Cincin Nongae - Christya Dewi Eka

@kontributor 2/05/2023

CINCIN NONGAE

Christya Dewi Eka




 

“Kakak butuh selimutkah?”

Kakak, katanya. Entah, lima belas atau enam belas atau tujuh belas tahun lalu aku terbiasa dipanggil ‘Kakak’. Waktu itu, aku salah satu Kakak populer di kelas bangunan.

“Termasuk fasilitas atau saya harus tambah biaya?”

Tentu aku paham ke mana arah tawarannya.

“Tambah sedikitlah, Kakak. Hitung-hitung buat bonus kami.”

“Boleh. Terlalu dingin di sini. Saya butuh selimut. Satu saja.”

“Tipis atau tebal, Kakak?”

“Aih, tentu saja tipis. Kau kira aku apakah?”

Selimut tebal? Mana mau aku dengan cowok melambai yang bulu kakinya kelihatan habis dicukur? Aku masih normal, hah!

Si pelayan tersenyum simpul, “Ada tambahan pesanan khusus, Kakak?”

“Yang lokal saja. Dari daerah sekitar sini,” kataku setelah berpikir sejenak, “oya, sekalian bawakan latte.”

Pelayan itu berbalik melaksanakan perintah. Membawa selimut. Tentu saja, setelah aku memberinya sedikit uang jajan, agar hatinya lebih ikhlas bekerja.

Dia datang. Yaaa sekitar setengah jam setelahnya. Bukan pelayan hotel, tetapi si selimut tipis. Kulitnya kopi susu. Khas daerah sini. Ah, aku memang maniak latte dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Termasuk juga si selimut tipis berkulit latte.

“Silakan, Nona. Santai saja. Tak usah sungkan.”

“Baik, Pak. Eh,” katanya meralat, “tidak keberatan, bukan. Atau yang lain?”

Dia sesantai kucing-kucing di gang belakang hotel. Bisa tidur nyenyak di sela-sela tumpukan karung dan kardus, meski kanan-kirinya berisik oleh suara siang hari.

“Bapak. Tanpa nama. Tanpa asal. Tanpa pekerjaan. Tanpa jabatan. Tanpa pertanyaan. Paham?”

Dia setenang rumput kaku di samping hotel. Hanya bergoyang sedikit meskipun angin kencang.

“Duduklah dulu. Kau suka latte?”

Aku bergeser sedikit ke sandaran sofa.

“Suka, Pak. Saya suka yang Bapak suka.”

Secangkir latte di depannya. Secangkir lagi di depanku. Harum latte dan uap hangat membuat malam serasa lebih baik. Kamar ini, daerah ini, begitu menyebalkan. Tidak ada gairah hidup. Aku perlu pemecah suasana agar besok lebih berkobar.

“Berapa umurmu? Kelihatannya kau tidak lagi muda. Terlalu tua untuk pekerjaan ini.”

“Hihihi, betul, Pak. Umur saya hampir tiga puluh. Belum benar-benar tua, sebenarnya. Saya lebih berpengalaman dibanding anak belasan tahun.”

Duh, tawanya, aksen lokalnya, membuat aku lupa kebosananku dua jam lalu.

“Penasaran. Sebanyak apa pengalamanmu dibanding pengalamanku?”

“Ah, jangan begitulah, Pak. Dibanding Bapak, saya adalah semut di tengah laut. Saya belum pernah keluar pulau.”

Lantas meluncurlah berbagai kisah indah tentang tanah lahirnya, tentang hutan yang menyuplai beberapa persen oksigen dunia, tentang laut yang berisi berbagai makhluk langka yang tidak pernah ada di tempat lain, tentang legenda terjadinya pulau, tentang dewa-dewi penjaga alam.

Aku mengajaknya menuju teras kamar. Kebetulan di lantai tiga. Mungkin sekitar lima belas meter dari atas tanah. Di luar sana gelap. Kota ini tidak begitu padat. Lampu-lampu rumah bagaikan kerlip di lautan gulita.

“Siapa namamu? Sedari tadi kita berbincang tanpa saling menyebut nama. Janggal, kan?”

Dia tertawa.

“Saya terbiasa tidak dipandang, tidak dipanggil nama. Tak masalah. Barangkali, lebih baik nama saya terkubur.”

“Saya ingin tahu namamu.”

Dia kembali tertawa ringan.

“Panggil saja Nongae.”

“Nama lahir?”

“Lupa.”

Matanya menerawang ke luar. Entah timur atau barat atau utara atau selatan. Di sini aku buta arah. Tidak ada gedung besar sebagai patokan.

Sepertinya dia mencari sesuatu. Atau mendengar sesuatu. Panggilan? Sekilas ada garis misteri pada wajahnya. Cantik, tapi seolah dari kedalaman bumi.

“Berceritalah hingga waktu habis. Aku ingin mendengar. Malas bicara. Kau kubayar untuk itu.”

Gawai di atas sofa bergetar halus. Aku enggan melihat. Paling-paling hanya konfirmasi apa aku mengerti instruksi –benar-benar mengerti—pembongkaran hutan besok pagi, dipastikan tidak salah titik, dipastikan tidak memicu konflik adat, dipastikan tidak memakan korban lagi –seperti tahun lalu—, dipastikan tidak ada pembengkakan anggaran proyek, dan segala tetek-bengek yang membuatku mual. Kebiasaan aneh: selalu mual di awal proyek.

Dia berpikir cukup keras. Berusaha mencari cerita yang menarik hatiku supaya aku puas dengan pelayanannya, dan dia memperoleh tarif agak besar bila pekerjaannya selesai.

“Hmmm, ceritakan asal-usul nama Nongae,” pancingku.

“Nanti Bapak bosan. Cerita itu tidak menarik. Hanya cerita lama yang sebentar lagi hilang.”

“Aku mau mendengar.”

Dia menggigit bibir bawahnya sendiri. Sepertinya, berusaha menahan ledakan perasaan yang muncul tiba-tiba. Kata Nongae, seolah-olah sebagai kotak berdebu di sudut memori. Agar lebih rileks, aku mencoba mengalihkan pertanyaan.

“Kau tahu, pintu kota ini mulai terbuka? Sebentar lagi, hanya beberapa bulan lagi, jalan-jalan mulus akan menembus hutan dan gunung. Barang-barang, makanan, hiburan, apa pun, memberondong masuk. Semua menarik dan mutakhir.”

“Tentu tahu, Pak. Setiap orang dewasa di sini tahu. Banyak perbincangan tentangnya. Semuanya tidak menyenangkan. Kami akan digerogoti, dikeruk, diperah habis-habisan.”

 Glek!

“Kenapa menyimpulkan begitu?”

“Di sini, uang tidak terlalu berarti. Tanpa membeli, kami bisa hidup. Alam sudah memberi segala.”

“Kau kekanak-kanakan. Zaman sudah berganti wajah. Tanpa uang, bagaimana bisa hidup? Banyak benda yang tidak bisa diambil dari alam. Komputer, gawai, mobil, dan banyak lagi!”

Naif. Seperti Nay kekanak-kanakan. Eh, Nay?

“Ah, kami bisa hidup tanpa itu. Sebaliknya, Pak, banyak benda yang tidak bisa dibeli uang. Udara bersih, nyanyian laut, pelukan hutan,” tukasnya halus.

Lembut tapi tegas. Melempar aku pada kenangan yang tidak ingin kuingat: Nay, cinta pertamaku yang gagal.

Masih beberapa jam menjelang fajar. Si selimut tipisku masih utuh seperti awal dia datang. Belum kujamah. Tidak mood!

“Ada gula, ada semut. Orang-orang kota datang ke tempat terpencil ini bukan karena bermurah hati memberi kami kebaikan. Burung langit dan ombak petang pernah bercerita tentang tamu asing yang membawa racun dalam madu.”

“Maksudnya?”

“Contohnya, adik saya. Beberapa tahun lalu, kami kedatangan orang penting. Papa, begitu panggilannya. Mengundang pemuda-pemudi di sini bekerja. Tentu saja, ada iming-iming gaji besar. Banyak yang tertarik. Termasuk adik, saudara, dan teman saya. Papa sangat akrab dengan adik. Suatu ketika, sebelum adik berangkat bekerja ke luar negeri, perut adik membesar. Hamil. Tidak jelas pelakunya. Adik ketakutan. Dia hanya bercerita rahasia kepada saya.”

“Pelakunya Papa?” dugaku mencoba menyambungkan awal-akhir cerita.

“Betul. Saya diminta bersumpah supaya tidak membuka kebenarannya. Orang tua saya tentu marah besar. Adik dipukuli Bapak agar mau mengaku. Dia diam. Dan menangis berhari-hari, hingga –kadang—agak sulit bernapas. Tidak mau makan dan minum. Badannya melemah.

Saya takut kalau adik mati. Akhirnya, saya terpaksa melanggar sumpah. Saya cerita kepada Bapak bahwa pelakunya Papa. Sambil marah-marah, setengah percaya, Bapak melapor kepada ketua adat.

Saya dibacakan mantra-mantra supaya bercerita jujur dari alam bawah sadar. Baru setelah itu Bapak dan ketua percaya. Saya tidak bohong. Adik juga tidak bohong. Bapak meminta pertanggungjawaban kepada Papa. Papa tidak marah. Tidak menyangkal. Juga tidak membenarkan. Dia hanya memberi uang. Sumbangan persiapan persalinan, katanya. Bantuan untuk calon tenaga kerja perempuan, katanya.”

Dia menghela napas sejenak. Mengetukkan kuku merahnya pada pagar teras. Aku memutuskan tidak menyela ceritanya. 

“Bapak saya tersinggung. Siapa butuh uang? Kami butuh kejujuran, butuh kebenaran, butuh pertanggungjawaban. Kasihan adik. Ia digunjing teman-temannya. Padahal adik saya adalah bintang pelajar, selalu rangking satu di sekolah. Andai Bapak rela, adik sudah menjadi mahasiswa di ibu kota. Lalu Bapak melapor kepada polisi.

Polisi hanya tersenyum, mencatat sesuatu, lalu menyuruh kami pulang. Iya, begitu kata polisi. Tunggu diproses, katanya lagi. Sesuai perintah, kami menunggu dengan sabar. Sabar. Bayi adik kemudian lahir. Polisi masih saja menyuruh sabar. Bapak lihat ini?”

Nongae memamerkan kesepuluh jari tangannya. Semua bercincin. Bukan emas. Seperti kayu. Entah. Mungkin bahan lokal yang masih asing bagiku.

“Itu adat sini, bukan?”

Dia tertawa, menutup mulutnya dengan sebelah tangan, kemudian menggeleng.

“Inilah awal mula nama Nongae. Saya meniru Nongae. Sepuluh cincin ini kelak saya lekatkan di leher Papa di ujung usianya.”

“Ma... mau apakah?”

“Masak Bapak tidak bisa menebak? Hihihi... Dulu, dulu sekali, konon kabarnya, ketika Korea diserang tentara Jepang, hiduplah Nongae, seorang perempuan terpelajar. Suaminya bunuh diri karena mempertanggungjawabkan kekalahan pasukan Korea. Balas dendam direncanakan. Nongae menjadi perempuan penghibur. Lantas, Nongae memeluk erat jendral Jepang dan menenggelamkannya ke sungai. Ini, Pak,” katanya lagi-lagi merentangkan sepuluh jarinya, “ini sepuluh cincin yang menahan agar pelukan Nongae tidak terlepas.”

“Kau mau seperti Nongae? Papa yang kau incar? Sayang sekali kalau wajah cantikmu dipenuhi dendam.”

Apa sebaiknya aku membelokkan pembicaraan?

“Kau mau...”

Aku bergidik.

“Apa tidak ada jalan musyawarah? Kekeluargaan?”

“Papa menutup pintu. Sudah berpindah ke kota lain. Adik saya tewas karena depresi. Bayinya pun lemah. Orang tua saya bergantian menjaganya. Warga kampung belum ada yang dipekerjakan sesuai janji. Polisi-polisi itu, mendapat hadiah besar dari Papa, sehingga tidak menanggapi laporan Bapak saya.”

Nongae perlahan meninggalkan teras. Sayup-sayup terdengar suara ayam jago.

“Sebentar lagi fajar. Apa kita cukup hanya berbincang, Pak? Atau saya harus melakukan sesuatu?”

Aku mendahului langkahnya, menuju ke dalam kamar. Sedikit membayangkan sepuluh cincin di jari lentik itu mencekik leherku. Apa aku langsung mati? Atau kejang-kejang dulu? Atau bertahan? Ihhh…

Aku bukan Papa. Aku hanyalah satu di antara sekian banyak papa yang berkeliaran di dunia.

“Cukup begini Nongae. Tugasmu hanyalah menghabiskan latte ini. Selesai! Ingat, saya ini tanpa nama. Tanpa asal. Tanpa pekerjaan. Tanpa jabatan. Tanpa pertanyaan. Bisa dipahami?”

“Baik, Pak. Sesuai pesan Bapak.”

Secangkir latte lesap ke dalam mulutnya. Kesekian kalinya, dia iseng mengetukkan kuku pada bibir cangkir kosong.

Baru saja punggung Nongae lenyap di balik pintu, ketika aku hendak meluruskan punggung barang satu atau dua jam sebelum berangkat meninjau lokasi proyek, aku sadar ada sesuatu yang tertinggal.

Sepuluh cincin bermata dan bermulut! Tergeletak begitu saja di atas lipatan selimut. Sepuluh cincin yang berisik bertanya tentang Papa. Sepuluh cincin yang melingkari sepuluh jari lentik berkuku merah.

“Di mana Papa?” kata sebuah cincin.

“Tolong carikan Papa. Kumohon,” pinta cincin lain.

Aku kaku. Tidak tahu harus menjawab bagaimana. Sebelah tangan itu melompat dari selimut, bergerak ke arahku, dan menarik tanganku. Sebelah tangan lainnya masih mengetukkan jarinya di atas selimut.

“Apakah engkau kenal Papa?” tanya cincin lainnya.

“Aku rasa dia adalah Papa,” jawab cincin lainnya lagi.

Bukan! Bukan! Aku bukan Papa! Suaraku hanya bergema dalam pikiran. Bagaimana cara lepas dari tangan ini? Dari suara ini? Apakah ini isyarat agar aku membantu Nongae?

Suara ketukan kuku Nongae semalam ketika minum latte bercampur suara ketukan kali ini di atas lantai marmer. Kudukku bergetar. Otakku berpikir keras mencari solusi.

Tolong hentikan! Barangkali aku bisa membantu mencari Papa dan meminta keadilan bagi adikmu. Besok akan kukenalkan pada kawan-kawanku penegak hukum dan lembaga perlindungan perempuan. Tanpa uang! Pasti ada keadilan bagi adikmu!

Tentu saja hanya suara hati. Aku ketakutan, memandang garis-garis motif retak pada lantai, berjaga-jaga agar tangan itu tidak mencelakakanku. Aku jangan dicekik!

Besok, Nongae! Aku janji. Beri aku waktu.    

Nona, satu-satunya alasan aku membenci perempuan, karena mereka kelihatan lemah, namun kuat dalam segala hal.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »