Sebagaimana Pohon, Ada
Banyak Kenangan yang Tumbang
Daviatul Umam
Kau
sangat menyukai bunga-bunga. Kau menaruh hati pada tanaman hias bahkan sudah
sedari kecil. Setiap kali ibumu membawamu ke pasar dan kau melihat
tanaman-tanaman berbunga indah diperdagangkan, kau pasti minta ibumu agar
membelinya. Dan tak sekali pun sang ibu mengabulkan permintaanmu dengan
terlebih dahulu mengeluh atau menggunakan bermacam dalih supaya keinginanmu
urung.
Lambat-laun, seiring bertambahnya angka usiamu, kau
tidak hanya menyukai tanaman berbunga. Melainkan juga mencintai beragam tanaman
yang ditakdirkan untuk tidak memiliki bunga. Kau menyiraminya saban pagi dan
sore, mengganti potnya dengan ukuran yang lebih besar tatkala salah satu
tanaman beranjak dewasa, memindahkan dan menanamkannya langsung ke tanah
halaman rumah saat tampak gagah perkasa. Selain dirasa tidak cocok lagi berdiri
di atas pot, kau ingin membiarkan akarnya leluasa menjalar tanpa batas. Dengan
begitu, menurutmu, perkembangannya tentu akan lebih cepat.
“Makin nyampah saja,” gerutu ayahmu sambil menyapu
halaman yang sebagian limbahnya berasal dari reruntuhan daunan kering pagar
tanaman tetangga, sebagian lagi guguran daun bonsai asam, juga daunan kering
dan bunga-bunga layu yang lepas dari tangkai tanaman kesayanganmu. “Laki-laki
kok suka beginian!”
Bukan cuma sekali-dua kali kau mendengar ocehan
semacam itu dari orang yang sama. Kendati tidak ditujukan secara langsung,
namun jelas, kaulah sasarannya. Tetapi dengan memilih bungkam, kau merasa lebih
aman meski kurang nyaman. Hingga suatu waktu, kau tak lagi bisa diam lantaran
dua tanamanmu yang merambat dengan baik ayahmu rambah tanpa memberitahumu lebih
dulu. Kau yang kian remaja dan sudah cukup cakap berbicara, terpaksa harus
menegur ayahmu. Selisih pun pecah sebelum akhirnya kau mengalah.
Wajar belaka kau begitu kesal. Belum sepenuhnya lesap
kedongkolanmu sebab tempo hari kau mendapati seekor kambing milik tetangga
tiba-tiba memamah beberapa tanamanmu, kini malah ditambah ulah ayahmu yang
bertindak sesukanya karena menurutnya tidak enak dipandang dan bikin nambah
banyak limbah. Untuk alasan kedua ini ia memang patut diacungi jempol. Ia
memang sangat menjaga kebersihan lingkungan. Jangankan limbah daun kering yang
bertebaran di mana-mana. Sesobek bungkus permen pun akan ia pungut dari
halaman.
Jika saja tidak khawatir bakal terjadi percekcokan
panjang denganmu, bisa dipastikan ayahmu tidak akan berpikir dua kali untuk
melenyapkan seluruh tanaman di halaman dan depan teras. Karena baginya,
alih-alih aneka tanaman itu dapat memberi manfaat, justru tak henti-henti
mendatangkan mudarat. Alih-alih menyedapkan mata, justru sebaliknya, merusak
pemandangan saja. Ya karena limbahnya itu. Bikin muak tiap kali ia menyapu.
Maka sungguh membuatmu tercengang dan sesak, ketika
suatu siang kau baru datang dari sekolah, harus menerima kenyataan yang teramat
janggal. Tidak seperti biasa, rumahmu tampak lebih puas dalam tatapan. Tapi ada
sebuah kenangan yang tumbang bersama raibnya bonsai asam yang rindang. Bonsai
yang konon ditanam oleh mendiang kakekmu dulu dan dirawat sedemikian rupa,
dibentuk seperti payung hijau yang selalu mekar di musim apa pun.
Begitu pun sampai tubuhmu sebesar sekarang, pohon itu
tetap diistikamahkan menyerupai payung. Pohon yang tingginya hampir mencapai
separuh dari ketinggian rumahmu dan umurnya diperkirakan kurang-lebih 25 tahun.
Berarti saat kakekmu menanamnya, kau belum ada bahkan dalam wujud benih
sekalipun. Hanya saja, karena rajin dipangkas, itu pohon tidak bisa meninggi
melampaui keinginan tuannya. Mestinya, ia sudah menjulang jauh menyamai dua
kali lipat bubungan rumahmu.
Sebetulnya, ayahmu juga menyayangi bonsai estetik itu.
Terbukti sejak sepeninggal kakekmu, tidak lain dialah yang telaten mengurusnya
dengan tetap mempertahankan bentuknya sebagai payung hijau. Akan tetapi, dua
tahun belakangan, tanaman indah tersebut dihuni kawanan ulat kecil berbulu. Dan
tentu saja makhluk sialan itu tidak sebatas berkelana dari ranting ke ranting
atau sekadar main ayunan dengan cara mengulurkan benang putih-halus dari
mulutnya yang mungil. Melainkan juga gemar mengikis daun-daunnya setiap hari.
Sepanjang hari.
Akibatnya si bonsai mengalami penyakit kronis.
Perlahan ia malih rupa menjadi payung hijau-cokelat, lama-lama menjadi payung
cokelat yang koyak di sana-sini, memperlihatkan jari-jarinya yang
memprihatinkan. Di bawahnya berserakan limbah, diacak-acak angin, menyebar ke
mana-mana, sampai ke beranda, menyelinap lewat bawah pintu, mendiami lantai
bagian dalam, lalu mencoba sembunyi ke kolong meja dan kursi. Hewan-hewan
penjajah itu pun mulai berani menginjakkan kaki di beranda.
Melihat fenomena buruk demikian, mustahil ayahmu hanya
bisa mengelus dada. Tidak satu kali pun ia menyapu tanpa mengoceh dan mengutuki
para penjajah kerdil itu. Apalagi ia bisa dibilang fobia terhadap semua jenis hewan
melata.
Seorang kerabat ibumu menyarankan agar membeli sebuah
obat yang dapat menumpas ulat-ulat. Ayahmu menurut. Dengan cara melarutkan obat
bubuk yang dibelinya ke dalam seember air, lantas menghambur-hamburkannya ke
sekujur tubuh bonsai menggunakan gayung, selang satu jam ulat-ulat itu
berjatuhan kaku. Esoknya, tiada seekor pun ulat terlihat. Benar-benar musnah.
Sepekan lebih berlalu. Kau kira bonsai itu sudah
menemui ajalnya. Tidak, ternyata. Daun-daun hijau terang sedikit demi sedikit
kembali menyembul di ujung-ujung ranting. Rupanya ia masih diberi keberkahan
umur. Serupa orang sekarat mendapat keajaiban untuk melanjutkan kehidupan yang
lebih baik, ia sungguh sembuh. Namun belum sempat kesehatannya pulih total
seperti sedia kala, ulat-ulat kembali bermunculan mengerumuni daun-daunnya yang
masih muda.
Tanaman malang itu kembali luka-luka, mengering,
rontok, menebar limbah. Hatimu turut alum. Ulat-ulat merangkak lagi ke beranda,
memanjat tembok, memasuki rumah. Sehabis disapu, datang lagi, disapu, datang
lagi. Obat mematikan itu kembali ayahmu gunakan. Kawanan ulat lagi-lagi
berjatuhan sebagaimana daun-daun asam yang menjadi korbannya. Tanpa perlu
menunggu kesembuhan si bonsai, ayahmu mengambil kapak lalu mengayunkannya
berkali-kali ke batang pohon tua itu.
Dengan emosi meletup-letup, kau hendak memarahi ayahmu.
Sayangnya ayahmu sedang tidak di rumah, entah ke mana. Ibumulah yang menjadi
pelampiasan amarahmu. Ia menjawab pertanyaanmu—kenapa pohon kenangan dari
kakekmu itu ditebang—sekenanya, tanpa membalas kemarahanmu. Malah ia berusaha
menenangkanmu, menasihatimu supaya jangan sampai marah-marah kepada ayahmu
ketika ia pulang nanti. “Ingat, bagaimanapun dia orang tuamu. Tidak enak bila
didengar tetangga. Ibu yang malu,” pungkasnya.
Kau bergolek-golek di kamar. Perlahan setangkup bara
di dadamu meredup. Tinggal sedih-pedih yang tersisa. Kepalamu memberat.
Tenggorokanmu sepat. Kau teringat kakekmu, membayangkannya bagaimana
gerak-gerik jemarinya dulu manakala sedang menanam bonsai yang kini jadi
bangkai itu dan bakal segera berakhir di mulut tungku. Bagaimana cara kakekmu
terus mengupayakannya hidup. Merawatnya penuh kasih-sayang. Kasih-sayang yang
alangkah teduh. Seteduh payung hijau yang pernah menjadi tempat bermainmu tiap
hari, baik dengan seorang kawan perempuan maupun seorang diri.
Betapa susah sejujurnya melupakan tindakan semena-mena
ayahmu begitu saja. Sebisa mungkin kau bersikeras meredam emosi walaupun terasa
sulit sekali. Masalahnya, ini sudah kali kedua ayahmu menebang pohon warisan
kakekmu. Jauh sebelumnya, ia menjual dua pohon jati di pekarangan yang
batangnya masih seukuran lingkaran paha orang dewasa.
Ia tebas pula sejumlah anak pohon jati yang tumbuh
berpencar-pencar di pekarangan itu. Padahal ibumu sudah beberapa kali
melarangnya dengan alasan, pohon-pohon tersebut bisa dimanfaatkan kelak guna
memperbaiki langgar bilamana ada pokok kayu bangunan yang lapuk. Sementara
ayahmu tetap ngotot menyodorkan alasan yang itu-itu saja: bikin banyak limbah.
Ia merasa kerepotan menyapu dan membakar limbah daun jati itu dua kali dalam
seminggu.
***
Tahun demi tahun melayang jauh ke belakang menjelma
lipatan masa silam. Usiamu sudah cukup matang. Kau menikah dan tinggal di rumah
istrinya di daerah kepulauan. Lantaran pulau itu sangat jauh dari desamu
sendiri, untuk menjenguk kedua orang tuamu kau cuma menjadwalkannya sebulan
sekali. Kecuali kalau ada kepentingan mendesak.
Kemarau panjang melanda. Tanaman-tanamanmu tak lagi
terurus. Sebagian besar tidak dapat terselamatkan. Ibumu mengakui, ia kurang
memperhatikannya. Kerap kali ia lupa menyiramnya. Lebih parah lagi, terkadang
kambing-kambing tetangga datang menyerbu di saat kedua orang tuamu sedang
bepergian. Otomatis tiada yang menghalau kambing-kambing yang memang sengaja
dilepas dari kandangnya itu. Tapi mau bagaimana lagi. Kau tak bisa menyalahkan
ibumu. Barangkali sudah waktunya kau mesti merelakannya dengan hati lapang.
Itulah perubahan pertama di lingkungan rumah masa
kanakmu semenjak kau menetap di pulau seberang. Beda halnya perubahan kedua
yang terjadi beberapa bulan kemudian, yang seolah menamparmu berkali-kali
sehingga wajahmu memerah dan kau sungguh tak bisa memakluminya. Pasalnya, pohon
jambu air di pekarangan depan ternyata sudah tinggal tunggul. Lagi-lagi itu
adalah tanaman kakekmu hasil mencangkok di rumah iparnya.
“Buat apa juga? Sudah empat musim kita tidak bisa
memetik buahnya. Tiap kali berputik selalu saja rontok. Sekalinya berbuah
langsung habis dalam semalam diserang kelelawar,” jelas ayahmu yang baru saja
selesai sembahyang di langgar, saat kau mempertanyakan alasan pohon itu
ditebang, “Yang ada malah menumpuk limbah.”
Dengan tingkat kemarahan yang sangat tinggi, kau yang
belum sempat turun dari motor, bahkan belum melihat raut sang ibu, spontan kau
nyalakan lagi kendaraan itu, membelokkannya dan bergegas pergi. Tentu sikapmu
yang tampak kasar ini bukan tanpa landasan yang kuat. Pohon jambu air itu sama
berharganya bagimu dengan si payung hijau. Kau masih ingat betul saat dulu
kakekmu memanjatinya, memetikkan buah-buah manisnya untukmu, dan di bawahnya kau
merentangkan ujung kausmu sebagai wadah penangkap biar tidak jatuh ke tanah.
Di bawahnya pula, sepulang sekolah, bersama bocah-bocah
kampung yang lain kau acap memunguti bakal buah yang berguguran buat dijadikan peluru-peluruan.
Bakal buah jambu air itu kalian masukkan ke ujung lubang pistol pletokan yang
terbuat dari bambu. Lalu kalian akan menembakkannya bergantian, adu nyaring
bunyinya. Kadang kala kalian juga mengentaknya secara serentak lantas
meledakkan tawa bersamaan.
Selain karena secarik kenangan, para tetangga yang
hendak lewat di sisi pohon jambu air—di mana letak berdirinya pohon hanya tiga
meter dari lorong—akan memanggil ibumu guna minta izin mengambil buahnya.
Sembari mengunyah, mereka yang menikmatinya tak sedikit memberi pujian yang
sama, “Manis sekali.” Ya, kenyataannya memang begitu. Sebab, ibumu tak pernah
lupa menaburkan gula pasir ke sekitar akarnya setiap gerhana bulan tiba. Biar
manis, katanya. Setidaknya itulah yang ia yakini.
***
Share this