Objektifikasi dan Luka Perempuan dalam Puisi Tafsir Mata-Mata - Wahid Kurniawan

@kontributor 2/19/2023

Objektifikasi dan Luka Perempuan dalam Puisi Tafsir Mata-Mata

Wahid Kurniawan

 


Kita tahu, karya sastra berperan sebagai cermin sebuah zaman. Saat membaca karya-karya penulis Indonesia awal abad ke-20, nuansa perlawanan dan keinginan untuk terlepas dari kungkungan penjajah sangat mungkin kita dapati. Tema-tema semacam itu bersanding dengan tipikal karya yang bernuansa keindahan, baik yang dihasilkan dari interaksi penulis dengan alam sekitar atau perasaannya—kalau kita berbicara mengenai soal karya puisi. Keinginan merekam apa-apa yang dialami, dilihat, atau seturut pengalaman diri dan sosio-kultural penulisnya menjadi landasan akan adanya tema-tema tertentu tersebut. Maka, kita tak perlu terkejut kalau mendapati rekaman zaman dengan atribut yang diakrabi masyarakat dalam karya yang bertebaran saat ini, misalnya dalam puisi Tafsir Mata-Mata (Omong-Omong(dot)com, 2021) karya Nurul Lathifah.

Apa yang ditawarkan Nurul Lathifah dalam puisinya itu? Kiranya, kita bisa menyebut beberapa kecenderungan yang menjadi napas utama dari puisi Nurul. Kecenderungan itu berhubungan dengan pengalamannya sebagai seorang perempuan, termasuk terkait apa-apa yang melingkupi kehidupan perempuan zaman kiwari. Aspek sosio itu bersanding dengan pengamatannya atas sekian peristiwa, utamanya yang berseliweran di media-media. Ia meniupkan pengalaman dan pengamatannya dalam puisi yang terdiri dari delapan bait, dengan kata kunci Hawa yang menjadi pijakan awal hampir setiap bait.

Di bait pertama, ia menulis, Jika Hawa tercipta di dunia pada tahun 2021, ia akan dikecam karena bertelanjang dada/ dan disensor dan dijerat hukuman, oleh mata-mata yang diam-diam menghujatnya;/ mata-mata yang diam-diam memujanya, kadang tak ada bedanya, kadang tak ada redanya.// Nurul berpijak pada kata kunci Hawa, yang dipahami sebagai perempuan pertama yang diciptakan Semesta, kemudian dilemparkan ke keadaan perempuan di zaman kiwari, tepatnya di tahun 2021. Keadaan yang dijabarkan dalam tiap larik puisinya menggambarkan praktik objektifikasi perempuan yang marak terjadi. Perempuan dipandang tak lebih sebagai objek semata. Nilai mereka bahkan kerap ditopang dari penampilan mereka. Bahkan, praktik ini sangat tergambarkan dalam pemberitaan media dan postingan-postingan di media sosial.

Ironisnya, seperti yang terdapat dalam larik mata-mata yang diam-diam menghujatnya;/ mata-mata yang diam-diam memujanya, masyarakat yang masih bertendensi patriarkis menjalani diri sebagai penghujat sekaligus pemuja. Perempuan yang menampilkan diri kelewat seksi, atau berpenampilan mengundang, menjadi sasaran objektivikasi yang dihujat sekaligus dinikmati. Masyarakat seringkali mengomentari, bahkan mengatur bagaimana semestinya perempuan berpenampilan atau berpakaian. Di sisi lain, para lelaki, juga menjadikan mereka objek kesenangan, bahan candaan, sampai objek fantasi, hingga membuat mereka jatuh pada praktik pemujaan yang seksis.

Realitas perempuan kiwari ini tentu tak bisa dipisahkan dari sejarah perempuan dan masyarakat sendiri. Patriarkisme menjadi pelanggeng praktik objektifikasi, sebab masyarakat menilai perempuan sebagai makhluk nomor dua. Imbasnya, mereka tak memiliki kesempatan atau kesan setara atau sebaik yang dikesankan pada diri laki-laki. Di beberapa daerah, perempuan mesti berperang dengan tuntutan domestik yang selalu membayanginya, bahwa ruang kerja mereka tak boleh lebih dari kisaran dapur, sumur, dan kasur. Kendati di daerah lain kesempatan perempuan sudah mengalami perbaikan, dibuktikan dengan terbukanya akses pendidikan, pekerjaan, dan posisi politis yang bisa dimasuki; tapi tetap, nilai mereka masih diposisikan setingkat lebih rendah dari laki-laki.

Nurul menekankan hal itu di larik lainnya, bahwa nasib mereka yang sekarang seperti hatinya yang liyan dan lebam memangku luka generasi-generasi sebelumnya. Liyan, kalau menurut terma feminis Prancis, Simone de Beavouir, mengacu ke situasi the others, yang dikesampingkan, dinomorduakan. Kesan itu lantas menerakan luka-luka yang membentang sepanjang zaman. Dahulu, keberadaan mereka dianggap sebagai aib keluarga, bila kita melihat konteks di zaman Arab Jahiliyah. Selanjutnya, saat mereka sudah memasuki ruang-ruang di luar domestik, nilai mereka tak lebih sebagai alat penggerak ekonomi dengan gaji pas-pasan. Masyarakat abad ke-19, saat revolusi industri sudah mengemuka, membuktikan hal itu. Bahwa memang, emansipasi perempuan sudah menjamur, tapi keadilan terkait kesejahteraan belum dicapai oleh semua kelas, terutama mereka yang bergender perempuan.

Keadaan mungkin membaik di zaman ini, tapi mereka masih belum sepenuhnya lepas dari kungkungan ketidakadilan. Perempuan hari ini mesti menghadapi bayang-bayang pelecehan seksual, gaji yang tak cukup, minimnya akses tempat-tempat tertentu, dan segala jenis praktik keliyanan yang tertuju pada mereka. Praktik ini, sekali lagi, diakibatkan dari kesan liyan yang ada pada diri mereka, seperti yang ditegaskan dalam larik tidak pernah utuh harus selalu patuh, begitulah cerita pelengkap Adam. Kedirian mereka tak utuh, selalu diobjetifikasi. Mereka mesti selalu patuh, tak semestinya memberontak, melawan, atau memprotes. Inilah yang diinginkan masyarakat patriarkis. Nilai-nilai itu terlanggengkan di tengah masyarakat lantaran kesadaran atas rekonstruksi nilai baru belum disadari oleh setiap pihak.

Kendati begitu, nada yang disematkan Nurul dalam puisinya tak berpretensi melawan dengan keras atau marah-marah. Ia menampilkan keadaan kiwari apa adanya, dengan pemilihan diksi yang gamblang dan jujur. Namun, bukan berarti tidak ada kesan penyentakkan yang ditimbulkan. Dengan kegamblangan diksinya, Nurul memancing pembaca untuk menyadari keadaan dan nasib perempuan saat ini. Ia mengambil kata kunci yang dekat, yaitu Hawa—figur yang hampir pasti diketahui oleh semua orang. Diksi-diksi yang bernuansa masa kini juga dianggitnya, seperti diksi followers, Instagram, atau najis. Penganggitan diksi itu bisa dipahami untuk menjangkau interpretasi pembaca, hingga maksud yang ingin dicapai penulis, yaitu penyadaran atas pengamatannya, bisa sampai tanpa mengalami banyak perubahan tafsir—kendati tafsir lain sangat boleh diartikan.

Ihwal maksud itu, kemudian ditegaskan dengan penulisan larik pamungkas di akhir puisi,  bahwa “Ia lupa ia adalah perempuan yang tafsirnya ditulis oleh laki-laki yang rapuh dan ketakutan.Diksi ia mengacu pada Hawa, yang diasosiasikan sebagai perempuan masa kini. Nurul menggarisbawahi kalau tafsir atas mereka, dari berbagai aspek, datang dari perspektif laki-laki. Namun, bukan laki-laki yang tangguh, sebab ia menuliskan laki-laki yang rapuh dan ketakutan sebagai persamaan bahwa mereka tak sesuperior yang dikesankan, sebagaimana yang diamini masyarakat (patriarkal). Pemilihan kata itu membuat akhir puisi ini memiliki maksud: bahwa kendati nasib perempuan bergelimang luka, kerap diobjektifikasi, dan keberadaan mereka divalidasi oleh laki-laki; tapi proses rekonstruksi atas stigma itu bisa dilakukan. Dengan demikian, harapan akan masa depan yang cemerlang dan berkeadilan gender bisa dicapai.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »