Yang Personal dalam Puisi - Wawak RW

@kontributor 7/31/2022

Yang Personal dalam Puisi

Wawak RW





Menulis puisi, tanpa atau dengan disadari, tak jarang memunculkan unsur personal penulisnya. Mungkin boleh disebut dengan unsur ekstrinsik pada puisi, tentu telah lumrah ditemukan pada karya-karya sastra. Namun yang membedakan adalah seberapa banyak kadar penyair menuliskan unsur personalnya, atau seberapa handal mengungkapkan personalnya pada puisi agar tak terjebak kalimat yang klise dan deskriptif.

Yang personal dalam puisi, sebetulnya sangat asyik—jika dapat dinikmati oleh pembaca. Maman S Mahayana mendukung usur personal dalam puisi: “Puisi yang dapat dinikmati dengan baik adalah puisi yang mengandung unsur personal, namun dapat dirasakan secara universal”. Dan agar dapat dirasakan oleh universal merupakan PR bagi tiap penulis.

Ada istilah yang dipopulerkan oleh Hasan Aspahani, “Mau bilang apa dengan cara bagaimana”, menunjukkan bahwa unsur personal penting guna membangun sebuah puisi. Beliau mengajak kepada kita lebih dari sekedar mengekspresikan diri, namun juga kreatifitas menulis. Beliau sepakat dengan Sapardi Djoko Damono yang menuliskan Bilang Begini Maksudnya Begitu.

 

Unsur Luar Puisi

Puisi memanglah sebuah karya fiksi, namun patut diketahui bahwa ada unsur ekstrinsik, yang mana ada unsur berasal dari luar teks, salah satunya individu penulis, misalnya seperti: sumber bacaan, perasaan, pengalaman, dan bahkan ideologi.  

 Hal yang saya ingat pada puisi Muhammad Riyadi yang terbit di Sastramedia.com (5/15/2022) dengan judul Penyakit di Pagi Hari, Jam 6:30. Puisi tersebut merupakan puisi yang membawa unsur personal. Saya ingat sahabat saya ini, menuliskan puisi pada saat dirinya sedang sakit, dan mungkin ia menyuntingnya lagi ketika sehat. Dengan unsur ekstrinsik inilah puisi dibangun Riyadi.

 

Penyakit di Pagi Hari, Jam 6:30

 

keinginan bunuh diri selalu meningkat menjadi 46%

dalam botol-botol cap orang tua yang tersisa setengah,

setiap malam. ada keributan antara perut & dapur yang

kehabisan bahan-bahan. & aku selalu gagal memahami

kesedihan kamar mandi, jendela pagi, & bunga-bunga. 

 

kamar tidur adalah bestie masa kini. Ada obat-obatan,

vitamin c, air putih, & kehangatan kekasih yang tertinggal di

bantal guling. aku adalah buku yang kau ambil untuk

sekadar menutupi payudaramu, bukan hari-hari lalu

sebelum kau mengenalku. hufft! pagi begitu cerewet pada

berita meeningkatnya penyakit di televisi yang kau nyalakan,

tapi tak kau tonton itu.

 

6:30 am tubuhku adalah cairan pocari sweat: biskuit roma

yaang tersisa satu bungkus, pakaian kotor yang hangat. &

kepalaku yang jatuh di pahamu, berkata kepadaku: matikan

televisi, kau akan sembuh. 

 

Bekasi, 2022.

 

Puisi yang dibangun dengan unsur personal bukanlah serta merta hasil curhatan. Lebih dari itu, puisi mengandung (dan terkandung) imajinasi, simbol, dll. Barangkali dalam hal ini, puisi seperti yang pernah dikatakan seorang penyair India sekaligus tokoh sufisme barat, Hazrat Inayat Khan ”bentuk yang telah diciptakan oleh pikiran” ketika beliau membicarakan pikiran dan imajinasi. 

Dalam puisi Muhammad Riyadi juga terkandung imajinasi. Lihatlah bunyi “dalam botol-botol cap orang tua yang tersisa setengah”. Meskipun puisi yang personal, namun saya tahu, ia tidak suka alkohol. Di sinilah ia mematahkan unsur personal dengan imajinasinya. 

Berbeda dengan puisi-puisi personifikasi yang justru memasukkan unsur personal pada imajinasinya, ini sudah menjadi rahasia umum. Banyak puisi personifikasi (yang barangkali) mengandung unsur personal. Dengan menghidupkan benda-benda mati, penulis menyembunyikan dirinya. Namun dengan begitu, tak menutup kemunginan juga puisi personifikasi adalah hasil riset dan pengamatannya kepada kehidupan. 

Kembali pada puisi Muhammad Riyadi, ada pula bunyi “ada obat-obatan/ vitamin c, air putih, & kehangatan kekasih yang tertinggal di/ bantal guling,” benda-benda yang disebutkan bukanlah ikon belaka. Ia memberi kisi-kisi agar kita (pembaca) menebak-nebak penyakit apa yang dideritanya. Barangkali pembaca sekalian sudah bisa menebak penyakitnya—ketika awal tahun 2022, dikaitkan dengan ‘vitamin c’.  

 

Personal yang Universal

Ada Perkataan Subagio Sastrowardoyo yang menjadi pegangan bagi saya: “puisi tidak dinilai dari seberapa banyaknya air mata yang jatuh.” Kutipan ini, saya ambil dari tulisannya yang berjudul Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri, yang dimuat dalam Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan.

Tulisan yang personal (biasanya dalam puisi liris yang mengunakan aku lirik), yang ‘mengutamakan’ kesan dan pesan agar pembaca juga merasakan apa yang dirasakan penulis, kadang perasaan tersebut menjebak penulis ke dalam kalimat yang deskriptif dan prosais, sehingga dengan penargetan demikian, keindahan bahasa menjadi tersingkirkan. Inilah yang biasa ditemukan di media sosial, baik facebook, instagram atau twitter—yaitu penulis yang dirasa kurang bahan bacaan, atau bahkan tidak membaca sama sekali karya penulis lain masa kini.

Puisi personal (dengan aku lirik) yang universal, mungkin sudah banyak ditulis. Salah satunya yang sangat populer adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku Ingin

 

Aku Ingin

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

1989

 

Puisi tersebut bukan hanya dapat dirasakan secara individu penulis, namun para pembaca dapat merasakannya. Tak jarang pembaca mengapresiasi dengan cara membacakannya pada sebuah acara, atau mempotret lalu menjadikan status di media sosialnya. Bahkan pernah juga saya lihat puisi tersebut digunakan untuk menghiasi deskripsi foto pernikahan Wagub terpilih Lampung, Chusnunia Chalim, dalam unggahan instagramnya. Pernah diberitakan Tribun Lampung pada 21 Januari 2019.

Aku lirik yang dituliskan Sapardi Djoko Damono membuat para pembaca terkagum, coba kalau tak ditulis dengan sudut pandang orang pertama, mungkin hasilnya dan kepopulerannya akan berbeda. Itulah kekuatan personal (aku lirik) yang dapat menyentuh universal. Akan tetapi tidak melulu yang universal itu dapat dirasakan dengan ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama, ada pula yang ditulis dalam berbagai sudut pandang.

Setelah membaca puisi, ada respon yang muncul pada perasaan pembaca, respon inilah yang barangkali dianggap universal. Baik berupa perasaan marah, sedih, bahagia, dll. Namun dengan kehendak penulis yang menguniversalkan puisinya, kadang menjebaknya kepada perasaan yang hanya itu-itu saja.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »