Sebagaimana Pohon, Ada Banyak Kenangan yang Tumbang - Daviatul Umam

@kontributor 12/11/2022

Sebagaimana Pohon, Ada Banyak Kenangan yang Tumbang

Daviatul Umam 



Kau sangat menyukai bunga-bunga. Kau menaruh hati pada tanaman hias bahkan sudah sedari kecil. Setiap kali ibumu membawamu ke pasar dan kau melihat tanaman-tanaman berbunga indah diperdagangkan, kau pasti minta ibumu agar membelinya. Dan tak sekali pun sang ibu mengabulkan permintaanmu dengan terlebih dahulu mengeluh atau menggunakan bermacam dalih supaya keinginanmu urung.

 Lambat-laun, seiring bertambahnya angka usiamu, kau tidak hanya menyukai tanaman berbunga. Melainkan juga mencintai beragam tanaman yang ditakdirkan untuk tidak memiliki bunga. Kau menyiraminya saban pagi dan sore, mengganti potnya dengan ukuran yang lebih besar tatkala salah satu tanaman beranjak dewasa, memindahkan dan menanamkannya langsung ke tanah halaman rumah saat tampak gagah perkasa. Selain dirasa tidak cocok lagi berdiri di atas pot, kau ingin membiarkan akarnya leluasa menjalar tanpa batas. Dengan begitu, menurutmu, perkembangannya tentu akan lebih cepat.

 “Makin nyampah saja,” gerutu ayahmu sambil menyapu halaman yang sebagian limbahnya berasal dari reruntuhan daunan kering pagar tanaman tetangga, sebagian lagi guguran daun bonsai asam, juga daunan kering dan bunga-bunga layu yang lepas dari tangkai tanaman kesayanganmu. “Laki-laki kok suka beginian!”

 Bukan cuma sekali-dua kali kau mendengar ocehan semacam itu dari orang yang sama. Kendati tidak ditujukan secara langsung, namun jelas, kaulah sasarannya. Tetapi dengan memilih bungkam, kau merasa lebih aman meski kurang nyaman. Hingga suatu waktu, kau tak lagi bisa diam lantaran dua tanamanmu yang merambat dengan baik ayahmu rambah tanpa memberitahumu lebih dulu. Kau yang kian remaja dan sudah cukup cakap berbicara, terpaksa harus menegur ayahmu. Selisih pun pecah sebelum akhirnya kau mengalah.

 Wajar belaka kau begitu kesal. Belum sepenuhnya lesap kedongkolanmu sebab tempo hari kau mendapati seekor kambing milik tetangga tiba-tiba memamah beberapa tanamanmu, kini malah ditambah ulah ayahmu yang bertindak sesukanya karena menurutnya tidak enak dipandang dan bikin nambah banyak limbah. Untuk alasan kedua ini ia memang patut diacungi jempol. Ia memang sangat menjaga kebersihan lingkungan. Jangankan limbah daun kering yang bertebaran di mana-mana. Sesobek bungkus permen pun akan ia pungut dari halaman.

 Jika saja tidak khawatir bakal terjadi percekcokan panjang denganmu, bisa dipastikan ayahmu tidak akan berpikir dua kali untuk melenyapkan seluruh tanaman di halaman dan depan teras. Karena baginya, alih-alih aneka tanaman itu dapat memberi manfaat, justru tak henti-henti mendatangkan mudarat. Alih-alih menyedapkan mata, justru sebaliknya, merusak pemandangan saja. Ya karena limbahnya itu. Bikin muak tiap kali ia menyapu.

 Maka sungguh membuatmu tercengang dan sesak, ketika suatu siang kau baru datang dari sekolah, harus menerima kenyataan yang teramat janggal. Tidak seperti biasa, rumahmu tampak lebih puas dalam tatapan. Tapi ada sebuah kenangan yang tumbang bersama raibnya bonsai asam yang rindang. Bonsai yang konon ditanam oleh mendiang kakekmu dulu dan dirawat sedemikian rupa, dibentuk seperti payung hijau yang selalu mekar di musim apa pun.

 Begitu pun sampai tubuhmu sebesar sekarang, pohon itu tetap diistikamahkan menyerupai payung. Pohon yang tingginya hampir mencapai separuh dari ketinggian rumahmu dan umurnya diperkirakan kurang-lebih 25 tahun. Berarti saat kakekmu menanamnya, kau belum ada bahkan dalam wujud benih sekalipun. Hanya saja, karena rajin dipangkas, itu pohon tidak bisa meninggi melampaui keinginan tuannya. Mestinya, ia sudah menjulang jauh menyamai dua kali lipat bubungan rumahmu.

 Sebetulnya, ayahmu juga menyayangi bonsai estetik itu. Terbukti sejak sepeninggal kakekmu, tidak lain dialah yang telaten mengurusnya dengan tetap mempertahankan bentuknya sebagai payung hijau. Akan tetapi, dua tahun belakangan, tanaman indah tersebut dihuni kawanan ulat kecil berbulu. Dan tentu saja makhluk sialan itu tidak sebatas berkelana dari ranting ke ranting atau sekadar main ayunan dengan cara mengulurkan benang putih-halus dari mulutnya yang mungil. Melainkan juga gemar mengikis daun-daunnya setiap hari. Sepanjang hari.

 Akibatnya si bonsai mengalami penyakit kronis. Perlahan ia malih rupa menjadi payung hijau-cokelat, lama-lama menjadi payung cokelat yang koyak di sana-sini, memperlihatkan jari-jarinya yang memprihatinkan. Di bawahnya berserakan limbah, diacak-acak angin, menyebar ke mana-mana, sampai ke beranda, menyelinap lewat bawah pintu, mendiami lantai bagian dalam, lalu mencoba sembunyi ke kolong meja dan kursi. Hewan-hewan penjajah itu pun mulai berani menginjakkan kaki di beranda.

 Melihat fenomena buruk demikian, mustahil ayahmu hanya bisa mengelus dada. Tidak satu kali pun ia menyapu tanpa mengoceh dan mengutuki para penjajah kerdil itu. Apalagi ia bisa dibilang fobia terhadap semua jenis hewan melata.

 Seorang kerabat ibumu menyarankan agar membeli sebuah obat yang dapat menumpas ulat-ulat. Ayahmu menurut. Dengan cara melarutkan obat bubuk yang dibelinya ke dalam seember air, lantas menghambur-hamburkannya ke sekujur tubuh bonsai menggunakan gayung, selang satu jam ulat-ulat itu berjatuhan kaku. Esoknya, tiada seekor pun ulat terlihat. Benar-benar musnah.

 Sepekan lebih berlalu. Kau kira bonsai itu sudah menemui ajalnya. Tidak, ternyata. Daun-daun hijau terang sedikit demi sedikit kembali menyembul di ujung-ujung ranting. Rupanya ia masih diberi keberkahan umur. Serupa orang sekarat mendapat keajaiban untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik, ia sungguh sembuh. Namun belum sempat kesehatannya pulih total seperti sedia kala, ulat-ulat kembali bermunculan mengerumuni daun-daunnya yang masih muda.

 Tanaman malang itu kembali luka-luka, mengering, rontok, menebar limbah. Hatimu turut alum. Ulat-ulat merangkak lagi ke beranda, memanjat tembok, memasuki rumah. Sehabis disapu, datang lagi, disapu, datang lagi. Obat mematikan itu kembali ayahmu gunakan. Kawanan ulat lagi-lagi berjatuhan sebagaimana daun-daun asam yang menjadi korbannya. Tanpa perlu menunggu kesembuhan si bonsai, ayahmu mengambil kapak lalu mengayunkannya berkali-kali ke batang pohon tua itu.

 Dengan emosi meletup-letup, kau hendak memarahi ayahmu. Sayangnya ayahmu sedang tidak di rumah, entah ke mana. Ibumulah yang menjadi pelampiasan amarahmu. Ia menjawab pertanyaanmu—kenapa pohon kenangan dari kakekmu itu ditebang—sekenanya, tanpa membalas kemarahanmu. Malah ia berusaha menenangkanmu, menasihatimu supaya jangan sampai marah-marah kepada ayahmu ketika ia pulang nanti. “Ingat, bagaimanapun dia orang tuamu. Tidak enak bila didengar tetangga. Ibu yang malu,” pungkasnya.

 Kau bergolek-golek di kamar. Perlahan setangkup bara di dadamu meredup. Tinggal sedih-pedih yang tersisa. Kepalamu memberat. Tenggorokanmu sepat. Kau teringat kakekmu, membayangkannya bagaimana gerak-gerik jemarinya dulu manakala sedang menanam bonsai yang kini jadi bangkai itu dan bakal segera berakhir di mulut tungku. Bagaimana cara kakekmu terus mengupayakannya hidup. Merawatnya penuh kasih-sayang. Kasih-sayang yang alangkah teduh. Seteduh payung hijau yang pernah menjadi tempat bermainmu tiap hari, baik dengan seorang kawan perempuan maupun seorang diri.

 Betapa susah sejujurnya melupakan tindakan semena-mena ayahmu begitu saja. Sebisa mungkin kau bersikeras meredam emosi walaupun terasa sulit sekali. Masalahnya, ini sudah kali kedua ayahmu menebang pohon warisan kakekmu. Jauh sebelumnya, ia menjual dua pohon jati di pekarangan yang batangnya masih seukuran lingkaran paha orang dewasa.

 Ia tebas pula sejumlah anak pohon jati yang tumbuh berpencar-pencar di pekarangan itu. Padahal ibumu sudah beberapa kali melarangnya dengan alasan, pohon-pohon tersebut bisa dimanfaatkan kelak guna memperbaiki langgar bilamana ada pokok kayu bangunan yang lapuk. Sementara ayahmu tetap ngotot menyodorkan alasan yang itu-itu saja: bikin banyak limbah. Ia merasa kerepotan menyapu dan membakar limbah daun jati itu dua kali dalam seminggu.

 ***

 Tahun demi tahun melayang jauh ke belakang menjelma lipatan masa silam. Usiamu sudah cukup matang. Kau menikah dan tinggal di rumah istrinya di daerah kepulauan. Lantaran pulau itu sangat jauh dari desamu sendiri, untuk menjenguk kedua orang tuamu kau cuma menjadwalkannya sebulan sekali. Kecuali kalau ada kepentingan mendesak.

 Kemarau panjang melanda. Tanaman-tanamanmu tak lagi terurus. Sebagian besar tidak dapat terselamatkan. Ibumu mengakui, ia kurang memperhatikannya. Kerap kali ia lupa menyiramnya. Lebih parah lagi, terkadang kambing-kambing tetangga datang menyerbu di saat kedua orang tuamu sedang bepergian. Otomatis tiada yang menghalau kambing-kambing yang memang sengaja dilepas dari kandangnya itu. Tapi mau bagaimana lagi. Kau tak bisa menyalahkan ibumu. Barangkali sudah waktunya kau mesti merelakannya dengan hati lapang.

 Itulah perubahan pertama di lingkungan rumah masa kanakmu semenjak kau menetap di pulau seberang. Beda halnya perubahan kedua yang terjadi beberapa bulan kemudian, yang seolah menamparmu berkali-kali sehingga wajahmu memerah dan kau sungguh tak bisa memakluminya. Pasalnya, pohon jambu air di pekarangan depan ternyata sudah tinggal tunggul. Lagi-lagi itu adalah tanaman kakekmu hasil mencangkok di rumah iparnya.

 “Buat apa juga? Sudah empat musim kita tidak bisa memetik buahnya. Tiap kali berputik selalu saja rontok. Sekalinya berbuah langsung habis dalam semalam diserang kelelawar,” jelas ayahmu yang baru saja selesai sembahyang di langgar, saat kau mempertanyakan alasan pohon itu ditebang, “Yang ada malah menumpuk limbah.”

 Dengan tingkat kemarahan yang sangat tinggi, kau yang belum sempat turun dari motor, bahkan belum melihat raut sang ibu, spontan kau nyalakan lagi kendaraan itu, membelokkannya dan bergegas pergi. Tentu sikapmu yang tampak kasar ini bukan tanpa landasan yang kuat. Pohon jambu air itu sama berharganya bagimu dengan si payung hijau. Kau masih ingat betul saat dulu kakekmu memanjatinya, memetikkan buah-buah manisnya untukmu, dan di bawahnya kau merentangkan ujung kausmu sebagai wadah penangkap biar tidak jatuh ke tanah.

 Di bawahnya pula, sepulang sekolah, bersama bocah-bocah kampung yang lain kau acap memunguti bakal buah yang berguguran buat dijadikan peluru-peluruan. Bakal buah jambu air itu kalian masukkan ke ujung lubang pistol pletokan yang terbuat dari bambu. Lalu kalian akan menembakkannya bergantian, adu nyaring bunyinya. Kadang kala kalian juga mengentaknya secara serentak lantas meledakkan tawa bersamaan.

 Selain karena secarik kenangan, para tetangga yang hendak lewat di sisi pohon jambu air—di mana letak berdirinya pohon hanya tiga meter dari lorong—akan memanggil ibumu guna minta izin mengambil buahnya. Sembari mengunyah, mereka yang menikmatinya tak sedikit memberi pujian yang sama, “Manis sekali.” Ya, kenyataannya memang begitu. Sebab, ibumu tak pernah lupa menaburkan gula pasir ke sekitar akarnya setiap gerhana bulan tiba. Biar manis, katanya. Setidaknya itulah yang ia yakini.

 ***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »