Pamor Memoar - Hikmat Gumelar

@kontributor 12/04/2022

Pamor Memoar

Hikmat Gumelar



Pamor memoar melonjak. Akademi Swedia kian mendongkraknya. Pada 6 Oktober, diumumkannya  Hadiah Nobel Sastra 2022 dimenangkan Annie Ernaux, penulis Prancis yang hampir semua dari 24 buku karyanya merupakan memoar, Dan dari sejak itu hingga hari ini, tak terdengar satu pun suara menampik. Masyarakat sastra dunia berarti telah menerima penghabisan memoar sebagai sastra.

Penyair, novelis, cerpenis, atau dramawan tak mesti rongseng. Apalagi sampai memacetkan jalan dengan ribuan poster. Malah seyogianya sedikitnya mengembuskan napas lega menyambutnya. Sebab, ditahbiskannya memoar sebagai karya sastra dapat memungkinkan daya sastra meningkat. Meningkatnya daya sastra tak pelak berkah bagi sekalian penggiat sastra. Bahkan pun bagi khalayak.

Memang tak sedikit memoar yang lebih baik tak terbit, atau lebih baik lagi tak ditulis. Di Indonesia, setelah Soeharto lengser, memoar seperti itu bermunculan bak lintah di musim hujan.  Mantan pejabat tinggi, purnawirawan jenderal, kandidat kepala daerah, kandidat wakil rakyat, dan selebriti pada berapi-api menerbitkan memoar. George Orwell menulis bahwa autobiografi yang bagus adalah yang mengungkap keburukan penulisnya. Kebanyakan memoar mereka jauh dari itu. Kebanyakan memoar itu boleh disebut dongeng sukses belaka.

Ada, bahkan banyak, memang orang sukses. Dan ini patut dicontoh. Namun benarkah apa yang mereka maksudkan sukses itu adalah sukses? Kalaupun benar, bagaimana mencapainya? Benarkah sebagaimana yang didongengkan? Bagaimana pula cara mendongengnya?

Plot yang lemah, yang bagian-bagian narasinya dipertautkan bukan oleh logika peristiwa-peristiwa, melainkan oleh kata hubung atau kebetulan belaka, memberi hak kepada pembaca menyangsikan kesahihan memoar yang dibacanya. Dan memoar yang ditenun dengan bahasa berlumur ungkapan bombastis serta metafora arkaik memberi hak kepada pembaca untuk membaca hanya sampai akhir alinea pertama, atau bahkan akhir kalimat pembuka.

Tapi yang umum disebut karya sastra pun tak sedikit yang lebih baik tak dipublikasikan. Misalnya, tak sedikit cerita pendek yang berlagak menampik kependekan, yang padahal kependekan itulah yang bisa menjadi kelebihan utama cerita pendek. Tak sedikit novel ditulis dangan penuh mau menjadi panduan hidup bagi semua orang. Kalimat pertamanya sudah menggemakan kemauan itu, sehingga pembaca sudah langsung merasa diposisikan sebagai pendosa atau dungu. Ada yang kalimat pertamanya yang memikat tapi kalimat-kalimat selanjutnya membikin kepala terasa dicengkeram migrain. Ketimbang kepala peccah, karya dengan bahasa demikian lebih baik dicampakkan.

Baik bagi yang secara konvensional dianggap karya sastra maupun karya seperti memoar, bahasa bukanlah cangkang dari isi yang dinilai sebagai substansi. Sastra dianggap lebih bernilai dari teks-teks lain karena bersuara. Suaranya datang dari bahasanya, bahasa naratif.

Bahasa tersebut muncul dari sudut naratif. Gao Xingjian menulis, penciptaan fiksi pertama-tama mensyaratkan pemilihan narator. Narator, yang di mana-mana ada tiga, yakni aku, kau, ia, melihat, berhubungan dengan, dan menceritakan dunia dan orang serta hubungan antara mereka. Narasi yang ditenun oleh aku, atau kau, atau ia, satu sama lain berbeda tingkatan  psikologisnya. Tetapi ketiganya juga memiliki kesamaan. Ketiganya melihat, berhubungan dengan, dan menceritakan dunia dimungkinkan oleh bahasa. Hal ini karena, seperti diungkap Gao, “Kesadaran manusia diaktualisasikan melalui bahasa, dan kognisi tentang diri tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Melalui ketiga orang subjek --- tiga posisi berbeda ---itulah apa yang disebut sebagai diri dikonfirmasi.”

Dalam konfirmasi diri ini, bahasa lisan berperan signifikan. Ia memiliki telinga, hidung, mata, kulit, lidah. Bahasa menjadi berdaya mengembuskan irama dan membangun suasana. Dengan itulah bahasa lisan bersuara. Suaranya menjadikannya bahasa naratif, bahasa yang menghadirkan subjektivitas, bahasa yang unik dan menarik, bahasa yang segar dan bertenaga.

Ada memang yang bersemangat menguar-uarkan bahwa sastra berasal dari bahasa Sansakerta, yang artinya adalah aksara. Untuk meneguhkannya, kelisanan bukan saja diletakan berhadap-hadapan dengannya, tapi pun berada di bawahnya dan sekaligus mengganggu keberadaannya. Kecuali itu, kelisanan pun diperluas cakupannya. Bukan saja bahasa radio dan televisi yang dijebloskan ke dalamnya, tapi pun bahasa internet, atau lugasnya bahasa (di) media sosial.

Namun, Karen Amstrong menulis, kitab suci Veda bukan satu belaka, tapi  banyak. Banyaknya Veda ini merupakan manifestasi dari menjadikan Veda berkemampuan merangkul perubahan, menjawab beraneka ragam tantangan anyar, dan karenanya kepercayaan akan Veda sebagai kitab suci menjadi terus terjaga. Hal ini menjadi mungkin karena bahasa banyak Veda adalah bahasa lisan, bahasa yang operasinya dalam aneka ragam ritual yang terbangun oleh nyanyian, tarian, sandiwara, dan lain-lain lagi, yang berlangsung hampir setiap pekan, bahkan nyaris setiap hari. Dan ini terjadi selama ribuan tahun. Penjadian banyak Veda sebagai kitab suci tertulis dan satu belaka barulah belakangan. Dan ini dilakukan hanya oleh segelintir elit. Penunggalan elitis ini meminggirkan keberagaman. Tetapi keberagaman tampaknya adalah takdir. Buktinya sampai hari ini ratusan juta orang india masih saja mengamalkan banyak Veda.

Kecuali itu, bahkan para ilmuwan, terutama dalam dua abad belakangan, dalam menulis karya ilmiah, selalu memilih kata dan menatanya pun dengan pertimbangan nada, tempo, ritme. Penyair, dramawan, cerpenis, novelis, dan penulis memoar tentulah lebih lagi dalam mengandalkan musikalitas bahasa itu. Jika ada yang masih menyangsikan bahwa penulis memoar menulis dengan cara demikian, bisa jadi itu karena ia masih kurang piknik.

Telusurilah, misalnya, I Saw Ramallah. Memoar kepulangan pertama Mourid Barghouti ke Ramallah, Palestina, sehabis hidup di pengasingan berkepanjangan, ini terasa benar sebagai teks yang tulang punggungnya bahasa naratif. Edward Said menulis bahwa teks Mourid itu adalah “narasi yang padat dan amat liris” sehingga “merupakan catatan eksistensial terbaik yang pernah ada ihwal keterusiran orang Palestina dari tanah air mereka sendiri”.

Kepadatan dan kelirisannya terjaga dari alinea pertama hingga pamungkas. Coba kita simak (lagi) alinea pertama:

 

Panas sekali di jembatan itu. Tetesan keringat menggelincir dari kening menuju bingkai kacamataku, kemudian ke lensa. Sebentuk kabut menyelimuti apa-apa yang kulihat, yang kuharap, yang kuingat. Pemandangan di sini terasa berpendaran dengan adegan-adegan dalam serentang kehidupan; seumur hidup yang dihabiskan dalam upaya untuk sampai ke sini. Di sinilah aku, tengah menyeberangi Sungai Yordania. Terdengar derit kayu di bawah telapak kakiku. Di pundak kiriku tersampir sebuah tas kecil. Aku berjalan dengan biasa ke arah barat --- atau tepatnya, berusaha tampak biasa. Di belakangku, ada dunia, di depanku, ada duniaku.

Memory for Forgetfulness tak kalah memikat dan bernas. Memoar orang Palestina lainnya, Mahmoud Dharwis, ini mengisahkan pengalamannya dalam pengepungan dan pemboman Beirut oleh Israel pada tahun 1982, serta berbagai konteks yang melatarinya. Berbagai genre dijahit dengan terampil hingga Memory for Forgetfulness menjadi narasi hibrida yang koheren mengangkat kerumitan dan kompleksitas pribadi dan kolektif, psikologis dan fisikal, kenyataan dan anganan. Coba sejumput saja kita simak (lagi) tulisannya ihwal Beirut:

 

Beirut adalah tempat informasi dan ekspresi bangsa Palestina tumbuh subur... tempat kelahiran ribuan orang Palestina yang tak mengenal kampung halaman lainnya... Sebuah pulau tempat para imigran Arab yang memimpikan dunia baru mendarat. Ibu angkat dari mitologi heroik yang mampu menawarkan janji kepada bangsa Arab selain janji yang tercetus dari Perang juni (tahun 1967)... (Beirut) menjadi properti bagi siapa pun yang memimpikan tatanan politik yang berbeda... Mereka... yang tak punya tanah air ataupun keluarga... melekatkan kepada Beirut ketegasan makna yang membuat hubungan ambigu mereka dengan kota itu menjadi hak-hak sah seorang warga negara.=

... Beirut telah menjadi laguku dan lagu semua orang yang tak punya tanah air.

Ketika menulis Left to Tell, Immaculee  Ilibagiza belum menjadi penulis seperti Mourid dan Dharwis. Kedua orang tersebut sudah diakui sebagai penyair berkelas, terutama di dunia Arab. Namun, Left to Tell menyeruak dari pengalaman Immaculee tahun dalam genosida Rwanda yang merenggut nyawa hampir satu juta orang. Selama 91 hari, bersama tujuh perempuan Rawanda lainnya, yang semua bersuku Tutsi, gadis berusia 22 tahun itu bersembunyi di kamar mandi kecil milik seorang pendeta bersuku Hutu. Ia sama sekali tak meniatkan catatan atas pengalamannya menjadi sebuah buku. Beralihnya catatannya menjadi buku adalah karena Wayne Dier membacanya. Dier tersedot bukan saja oleh betapa mengerikan apa yang dialami Immaculee, tapi pun oleh pemaknaan akannya yang justru menjadikan iman kristiani Immaculee merengkuh bumi dan menjangkau langit. Caranya bertutur pun memikat sejak awal hingga akhir. Coba kita simak (lagi) bagaimana Immaculee yang kedua orang tunya dan dua saudara laki-lakinya dibunuh ekstrimis Hutu membuka memoarnya:

            Aku mendengar suara para pembunuh memanggil-manggil namaku.

            Mereka berada di balik dinding. Tidak lebih dari seinci antara gips dan kayu yang memisahkan kami. Suara mereka dingin, berat, dan mengerikan.

“Dia ada di sini.... Kita tahu dia ada di sekitar sini....Temukan dia, temukan Immaculee!”

Dari suara-suara itu, aku tahu, jumlah mereka banyak. Dan aku pun tahu mereka adalah teman-teman dan tetangga-tetanggaku. Orang-orang yang dulu selalu menyapaku dengan cinta dan keramahan itu bergerak memasuki rumah dengan membawa tombak dan pisau besar serta memanggi-manggil namaku.

“399 kecoa telah kubunuh,” kata salah seorang pembunuh. “Immaulee adalah yang ke-400. Rekor yang bagus.”

Masih banyak lagi memoar yang gurih dan bergizi rohani seperti I Saw Ramallah, Memory for Frogetfulness, dan Left to Tell. Memoar Ernaux Happening, Le Place, dan The Years tentulah masuk ke dalamnya. Memoar-memoar seperti itu, sepembacaan saya, terbebas dari menjadikan diri sebagai pusat. Narasi-narasinya menggambarkan individu dan kolektif saling bergantung. Kesadaran akan kesaling-bergantungan menggantungkan keberlangsungan bersama sebagai cita-cita. Keberanian dan keikhlasan menerima berbagai warna pengalaman pribadi menjadi pijakan untuk meraih cita-cita tersebut. Dari situlah tiba gairah mengeksplorasi bahasa. Dan dari eksplorasi bahasa dengan konsentrasi tinggi inilah lahir bahasa naratif, bahasa yang hidup dan menghidupkan.

Kalau tak sedikit memoar yang sedemikian, apa ruginya menerima memoar sebagai karya sastra? Kalau tak sedikit memoar yang memboyakkan dan menyesatkan, justru dengan dianggap karya sastra mereka yang hendak menulis memoar dapat lebih dulu tekun mengasah kepekaan dan keterampilan kesastraan. Kalau begitu, rasa-rasanya lebih baik kita membuka pintu dan menyambut dengan senyum, “Welcome to the club.”   

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »