Rumah dan Penyembuhan - Iin Farliani

@kontributor 6/12/2022

Rumah dan Penyembuhan 

Iin Farliani







Apa makna “rumah” bagi setiap orang? Apakah rumah adalah tempat segala peluk akan menghampiri usai diri ini diremukkan oleh kenyataan di luar sana? Ataukah rumah justru tempat yang sedapat mungkin dihindari karena rumah hanya menyajikan kesemrawutan, tanpa tujuan, tanpa alasan yang pasti untuk bangun di pagi hari, tanpa masa depan, tanpa harapan, begitu monoton,  bila dibandingkan dunia di luar rumah yang menyajikan kesempatan dalam keriuhan yang menggebu, rintangan untuk ditaklukkan. Maka seseorang melarikan diri dari “rumah” agar tidak terus-menerus tenggelam dalam  situasi keseharian yang statis yang mungkin akan menghilangkan kewarasannya.

Begitulah yang pada mulanya diyakini oleh Frank Money, tokoh utama novel Pulang (2019) karya Toni Morrison. Dia bergabung dengan Angkatan Darat, berperang di Korea, demi melarikan diri dari “rumah” yang dianggapnya hanya menampung ketakacuhan orangtua dan kebencian kakek-nenek. Melarikan diri dari kota Lotus, Georgia, yang menurutnya dihuni oleh orang-orang yang tak peduli akan masa depan, orang-orang yang merasa cukup hanya dengan bernapas dan makan. Tak ada sesuatu yang membuatmu tumbuh. Ucapnya, “Di Lotus kami sudah tahu karena di sana tak ada masa depan, cuma waktu menganggur yang panjang. Tak ada tujuan selain bernapas, tak ada yang diraih, dan selain orang lain yang mati dengan tenang, hidup terasa sia-sia atau percuma.” (Hal.83)

Berlatar awal Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika (1955-1968) atau sebelum akhir Hukum Jim Crow, melalui novel Pulang (2019)__sebagaimana karya-karya Toni Morrison pada umumnya__pembaca dapat melihat sebentuk perilaku rasisme di Amerika. Novel Pulang (2019) menghamparkan pada kita tidak hanya efek rasisme yang menimpa sebuah keluarga selama akhir 1940-an dan awal 1950-an, tapi juga dampak perang, dan korban dari sebuah sistem yang tak adil sebab mereka yang menjadi target eksploitasi tak punya akses terhadap pendidikan serta ekonomi yang membuat siapa pun yang tak memperoleh hak itu mudah terjerat oleh manipulasi picik sistem. Dalam hal ini kita bisa melihatnya di pertengahan novel, tokoh Cee__adik Frank__ menjadi korban eksperimen eugenika yang tak berhasil, yang membuatnya sekarat, hampir mati, dan Frank kembali ke Lotus untuk membawa adiknya itu pulang ke rumah. Perjalanan pulang menuju “Lotus” telah mengubah makna “rumah” yang selama ini ada dalam pikiran Frank. Dampak perang yang dijalaninya juga menyumbangkan perubahan pemikiran itu, sehingga dalam benaknya “rumah “ kini adalah “penyembuhan”.

Renungan tentang makna “rumah” bagi setiap tokoh juga tercermin melalui tokoh Lily, kekasih Frank. Ia bekerja di binatu dan punya impian untuk membeli rumah sendiri. Tetapi agen perumahan menjelaskan bahwa ia tidak dapat membeli rumah yang diimpikannya sebab rumah itu tidak dijual bagi orang Yahudi atau orang Ethiopia, ras Melayu atau Asia. Padahal bagi Lily, ia bersedia pulang-pergi dari tempat kerjanya yang jaraknya cukup jauh asalkan ia bisa menempati rumah impiannya itu.

Kekerasan rasial bisa kita tangkap melalui penindasan yang dialami oleh karakter-karakternya meski ciri-ciri tokoh mana yang hitam atau putih tidak diutarakan secara eksplisit di novel ini. Pilihan semacam ini saya kira memberi ruang tafsir bagi pembaca bahwa pihak manapun punya peluang melakukan kekerasan, tidak ditentukan dari warna kulitnya. Teknik semacam ini juga menghindari sifat dikotomis yang kerap menjadikan salah satu pihak tampil lebih baik dari yang lainnya.

Melalui bahasa yang sarat emosi, memercikkan impresi dan perpindahan yang dinamis, juga pergantian bergilir narator impersonal ke narator personal, novel Pulang (2019) memadatkan sekian banyak peristiwa yang apabila kita bagi partisi-partisinya akan menurunkan cabang-cabang baru yang sangat membuka kemungkinan luas untuk ditelaah dari berbagai sisi. Bahasa yang begitu hidup, tidak sekadar menjadikan bahasa sebagai perantara cerita, tapi juga bahasa yang bekerja dalam konotasi menghamparkan sekian hal yang multikompleks di belakangnya. Seperti juga pergantian bolak-balik narator yang diterapkan Morrison dalam novel ini. Narator personal kerap membantah maupun menantang balik pernyataan narator impersonal. Hal itu memberi efek kejut sebab kemudian manakah yang dipercaya oleh pembaca? Suara narator personal atau impersonal? Tetapi di sisi lain hal itu memperkaya sudut pandang bahwa dalam satu peristiwa ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa dicermati.

Novel ini dibuka dengan gambaran tentang Frank yang bersiap melarikan diri dari bangsal rumah sakit jiwa. Dia tidak tahu mengapa dia bisa berada di sana dalam kondisi terikat di tempat tidur dan sudah sadar dari efek bius. Dia mencoba melarikan diri. Upayanya berhasil. Dalam pelariannya menuju Georgia untuk segera menemui Cee yang sedang sekarat, dia ditolong oleh pendeta dengan diberi bantuan uang, makanan, dan penginapan. Pelarian ini menemui jalan yang tak mudah sebab di beberapa bagian ada kilas-balik peristiwa perang yang dialami Frank bersama kawan-kawan sekampung halamannya, Mike dan Stuff. Frank selamat, sedangkan mereka tidak. Maka kepulangannya ke Lotus seperti membawa beban berat: “Dia terlalu terlihat hidup hingga tak sanggup berdiri di hadapan keluarga Mike atau keluarga Stuff.” (Hal.14) Trauma pascaperang tersurat melalui gejala stres psikologis yang dialami Frank. Dia kerap melihat pemandangan mengerikan dalam bentuk warna hitam-putih yang membuatnya berlari ketakutan, berteriak, atau meremukkan sesuatu.

Dalam kilas-balik itu juga kita mengetahui bahwa keluarga Frank ketika Frank masih berumur empat tahun terusir dari tanahnya sendiri. Mereka bersama keluarga yang lain diperintahkan untuk meninggalkan lingkungan mereka, kalau tidak “pergi” berarti “mati”. Narator menarasikan dengan nada miris, “Dia orang yang paling tahu, bahwa berada di luar tak selalu mengganggu secara legal maupun ilegal. Karena orang bisa saja berada di dalam rumah, tinggal di rumahnya sendiri selama bertahun-tahun, dan orang-orang dengan atau tanpa lencana tapi selalu bersenjata, tetap bisa memaksamu, keluargamu, tetanggamu, untuk berkemas dan pindah__dengan atau tanpa sepatu.” (Hal.7-8)

Keluarga Frank terpaksa meninggalkan tanah, panen, hewan ternak mereka, lalu menjadi tunawisma dan menumpang tinggal di rumah Lenore__nenek tiri yang kejam. Lenore melampiaskan semua kekesalannya kepada Frank dan Cee. Ia mengganti susu dengan air pada sereal milik Frank dan Cee, menciptakan bilur-bilur di kedua kaki mereka, menyantap babi asin dan hanya menyisakan bumbunya untuk kedua kakak beradik itu,  mencambuk apabila Cee lupa menutup kandang ayam, sementara orangtua keduanya sibuk bekerja di ladang milik orang dari matahari terbit hingga gelap, semakin jarang memperhatikan kedua anaknya. Masa kecil yang pahit. Namun bagi keluarga yang terusir, keadaan itu masih dianggap lebih baik daripada harus tidur tanpa kedamaian dan ditodongkan senapan di wajah. Karena itulah Frank memutuskan bergabung dengan militer, keluar dari Lotus yang sumpek. Dia mengira Cee akan tetap aman bila ditinggalkan, tapi ternyata tidak.

Di sisi lain, pembaca juga disuguhkan dampak dari keterbatasan akses pendidikan dan ekonomi bagi kaum terpinggirkan seperti Cee yang ingin mendapat gaji lebih tinggi dari pekerjaan sebelumnya, ia lalu bersedia menjadi asisten Dr. Beauregard Scott. Setelah sakit cukup parah akibat eksperimen eugenika Dr. Beau yang membuat rahim Cee tidak bisa berbuah, Cee sangat menyesali ketidaktahuannya akan ilmu-ilmu yang diterapkan Dr. Beau dalam sistem medis sehingga membuatnya menjadi objek percobaan yang gagal. Menyebabkannya tak bisa memiliki anak dan mengubur impian menjadi seorang ibu. Tetapi penyesalannya akan pendidikannya yang kurang tak serta merta membuat Cee menutup mata terhadap kesungguhan perempuan-perempuan Lotus__ada Miss Ethel dan kawan-kawannya__dalam pengobatan tradisional mereka yang memulihkan kesehatan Cee.

Pada bagian ini tersirat perbandingan antara sistem medis industri diwakili Dr.Beau dengan pengobatan tradisional yang diterapkan Miss Ethel. Kita mendapati betapa mengerikannya sistem medis modern yang hanya mementingkan perkembangan sains dan teknologi ketimbang mendahulukan keselamatan pasien. Sementara itu, melalui perawatan dan pengobatan tradisional yang dilakukan Miss Ethel bersama perempuan-perempuan Lotus lainnya, kita menyadari bahwa alam telah menyediakan semuanya. Alam dengan sendirinya membantu membenahi kekacauan asalkan ada pula tangan-tangan terampil yang memanfaatkan anugerah alam. Tanpa harus mengambil berlebih, tanpa harus bersikap serakah. 

Bagi Frank maupun Cee, Lotus kini adalah rumah yang memberi mereka penyembuhan. Tempat yang dahulu mereka benci karena hanya terpaku pada kesulitan keluarga yang dialami, kini mengubah pandangan mereka atas penerimaan yang diperoleh dari para perempuan di sana yang saling menguatkan, menerima tanpa banyak bertanya. Sebagaimana yang dipikirkan Cee, ia pun optimis untuk memulai hidup baru, tanpa harus berlarut-larut dalam kesedihan. “Di dunia ini, dengan orang-orang ini, ia tak ingin lagi menjadi orang yang butuh diselematkan. Dihujani matahari atau tidak, ia ingin menjadi orang yang menyelamatkan dirinya sendiri.” (Hal.135-136).

Novel Pulang (2019) diliputi optimisme. Kita menemukan tokoh-tokoh perempuan yang tidak patuh pada ketertindasan yang dialaminya. Mereka berani melawan dengan cara mereka sendiri diperkaya oleh sudut pandang yang unik untuk bersiasat dalam keadaan terjepit. Hal ini seturut dengan penuhnya tenaga dari nada puitik dalam novel ini, gaya penulisan yang juga kita temukan dalam karya-karya Toni Morrison yang lain. Novel Pulang (2019) pada akhirnya memperkaya kita perihal suara-suara dari mereka yang tertindas, membuka mata kita lebar-lebar bahwa sekecil apapun penyalahgunaan kekuasaan akan menorehkan luka yang panjang dan kekal dalam ingatan.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »