Limbuk
Yuditeha
Bulan April hampir habis, seharusnya musim
penghujan sudah berhenti, dan masanya menuju kemarau, tapi senyatanya hujan terkadang
masih turun. Bahkan dua hari ini,
setiap menjelang sore hujan sangat deras. Karenanya udara dingin masih tersisa
di sepanjang pagi ini, terlebih ketika angin sedang berembus kencang menerpa
pepohonan di sekitar makam. Awan di langit saat ini pun sudah kembali
gelap, tampaknya sebentar lagi hujan akan jatuh. Seperti biasa, dari pagi hingga menjelang malam nanti aku
harus menjadi tukang parkir di Taman Pekuburan Umum Karet Bivak. Telah lama aku kerja di sini, karena
itu sedikit banyak aku hafal keadaan. Dan entah mengapa sejak dua hari yang
lalu aku merasa akan ada yang spesial di pemakaman ini..
Sebelum
sampai di tempat ini, aku tadi mampir di warung kopi. Di sana aku mendengar, hari
ini ada jenazah yang akan dikubur di tempat pemakaman ini. Seperti yang
sudah-sudah, aku tidak pernah tahu jati diri orang yang mati, pun kali ini. Tapi
karena perbincangan orang-orang di warung kopi itu, aku menjadi tahu siapa
orang yang akan dimakamkan itu. Kabarnya dia penyair. Dari percakapan mereka
juga, aku tahu apa itu penyair, yaitu orang yang kerjanya membuat puisi.
Selama
perjalanan dari warung ke tempat ini, setiap kali aku berpapasan dengan orang,
selalu menampakkan wajah muram. Mungkinkah efek meninggalnya sang penyair?
Ketika sampai di tempat ini semakin banyak orang yang berwajah sedih. Termasuk
orang-orang yang baru datang, bergerombol memasuki makam dengan wajah murung. Sesekali
melakukan perbincangan kecil, seperti sedang berbisik-bisik. Hal itu serasa semakin
memilukan tempat ini.
Namun
sebenarnya yang ingin kubicarakan bukan hal itu, tapi tentang perempuan yang
sejak pagi sudah berada di parkiran ini, bahkan dia sudah di sini sebelum aku
datang. Jika orang-orang terlihat susah, tidak demikian dengan dia. Oleh karena
itu aku penasaran, dan ingin mengajaknya bercakap.
“Saya
Limbuk, Mas.” Dia menjawab cepat ketika aku tanya namanya. Karena sikapnya ramah
hingga membuatku nyaman. Dengan sukacita gegas aku menyebutkan namaku sebagai
imbangan atas sikapnya.
Sebelum aku
bertanya, perempuan itu telah bercerita bahwa dia berasal dari desa, bahkan dia
sempat menyebut nama desa itu, tapi karena aku masih terkesan dengan sikapnya, hingga
tidak ingat nama desanya.
Pada
awalnya aku mengira, Limbuk tidak ada hubungannya dengan orang yang mati itu,
tapi perkiraanku salah. Dia datang jauh-jauh hanya untuk melepas kepergian sang
penyair. Bahkan jika merujuk atas apa yang dia ceritakan, kedekatannya dengan sang
penyair lebih besar dari siapa pun, termasuk orang-orang yang datang di
pemakaman itu. Pengakuan Limbuk, sang penyair memang dekat dengan banyak
perempuan, tapi dirinyalah kekasih yang sebenarnya kekasih bagi sang penyair.
Terkait sang penyair yang punya hubungan dengan banyak perempuan juga
menjadi gunjingan di warung kopi tadi. Dari sekian nama perempuan yang mereka
sebut, sekilas nama-nama yang bagus. Sangat berbeda dengan nama perempuan ini.
Limbuk, menurutku nama yang jauh dari kesan bagus. Bahkan setahuku, Limbuk
adalah nama anak dari mbok emban di cerita wayang, yang berwajah buruk dan bertubuh
gendut.
Sementara Limbuk ini, meski wajahnya bukan istimewa, namun setidaknya
tidak buruk seperti dalam gambaran Limbuk di pewayangan. Demikian juga dengan
tubuhnya, memang tidak langsing, tapi juga tidak gembrot, mungkin lebih
tepatnya disebut semok. Meski begitu, entah kenapa ketika aku mendengar Limbuk
mengatakan bahwa dari sekian perempuan, dirinyalah yang sebenarnya paling dekat
dengan sang penyair, tidak membuatku menyangsikan ucapannya.
Ketika aku memikirkannya, menurutku mungkin hal itu tidak terlepas dari
apa yang sudah Limbuk katakan kepadaku perihal alasannya mengapa dia orang
terdekat sang penyair. Sebelumnya Limbuk menyatakan bahwa dia benar-benar mencintai
penyair itu, tetapi dia menyadari bahwa lelaki itu tidak bisa dia miliki
sepenuhnya. Limbuk tahu bahwa hidup lelaki itu hanya untuk sajak-sajak yang
dihasilkan. Kata Limbuk, tidak ada yang dicintai lelaki itu dengan sepenuh jiwa
selain puisi-puisinya. Meski begitu, kata Limbuk sesungguhnya siapa pun bisa jadi
inspirasi bagi sang penyair.
“Berarti kau juga pernah jadi inspirasinya?” tanyaku.
“Sering,” sahutnya cepat dengan logat manja.
“Apakah namamu pernah diabadikan dalam puisinya?”
Limbuk tersenyum sipu, seperti malu-malu. Tak lama kemudian dia mengeluarkan
beberapa kertas dari dalam tasnya. Dia menunjukkan beberapa puisi, sembari
mengatakan bahwa sang penyair menyebut nama Ida di dalam puisinya. Spontan aku
heran, karena yang kupikirkan dia akan menunjukkan namanya yang tertera di
puisi ciptaan sang penyair. Namun dia justru menyebut Ida, menurut gunjingan di
warung kopi adalah salah satu perempuan yang disukai sang penyair. “Kau kenal
dia?” tanyaku.
Limbuk menggeleng. “Dan saya tidak ingin tahu,” katanya kemudian. “Tapi
kabarnya dia perempuan hebat yang punya pemikiran kritis,”
tambahnya.
Dia kemudian menunjukkan
dua kertas lain, sambil mengatakan bahwa kedua puisi itu diperuntukkan kepada
perempuan bernama Sri. Sama dengan sebelumnya, aku langsung bertanya, apakah
dia mengenal Sri itu. Kembali dia menggeleng.
“Tapi aku pernah dengar,
katanya dia gadis ningrat yang tidak beda-bedakan orang. Mau berteman dengan siapa
saja, bahkan sudi main teater bersama seniman jalanan,” ujar Limbuk.
Kuperhatikan, ketika
Limbuk menceritakan semua itu dengan wajah biasa, artinya tanpa sedikit pun ada
kesan tidak suka, atau sesuatu yang bisa menunjukkan dia cemburu. Bahkan
sesekali aku melihat ujung bibirnya sedikit naik, dan terlihat tulus.
Limbuk meletakkan kertas yang
dikeluarkan tadi, lalu mengambil kertas lain, juga dari tasnya. “Puisi berjudul
Sajak Putih ini untuk Mirat,” kata
Limbuk.
“Sajak Putih, apakah itu
sama dengan sajak suci?” tanyaku spontan. Limbuk menatapku dengan senyum menawan.
“Mungkin begitu,” jawabnya singkat. “Saya dengar, dia perempuan terdidik yang
lincah. Kabarnya cintanya kepada perempuan itu sedahsyat puisinya,” tambah
Limbuk sembari kembali tersenyum.
Sebenarnya aku ingin
bertanya kepada Limbuk, dan apa yang aku tanyakan ini juga atas apa yang aku
peroleh dari percakapan di warung kopi. Salah satu dari mereka bilang bahwa
dari sekian puisi yang dibuat, justru tidak ada puisi yang ditujukan kepada
istrinya. Namun Limbuk seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan hingga belum sempat
pertanyaan itu aku sampaikan, dia telah lebih dulu menunjukkan sebuah kertas
yang lain lagi.
“Puisi ini untuk H, saya
pikir puisi ini untuk istrinya,” ujar Limbuk.
“Kau tahu nama istrinya?”
“Hapsah,” jawab Limbuk “Menurutku,
dia perempuan yang berani mengambil risiko. Perempuan hebat, bahkan dia memberinya
anak,” sambungnya.
Sebenarnya heranku
semakin besar, perempuan ini mengatakan dekat dengan sang penyair tapi mengapa justru
dengan ringannya membicarakan perempuan-perempuan lain.
“Aku berada kembali di kamar, bersama buku seperti sebelum bersamamu
dulu. Saya pikir kata-kata puisi ini menunjukkan dia sedang rindu pada
istrinya,” terang Limbuk.
Mengapa dia tidak
berpikir bahwa kata-kata itu untuknya? Setelah itu, Limbuk dengan sayu memandangku
lekat. Aku menduga, mungkin karena baru saja aku memikirkan sesuatu tentang
dirinya. Aku salah tingkah, lalu mengalihkan penglihatanku ke pemakaman. Di
sana sudah banyak orang berkumpul. Sepertinya jenazah sang penyair segera dikebumikan.
Untuk mengalihkan perhatiannya, aku bertanya. “Kau tidak ke sana?”
Limbuk menggeleng. “Saya
tidak ingin mengotori cinta,” tambahnya.
Meski begitu, penasaranku
belum putus, mengapa namanya tidak pernah disebut dalam puisi sang penyair,
terlebih karena adanya pernyataan dia yang dengan percaya diri mengaku bahwa dari
sekian perempuan, dialah yang paling dekat dengan sang penyair. Karena itu, sekali
lagi aku memberanikan diri bertanya. “Lantas mengapa kau tidak pernah dibuatkan
puisi olehnya?”
“Kamu salah. Sebagian besar puisinya sebenarnya dipersembahkan untukku. Hanya saja namaku memang tidak pernah ada. Dari awal aku sudah bilang padanya, namaku tak usah disebut,” jawab Limbuk sembari tersenyum manis.***