Tidak
Mundur, Tidak Pula Memintanya Mundur
Kiki
Sulistyo
Memasuki bulan Oktober hujan mulai sering
turun. Di pagi hari, matahari yang tampak seperti laba-laba memang masih menyebarkan
jaring-jaring sinarnya. Di siang hari awan-awan hitam mulai datang. Lantas
sebuah kamera gaib, entah dari arah mana, seperti memotret berkali-kali. Kilatan
blitz-nya diikuti bunyi gemuruh,
seolah kamera gaib itu adalah jenis kamera kuno bermesin besar, yang setiap
mengerjap membutuhkan gerak mekanik tertentu sehingga selalu menimbulkan bunyi
berderak-derak. Setelah itu terdengar titik-titik air berjatuhan bersamaan
dengan angin basah yang mengayunkan daun-daun, kabel listrik, jemuran, dan
gorden jendela.
Angin basah itu juga mengayun-ayunkan rambut seorang laki-laki yang
kulihat berdiri di depan pintu. Sebelumnya, pintu telah kubuka lantaran suara
ketukan berulang-ulang.
Aku tidak bertanya siapa dia, sebab aku sudah bisa menduga untuk apa dia
datang. Namun, aku juga tak memintanya masuk sebab aku belum bisa menduga apa
yang sudah dilakukannya. Dia mengenakan jaket bomber hitam di atas kemeja hitam
yang bagian bawahnya menyembul menutupi pangkal pahanya. Celana jin yang
dipakainya juga berwarna hitam dan tampaknya masih baru, juga sepatu pantofel
hitam polos di kakinya. Penampilannya tidak mencolok dan agak sesuai dengan
cuaca. Kalau dia berjalan di keramaian, tidak akan ada yang memperhatikannya, terutama
dalam keadaan cuaca seperti ini. Dia seperti bagian dari cuaca; risiko yang
pasti muncul dari keadaan cuaca, sehingga tak perlu diperhatikan.
“Halo,” ucapnya setelah beberapa lama kami saling tatap dalam diam.
“Berapa lama?” balasku langsung.
“Saya tidak tahu. Mungkin sebentar saja.”
Aku menimbang-nimbang. Hujan mulai menderas. Di depanku, atau di
belakangnya, seperti ada tabir yang diturunkan tiba-tiba. Tabir dari air. Dengan
cepat tempias sampai ke beranda. Kulihat percik-percik membasahi sepatunya. Akhirnya
kupersilakan dia masuk, lantas dengan pelan kututup pintu. Tidak seperti ketika
dia masuk tadi, gerakannya ragu-ragu ketika menggeser kursi dan duduk
membelakangi meja. Dia tidak memilih kursi yang menghadap pintu, dia memilih
kursi yang membelakangi pintu, tapi dia membalik posisi kursi itu sehingga dia
pun duduk dengan menghadap pintu. Amatir, pikirku. Gerakan yang bisa dibaca. Di
suatu tempat yang belum dikenali, orang-orang memang akan selalu berusaha
terhubung dengan pintu, agar mudah lari kalau terjadi apa-apa.
Aku berjalan menuju pesawat telepon. J, kucingku, meringkuk di meja yang
sama tempat pesawat telepon berada. Kubuat gerakan kecil untuk menyentuh telinga
J. Binatang itu terbangun, menggeleng-geleng, dan kembali tidur. Kuangkat
pesawat telepon, memutar beberapa nomor untuk menghubungi seseorang. Telepon
dijawab, kami berbicara sebentar. Sesekali aku harus mengulang perkataanku
sebab hujan yang kian deras meredam suaraku. Setelah telepon kututup, aku
mendengus.
“Kau tidak menghubungi Ramses,” kataku kepada laki-laki itu.
“Memang tidak. Tapi, saya sudah tahu sebelumnya,” jawabnya.
“Kau sudah tahu sebelumnya…” gumamku, lalu: “Jadi kau sudah tahu sebelumnya
tentang aku dan tempat ini. Mengherankan. Bukankah itu berbahaya bagimu?”
“Memang berbahaya. Tapi saya tidak punya pilihan.”
“Tidak punya pilihan…,” gumamku, lalu: “Kupikir kau juga pasti sudah
tahu risiko dari tindakanmu ini. Kau juga pasti sudah tahu bahwa sedikit sekali
kemungkinannya kau bisa melanjutkan apapun yang kau rencanakan.”
“Memang. Tapi saya punya sedikit keyakinan bahwa Anda adalah orang yang
baik. Orang yang mudah bekerja sama.”
“Orang yang mudah …” Aku hendak melanjutkan tapi bunyi guntur
menggetarkan kaca jendela. J terbangun dan langsung melompat turun. Binatang
itu berjalan, mula-mula ke arahku, lantas demi melihat laki-laki itu ia malah
berbelok dan dengan segera menggosok-gosokkan lehernya ke kaki laki-laki itu.
“Orang baik….” gumamku, mengulang sekaligus mengoreksi kata sebelumnya,
lalu: “Untuk apa seorang penjahat mencari orang baik?” Kubuat nada suaraku
seakan aku sedang berbicara dengan diriku sendiri.
“Memang terdengar tidak masuk akal. Tapi saya kira Anda bisa paham.
Seorang penjahat yang mencari orang baik mestilah berpikir bahwa sebetulnya
dirinya bukan penjahat.”
“Bukan penjahat….” gumamku, lalu: “Semua orang yang datang ke sini
adalah penjahat. Untuk itulah tempat ini kubangun.”
“Saya tahu. Tapi saya yakin Anda belum tahu apa yang sudah saya
lakukan.” Kini suara laki-laki itu terdengar tenang. Rupanya dia merasa sudah
menguasai situasi. Jika biasanya mereka yang datang ke sini lebih sedikit
mengetahui keadaan dibandingkan denganku, kini sebaliknya.
“Belum tahu…,” gumamku, lalu: “Iya,”
ucapnya. Sekarang dia mengambil J yang sedari tadi terus menggosok-gosokkan
leher ke kakinya. Dipangkunya kucing itu dan dielus-elusnya. Sekonyong-konyong aku ingat
adegan dalam sebuah film, tapi aku lupa film apa. Ketika laki-laki itu
kembali berbicara ingatan akan film yang kumaksud semakin kuat, tapi semakin
tak bisa kuingat film apa itu. Caranya mengelus kucing dan cara berbicaranya
yang tiba-tiba berubah, yakni dengan memiringkan mulutnya seakan-akan ada yang
mengganjal di dalam, membuatnya kian terlihat seperti sosok dalam film yang
kumaksud. Dia berkata:
“Saya akan memberikan Anda
tawaran yang tidak bisa Anda tolak.”
Itu betul-betul kalimat dari sebuah film, tapi film apa?
Setelah berkata seperti itu dia bangkit dan berjalan mendekatiku. “Saya
menawarkan persembunyian buat Anda,” bisiknya persis di telingaku. Hampir tak
bisa kutahan perasaan geli yang dihasilkan oleh gabungan embusan napas dan
kata-kata yang diucapkannya. Aku bergeming; tidak mundur, tidak pula memintanya
mundur. “Persembunyian...,” gumamku, lalu baru saja aku hendak melepas tawa, ia
sudah tertawa duluan. Lantas dengan suatu gerakan yang ringan dia berputar-putar.
Mengayun-ayunkan tubuh J seperti mengikuti alun angin yang terus membentur-bentur
daun jendela.
Sekarang aku yang merasa sebagai amatir. Hanya bisa berdiri menatap
dengan heran tingkah laki-laki di depanku. Tidak. Aku tidak boleh kelihatan
seperti itu. Maka dengan segera aku mulai bergerak. Mula-mula
kugedruk-gedrukkan kakiku ke lantai, tapi karena suara kakiku kalah oleh suara
hujan, aku pun mulai melompat-lompat sembari berputar seperti atlet. Berhasil.
Sempat kulihat laki-laki itu tercenung menatapku. Namun, itu cuma sesaat. Dia
kembali melanjutkan tariannya, setelah melepas jaket bombernya, dan kali ini
sambil berucap:
”Apakah Anda betul-betul tidak mengenal saya? Tadi Anda menelepon
Ramses, tapi bukan Ramses yang menjawab.”
Kata-katanya mengejutkanku. Tadi aku memang menelepon Ramses,
sebagaimana biasa kalau ada seorang oknum yang datang mencari bantuan. Ramses
adalah agenku di bisnis ini, dan semua orang yang datang ke sini memang selalu
melalui Ramses. Termasuk laki-laki ini. Tadi Ramses bilang, laki-laki ini sudah
mendapat kata kunci darinya, hanya saja aku belum menanyakan kata kunci itu.
Kadang, aku memang suka bermain-main. Merasakan betapa aku menjadi sandaran hidup-matinya
para oknum itu. Karenanya ketika tadi aku berkata kepadanya bahwa dia tak
menghubungi Ramses, itu sekadar bagian dari permainan. Laki-laki ini berdusta,
dia jelas sudah menghubungi Ramses.
Sekarang kulihat dia naik ke atas meja dan melanjutkan tariannya. Tanpa
pikir panjang aku pun segera melompat ke atas meja telepon. Kugedruk-gedrukkan
kakiku ke meja, kali ini menimbulkan bunyi yang lebih keras, tumbuk menumbuk
dengan suara hujan dan angin, serta suara J yang mengeong-ngeong. Sesaat aku
melihat bagaimana laki-laki itu mencekik leher J, membuat kucing itu
meronta-ronta.
Sekonyong-konyong dilemparkannya kucing itu ke arahku. Aku mengelak.
Tubuh J membentur tembok dan terpental ke lantai. “Begitulah caraku menghabisi
Ramses. Anda pikir yang menjawab telepon Anda tadi adalah Ramses?” serunya. Aku
terkinjat melihat tubuh J berkejat-kejat di lantai, seakan-akan kucing itu ikut
menari bersama kami.
Laki-laki itu turun dari meja. Sesaat kupikir dia akan langsung duduk di
kursi. Ternyata dia mengangkat dulu kursi itu lalu menaruhnya di meja sebelum
kemudian naik kembali dan duduk di kursi yang sekarang berada di atas meja. Dia
menghadapku dan berbicara dengan cara tadi, yakni dengan memiringkan mulutnya
seakan-akan ada yang mengganjal di dalam. Dia kembali berucap: “Saya akan memberikan Anda tawaran yang tidak
bisa Anda tolak.”
Ya. Sekarang aku ingat film yang kumaksud. Ya. Sekaligus juga ingat
dengan terang benderang sosok dari film itu. Ya. Don Corleone!
“Nah, Anda sudah ingat siapa saya, bukan?”
Aku tercenung. Laki-laki itu berkata: “Dalam beberapa waktu ke depan pejabat-pejabat
penting akan terjerat hukum. Kematian Ramses akan tersiar ke mana-mana. Apabila
rekayasa pertama tidak berjalan dengan baik, Anda tahu, rekayasa kedua, ketiga,
dan seterusnya akan tetap dijalankan. Saya tidak perlu menjelaskan bagaimana
itu nanti akan melibatkan kepala-kepala divisi di kepolisian, dan bagaimana
semua itu membawa kepada Anda, bukan? Akan
ada banyak oknum. Bukan oknum sembarangan melainkan oknum kelas kakap. Ini akan
jadi bisnis yang bagus. Itulah makanya saya tadi berkata bahwa saya tidak punya
pilihan.”
Di luar, hujan pelan-pelan reda, tapi angin masih berusaha mengayun-ayunkan
daun jendela. Sementara bias-bias sinar mulai menerobos segala celah di bangunan
rumah. Suasana jadi terasa seperti saat malam baru saja menyingkir dan pagi tergelincir
dari tempat persembunyiannya. Aku menatap J. Kucing itu sudah berhenti
berkejat-kejat. Aku seperti melihatnya bangkit, menggeliat, dan mulai mengeong.
Kupikir segala sesuatu mulai berubah jadi ilusi ketika sekonyong-konyong aku mendengar
laki-laki itu bertanya: “Sekarang katakan kepada saya, apa kata kuncinya?”***
Kekalik,
22 Oktober 2022