Determinasi, Puisi, (Laku) Sunyi
Ilham Rabbani
“Di sebuah meja
pertemuan atau perbincangan TV, tidak jarang semua pembicara bersuara bersamaan
dan dengan suara keras pula. Maka jelaslah mereka tidak berniat membahas dan
membicarakan sesuatu. Tepatnya, tidak ingin berdialog. Pada saat semacam itu,
sebaris keheningan adalah surga.” (Agus R. Sarjono)
Saya
bukan pembaca (babak-babak) sejarah yang baik, dan “sunyi”[1] dalam puisi-puisi hari ini, sukar saya
rangka-simpulkan sebab-sebabnya secara pasti. Seringkas catatan ini, boleh
dikata ialah rupa-rupa kemungkinan yang muncul di kepala saya, tatkala
berhadapan dengan puisi-puisi Jemi Ilham dalam Di Mana-mana Kesedihan
akan Menemukanmu (2021) dan puisi-puisi Afaf L.K. dalam Tak
Ada Aydne di Kota Ini (2022). Kedua kumpulan puisi dari para penyair
muda itu, diterbitkan dan disebarluaskan dengan gaya stensilan oleh
Pendjajaboekoe.
Terkait
keterbatasan wawasan tadi, kecenderungan saya selanjutnya ialah bersepakat
dengan paparan-paparan sastrawan atau pengamat sastra semacam H.B. Jassin, Ajip
Rosidi, Goenawan Mohamad, Agus R. Sarjono, Bandung Mawardi, dan Martin
Suryajaya,[2] yang menyatakan bahwasanya
tonggak tema sunyi dalam perpuisian modern–setelah munculnya
kesadaran–Indonesia ialah kisaran kelahiran Nyanyi Sunyi (1937)
sebagai buah-batin dan buah-pikir dari Amir Hamzah. Sunyi kemudian menjadi
motif[3] yang direpetisi hingga hari
ini–tentunya, lika-liku perjalanan motif sunyi itu mengalami pasang surut
lantaran sejumlah sebab, baik sebab-sebab ekstra-tekstual (sosio-politik, atau
budaya dalam definisi yang luas) maupun sebab-sebab tekstual (semisal
eksperimentasi bentuk dan bahasan tema), yang keduanya berkait-kelindan satu
sama lain.
Bandung
Mawardi menyebut, setelah Duka-Mu Abadi (1969) karya Sapardi
Djoko Damono–dalam posisinya sebagai Nyanyi Sunyi kedua–terbit,
penyair Indonesia yang dalam kiprah kepenyairannya tetap konsisten mengolah
sunyi ialah Acep Zamzam Noor.[4] Adapun Joko Pinurbo,
melihat teks-teks Emi Suy juga intens menggumuli sunyi.[5] Di luar kedua nama itu,
barangkali ada ribuan nama lagi yang memilih berkarib dengan sunyi sebagai
konten puisi pribadi–apa yang dilakukan Jemi dalam Di Mana-mana, Kesedihan
akan Menemukanmu, dan Afaf L.K. dalam Tak Ada Aydine di Kota Ini,
bagi saya termasuk ke dalam serpih dari ribuan nama barusan, yang masih luput
jadi pembicaraan.
Saya
menandai sejumlah diksi dan metafora, baik yang bermakna harfiah maupun
sekonotasi dengan “sunyi”, dalam hampir keseluruhan puisi kedua penulis.[6] Tetapi sebelum menyelami teks, saya ingin
memunculkan asumsi-asumsi penyebab di sekitar (kelahiran) puisi-puisi keduanya
terlebih dahulu.
Pertama,
kendati dalam dinamika sosio-kultural Indonesia terjadi pergeseran dan
perubahan episteme akibat pergantian tampuk kekuasaan atau
rezim (bahkan sejak Belanda masih mendominasi), lantaran “puisi-puisi telah
menjejak di atas kertas”, sunyi sejak tonggak kelahirannya bagi saya tetap
“terbaca” dan mempengaruhi Jemi dan Afaf. Sebagai penulis puisi yang baik,
sudah mestinya mereka mencerna teks-teks yang lahir serentang sejarah sastra
Indonesia “berjingkrak dan tersungkur”. Artinya, ada unsur determinasi di sini.
Kedua,
lagi-lagi, asumsi ini mengarah pada determinasi: keterpengaruhan oleh kultur
berpuisi orang-orang Yogya. Akan saya sematkan nukilan catatan dari Mustofa W.
Hasyim[7]:
Saya
jadi ingat cerita Mbah Nun yang waktu mudanya lebih dikenal dengan nama Emha
Ainun Najib dan Umbu memanggilnya Em. Sering diceritakan bagaimana dalam
perguruan silat kehidupan yang diajarkan oleh Umbu Landu Paranggi adalah
belajar bagaimana murid bisa sabar dan bertahan terhadap sunyi yang ekstrem.
Berjalan
mengelilingi kota Yogya dengan membisu. Mirip-mirip tapa mbisu keliling Beteng
Kraton. Tidak boleh ada yang tergoda untuk berbicara, apalagi orasi. Ini bukan
demonstrasi. …
Serombongan
anak muda berjalan mengelilingi kota tanpa berbicara. Umbu Landu Paranggi diam,
para murid perguruan silat kehidupan ini juga diam, mungkin ada yang bingung
dan bertanya-tanya untuk apa semua ini dilakukan? Mengapa hatiku dengan diam
kalau ingin memahami kehidupan, mengapa tidak dengan diskusi gaduh karena
peserta pamer keunggulan pikirannya sendiri sendiri?
Laku demikian, konon,
dalam rangka mencari “sarang angin”,[8] dan poin penting di sini
ialah didikan agar seorang penulis puisi “bisa sabar dan bertahan terhadap
sunyi yang ekstrem”. Jemi dan Afaf berproses di Yogya, dan saya mencermati, ada
gejala-gejala yang mengarah ke sana dalam diri Aku-lirik yang ditampilkan puisi-puisi
mereka.
Aku-lirik
itulah yang bakal menarik kita ke asumsi ketiga: bagaimana mereka[9] bertahan di hadapan gempuran apa-apa yang berada
di luar diri, tetapi seluruhnya mungkin–dan hampir–mengarah pada nonsens.
“Barangkali kita akan selalu seperti ini, sayangku/membicarakan rindu di
antara gedung-gedung tua/juga cuaca yang kerap membuat sesak isi kepala//lalu
akankah kita masih percaya pada sepi/jika tak ada perjumpaan yang dapat
kita/catat dalam baris-baris puisi?//…//karena membayangkanmu adalah/pekerjaan
paling mulia/di tengah dunia yang kacau ini.” kata (Aku-lirik) Afaf dalam
“Epigram”, juga yang lainnya–hampir senada–dalam “Tak Ada Aydine di
Kota Ini”:
tak
ada Aydne di kota ini
aku
kembali memeluk diri
di
antara ruang kosong dan
hari-hari
yang mulai darurat
di
kepala
tempat
ini kembali asing dan sunyi
ingatan
tentangmu hanya
remang
lampu kota
sementara
perpisahan kita
adalah
wajah musim
dan
nasib yang getir
di
kota ini tak ada
yang
perlu dibicarakan lagi
kenyataan
waktu menghimpit
harapan
di antara
gedung-gedung
menjulang
adalah
ketaksanggupanku mengucap
selamat
tinggal pada benda-benda
yang
pernah kita anggap sebagai
simbol
kebahagiaan
tak
ada Aydne di kota ini
hidup
penuh kesangsian
cinta
tinggallah kenang
sementara
kota ini tercipta dari
rindu,
kenangan, dan kesedihan yang berulang
Suara-suara yang
bermiripan juga masih terang saya rasakan dalam dua puisi lainnya: “Tahun Baru”
dan “Aku yang Kalah”.
Adapun
(Aku-lirik) Jemi dalam “Rekah Sebuah Kota” berkata: “dalam rimba raya/udara
sepi dan tiba-tiba merasa asing/…//…/kita menepi dari sejarah yang
riuh/membabat sunyi, …//tanah ini ditandai/dengan pilu dan nyeri/rindu-dendam
terpendam/sejarah yang rumpang/merekahkan sebuah kota/tumbuh dari rel kereta
api,/kebun tebu, dan pabrik gula.” Sebagaimana (Aku-lirik) Afaf, terbaca
pula kemarutan musim dalam larik-larik: “... sesekali sunyi menyergap/membuat
dada terasa berat/tetapi kita tak tahu itu apa” (“Kutukan Bagi yang
Hidup”); “... kau sadari,/hidup adalah kekosongan,/kecuali di dalam puisi”
(“Museum Kehilangan”); dan “... biji-bijian gagal berkecambah/musim begitu
sulit dan/kemarau tak mampu dihalau/rindu menjelma api/dan aku ilalang
kering/yang habis dilalapnya” (“Membaca Kota Menerjemahkan Musim”).
Gelagat-gelagat
dalam sejumlah larik yang saya kutipkan, seakan makin mengentarakan upaya
Aku-lirik untuk bertahan di hadapan sunyi ekstrem yang datang dari luar diri.
Konteks hari ini, barangkali bisa kita jadikan rujukan bagi pembicaraan,
“Apakah sebenarnya yang berada di luar diri itu?”
“Mata”
penyair dan Aku-lirik di sini, mungkin adalah “mata” yang sama–“mata” yang
setidaknya lebih mampu menukik ke kedalaman. Kemampuan untuk menukik ke arah
sunyi, yang sebenarnya menjadi fondasi dari keriuhan, semestinya dimiliki oleh
tiap-tiap penyair, sebab ketika dirinya memutuskan menulis puisi, ia menjadi
(ambil) bagian dalam kerja ke-sastrawan-an.[10] Penyair adalah mereka yang
mesti cermat dalam urusan tak hanya membaca teks, tetapi juga konteks.
“Membaca” di sini, bermakna bukan sekadar dilarutkan oleh objek, melainkan ada
dialektika antara objek tersebut (bacaan) dengan kesadaran (dari subjek).
Sebagaimana
mata Aku-lirik dalam puisi-puisi yang saya kutipkan, yang mampu melihat sunyi
dalam situasi, barangkali yang tercerap sebagai apa-apa di luar diri adalah
konteks kekinian kita yang berputar dan berada dalam penjara hiper-realitas.
Aku-lirik, secara subtil, meminta kita merenungkan dulu, bahwa sejatinya ada
yang lebih esensial dari segala yang merupa jadi citra tersebut. Kebahagiaan
(seakan-akan)–karena dipantik rentetan iklan di televisi dan media sosial
misalnya–ditemukan oleh orang-orang di luar Aku-lirik (liyan) dari
entitas-entitas yang terpisah dari diri, yang berada dalam “penjara”
penanda-penanda. Orang-orang berkompetisi, saling sikut, dan bersaing dalam
perburuan yang demikian, sehingga imbasnya ialah ada, dan banyak, yang
tersisih. Itulah realitas yang–dalam bahasa Jemi dan Afaf– “membuat dada
terasa berat” dan “membuat sesak isi kepala”. “Sesak” sejatinya identik
dengan dada, namun dibenturkan dengan kepala, sehingga seakan-akan sang liyan
dalam tatanan telah kesulitan membedakan tuntutan hasrat dan rasionalitas dalam
urusan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan.
Kondisi
ini hampir selaras dengan kutipan dari Agus R. Sarjono yang saya sematkan di
muka tulisan: dalam keriuhan semacam itu, tak ada dialog, dan yang dibutuhkan
adalah sebaris keheningan. Katakanlah sebaris
keheningan itu sebagai titik “jeda”. Pengambilan “jeda” dalam sunyi,
untuk menolak–atau setidak-tidaknya berjarak–dengan gempita suasana sebagaimana
diambil Aku-lirik Jemi dan Aku-lirik Afaf, adalah bentuk permenungan, bahwa
sebenarnya kebahagiaan adalah perkara penerimaan–setamsil kehadiran “jarak” di
tengah kejauhan dalam ungkapan Joko Pinurbo yang masyhur. Kebahagiaan berbeda
dengan benda-benda, tak terbahasakan, ia immateril.
Pada
jeda dan sunyi itulah, para Aku-lirik terlebih dahulu mendengarkan panggilan
lebih intim. Harapannya, akan ada jalan untuk menjauh dari mainstream-itas
dan kebanalan. Namun celaka, ketika mesti memulai perjalanan lagi, mereka tak
menemukan jalan lainnya: memang ada simpang, tetapi satu mengarah ke keriuhan,
dan satunya lagi hanya memutar ke arah kembali–dan mungkin, kembali bukanlah
pilihan yang baik. Lahirlah kemudian suara-suara sumbang yang makin
mengentalkan sunyi, dan tersebab itulah, kebanyakan suara-suara yang muncul
dalam larik-bait puisi Jemi-Afaf adalah kekalahan–yang hampir–telak dari
(gerak) dunia mereka. Kekalahan, adalah kerabat karib dari sunyi.
Dalam
puisi-puisi yang dibentangkan, baik oleh Jemi maupun Afaf, terlihat bahwa sunyi
makin jadi. Sunyi itu “dinyaringkan” oleh kenyataan bahwa kita berada di
simpang jalan: antara masuk dan terlibat dalam ingar, atau mengelak dan
terasingkan.
[1] setali dengan sepi,
sendiri, ratapan, kekalahan, keterasingan, dan hal-hal yang segugus dengan itu.
[2] masing-masing dalam catatan
pengantar untuk buku Amir Hamzah: Raja Penyair Pujangga Baru (H.B.
Jassin), Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia (Ajip Rosidi),
beberapa esai dalam Di Sekitar Sajak (Goenawan Mohamad),
catatan editorial untuk Jurnal Sajak Edisi ke-10: Puisi dan Keheningan (Agus
R. Sarjono), esai “Acep Zamzam Noor: Gairah Sunyi Mencari Arti Abadi” di
laman Sastra-Indonesia.com (Bandung Mawardi), dan video
berjudul “Motif Kesunyian dalam Puisi Indonesia” di saluran Youtube pribadi
Martin Suryajaya.
[3] sesuatu yang berulang,
simtomatik, atau menggejala dalam teks-teks sastra–khususnya puisi–pengarang
Indonesia.
[4] dalam esai “Acep Zamzam
Noor: Gairah Sunyi Mencari Arti Abadi” di laman Sastra-Indonesia.com.
[5] dalam esai “Sunyi Adalah
Kunci” di laman Sastramedia.com.
[6] silakan akses berkas-berkas hasil penandaan (underline) saya
di Google Drive: https://drive.google.com/drive/folders/13cOxjDk0jX6c7TDoY8JWN6LNjTSTG7wo
[7] baca lebih lengkap dalam
esai “Belajar Kepada Sunyi” dan “Belajar di Jalan Sunyi Bersama Raja Angin” di
laman Caknun.com.
[8] Mustofa W. Hasyim
mencernanya sebagai sunyi yang tak terpahami, tetapi sangat bisa dinikmati,
yang mengarahkan diri kepada hal-hal yang transenden.
[9] saya menyebut “mereka”
karena Aku-lirik Jemi dan Aku-Lirik Afaf adalah dua subjek berbeda, atau bahkan
dalam tiap-tiap puisi keduanya, Aku-lirik adalah subjek yang satu sama lain
cukup berlainan, yang hanya diikat oleh keberadaan (bersama) dalam satu
stensilan belaka. Saya juga tidak memungkiri, generalisasi sebagaimana saya
lakukan ini, amat punya potensi membentuk pemahaman yang distorsif. Tetapi apa
boleh buat, amat sukar dibayangkan untuk membahas sejumlah puisi dalam beberapa
halaman kertas saja.
[10] terma “sastrawan” pada
mulanya berpadanan dengan terma “cendekiawan”, “intelektual”, “jauhari”, dan
“sarjana”, yang artinya mesti ada kejembaran wawasan pada subjek terkait. Lihat
Endarmoko, Eko. 2009. TESAMOKO: Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia, hlm. 619.