CINCIN NONGAE
Christya Dewi Eka
“Kakak butuh
selimutkah?”
Kakak,
katanya. Entah, lima belas atau enam belas atau tujuh belas tahun lalu aku
terbiasa dipanggil ‘Kakak’. Waktu itu, aku salah satu Kakak populer di kelas
bangunan.
“Termasuk
fasilitas atau saya harus tambah biaya?”
Tentu
aku paham ke mana arah tawarannya.
“Tambah
sedikitlah, Kakak. Hitung-hitung buat bonus kami.”
“Boleh.
Terlalu dingin di sini. Saya butuh selimut. Satu saja.”
“Tipis
atau tebal, Kakak?”
“Aih,
tentu saja tipis. Kau kira aku apakah?”
Selimut
tebal? Mana mau aku dengan cowok melambai yang bulu kakinya kelihatan habis
dicukur? Aku masih normal, hah!
Si
pelayan tersenyum simpul, “Ada tambahan pesanan khusus, Kakak?”
“Yang
lokal saja. Dari daerah sekitar sini,” kataku setelah berpikir sejenak, “oya,
sekalian bawakan latte.”
Pelayan
itu berbalik melaksanakan perintah. Membawa selimut. Tentu saja, setelah aku
memberinya sedikit uang jajan, agar hatinya lebih ikhlas bekerja.
Dia
datang. Yaaa sekitar setengah jam setelahnya. Bukan pelayan hotel, tetapi si
selimut tipis. Kulitnya kopi susu. Khas daerah sini. Ah, aku memang maniak latte
dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Termasuk juga si selimut tipis
berkulit latte.
“Silakan,
Nona. Santai saja. Tak usah sungkan.”
“Baik,
Pak. Eh,” katanya meralat, “tidak keberatan, bukan. Atau yang lain?”
Dia
sesantai kucing-kucing di gang belakang hotel. Bisa tidur nyenyak di sela-sela
tumpukan karung dan kardus, meski kanan-kirinya berisik oleh suara siang hari.
“Bapak.
Tanpa nama. Tanpa asal. Tanpa pekerjaan. Tanpa jabatan. Tanpa pertanyaan. Paham?”
Dia
setenang rumput kaku di samping hotel. Hanya bergoyang sedikit meskipun angin
kencang.
“Duduklah
dulu. Kau suka latte?”
Aku
bergeser sedikit ke sandaran sofa.
“Suka,
Pak. Saya suka yang Bapak suka.”
Secangkir
latte di depannya. Secangkir lagi di depanku. Harum latte dan uap
hangat membuat malam serasa lebih baik. Kamar ini, daerah ini, begitu
menyebalkan. Tidak ada gairah hidup. Aku perlu pemecah suasana agar besok lebih
berkobar.
“Berapa
umurmu? Kelihatannya kau tidak lagi muda. Terlalu tua untuk pekerjaan ini.”
“Hihihi,
betul, Pak. Umur saya hampir tiga puluh. Belum benar-benar tua, sebenarnya.
Saya lebih berpengalaman dibanding anak belasan tahun.”
Duh,
tawanya, aksen lokalnya, membuat aku lupa kebosananku dua jam lalu.
“Penasaran.
Sebanyak apa pengalamanmu dibanding pengalamanku?”
“Ah,
jangan begitulah, Pak. Dibanding Bapak, saya adalah semut di tengah laut. Saya
belum pernah keluar pulau.”
Lantas
meluncurlah berbagai kisah indah tentang tanah lahirnya, tentang hutan yang
menyuplai beberapa persen oksigen dunia, tentang laut yang berisi berbagai
makhluk langka yang tidak pernah ada di tempat lain, tentang legenda terjadinya
pulau, tentang dewa-dewi penjaga alam.
Aku
mengajaknya menuju teras kamar. Kebetulan di lantai tiga. Mungkin sekitar lima
belas meter dari atas tanah. Di luar sana gelap. Kota ini tidak begitu padat.
Lampu-lampu rumah bagaikan kerlip di lautan gulita.
“Siapa
namamu? Sedari tadi kita berbincang tanpa saling menyebut nama. Janggal, kan?”
Dia
tertawa.
“Saya
terbiasa tidak dipandang, tidak dipanggil nama. Tak masalah. Barangkali, lebih
baik nama saya terkubur.”
“Saya
ingin tahu namamu.”
Dia
kembali tertawa ringan.
“Panggil
saja Nongae.”
“Nama
lahir?”
“Lupa.”
Matanya
menerawang ke luar. Entah timur atau barat atau utara atau selatan. Di sini aku
buta arah. Tidak ada gedung besar sebagai patokan.
Sepertinya
dia mencari sesuatu. Atau mendengar sesuatu. Panggilan? Sekilas ada garis
misteri pada wajahnya. Cantik, tapi seolah dari kedalaman bumi.
“Berceritalah
hingga waktu habis. Aku ingin mendengar. Malas bicara. Kau kubayar untuk itu.”
Gawai
di atas sofa bergetar halus. Aku enggan melihat. Paling-paling hanya konfirmasi
apa aku mengerti instruksi –benar-benar mengerti—pembongkaran hutan besok pagi,
dipastikan tidak salah titik, dipastikan tidak memicu konflik adat, dipastikan
tidak memakan korban lagi –seperti tahun lalu—, dipastikan tidak ada
pembengkakan anggaran proyek, dan segala tetek-bengek yang membuatku mual.
Kebiasaan aneh: selalu mual di awal proyek.
Dia
berpikir cukup keras. Berusaha mencari cerita yang menarik hatiku supaya aku
puas dengan pelayanannya, dan dia memperoleh tarif agak besar bila pekerjaannya
selesai.
“Hmmm,
ceritakan asal-usul nama Nongae,” pancingku.
“Nanti
Bapak bosan. Cerita itu tidak menarik. Hanya cerita lama yang sebentar lagi
hilang.”
“Aku
mau mendengar.”
Dia
menggigit bibir bawahnya sendiri. Sepertinya, berusaha menahan ledakan perasaan
yang muncul tiba-tiba. Kata Nongae, seolah-olah sebagai kotak berdebu di sudut
memori. Agar lebih rileks, aku mencoba mengalihkan pertanyaan.
“Kau
tahu, pintu kota ini mulai terbuka? Sebentar lagi, hanya beberapa bulan lagi,
jalan-jalan mulus akan menembus hutan dan gunung. Barang-barang, makanan,
hiburan, apa pun, memberondong masuk. Semua menarik dan mutakhir.”
“Tentu
tahu, Pak. Setiap orang dewasa di sini tahu. Banyak perbincangan tentangnya. Semuanya
tidak menyenangkan. Kami akan digerogoti, dikeruk, diperah habis-habisan.”
Glek!
“Kenapa
menyimpulkan begitu?”
“Di
sini, uang tidak terlalu berarti. Tanpa membeli, kami bisa hidup. Alam sudah
memberi segala.”
“Kau
kekanak-kanakan. Zaman sudah berganti wajah. Tanpa uang, bagaimana bisa hidup? Banyak
benda yang tidak bisa diambil dari alam. Komputer, gawai, mobil, dan banyak
lagi!”
Naif.
Seperti Nay kekanak-kanakan. Eh, Nay?
“Ah,
kami bisa hidup tanpa itu. Sebaliknya, Pak, banyak benda yang tidak bisa dibeli
uang. Udara bersih, nyanyian laut, pelukan hutan,” tukasnya halus.
Lembut
tapi tegas. Melempar aku pada kenangan yang tidak ingin kuingat: Nay, cinta
pertamaku yang gagal.
Masih
beberapa jam menjelang fajar. Si selimut tipisku masih utuh seperti awal dia
datang. Belum kujamah. Tidak mood!
“Ada
gula, ada semut. Orang-orang kota datang ke tempat terpencil ini bukan karena
bermurah hati memberi kami kebaikan. Burung langit dan ombak petang pernah
bercerita tentang tamu asing yang membawa racun dalam madu.”
“Maksudnya?”
“Contohnya,
adik saya. Beberapa tahun lalu, kami kedatangan orang penting. Papa, begitu
panggilannya. Mengundang pemuda-pemudi di sini bekerja. Tentu saja, ada
iming-iming gaji besar. Banyak yang tertarik. Termasuk adik, saudara, dan teman
saya. Papa sangat akrab dengan adik. Suatu ketika, sebelum adik berangkat
bekerja ke luar negeri, perut adik membesar. Hamil. Tidak jelas pelakunya. Adik
ketakutan. Dia hanya bercerita rahasia kepada saya.”
“Pelakunya
Papa?” dugaku mencoba menyambungkan awal-akhir cerita.
“Betul.
Saya diminta bersumpah supaya tidak membuka kebenarannya. Orang tua saya tentu
marah besar. Adik dipukuli Bapak agar mau mengaku. Dia diam. Dan menangis
berhari-hari, hingga –kadang—agak sulit bernapas. Tidak mau makan dan minum.
Badannya melemah.
Saya
takut kalau adik mati. Akhirnya, saya terpaksa melanggar sumpah. Saya cerita
kepada Bapak bahwa pelakunya Papa. Sambil marah-marah, setengah percaya, Bapak
melapor kepada ketua adat.
Saya
dibacakan mantra-mantra supaya bercerita jujur dari alam bawah sadar. Baru
setelah itu Bapak dan ketua percaya. Saya tidak bohong. Adik juga tidak bohong.
Bapak meminta pertanggungjawaban kepada Papa. Papa tidak marah. Tidak
menyangkal. Juga tidak membenarkan. Dia hanya memberi uang. Sumbangan persiapan
persalinan, katanya. Bantuan untuk calon tenaga kerja perempuan, katanya.”
Dia
menghela napas sejenak. Mengetukkan kuku merahnya pada pagar teras. Aku
memutuskan tidak menyela ceritanya.
“Bapak
saya tersinggung. Siapa butuh uang? Kami butuh kejujuran, butuh kebenaran,
butuh pertanggungjawaban. Kasihan adik. Ia digunjing teman-temannya. Padahal
adik saya adalah bintang pelajar, selalu rangking satu di sekolah. Andai Bapak
rela, adik sudah menjadi mahasiswa di ibu kota. Lalu Bapak melapor kepada
polisi.
Polisi
hanya tersenyum, mencatat sesuatu, lalu menyuruh kami pulang. Iya, begitu kata
polisi. Tunggu diproses, katanya lagi. Sesuai perintah, kami menunggu dengan
sabar. Sabar. Bayi adik kemudian lahir. Polisi masih saja menyuruh sabar. Bapak
lihat ini?”
Nongae
memamerkan kesepuluh jari tangannya. Semua bercincin. Bukan emas. Seperti kayu.
Entah. Mungkin bahan lokal yang masih asing bagiku.
“Itu
adat sini, bukan?”
Dia
tertawa, menutup mulutnya dengan sebelah tangan, kemudian menggeleng.
“Inilah
awal mula nama Nongae. Saya meniru Nongae. Sepuluh cincin ini kelak saya
lekatkan di leher Papa di ujung usianya.”
“Ma...
mau apakah?”
“Masak
Bapak tidak bisa menebak? Hihihi... Dulu, dulu sekali, konon kabarnya, ketika
Korea diserang tentara Jepang, hiduplah Nongae, seorang perempuan terpelajar.
Suaminya bunuh diri karena mempertanggungjawabkan kekalahan pasukan Korea.
Balas dendam direncanakan. Nongae menjadi perempuan penghibur. Lantas, Nongae
memeluk erat jendral Jepang dan menenggelamkannya ke sungai. Ini, Pak,” katanya
lagi-lagi merentangkan sepuluh jarinya, “ini sepuluh cincin yang menahan agar
pelukan Nongae tidak terlepas.”
“Kau
mau seperti Nongae? Papa yang kau incar? Sayang sekali kalau wajah cantikmu
dipenuhi dendam.”
Apa
sebaiknya aku membelokkan pembicaraan?
“Kau
mau...”
Aku
bergidik.
“Apa
tidak ada jalan musyawarah? Kekeluargaan?”
“Papa
menutup pintu. Sudah berpindah ke kota lain. Adik saya tewas karena depresi.
Bayinya pun lemah. Orang tua saya bergantian menjaganya. Warga kampung belum
ada yang dipekerjakan sesuai janji. Polisi-polisi itu, mendapat hadiah besar
dari Papa, sehingga tidak menanggapi laporan Bapak saya.”
Nongae
perlahan meninggalkan teras. Sayup-sayup terdengar suara ayam jago.
“Sebentar
lagi fajar. Apa kita cukup hanya berbincang, Pak? Atau saya harus melakukan
sesuatu?”
Aku
mendahului langkahnya, menuju ke dalam kamar. Sedikit membayangkan sepuluh
cincin di jari lentik itu mencekik leherku. Apa aku langsung mati? Atau
kejang-kejang dulu? Atau bertahan? Ihhh…
Aku
bukan Papa. Aku hanyalah satu di antara sekian banyak papa yang berkeliaran di
dunia.
“Cukup
begini Nongae. Tugasmu hanyalah menghabiskan latte ini. Selesai! Ingat,
saya ini tanpa nama. Tanpa asal. Tanpa pekerjaan. Tanpa jabatan. Tanpa
pertanyaan. Bisa dipahami?”
“Baik,
Pak. Sesuai pesan Bapak.”
Secangkir
latte lesap ke dalam mulutnya. Kesekian kalinya, dia iseng mengetukkan
kuku pada bibir cangkir kosong.
Baru
saja punggung Nongae lenyap di balik pintu, ketika aku hendak meluruskan
punggung barang satu atau dua jam sebelum berangkat meninjau lokasi proyek, aku
sadar ada sesuatu yang tertinggal.
Sepuluh
cincin bermata dan bermulut! Tergeletak begitu saja di atas lipatan selimut.
Sepuluh cincin yang berisik bertanya tentang Papa. Sepuluh cincin yang
melingkari sepuluh jari lentik berkuku merah.
“Di
mana Papa?” kata sebuah cincin.
“Tolong
carikan Papa. Kumohon,” pinta cincin lain.
Aku
kaku. Tidak tahu harus menjawab bagaimana. Sebelah tangan itu melompat dari
selimut, bergerak ke arahku, dan menarik tanganku. Sebelah tangan lainnya masih
mengetukkan jarinya di atas selimut.
“Apakah
engkau kenal Papa?” tanya cincin lainnya.
“Aku
rasa dia adalah Papa,” jawab cincin lainnya lagi.
Bukan!
Bukan! Aku bukan Papa! Suaraku hanya bergema dalam pikiran. Bagaimana cara
lepas dari tangan ini? Dari suara ini? Apakah ini isyarat agar aku membantu
Nongae?
Suara
ketukan kuku Nongae semalam ketika minum latte bercampur suara ketukan
kali ini di atas lantai marmer. Kudukku bergetar. Otakku berpikir keras mencari
solusi.
Tolong
hentikan! Barangkali aku bisa membantu mencari Papa dan meminta keadilan bagi
adikmu. Besok akan kukenalkan pada kawan-kawanku penegak hukum dan lembaga
perlindungan perempuan. Tanpa uang! Pasti ada keadilan bagi adikmu!
Tentu
saja hanya suara hati. Aku ketakutan, memandang garis-garis motif retak pada
lantai, berjaga-jaga agar tangan itu tidak mencelakakanku. Aku jangan dicekik!
Besok,
Nongae! Aku janji. Beri aku waktu.
Nona,
satu-satunya alasan aku membenci perempuan, karena mereka kelihatan lemah,
namun kuat dalam segala hal.