Iftar - Sigit Candra Lesmana

@kontributor 4/23/2023

Iftar

Sigit Candra Lesmana



Peluh menetes dari pelipis Rizal. Kaus dalam kemejanya basah. Lampu merah, cuaca panas, tenggorokannya kering. Tumben hari itu tidak turun hujan. Langit cerah dengan sedikit awan dan cahaya matahari yang bersinar tanpa halangan. Ingin rasanya dia segera menerobos lampu merah itu untuk segera tiba di rumah dan merebahkan diri.

“Permisi, Mas,” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari sisi sebelah kanannya.

Seorang pengemis tua menadahkan tangannya ke arah Rizal. Tampilannya lusuh, dengan kemeja warna putih yang sedikit menguning dan kotor. Rambutnya yang hitam acak-acakan dengan sedikit uban. Sementara bagian bawah tubuhnya terbungkus sebuah celana pendek dengan beberapa robekan kecil. Sedangkan kakinya dibiarkan telanjang, seakan sudah kebal dengan panasnya aspal di siang hari yang terik.

Refleks Rizal coba rogoh celananya. Sebuah dompet berbahan kulit imitasi berwarna cokelat kemudian muncul dari balik saku celananya. Terdapat selembar uang sepuluh ribu rupiah dan selembar uang lima ribu rupiah di dompetnya. Dan satu kartu Anjungan Tunai Mandiri dengan saldo menipis.

Agak ragu, uang lima belas ribu hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi dan sebungkus es teh untuk berbuka puasa nanti. Jika sebagian uang itu diberikan untuk si pengemis, dia khawatir tak bisa berbuka dengan lengkap hari ini. Saldo di rekening pun sudah sangat terkuras. Sialnya, jumlah yang sedikit itu harus dipertahankan sedemikian rupa agar cukup untuk hidup sampai Rizal mendapat pekerjaan. Entah sehari, seminggu, sebulan, atau lebih dari itu.

Ingatan ceramah seorang ustaz yang pernah dilihatnya di YouTube beberapa waktu lalu tiba-tiba muncul saat dia hendak mengurungkan niatnya. Ustaz itu mengatakan bahwa sedekah yang utama justru ketika diri sendiri sedang sempit.

“Karena di saat sempit itulah pengorbanannya jauh lebih besar,” suara ustaz itu terngiang dalam ingatan Rizal.

Ustaz itu juga mengatakan bahwa Tuhan sejatinya lebih menilai besarnya pengorbanan daripada besarnya nominal.

“Uang lima ribu rupiah tapi merupakan 50 persen dari hartanya yang tersisa maka lebih berat timbangan pahalanya, disbanding uang sejuta rupiah tapi hanya 0,1 persen dari hartanya,” Ucap ustaz dalam ingatannya.

Disodorkannya uang lima ribu rupiah miliknya ke tangan pengemis tua yang menunggu sejak tadi. Uang itu segera berpindah, tinggal selembar sepuluh ribu rupiah di dalam dompetnya. Pengemis itu berterima kasih seraya membungkukan badan dan berlalu menuju pengendara lain.

Lampu segera berubah menjadi hijau. Bunyi klakson kendaraan di belakang motor Rizal segera bersahutan. Pertanda semua orang sudah tak sabar ingin segera sampai di tujuan.

Dalam hatinya dia berdoa semoga dengan pemberiannya kepada pengemis tadi, Tuhan melancarkan rezekinya sehingga dia bisa segera dapat pekerjaan. Dari kajian ustaz lain yang dia dengar, waktu puasa adalah waktu yang mustajab untuk berdoa.

Dua bulan lalu Rizal harus rela kehilangan pekerjaannya. Pabrik camilan tempatnya bekerja berhenti beroperasi dan didata oleh bank. Pemilik pabrik yang terlilit hutang melarikan diri keluar kota. Meninggalkan puluhan karyawan yang belum dibayarkan gajinya selama sebulan. Rizal salah satu dari mereka.

Motor matiknya lalu dilajukan kesana kemari untuk mencari pekerjaan. Sales, cleaning service, penjaga toko, kuli bangunan beragam jenis pekerjaan dilamarnya. Gengsi dibuangnya jauh-jauh. Gelar sarjana ekonomi dari sebuah perguruan tinggi negeri favorit kini tak penting lagi. Rizal ingin pekerjaan apapun yang penting cukup untuk hidup dan halal. Tetapi tekad tak pernah cukup untuk mendapat pekerjaan tanpa adanya orang dalam.

***

Sebuah nasi bungkus dengan lauk semor jengkol dan orek tempe dan air putih setengah botol sisa kemarin sudah siap sedia di meja makan. Rizal keluar dari kamar mandi dan segara menuju kamar untuk berganti pakaian. Sejurus kemudian dia duduk di meja makan. Bersiap untuk membatalkan puasanya hari ini.

Azan magrib berkumandang, diteguknya air putih kemasan itu untuk membatalkan puasa sekaligus membasahi kerongkongan yang telah kering seharian. Dalam hati dia berharap agar pahala puasa telah ditetapkan baginya hari ini.

“Alhamdulillah,” ucapnya lirih.

Setelah minum, Rizal langsung menyantap nasi berlauk semur jengkol dan orek tempe yang aromanya menggoda sejak tadi. Salat magrib akan ditunaikannya setelah makan, rasa laparnya sudah tak tertahan.

Di tempat lain, empat piring nasi, semangkuk besar bakso lengkap dengan mie kuning, semangkuk tumis kacang panjang, sepiring ikan goreng, sepiring tempe dan tahu goreng, dan semangkuk besar es blewah telah siap di meja makan. Pengemis tua beserta keluarga sudah bersiap di meja makan untuk berbuka puasa bersama. Pengemis tua meminta maaf tak bisa menyajikan menu yang lebih mewah seperti biasanya.

“Hasil hari ini tidak terlalu banyak, orang ngasihnya sedikit-sedikit, recehan,” katanya sambil menatap istrinya.

“Tak apa pak, ini saja sudah cukup, semoga besok lebih banyak orang yang terketuk hatinya untuk memberi,” ucap istri si pengemis tua yang nampak berusia jauh lebih muda sembari melempar senyum manis.

Kedua anaknya makan dengan lahap apa yang disajikan dari hasil jerih payahnya hari ini.

“Alhamdulillah,” ucapnya lirih.

 

Jember, 10 April 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »