Perjalanan Seorang Penyair yang Belum
Matang
Khanafi
“Rutin pada orang cerdas adalah tanda
ambisi,” tulis W.H Auden pada tahun 1958. Jika itu benar, maka Auden sendiri
adalah salah satu orang paling ambisius di generasinya. Penyair itu sangat
tepat waktu dan hidup dalam jadwal yang tak pernah meleset sepanjang hidupnya.
“Dia memeriksa arlojinya berulang kali,” kata seorang tamu Auden. “Makan,
minum, menulis, belanja, main teka-teki silang, bahkan kedatangan tukang pos
-semua diatur waktunya sesuai rutinitas masing-masing.” Begitu Auden percaya
bahwa kehidupan dengan ketelitian militer seperti itu penting buat
kreativitasnya, cara menjinakkan inspirasi dengan jadwal yang rutin. Kita
mungkin ingat kisah filsuf bernama Imanuel Kant yang selalu tepat waktu hingga
menyerupai sebuah arloji buat masyarakat kota kecil Konigsberg. Tapi kita tidak
akan bicara soal Auden atau Kant, kita bicara tentang penyair kita, tokoh kita,
yang telah bekerja selama lima tahun menulis puisi tanpa jadwal waktu yang
terencana.
Sebelum lulus dari
universitas, ia tentu saja seorang pemalas yang bermimpi besar. Bacaannya tidak
luas, tetapi cukup banyak ditambah berbeda daripada bacaan teman-temannya
ketika itu. Teman-temannya yang malas membaca, mungkin karena hidupnya berjalan
mulus dengan ditopang oleh finansial yang cukup, bahkan lebih. Atau karena buku
bagi mereka adalah sesuatu yang asing dan tidak perlu dipikirkan kecuali itu
buku pelajaran. Sebagian yang lain mungkin tak pernah merasakan tinggal di kota
kecil, lebih sering diasuh ibu kota atau kota besar sehingga membutuhkan
semacam narsisisme untuk eksistensi semu dirinya, dan akhirnya memanfaatkan
bahan bacaan sebagai sesuatu yang keren dan pantas dipuji juga diikuti (gaya slengean-nya).
Semua yang terjadi pasti mirip di universitas-universitas lainnya, ya mirip
seperti kampusmu juga, coba saja perhatikan dirimu dan sekitarmu.
Ia suka menyendiri
bersama buku-buku. Perpustakaan adalah tempatnya merenungi hidupnya yang
pontang-panting tanpa kejelasan. Ia lahir dari keluarga biasa saja, bukan
priyayi, bukan pegawai negeri, cuma pedang di sekolah-sekolah rendah, pekerja
kreatif di bidang jasa yang tak pernah cukup dihargai, Ia merasa terasing sejak
kecil, dan tambah terasing di kota kecil yang baginya kota besar, tempat ia
belajar sastra. Sastra? Ya, sesuatu yang ia kenal dari buku-buku tinggalan
saudarinya, yang dibacanya dua tahun sebelum ia diterima di universitas itu.
Tak perlu
berpanjang lebar mengisahkan tentang hidupnya, kita harus kembali ke topik
awal, kalau tokoh kita ini tak punya rencana atau jadwal untuk mengatur
hidupnya atau untuk menuliskan puisinya. Ia, penyair kita yang belum matang
ini, dengan mimpi besarnya dan ketakpahamannya pada dunia sastra, khususnya
puisi dan kehidupan masyarakat sastra, membuatnya berangan-angan akan sesuatu
yang sebetulnya belum pasti, jika ia mau berkata jujur pada dirinya sendiri.
Tapi bukannya hidup “yang aman” adalah hidup dalam dunia fiksi bukannya dunia
nyata? Seperti Don Quixote yang mencari seorang putri, seperti John Keats yang
meninggalkan dunia kedokteran, atau… sudahlah! Meski tidak pasti, fiksi
menawarkan hiburan dan ruang sunyi bagi kita mengobati segala patah hati, bukan
begitu? Semacam altar suci untuk berdoa pada Tuhan, kan?
Tokoh kita ini,
dalam usinya yang lebih dari 20 tahun memutuskan untuk pergi ke dunia puisi,
yang asing, yang tak pasti, yang diam-diam menjadi tempat persembunyian paling
aman dari ketidakberhargaan hidupnya dan masa kecilnya yang rawan. Ia berterima
kasih, karena dalam pergaulan tak sehat di kampusnya, ia merasa terasing, tapi
diam-diam diterima sebagai orang yang “bisa berpikir” sehingga agak berbahaya
dan dihargai. Tentu saja ini sesuai kultur kampus kita yang suka “mengintelek-intelekkan”
orang yang dekat dengan dunia buku. Bukankah dunia kampus tempat para aktivis
tumbuh seperti jamur di musim hujan, dan dari sekian aktivis tentu saja lebih
banyak yang tak khatam membaca buku?
Ia memasuki dunia
puisi lewat Chairil Anwar yang membingungkan dan Rendra yang jelas dan cukup
menginspirasi, Sapardi agaknya tak terbaca, kecuali sebagai penerjemah buku The
Old Man and The Sea (Lelaki Tua dan Laut) yang tak pernah ditemui
wujud bukunya dan baru dibaca setelah bertahun-tahun, setelah lulus dari bangku
kuliah (semula ia mendengar nama itu dari saudarinya, yang entah kenapa bergema
begitu lama). Nama penyair lain tak pernah dikenalnya. Dunia puisi ibarat
dihuni hanya oleh Chairil dan Rendra. Sutardji agaknya ia ragukan sebagai
puisi, sebabnya terasa aneh dan tak berpijak ke bumi. Lain Chairil dan Rendra,
keduanya bisa diterima karena sama-sama ada ngomong cintanya, dan soal
puisi pamflet, ya kebetulan dia membaca berita-berita soal pemerintah, walaupun
tak pernah dikenalnya betul apa maksud dari teka-teki itu. Dunianya kecil dan
asing, seperti pemerintah dan perjuangan aktivis? Omong kosong yang tulen!
Dunianya hancur
sejak kecil, lebih tepat “retak”. Ia melihat dari retakan dunia nyatanya itu,
ada dunia lain, ya dunia fiksi yang samar-samar. Ia terus mencari tahu, dengan
membaca buku apa saja yang berkaitan dengan fiksi, teori, filsafat dan sastra.
Apakah dunia yang terlihat dari retakan dunia nyatanya itu benar adanya,
seperti apa? Ia meraba-raba saja. Dan lagipula, sejak awal bacaannya bermula
dari novel bukannya puisi. Novel adalah dunia yang lengkap deskripsinya, tetapi
sulit diingat, kecuali hanya cerita singkatnya saja. The Lost Symbol,
novel karangan Dan Brown yang tebal nangudubillah, untuk ukuran pemalas
ya, dibacanya selama dua minggu. Dan ya, dia terperosok di dunia fantasi yang
aneh, mencekam, tapi seakan hidup terus dalam ingatan, seakan benar-benar nyata
di pikiran, tokohnya, deskripsi tempat, suasananya, dst. Ia membenci puisi,
juga puisi-puisi Chairil Anwar yang baginya entah ngomong apa,
kecuali cinta, ya cinta dan nama perempuan saja yang diketahuinya.
Tokoh kita tentu
saja bakal telat matangnya, melihat bagaimana buku-buku puisi sulit ditemukan
bahkan di perpustakaan kampusnya! Dan tentu saja jarang nangkring di toko buku
di mall, ya ditambah lagi harganya yang tak mungkin kejangkau. Ia frustasi,
tapi hanya dunia puisi yang baginya masih misteri. Setelah baca Chairil Anwar,
ia baca Rendra, ia tahu, tapi tak sepenuhnya tahu. Ada pula buku puisi lain, ia
lupa tepat namanya, mungkin penyair lokal daerahnya, tak menyentuh hatinya sama
sekali. Chairil sebenarnya tidak betul-betul ia benci, ia hanya merasa sajak
Chairil itu masih menyimpan misteri, dan itu tak terjelaskan selama
bertahun-tahun.
Tokoh kita masih
dalam perjalanan menuju tak matang, hingga lulus kuliah dan tambah terasing
setelah pulang ke dan menetap di kampung halaman selama waktu yang tak bisa
ditentukan. Ia mengedarkan ijazahnya ke mana-mana, terutama ke sekolah-sekolah,
mengingat ia tak paham hendak ke mana gerangan seorang dengan ijazah sastra
berpeluang dapat pekerjaan. Kabarnya saudarinya, yang sebelumnya mengambil
sastra Inggris telah menjadi editor dan penerjemah, tapi agaknya ia lebih
jarang menerjemah sebabnya ia tak tahu. Tapi lebih daripada itu, saudarinya
punya prestasi yang mencolok di sepanjang perjalanan sekolahnya, lain dengan
dirinya yang sama sekali tak pernah dapat prestasi, kecuali memenangi lomba
puisi tingkat kampus dalam acara bulan bahasa.
Ia tentu agak
bangga mengalahkan seniornya, yang dielu-elukan peserta lainnya sebagai yang
“paling nyastra” dan paling bagus puisinya. Tapi di sisi yang lain, ia tak
puas. Sebabnya puisi yang menang itu cuma meniru gaya puisi pamfletnya Rendra,
ditambah kata-kata asing dari bahasa Belanda yang ia curi dari buku kumpulan
esainya Sitor Situmorang (ia tak mengenal puisi Sitor waktu itu). Ia menang di
pengumuman malam bulan bahasa itu, ia ingat hari ketika ikut lomba ibunya
tengah sakit. Itulah kali pertama ia bertemu dengan “wajah” puisi dalam
bentuknya sebuah hadiah dari lomba, hadiah berisi buku tentang esai-esai
simbolisme dalam puisi, ada juga tulisan Sapardi di situ. Pengalaman lain tentu
saja masih serupa, ia juara tiga tingkat kampus idol untuk penulisan puisi, dan
mendapat honorarium 300 rb. Sungguh luar biasa, pikirnya. Ia bisa mentraktir
kawan-kawannya yang pernah membantunya untuk makan selama tak pulang ke rumah.
Dan satu lagi, kisah di luar kampusnya, yang boleh jadi prestasi tapi agak
sepele dan terlalu naif, yaitu puisinya dimuat di linikini.id dan tayang di
layar kereta entah jurusan mana, mungkin di Jakarta, dan honorariumnya 100 ribu.
Ia dengan bangga menyerahkan uang itu ke pacarnya, ya sebut saja itu temannya
saja. Ia tak pernah tahu siapa redaktur linikini.id itu hingga bertahun-tahun
kemudian.
Dan mengapa ia
masih belum matang setelah lima tahun berkecimpung di kolam puisi? Agaknya ia
hampir putus asa untuk tetap menulis puisi di usinya yang sudah tidak lagi
sendiri. Ia telah menikah, tapi puisi belum mengantarnya ke tempat yang indah.
Ia sendiri masih mencari tempat itu, ia sendiri masih mencari puisi itu. Di
antara rumah-rumah di kampungnya yang baru, di jalan-jalan kota yang sering ia
lalui ketika berangkat dan pulang bekerja (sebagai editor lepas, yang lebih
sering lepas bebas) dan sebagai penulis puisi yang di perjalanannya masih belum
matang. Ah, lupa! Jangan-jangan ia belum matang karena kurang disipilin waktu,
sebagaimana dikatakan Auden? Tapi seperti John Keats yang malang, ia pun tak
terkenal di masanya, dan buku-bukunya terlupakan sekian lama! O puisi, adakah
yang lebih misteri dari hidup ini?
Kedai Pincuk, 30
November 2022