Perjalanan Seorang Penyair yang Belum Matang - Khanafi

@kontributor 12/11/2022

Perjalanan Seorang Penyair yang Belum Matang

Khanafi



“Rutin pada orang cerdas adalah tanda ambisi,” tulis W.H Auden pada tahun 1958. Jika itu benar, maka Auden sendiri adalah salah satu orang paling ambisius di generasinya. Penyair itu sangat tepat waktu dan hidup dalam jadwal yang tak pernah meleset sepanjang hidupnya. “Dia memeriksa arlojinya berulang kali,” kata seorang tamu Auden. “Makan, minum, menulis, belanja, main teka-teki silang, bahkan kedatangan tukang pos -semua diatur waktunya sesuai rutinitas masing-masing.” Begitu Auden percaya bahwa kehidupan dengan ketelitian militer seperti itu penting buat kreativitasnya, cara menjinakkan inspirasi dengan jadwal yang rutin. Kita mungkin ingat kisah filsuf bernama Imanuel Kant yang selalu tepat waktu hingga menyerupai sebuah arloji buat masyarakat kota kecil Konigsberg. Tapi kita tidak akan bicara soal Auden atau Kant, kita bicara tentang penyair kita, tokoh kita, yang telah bekerja selama lima tahun menulis puisi tanpa jadwal waktu yang terencana.

Sebelum lulus dari universitas, ia tentu saja seorang pemalas yang bermimpi besar. Bacaannya tidak luas, tetapi cukup banyak ditambah berbeda daripada bacaan teman-temannya ketika itu. Teman-temannya yang malas membaca, mungkin karena hidupnya berjalan mulus dengan ditopang oleh finansial yang cukup, bahkan lebih. Atau karena buku bagi mereka adalah sesuatu yang asing dan tidak perlu dipikirkan kecuali itu buku pelajaran. Sebagian yang lain mungkin tak pernah merasakan tinggal di kota kecil, lebih sering diasuh ibu kota atau kota besar sehingga membutuhkan semacam narsisisme untuk eksistensi semu dirinya, dan akhirnya memanfaatkan bahan bacaan sebagai sesuatu yang keren dan pantas dipuji juga diikuti (gaya slengean-nya). Semua yang terjadi pasti mirip di universitas-universitas lainnya, ya mirip seperti kampusmu juga, coba saja perhatikan dirimu dan sekitarmu.

Ia suka menyendiri bersama buku-buku. Perpustakaan adalah tempatnya merenungi hidupnya yang pontang-panting tanpa kejelasan. Ia lahir dari keluarga biasa saja, bukan priyayi, bukan pegawai negeri, cuma pedang di sekolah-sekolah rendah, pekerja kreatif di bidang jasa yang tak pernah cukup dihargai, Ia merasa terasing sejak kecil, dan tambah terasing di kota kecil yang baginya kota besar, tempat ia belajar sastra. Sastra? Ya, sesuatu yang ia kenal dari buku-buku tinggalan saudarinya, yang dibacanya dua tahun sebelum ia diterima di universitas itu.

Tak perlu berpanjang lebar mengisahkan tentang hidupnya, kita harus kembali ke topik awal, kalau tokoh kita ini tak punya rencana atau jadwal untuk mengatur hidupnya atau untuk menuliskan puisinya. Ia, penyair kita yang belum matang ini, dengan mimpi besarnya dan ketakpahamannya pada dunia sastra, khususnya puisi dan kehidupan masyarakat sastra, membuatnya berangan-angan akan sesuatu yang sebetulnya belum pasti, jika ia mau berkata jujur pada dirinya sendiri. Tapi bukannya hidup “yang aman” adalah hidup dalam dunia fiksi bukannya dunia nyata? Seperti Don Quixote yang mencari seorang putri, seperti John Keats yang meninggalkan dunia kedokteran, atau… sudahlah! Meski tidak pasti, fiksi menawarkan hiburan dan ruang sunyi bagi kita mengobati segala patah hati, bukan begitu? Semacam altar suci untuk berdoa pada Tuhan, kan?

Tokoh kita ini, dalam usinya yang lebih dari 20 tahun memutuskan untuk pergi ke dunia puisi, yang asing, yang tak pasti, yang diam-diam menjadi tempat persembunyian paling aman dari ketidakberhargaan hidupnya dan masa kecilnya yang rawan. Ia berterima kasih, karena dalam pergaulan tak sehat di kampusnya, ia merasa terasing, tapi diam-diam diterima sebagai orang yang “bisa berpikir” sehingga agak berbahaya dan dihargai. Tentu saja ini sesuai kultur kampus kita yang suka “mengintelek-intelekkan” orang yang dekat dengan dunia buku. Bukankah dunia kampus tempat para aktivis tumbuh seperti jamur di musim hujan, dan dari sekian aktivis tentu saja lebih banyak yang tak khatam membaca buku?

Ia memasuki dunia puisi lewat Chairil Anwar yang membingungkan dan Rendra yang jelas dan cukup menginspirasi, Sapardi agaknya tak terbaca, kecuali sebagai penerjemah buku The Old Man and The Sea (Lelaki Tua dan Laut) yang tak pernah ditemui wujud bukunya dan baru dibaca setelah bertahun-tahun, setelah lulus dari bangku kuliah (semula ia mendengar nama itu dari saudarinya, yang entah kenapa bergema begitu lama). Nama penyair lain tak pernah dikenalnya. Dunia puisi ibarat dihuni hanya oleh Chairil dan Rendra. Sutardji agaknya ia ragukan sebagai puisi, sebabnya terasa aneh dan tak berpijak ke bumi. Lain Chairil dan Rendra, keduanya bisa diterima karena sama-sama ada ngomong cintanya, dan soal puisi pamflet, ya kebetulan dia membaca berita-berita soal pemerintah, walaupun tak pernah dikenalnya betul apa maksud dari teka-teki itu. Dunianya kecil dan asing, seperti pemerintah dan perjuangan aktivis? Omong kosong yang tulen!

Dunianya hancur sejak kecil, lebih tepat “retak”. Ia melihat dari retakan dunia nyatanya itu, ada dunia lain, ya dunia fiksi yang samar-samar. Ia terus mencari tahu, dengan membaca buku apa saja yang berkaitan dengan fiksi, teori, filsafat dan sastra. Apakah dunia yang terlihat dari retakan dunia nyatanya itu benar adanya, seperti apa? Ia meraba-raba saja. Dan lagipula, sejak awal bacaannya bermula dari novel bukannya puisi. Novel adalah dunia yang lengkap deskripsinya, tetapi sulit diingat, kecuali hanya cerita singkatnya saja. The Lost Symbol, novel karangan Dan Brown yang tebal nangudubillah, untuk ukuran pemalas ya, dibacanya selama dua minggu. Dan ya, dia terperosok di dunia fantasi yang aneh, mencekam, tapi seakan hidup terus dalam ingatan, seakan benar-benar nyata di pikiran, tokohnya, deskripsi tempat, suasananya, dst. Ia membenci puisi, juga puisi-puisi Chairil Anwar yang baginya entah ngomong apa, kecuali cinta, ya cinta dan nama perempuan saja yang diketahuinya.

Tokoh kita tentu saja bakal telat matangnya, melihat bagaimana buku-buku puisi sulit ditemukan bahkan di perpustakaan kampusnya! Dan tentu saja jarang nangkring di toko buku di mall, ya ditambah lagi harganya yang tak mungkin kejangkau. Ia frustasi, tapi hanya dunia puisi yang baginya masih misteri. Setelah baca Chairil Anwar, ia baca Rendra, ia tahu, tapi tak sepenuhnya tahu. Ada pula buku puisi lain, ia lupa tepat namanya, mungkin penyair lokal daerahnya, tak menyentuh hatinya sama sekali. Chairil sebenarnya tidak betul-betul ia benci, ia hanya merasa sajak Chairil itu masih menyimpan misteri, dan itu tak terjelaskan selama bertahun-tahun.

Tokoh kita masih dalam perjalanan menuju tak matang, hingga lulus kuliah dan tambah terasing setelah pulang ke dan menetap di kampung halaman selama waktu yang tak bisa ditentukan. Ia mengedarkan ijazahnya ke mana-mana, terutama ke sekolah-sekolah, mengingat ia tak paham hendak ke mana gerangan seorang dengan ijazah sastra berpeluang dapat pekerjaan. Kabarnya saudarinya, yang sebelumnya mengambil sastra Inggris telah menjadi editor dan penerjemah, tapi agaknya ia lebih jarang menerjemah sebabnya ia tak tahu. Tapi lebih daripada itu, saudarinya punya prestasi yang mencolok di sepanjang perjalanan sekolahnya, lain dengan dirinya yang sama sekali tak pernah dapat prestasi, kecuali memenangi lomba puisi tingkat kampus dalam acara bulan bahasa.

Ia tentu agak bangga mengalahkan seniornya, yang dielu-elukan peserta lainnya sebagai yang “paling nyastra” dan paling bagus puisinya. Tapi di sisi yang lain, ia tak puas. Sebabnya puisi yang menang itu cuma meniru gaya puisi pamfletnya Rendra, ditambah kata-kata asing dari bahasa Belanda yang ia curi dari buku kumpulan esainya Sitor Situmorang (ia tak mengenal puisi Sitor waktu itu). Ia menang di pengumuman malam bulan bahasa itu, ia ingat hari ketika ikut lomba ibunya tengah sakit. Itulah kali pertama ia bertemu dengan “wajah” puisi dalam bentuknya sebuah hadiah dari lomba, hadiah berisi buku tentang esai-esai simbolisme dalam puisi, ada juga tulisan Sapardi di situ. Pengalaman lain tentu saja masih serupa, ia juara tiga tingkat kampus idol untuk penulisan puisi, dan mendapat honorarium 300 rb. Sungguh luar biasa, pikirnya. Ia bisa mentraktir kawan-kawannya yang pernah membantunya untuk makan selama tak pulang ke rumah. Dan satu lagi, kisah di luar kampusnya, yang boleh jadi prestasi tapi agak sepele dan terlalu naif, yaitu puisinya dimuat di linikini.id dan tayang di layar kereta entah jurusan mana, mungkin di Jakarta, dan honorariumnya 100 ribu. Ia dengan bangga menyerahkan uang itu ke pacarnya, ya sebut saja itu temannya saja. Ia tak pernah tahu siapa redaktur linikini.id itu hingga bertahun-tahun kemudian.

Dan mengapa ia masih belum matang setelah lima tahun berkecimpung di kolam puisi? Agaknya ia hampir putus asa untuk tetap menulis puisi di usinya yang sudah tidak lagi sendiri. Ia telah menikah, tapi puisi belum mengantarnya ke tempat yang indah. Ia sendiri masih mencari tempat itu, ia sendiri masih mencari puisi itu. Di antara rumah-rumah di kampungnya yang baru, di jalan-jalan kota yang sering ia lalui ketika berangkat dan pulang bekerja (sebagai editor lepas, yang lebih sering lepas bebas) dan sebagai penulis puisi yang di perjalanannya masih belum matang. Ah, lupa! Jangan-jangan ia belum matang karena kurang disipilin waktu, sebagaimana dikatakan Auden? Tapi seperti John Keats yang malang, ia pun tak terkenal di masanya, dan buku-bukunya terlupakan sekian lama! O puisi, adakah yang lebih misteri dari hidup ini?

 

Kedai Pincuk, 30 November 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »