Memahami Modus
dan Ruang Urban yang Dihidupi Puisi Dhe Sundayana
Jusiman Dessirua
Kami sering mendengar kota – kota lenyap dari peradaban,
Runtuh tertimbun waktu. Bukan karena seluruh bangunanya hancur.
Tetapi karena kota itu tak lagi hidup dalam jiwa penghuninya. –
Agus Noor
Pada senja
di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saat itu, hujan tengah memerangkap orang-orang seperti
sekawanan ikan dalam jaring. Basahi jalan raya, lampu taman, serta jendela yang
berderet rapi pada gedung. Membuat denyut kesibukan kota terhenti sesaat oleh
sapuan kelabu. Ini kali ketiga aku ke Jakarta. Tak ada yang disisakan kepalaku
tentang Jakarta selain keruwetan, individualistik, dan keterasingan di antara gedung-gedung.
Lagi pula, apa pentingnya sastra bagi orang kota? Apa pentingnya membaca novel
dari ribuan buku bisnis dan self development yang berderet di rak, yang lebih
mampu membuat kita bertahan pada keruwetan kota seperti Jakarta ini?
Dengan
menunggang bajai, aku dan beberapa kawan komunitas Jagat Sastra Milenial memilih
mampir ke restoran café Pizza dan Gellato, tak jauh dari TIM, sekadar untuk
menghangatkan diri. Di bawah kemilau lampu resto, kami memulai perbincangan
kecil tentang beberapa program kerja komunitas. Seperti perayaan ulang tahun,
serta peluncuran dua kumpulan puisi dari dua sahabat, Erna Winarsih yang duduk
diantara kami, dan Dhe Sundayana yang sedari tadi belum tiba. Tak lama
berselang, seorang lelaki datang, memanggul tas ransel gunung, merogoh buku
serta kaus komunitas, dan menyerahkannya kepadaku serta sahabat yang lain. Itu
Dhe Sundayana, dan antologi puisi tunggalnya ‘Modus yang Tulus’
Henri
Levebref dalam buku The Production of Space menjelaskan tiga ruang yang
dialami manusia. Absolute space atau ruang absolut, yakni segala macam
ruang yang terlihat. Rumah, taman, terminal, apartemen, dan sebagainya. Ruang
kedua adalah Councies Space, ruang yang disadari, ruang yang
dikonsepkan, ruang yang digagas. Ruang ini murni dibentuk oleh pemegang
kekuasaan dalam rencana pemetaan kota. Ruang yang dibangun berdasarkan suatu
konsepsi tertentu, seperti lokasi terbaik meletakkan taman, membangun sekolah,
serta bangunan lain.
Terakhir
adalah Live Space, ruang yang dihidupi. yang dirasakan, serta yang
dialami. Ruang absolut yang berubah menjadi abstrak. Di dalam ruang ini, kota
bukan hanya yang bisa dilihat, atau yang dikonsepkan secara sadar, seperti yang
berada di rancangan kota, tetapi juga adalah ruang yang dihidupi, ruang yang
dialami manusia-manusianya, ruang yang dirasakan langsung di tubuh seseorang,
di dalam imajinasinya, dan di dalam kesehariannya, --saat menunggu grabfood,
berangkat kerja, terjebak kemacetan di jalan raya, dll-- itulah kota yang
sebenarnya.
Pada
antologi puisi tersebut, penyair mempertanyakan beberapa ruang. Semisal dalam
penggalan puisi “Modus Kamar” ruang kamar yang absolut, dan kamar yang
abstrak dipersoalkan oleh Dhe Sundayana. Kamar yang dihidupi oleh orang-orang
kota, bukanlah kamar sebagai ruang absolut, tetapi kamar yang abstrak, kamar yang
ada di luar kamar.
Modus Kamar
Lalu,
mengapa kamu keluar kamar
Jika di
luar kamar pun
Kamu
mencari kamar?
Di
beberapa puisi-puisi Dhe Sundhayan juga terdapat banyak pengungkapan pada ruang
hidup masyarakat urban yang terseok-seok dan sempoyongan, seperti nasib anak
jalanan yang hidup menjadi denyut kota. Kehilangan taman bermain, diserang
polusi, dan cemas berkepanjangan. Seperti pada dua penggalan puisinya;
Potret
Malam Anak Jalanan
Ini
metropolitan, mereka hidup di dalamnya
Bernapas
dalam polusi kekerasan, untuk bertahan
Mereka di
atas tanahnya
Berpijak
pada limbah janji pemimpinnya
Dan mereka
lelap,
di antara
racun-racun ketidakpastian
Dari arah
kebijakan para penguasanya
Pada
penggalan puisi Pekerja Takbir Air Mata, betapa tiga ruang tadi, yang
absolut, tertata, dan yang abstrak, menjadi satu dan padu. Tepian jalan kumuh,
bedeng-bedeng lesuh, kepul asap rokok, doa dan dosa yang bermunajat, dan yang
bejat, terkumpul mengarungi malam-malam kota yang kelam.
Pekerja Takbir
Air Mata
Tepian
jalan kumuh
Bedeng-bedeng
lesuh
Tak kulihat
lagi dia di bibir
lorong itu
Dengan
kepul asap rokok yang kusut
Mengarung
malam
Menjelma
setangkai mawar
Malam
baginya pakta
Takbir dan
air mata bercinta di antara
Doa dan
dosa
Munajat dan
bejat kalis dan najis
Senyum dan
jijik
Jerit dan
tangis
Tersungkur
dihujat matahari
Setiap zaman selalu menyimpan satu ruh yang merepresentasi lintasan ruang dan waktu. Penyair, memeram ruh dari zamannya ke dalam puisi. Hingga zaman itu direpresentasikan dari karya-karya puisi tersebut. Chairil Anwar memasukkan semangat zaman ekspresionistik ke dalam kata “Aku,” Wiji Tukul mengenalkan zaman yang penuh pemberontakan dengan kata “Lawan,” Subagio Sastro Wardoyo membawa semangat zaman yang bergulat dengan sains dan ilmu pengetahuan pada puisi “Manusia Pertama Di luar Angkasa”
Dhe
Sundayana dalam antologinya, memeram semangat zaman dalam satu kata “Modus”.
Modus yang dimaksud Dhe Sundayana, adalah makna singkatan dari “modal dusta” Sebuah
kata yang mengandung siasat dan tipu muslihat. Ruang abstrak dari kota, dan
zaman yang dilukiskan oleh penyair, mungkin memang hanyalah ruang yang disesaki
oleh dusta semata. Tak ada interaksi sosial tanpa modus, tak ada manusia yang
memiliki modusnya masing-masing. Modus menjadi topeng –seperti istilah persona
yang dibicarakan psikolog Carl Jung-- yang bisa dipakai manusia dalam menopang
struktur sosial mereka. Itulah modus.
Modus
menurut penyair, adalah kata yang tercipta dari ketidakmampuannya menyusun Bahasa,
semenjak hidup di dalam kota yang dipenuhi kesedihan. Seperti yang ia ungkapkan
dalam puisinya.
Modus
Aku gagal
menyusun bahasa
Air matamu
jatuh ke telaga
Tetapi
penyair, saat merasuk dalam ruang hidupnya, ia juga terasing. Menjadi bagian
sekaligus bukan bagian dari masyarakat urban. Ia menarik diri dari kecemasan
kota, seperti penggalan puisi “Kehilangan Peta” yang ia tulis,
membuktikan bahwa di dalam tiga ruang (absolut, tertata, dan abstrak) penyair
masih tersesat dan terus mencari sesuatu yang paling esensial dari kota itu
sendiri.
Kehilangan Peta
Sebagai
seorang urban
Aku
kehilangan peta
Mengeja
makna kepulangan
Dari
puing-puing halaman yang tersisa
Selain
itu, ia juga membongkar dan mengevakuasi penggunaan kata modus dari makna yang
mempunyai bias negatif, ke dalam makna yang benar-benar berbeda, seperti dalam puisi
penuh nuansa sufistik “Modus yang Tulus” yang ia tulis.
Modus Yang
Tulus
Akukah?
Mengusung
keranda diri
Terkubur
dalam kamar
Ziarahi
dosa-dosa
Bulirnya
Gulirnya
Menyebut
namaMu
Puisi-puisi
Sundayana, yang ia susun sejak 2015-2022 ini, kubaca sebagai panduan memahami wujud
kota, bahasa, dan masyarakatnya. Pengalaman yang merasuk dan hidup di antara
keruwetan, egosentris, dan perasaan asing para penghuninya. Sesuatu yang tidak
ada dalam angka-angka tabel perencanaan kota, tetapi hidup dalam puisi yang
dibuat oleh penyair.
(November
2022)