Yang Personal dalam Puisi
Wawak RW
Menulis puisi, tanpa atau dengan disadari,
tak jarang memunculkan unsur personal penulisnya. Mungkin boleh disebut dengan
unsur ekstrinsik pada puisi, tentu telah lumrah ditemukan pada karya-karya
sastra. Namun yang membedakan adalah seberapa banyak kadar penyair menuliskan
unsur personalnya, atau seberapa handal mengungkapkan personalnya pada puisi
agar tak terjebak kalimat yang klise dan deskriptif.
Yang personal dalam
puisi, sebetulnya sangat asyik—jika dapat dinikmati oleh pembaca. Maman S
Mahayana mendukung usur personal dalam puisi: “Puisi yang dapat dinikmati
dengan baik adalah puisi yang mengandung unsur personal, namun dapat dirasakan
secara universal”. Dan agar dapat dirasakan oleh universal merupakan PR
bagi tiap penulis.
Ada istilah yang
dipopulerkan oleh Hasan Aspahani, “Mau bilang apa dengan cara bagaimana”,
menunjukkan bahwa unsur personal penting guna membangun sebuah puisi. Beliau
mengajak kepada kita lebih dari sekedar mengekspresikan diri, namun juga
kreatifitas menulis. Beliau sepakat dengan Sapardi Djoko Damono yang menuliskan
Bilang Begini Maksudnya Begitu.
Unsur Luar Puisi
Puisi memanglah sebuah
karya fiksi, namun patut diketahui bahwa ada unsur ekstrinsik, yang mana ada
unsur berasal dari luar teks, salah satunya individu penulis, misalnya seperti:
sumber bacaan, perasaan, pengalaman, dan bahkan ideologi.
Hal yang saya ingat
pada puisi Muhammad Riyadi yang terbit di Sastramedia.com (5/15/2022) dengan
judul Penyakit di Pagi Hari, Jam 6:30. Puisi tersebut merupakan
puisi yang membawa unsur personal. Saya ingat sahabat saya ini, menuliskan
puisi pada saat dirinya sedang sakit, dan mungkin ia menyuntingnya lagi ketika
sehat. Dengan unsur ekstrinsik inilah puisi dibangun Riyadi.
Penyakit di Pagi Hari,
Jam 6:30
keinginan bunuh diri
selalu meningkat menjadi 46%
dalam botol-botol cap
orang tua yang tersisa setengah,
setiap malam. ada
keributan antara perut & dapur yang
kehabisan bahan-bahan.
& aku selalu gagal memahami
kesedihan kamar mandi,
jendela pagi, & bunga-bunga.
kamar tidur adalah
bestie masa kini. Ada obat-obatan,
vitamin c, air putih,
& kehangatan kekasih yang tertinggal di
bantal guling. aku
adalah buku yang kau ambil untuk
sekadar menutupi
payudaramu, bukan hari-hari lalu
sebelum kau mengenalku.
hufft! pagi begitu cerewet pada
berita meeningkatnya
penyakit di televisi yang kau nyalakan,
tapi tak kau tonton itu.
6:30 am tubuhku adalah
cairan pocari sweat: biskuit roma
yaang tersisa satu
bungkus, pakaian kotor yang hangat. &
kepalaku yang jatuh di
pahamu, berkata kepadaku: matikan
televisi, kau akan
sembuh.
Bekasi, 2022.
Puisi yang dibangun
dengan unsur personal bukanlah serta merta hasil curhatan. Lebih dari itu,
puisi mengandung (dan terkandung) imajinasi, simbol, dll. Barangkali dalam hal
ini, puisi seperti yang pernah dikatakan seorang penyair India sekaligus tokoh
sufisme barat, Hazrat Inayat Khan ”bentuk yang telah diciptakan oleh
pikiran” ketika beliau membicarakan pikiran dan imajinasi.
Dalam puisi Muhammad
Riyadi juga terkandung imajinasi. Lihatlah bunyi “dalam botol-botol cap
orang tua yang tersisa setengah”. Meskipun puisi yang personal, namun saya
tahu, ia tidak suka alkohol. Di sinilah ia mematahkan unsur personal dengan
imajinasinya.
Berbeda dengan
puisi-puisi personifikasi yang justru memasukkan unsur personal pada
imajinasinya, ini sudah menjadi rahasia umum. Banyak puisi personifikasi (yang
barangkali) mengandung unsur personal. Dengan menghidupkan benda-benda mati,
penulis menyembunyikan dirinya. Namun dengan begitu, tak menutup kemunginan
juga puisi personifikasi adalah hasil riset dan pengamatannya kepada
kehidupan.
Kembali pada puisi
Muhammad Riyadi, ada pula bunyi “ada obat-obatan/ vitamin c, air putih,
& kehangatan kekasih yang tertinggal di/ bantal guling,” benda-benda
yang disebutkan bukanlah ikon belaka. Ia memberi kisi-kisi agar kita (pembaca)
menebak-nebak penyakit apa yang dideritanya. Barangkali pembaca sekalian sudah
bisa menebak penyakitnya—ketika awal tahun 2022, dikaitkan dengan ‘vitamin
c’.
Personal yang Universal
Ada Perkataan Subagio
Sastrowardoyo yang menjadi pegangan bagi saya: “puisi tidak dinilai dari
seberapa banyaknya air mata yang jatuh.” Kutipan ini, saya ambil dari
tulisannya yang berjudul Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri, yang
dimuat dalam Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia
yang Relevan.
Tulisan yang personal (biasanya
dalam puisi liris yang mengunakan aku lirik), yang ‘mengutamakan’ kesan dan
pesan agar pembaca juga merasakan apa yang dirasakan penulis, kadang perasaan
tersebut menjebak penulis ke dalam kalimat yang deskriptif dan prosais,
sehingga dengan penargetan demikian, keindahan bahasa menjadi tersingkirkan.
Inilah yang biasa ditemukan di media sosial, baik facebook, instagram atau
twitter—yaitu penulis yang dirasa kurang bahan bacaan, atau bahkan tidak
membaca sama sekali karya penulis lain masa kini.
Puisi personal (dengan
aku lirik) yang universal, mungkin sudah banyak ditulis. Salah satunya yang
sangat populer adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku
Ingin.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
diucapkan
Kayu kepada api yang
menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada
1989
Puisi tersebut bukan
hanya dapat dirasakan secara individu penulis, namun para pembaca dapat
merasakannya. Tak jarang pembaca mengapresiasi dengan cara membacakannya pada
sebuah acara, atau mempotret lalu menjadikan status di media sosialnya. Bahkan
pernah juga saya lihat puisi tersebut digunakan untuk menghiasi deskripsi foto
pernikahan Wagub terpilih Lampung, Chusnunia Chalim, dalam unggahan
instagramnya. Pernah diberitakan Tribun Lampung pada 21 Januari 2019.
Aku lirik yang
dituliskan Sapardi Djoko Damono membuat para pembaca terkagum, coba kalau tak
ditulis dengan sudut pandang orang pertama, mungkin hasilnya dan kepopulerannya
akan berbeda. Itulah kekuatan personal (aku lirik) yang dapat menyentuh
universal. Akan tetapi tidak melulu yang universal itu dapat dirasakan dengan
ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama, ada pula yang ditulis dalam
berbagai sudut pandang.
Setelah membaca puisi,
ada respon yang muncul pada perasaan pembaca, respon inilah yang barangkali
dianggap universal. Baik berupa perasaan marah, sedih, bahagia, dll. Namun
dengan kehendak penulis yang menguniversalkan puisinya, kadang menjebaknya
kepada perasaan yang hanya itu-itu saja.