ayat-ayat terlahir 

dari perjalanan di setapak kehidupan


Puisimu puisiku adalah jejak masa lalu, 

suara dari hati tentang diksi yang kita pungut 

di sepanjang jalan


Puisimu puisiku adalah letupan energi, 

tercipta dari emosi yang mengkristal 

melesat melebihi kecepatan cahaya 

meretas batas imajinasi 


Puisimu puisiku adalah jarak terpendek antara kita

menyatu dalam lingkaran harmoni, 

bergerak memenuhi ruang dan waktu


Puisimu puisiku adalah kata-kata bersenyawa 

dengan katalis gairah tarian semesta, 

yang selalu mengitari kita


Puisimu puisiku berjalan di dua garis lurus sejajar 

saling membagi radiasi tak pernah bertemu 

tetapi juga tak pernah saling menjauh


Puisimu puisiku adalah bilangan tak terdefinisi 

dalam geometri 

tetapi membangkitkan eksistensi ruang imajinasi 

di balik layar hakiki


Puisimu puisiku adalah puncak klimaks batin, 

meretas tanpa batas memahami bait-bait narasi besar 

penuh misteri di ruang tak bertepi


Puisimu puisiku adalah kristalisasi hati dan nalar 

penuh makna, dahsyat, walau tak mudah dipahami 

siapa pun, termasuk kau dan aku!


(Cibubur, 10 Januari 2016/2022)


Riri Satria telah menemukan dunianya yang hilang itu di dalam puisi, di dalam sunyi, tapi pada akhirnya ia merasa bahwa puisi juga telah kehilangan dunia dan terasing akibat arus teknologi maju dan peradaban modern itu. Ketika Riri Satria berada di perbatasan antara penyair dan puisi yang teralienasi berhadapan dengan hiperealitas dari dunia metaverse, ia menemukan kesadaran momen puitik tentang bagaimana mengucapkan dunia yang tengah berubah itu.

Saya kira, Bang Riri Satria sedang berusaha menggunakan pengetahuannya tentang teori-teori sosial, ekonomi, juga sains, dan berbagai disiplin ilmu yang diketahuinya untuk mengucapkan realitas dalam kumpulan puisi ini. Seperti apa yang dikatannya empat tahun silam, bahwa hidup adalah puisi yang tak pernah selesai, jadi tuliskanlah semuanya.

Selamat, Bang Riri untuk terbitnya buku kumpulan puisi Metaverse. Buku ini juga dimaksudkan untuk menandai ulang tahun Bang Riri yang ke-52 tahun, jadi saya juga mengucapkan selamat ulang tahun, sehat selalu, sukses, bahagia, dan tetaplah berpuisi.

Jakarta, April 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »