Terhubung dengan
Kehidupan melalui Novel The Midnight
Library
Abadina Ukhtisiwi
Pernahkah kamu merasa
hidup ini tidak berarti seolah-olah kamu adalah orang yang paling menderita di
dunia ini Alhasil kamu berandai-andai menjalani kehidupan lain yang tampak
lebih bahagia atau bahkan bagian terburuknya sampai ingin mengakhiri hidup.
Perasaan semacam ini kerap dirasakan orang-orang saat hidupnya berada dalam
fase terpuruk. Entah karena persoalan dari lingkup keluarga, teman, sekolah,
pekerjaan, ataupun lainnya.
Perasaan berada di titik
terendah dalam hidup seperti diterangkan di atas menjadi topik utama dalam
novel The Midnight Library karya Matt
Haig. Matt Haig adalah seorang novelis dan jurnalis Inggris yang telah menulis
beberapa buku best seller, salah
satunya, yaitu The Midnight Library
yang terbit pada tanggal 13 Agustus 2020 oleh Penerbit Canongate Books dan ada
pula versi terjemahan Bahasa Indonesianya yang diterbitkan setahun kemudian,
tahun 2021 oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Novel ini telah mendapat
beberapa penghargaan, seperti The Winner
of Goodreads Choice Award for Best Fiction 2020 dan The New York Times Best
Seller.
Merujuk kepada judul,
novel ini menceritakan kemunculan sebuah perpustakaan di tengah malam, di saat
seorang perempuan bernama Nora Seed mencoba mengakhiri hidupnya. Nora melakukan
hal tersebut karena merasa dirinya telah gagal dalam melakukan apapun. Ia
meyakini bahwa pilihan-pilihan yang telah diambil sepanjang hidupnya salah.
Baginya, dunia telah berakhir. Alih-alih berhasil dalam mengakhiri semuanya,
Nora justru terjebak di perpustakaan, antara hidup dan mati, dengan jutaan buku
berisi kisah hidupnya jika ia mengambil pilihan yang berbeda. “Setiap kehidupan
mengandung berjuta-juta keputusan. Beberapa besar, beberapa kecil. Tetapi
setiap kali satu keputusan menumbangkan keputusan lainnya, hasil akhirnya akan
berbeda. Variasi-variasi yang tak bisa diubah terjadi, yang pada gilirannya
mengarah pada variasi-variasi lain lagi. Buku-buku ini merupakan portal ke
semua kehidupan yang mungkin saja kau jalani.” —Mrs. Elm, seorang pustakawati
di sekolah Nora dahulu yang mendadak muncul bersamaan dengan perpustakaan
tengah malam.
Sepanjang membaca novel
ini, kita akan diajak mengarungi ruang dan waktu walau waktu di perpustakaan
tengah malam berhenti, mencoba berbagai kehidupan Nora yang berbeda. Ada tempat
di mana hidup Nora memiliki karier yang mumpuni, sukses dengan band-nya, menikah dengan kekasihnya,
memiliki keluarga kecil yang bahagia, akur dengan kakaknya, dan masih banyak
lagi. Kehidupan-kehidupan itu tampak lebih indah untuk dijalani dibanding
kehidupan Nora di mana ia menenggak pil hingga overdosis. Namun, semua
kehidupan itu hanya terlihat sempurna untuk sementara waktu. Pada kenyataannya,
seperti yang ia sadari, ada banyak tantangan baru yang menunggu, seperti saat
Nora mencoba kehidupan yang ia kira di sana akan bertemu Volts—kucingnya yang
masih hidup, namun kehidupan yang ia inginkan itu ternyata tidak ada. Mrs. Elm
tidak memberi tahunya dari awal “Karena, Nora, kadang satu-satunya cara untuk
belajar adalah dengan hidup.” Eksplorasi Nora tentang dirinya ditampilkan
dengan sangat menarik ketika ia mencoba memahami apa yang benar-benar penting
dalam hidupnya. “...masalahnya adalah… apa yang kita anggap sebagai rute paling
sukses untuk kita ambil ternyata salah. Karena seringkali anggapan kita
mengenai kesuksesan merupakan konsep omong kosong eksternal tentang
prestasi—medali olimpiade, suami ideal, gaji tinggi. Kita semua memiliki ukuran
ini, yang kita coba dan kita capai. Padahal kesuksesan sebenarnya adalah
sesuatu yang tidak bisa kita ukur, dan hidup bukanlah perlombaan yang bisa kita
menangi. Semua itu… omong kosong, sebetulnya…” —TED Talks Nora saat menjalani
hidup sebagai atlet renang yang mendapatkan banyak medali emas. Ada pula
perkataan Mrs. Elm yang begitu singkat tetapi sangat penting untuk diingat oleh
setiap orang agar tidak memiliki penyesalan, “Jangan pernah meremehkan arti
penting dari hal-hal kecil.”
Novel ini memuat beragam
kalimat motivasi dalam memaknai kehidupan, ada yang mengajarkan cara dalam
memandang emosi kehidupan, seperti saat Nora menjalani kehidupan sebagai
vokalis band yang sukses dan tengah
diwawancarai, ia mengatakan bahwa “... segala sesuatunya akan lebih mudah kalau
kita paham tidak ada satupun cara hidup yang bisa memberimu kekebalan terhadap
kesedihan. Bahwa kesedihan merupakan bagian intrinsik kebahagiaan. Kau tidak
bisa mendapatkan yang satu tanpa mengalami yang lain. Tentu saja, mereka datang
dalam beragam tingkat dan kuantitas berbeda, tetapi tidak ada kehidupan tempat
kau bisa terus-menerus berbahagia untuk selamanya. Menghayalkan kehidupan
semacam itu hanya akan menumbuhkan semakin banyak ketidakbahagiaan dalam
kehidupan yang tengah kau jalani.” Banyak juga bagian isi dalam novel yang
membahas terkait rasa penyesalan, “... masalah sebenarnya bukanlah
kehidupan-kehidupan yang kita sesali tidak kita jalani, melainkan rasa sesal
itu sendiri. Rasa sesal yang membuat kita mengerut, layu, dan terasa seperti
musuh terbesar diri kita sendiri dan orang lain. Kita tidak bisa tahu apakah
versi-versi lain itu akan lebih baik atau lebih buruk. Kehidupan-kehidupan itu
tengah berlangsung, betul, tapi kau juga tengah berlangsung, dan kita harus
berfokus pada “berlangsung” itu. Kita tidak perlu melakukan segalanya dalam
rangka menjadi segalanya, karena kita sendiri sudah tak terbatas. Selagi kita
masih hidup, kita selalu memiliki masa depan dengan beribu kemungkinan.”
Alur cerita dalam novel
ini dikemas dengan apik karena memuat begitu banyak pengalaman emosional
berbeda yang menyertai kehidupan hingga dapat menggugah pikiran para pembaca.
Novel ini juga dapat menjadi sarana dalam refleksi diri untuk merenungkan
kehidupan yang sedang dijalani, keputusan yang telah diambil, bagaimana kita
memandang masa depan, menyadari tentang berapa banyak potensi yang dimiliki,
dan membayangkan kemungkinan tak terbatas dalam hidup. “Menarik… bagaimana
hidup terkadang memberimu perspektif yang sama sekali baru dengan menunggu
cukup lama bagimu untuk melihatnya.”—Nora Seed.