Tidak Mundur, Tidak Pula Memintanya Mundur - Kiki Sulistyo

@kontributor 11/06/2022

Tidak Mundur, Tidak Pula Memintanya Mundur

Kiki Sulistyo



Memasuki bulan Oktober hujan mulai sering turun. Di pagi hari, matahari yang tampak seperti laba-laba memang masih menyebarkan jaring-jaring sinarnya. Di siang hari awan-awan hitam mulai datang. Lantas sebuah kamera gaib, entah dari arah mana, seperti memotret berkali-kali. Kilatan blitz-nya diikuti bunyi gemuruh, seolah kamera gaib itu adalah jenis kamera kuno bermesin besar, yang setiap mengerjap membutuhkan gerak mekanik tertentu sehingga selalu menimbulkan bunyi berderak-derak. Setelah itu terdengar titik-titik air berjatuhan bersamaan dengan angin basah yang mengayunkan daun-daun, kabel listrik, jemuran, dan gorden jendela.    

     Angin basah itu juga mengayun-ayunkan rambut seorang laki-laki yang kulihat berdiri di depan pintu. Sebelumnya, pintu telah kubuka lantaran suara ketukan berulang-ulang.

     Aku tidak bertanya siapa dia, sebab aku sudah bisa menduga untuk apa dia datang. Namun, aku juga tak memintanya masuk sebab aku belum bisa menduga apa yang sudah dilakukannya. Dia mengenakan jaket bomber hitam di atas kemeja hitam yang bagian bawahnya menyembul menutupi pangkal pahanya. Celana jin yang dipakainya juga berwarna hitam dan tampaknya masih baru, juga sepatu pantofel hitam polos di kakinya. Penampilannya tidak mencolok dan agak sesuai dengan cuaca. Kalau dia berjalan di keramaian, tidak akan ada yang memperhatikannya, terutama dalam keadaan cuaca seperti ini. Dia seperti bagian dari cuaca; risiko yang pasti muncul dari keadaan cuaca, sehingga tak perlu diperhatikan.

     “Halo,” ucapnya setelah beberapa lama kami saling tatap dalam diam.

     “Berapa lama?” balasku langsung.

     “Saya tidak tahu. Mungkin sebentar saja.”

     Aku menimbang-nimbang. Hujan mulai menderas. Di depanku, atau di belakangnya, seperti ada tabir yang diturunkan tiba-tiba. Tabir dari air. Dengan cepat tempias sampai ke beranda. Kulihat percik-percik membasahi sepatunya. Akhirnya kupersilakan dia masuk, lantas dengan pelan kututup pintu. Tidak seperti ketika dia masuk tadi, gerakannya ragu-ragu ketika menggeser kursi dan duduk membelakangi meja. Dia tidak memilih kursi yang menghadap pintu, dia memilih kursi yang membelakangi pintu, tapi dia membalik posisi kursi itu sehingga dia pun duduk dengan menghadap pintu. Amatir, pikirku. Gerakan yang bisa dibaca. Di suatu tempat yang belum dikenali, orang-orang memang akan selalu berusaha terhubung dengan pintu, agar mudah lari kalau terjadi apa-apa.

     Aku berjalan menuju pesawat telepon. J, kucingku, meringkuk di meja yang sama tempat pesawat telepon berada. Kubuat gerakan kecil untuk menyentuh telinga J. Binatang itu terbangun, menggeleng-geleng, dan kembali tidur. Kuangkat pesawat telepon, memutar beberapa nomor untuk menghubungi seseorang. Telepon dijawab, kami berbicara sebentar. Sesekali aku harus mengulang perkataanku sebab hujan yang kian deras meredam suaraku. Setelah telepon kututup, aku mendengus.

     “Kau tidak menghubungi Ramses,” kataku kepada laki-laki itu.

     “Memang tidak. Tapi, saya sudah tahu sebelumnya,” jawabnya.

     “Kau sudah tahu sebelumnya…” gumamku, lalu: “Jadi kau sudah tahu sebelumnya tentang aku dan tempat ini. Mengherankan. Bukankah itu berbahaya bagimu?”

     “Memang berbahaya. Tapi saya tidak punya pilihan.”

     “Tidak punya pilihan…,” gumamku, lalu: “Kupikir kau juga pasti sudah tahu risiko dari tindakanmu ini. Kau juga pasti sudah tahu bahwa sedikit sekali kemungkinannya kau bisa melanjutkan apapun yang kau rencanakan.”

     “Memang. Tapi saya punya sedikit keyakinan bahwa Anda adalah orang yang baik. Orang yang mudah bekerja sama.”

     “Orang yang mudah …” Aku hendak melanjutkan tapi bunyi guntur menggetarkan kaca jendela. J terbangun dan langsung melompat turun. Binatang itu berjalan, mula-mula ke arahku, lantas demi melihat laki-laki itu ia malah berbelok dan dengan segera menggosok-gosokkan lehernya ke kaki laki-laki itu.

     “Orang baik….” gumamku, mengulang sekaligus mengoreksi kata sebelumnya, lalu: “Untuk apa seorang penjahat mencari orang baik?” Kubuat nada suaraku seakan aku sedang berbicara dengan diriku sendiri.

     “Memang terdengar tidak masuk akal. Tapi saya kira Anda bisa paham. Seorang penjahat yang mencari orang baik mestilah berpikir bahwa sebetulnya dirinya bukan penjahat.”

     “Bukan penjahat….” gumamku, lalu: “Semua orang yang datang ke sini adalah penjahat. Untuk itulah tempat ini kubangun.”

     “Saya tahu. Tapi saya yakin Anda belum tahu apa yang sudah saya lakukan.” Kini suara laki-laki itu terdengar tenang. Rupanya dia merasa sudah menguasai situasi. Jika biasanya mereka yang datang ke sini lebih sedikit mengetahui keadaan dibandingkan denganku, kini sebaliknya.  

     “Belum tahu…,” gumamku, lalu:  “Iya,” ucapnya. Sekarang dia mengambil J yang sedari tadi terus menggosok-gosokkan leher ke kakinya. Dipangkunya kucing itu dan dielus-elusnya. Sekonyong-konyong  aku ingat  adegan dalam sebuah film, tapi aku lupa film apa. Ketika laki-laki itu kembali berbicara ingatan akan film yang kumaksud semakin kuat, tapi semakin tak bisa kuingat film apa itu. Caranya mengelus kucing dan cara berbicaranya yang tiba-tiba berubah, yakni dengan memiringkan mulutnya seakan-akan ada yang mengganjal di dalam, membuatnya kian terlihat seperti sosok dalam film yang kumaksud. Dia berkata:

     “Saya akan memberikan Anda tawaran yang tidak bisa Anda tolak.”

     Itu betul-betul kalimat dari sebuah film, tapi film apa?

     Setelah berkata seperti itu dia bangkit dan berjalan mendekatiku. “Saya menawarkan persembunyian buat Anda,” bisiknya persis di telingaku. Hampir tak bisa kutahan perasaan geli yang dihasilkan oleh gabungan embusan napas dan kata-kata yang diucapkannya. Aku bergeming; tidak mundur, tidak pula memintanya mundur. “Persembunyian...,” gumamku, lalu baru saja aku hendak melepas tawa, ia sudah tertawa duluan. Lantas dengan suatu gerakan yang ringan dia berputar-putar. Mengayun-ayunkan tubuh J seperti mengikuti alun angin yang terus membentur-bentur daun jendela.

     Sekarang aku yang merasa sebagai amatir. Hanya bisa berdiri menatap dengan heran tingkah laki-laki di depanku. Tidak. Aku tidak boleh kelihatan seperti itu. Maka dengan segera aku mulai bergerak. Mula-mula kugedruk-gedrukkan kakiku ke lantai, tapi karena suara kakiku kalah oleh suara hujan, aku pun mulai melompat-lompat sembari berputar seperti atlet. Berhasil. Sempat kulihat laki-laki itu tercenung menatapku. Namun, itu cuma sesaat. Dia kembali melanjutkan tariannya, setelah melepas jaket bombernya, dan kali ini sambil berucap:

     ”Apakah Anda betul-betul tidak mengenal saya? Tadi Anda menelepon Ramses, tapi bukan Ramses yang menjawab.”

     Kata-katanya mengejutkanku. Tadi aku memang menelepon Ramses, sebagaimana biasa kalau ada seorang oknum yang datang mencari bantuan. Ramses adalah agenku di bisnis ini, dan semua orang yang datang ke sini memang selalu melalui Ramses. Termasuk laki-laki ini. Tadi Ramses bilang, laki-laki ini sudah mendapat kata kunci darinya, hanya saja aku belum menanyakan kata kunci itu. Kadang, aku memang suka bermain-main. Merasakan betapa aku menjadi sandaran hidup-matinya para oknum itu. Karenanya ketika tadi aku berkata kepadanya bahwa dia tak menghubungi Ramses, itu sekadar bagian dari permainan. Laki-laki ini berdusta, dia jelas sudah menghubungi Ramses.

     Sekarang kulihat dia naik ke atas meja dan melanjutkan tariannya. Tanpa pikir panjang aku pun segera melompat ke atas meja telepon. Kugedruk-gedrukkan kakiku ke meja, kali ini menimbulkan bunyi yang lebih keras, tumbuk menumbuk dengan suara hujan dan angin, serta suara J yang mengeong-ngeong. Sesaat aku melihat bagaimana laki-laki itu mencekik leher J, membuat kucing itu meronta-ronta.

     Sekonyong-konyong dilemparkannya kucing itu ke arahku. Aku mengelak. Tubuh J membentur tembok dan terpental ke lantai. “Begitulah caraku menghabisi Ramses. Anda pikir yang menjawab telepon Anda tadi adalah Ramses?” serunya. Aku terkinjat melihat tubuh J berkejat-kejat di lantai, seakan-akan kucing itu ikut menari bersama kami.

     Laki-laki itu turun dari meja. Sesaat kupikir dia akan langsung duduk di kursi. Ternyata dia mengangkat dulu kursi itu lalu menaruhnya di meja sebelum kemudian naik kembali dan duduk di kursi yang sekarang berada di atas meja. Dia menghadapku dan berbicara dengan cara tadi, yakni dengan memiringkan mulutnya seakan-akan ada yang mengganjal di dalam. Dia kembali berucap:  “Saya akan memberikan Anda tawaran yang tidak bisa Anda tolak.”

     Ya. Sekarang aku ingat film yang kumaksud. Ya. Sekaligus juga ingat dengan terang benderang sosok dari film itu. Ya. Don Corleone!

     “Nah, Anda sudah ingat siapa saya, bukan?”

     Aku tercenung. Laki-laki itu berkata: “Dalam beberapa waktu ke depan pejabat-pejabat penting akan terjerat hukum. Kematian Ramses akan tersiar ke mana-mana. Apabila rekayasa pertama tidak berjalan dengan baik, Anda tahu, rekayasa kedua, ketiga, dan seterusnya akan tetap dijalankan. Saya tidak perlu menjelaskan bagaimana itu nanti akan melibatkan kepala-kepala divisi di kepolisian, dan bagaimana semua itu membawa kepada Anda, bukan?  Akan ada banyak oknum. Bukan oknum sembarangan melainkan oknum kelas kakap. Ini akan jadi bisnis yang bagus. Itulah makanya saya tadi berkata bahwa saya tidak punya pilihan.”

     Di luar, hujan pelan-pelan reda, tapi angin masih berusaha mengayun-ayunkan daun jendela. Sementara bias-bias sinar mulai menerobos segala celah di bangunan rumah. Suasana jadi terasa seperti saat malam baru saja menyingkir dan pagi tergelincir dari tempat persembunyiannya. Aku menatap J. Kucing itu sudah berhenti berkejat-kejat. Aku seperti melihatnya bangkit, menggeliat, dan mulai mengeong. Kupikir segala sesuatu mulai berubah jadi ilusi ketika sekonyong-konyong aku mendengar laki-laki itu bertanya: “Sekarang katakan kepada saya, apa kata kuncinya?”***

 

Kekalik, 22 Oktober 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »