Memahami Modus dan Ruang Urban yang Dihidupi Puisi Dhe Sundayana - Jusiman Dessirua

@kontributor 11/27/2022

Memahami Modus dan Ruang Urban yang Dihidupi Puisi Dhe Sundayana

Jusiman Dessirua

                                    


                                                                       

Kami sering mendengar kota kota lenyap dari peradaban,

Runtuh tertimbun waktu. Bukan karena seluruh bangunanya hancur.

Tetapi karena kota itu tak lagi hidup dalam jiwa penghuninya. –

 

Agus Noor

 

Pada senja di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saat itu, hujan tengah memerangkap orang-orang seperti sekawanan ikan dalam jaring. Basahi jalan raya, lampu taman, serta jendela yang berderet rapi pada gedung. Membuat denyut kesibukan kota terhenti sesaat oleh sapuan kelabu. Ini kali ketiga aku ke Jakarta. Tak ada yang disisakan kepalaku tentang Jakarta selain keruwetan, individualistik, dan keterasingan di antara gedung-gedung. Lagi pula, apa pentingnya sastra bagi orang kota? Apa pentingnya membaca novel dari ribuan buku bisnis dan self development yang berderet di rak, yang lebih mampu membuat kita bertahan pada keruwetan kota seperti Jakarta ini?

            Dengan menunggang bajai, aku dan beberapa kawan komunitas Jagat Sastra Milenial memilih mampir ke restoran café Pizza dan Gellato, tak jauh dari TIM, sekadar untuk menghangatkan diri. Di bawah kemilau lampu resto, kami memulai perbincangan kecil tentang beberapa program kerja komunitas. Seperti perayaan ulang tahun, serta peluncuran dua kumpulan puisi dari dua sahabat, Erna Winarsih yang duduk diantara kami, dan Dhe Sundayana yang sedari tadi belum tiba. Tak lama berselang, seorang lelaki datang, memanggul tas ransel gunung, merogoh buku serta kaus komunitas, dan menyerahkannya kepadaku serta sahabat yang lain. Itu Dhe Sundayana, dan antologi puisi tunggalnya ‘Modus yang Tulus’

Henri Levebref dalam buku The Production of Space menjelaskan tiga ruang yang dialami manusia. Absolute space atau ruang absolut, yakni segala macam ruang yang terlihat. Rumah, taman, terminal, apartemen, dan sebagainya. Ruang kedua adalah Councies Space, ruang yang disadari, ruang yang dikonsepkan, ruang yang digagas. Ruang ini murni dibentuk oleh pemegang kekuasaan dalam rencana pemetaan kota. Ruang yang dibangun berdasarkan suatu konsepsi tertentu, seperti lokasi terbaik meletakkan taman, membangun sekolah, serta bangunan lain.

Terakhir adalah Live Space, ruang yang dihidupi. yang dirasakan, serta yang dialami. Ruang absolut yang berubah menjadi abstrak. Di dalam ruang ini, kota bukan hanya yang bisa dilihat, atau yang dikonsepkan secara sadar, seperti yang berada di rancangan kota, tetapi juga adalah ruang yang dihidupi, ruang yang dialami manusia-manusianya, ruang yang dirasakan langsung di tubuh seseorang, di dalam imajinasinya, dan di dalam kesehariannya, --saat menunggu grabfood, berangkat kerja, terjebak kemacetan di jalan raya, dll-- itulah kota yang sebenarnya.

Pada antologi puisi tersebut, penyair mempertanyakan beberapa ruang. Semisal dalam penggalan puisi “Modus Kamar” ruang kamar yang absolut, dan kamar yang abstrak dipersoalkan oleh Dhe Sundayana. Kamar yang dihidupi oleh orang-orang kota, bukanlah kamar sebagai ruang absolut, tetapi kamar yang abstrak, kamar yang ada di luar kamar.

 

Modus Kamar

 

Lalu, mengapa kamu keluar kamar

Jika di luar kamar pun

Kamu mencari kamar?

 

Di beberapa puisi-puisi Dhe Sundhayan juga terdapat banyak pengungkapan pada ruang hidup masyarakat urban yang terseok-seok dan sempoyongan, seperti nasib anak jalanan yang hidup menjadi denyut kota. Kehilangan taman bermain, diserang polusi, dan cemas berkepanjangan. Seperti pada dua penggalan puisinya;

 

Potret Malam Anak Jalanan

 

Ini metropolitan, mereka hidup di dalamnya

Bernapas dalam polusi kekerasan, untuk bertahan

Mereka di atas tanahnya

Berpijak pada limbah janji pemimpinnya

Dan mereka lelap,

di antara racun-racun ketidakpastian

Dari arah kebijakan para penguasanya

 

Pada penggalan puisi Pekerja Takbir Air Mata, betapa tiga ruang tadi, yang absolut, tertata, dan yang abstrak, menjadi satu dan padu. Tepian jalan kumuh, bedeng-bedeng lesuh, kepul asap rokok, doa dan dosa yang bermunajat, dan yang bejat, terkumpul mengarungi malam-malam kota yang kelam.

 

Pekerja Takbir Air Mata

 

Tepian jalan kumuh

Bedeng-bedeng lesuh

Tak kulihat lagi dia di bibir

lorong itu

Dengan kepul asap rokok yang kusut

Mengarung malam

Menjelma setangkai mawar

 

Malam baginya pakta

Takbir dan air mata bercinta di antara

Doa dan dosa

Munajat dan bejat kalis dan najis

Senyum dan jijik

Jerit dan tangis

Tersungkur dihujat matahari

 

Setiap zaman selalu menyimpan satu ruh yang merepresentasi lintasan ruang dan waktu. Penyair, memeram ruh dari zamannya ke dalam puisi. Hingga zaman itu direpresentasikan dari karya-karya puisi tersebut. Chairil Anwar memasukkan semangat zaman ekspresionistik ke dalam kata “Aku,” Wiji Tukul mengenalkan zaman yang penuh pemberontakan dengan kata “Lawan,” Subagio Sastro Wardoyo membawa semangat zaman yang bergulat dengan sains dan ilmu pengetahuan pada puisi “Manusia Pertama Di luar Angkasa”

Dhe Sundayana dalam antologinya, memeram semangat zaman dalam satu kata “Modus”. Modus yang dimaksud Dhe Sundayana, adalah makna singkatan dari “modal dusta” Sebuah kata yang mengandung siasat dan tipu muslihat. Ruang abstrak dari kota, dan zaman yang dilukiskan oleh penyair, mungkin memang hanyalah ruang yang disesaki oleh dusta semata. Tak ada interaksi sosial tanpa modus, tak ada manusia yang memiliki modusnya masing-masing. Modus menjadi topeng –seperti istilah persona yang dibicarakan psikolog Carl Jung-- yang bisa dipakai manusia dalam menopang struktur sosial mereka. Itulah modus.  

Modus menurut penyair, adalah kata yang tercipta dari ketidakmampuannya menyusun Bahasa, semenjak hidup di dalam kota yang dipenuhi kesedihan. Seperti yang ia ungkapkan dalam puisinya.

 

Modus

 

Aku gagal menyusun bahasa

Air matamu jatuh ke telaga

 

Tetapi penyair, saat merasuk dalam ruang hidupnya, ia juga terasing. Menjadi bagian sekaligus bukan bagian dari masyarakat urban. Ia menarik diri dari kecemasan kota, seperti penggalan puisi “Kehilangan Peta” yang ia tulis, membuktikan bahwa di dalam tiga ruang (absolut, tertata, dan abstrak) penyair masih tersesat dan terus mencari sesuatu yang paling esensial dari kota itu sendiri.

 

 Kehilangan Peta

 

Sebagai seorang urban

Aku kehilangan peta

Mengeja makna kepulangan

Dari puing-puing halaman yang tersisa

 

Selain itu, ia juga membongkar dan mengevakuasi penggunaan kata modus dari makna yang mempunyai bias negatif, ke dalam makna yang benar-benar berbeda, seperti dalam puisi penuh nuansa sufistik “Modus yang Tulus” yang ia tulis.

 

Modus Yang Tulus

 

Akukah?

 

Mengusung keranda diri

Terkubur dalam kamar

 

Ziarahi dosa-dosa

Bulirnya

Gulirnya

 

Menyebut namaMu

 

Puisi-puisi Sundayana, yang ia susun sejak 2015-2022 ini, kubaca sebagai panduan memahami wujud kota, bahasa, dan masyarakatnya. Pengalaman yang merasuk dan hidup di antara keruwetan, egosentris, dan perasaan asing para penghuninya. Sesuatu yang tidak ada dalam angka-angka tabel perencanaan kota, tetapi hidup dalam puisi yang dibuat oleh penyair.

 

(November 2022)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »