Tradisi Buruk dalam Dunia Sayembara Sastra - Wiratmo Soekito

@kontributor 10/27/2019
TRADISI BURUK DALAM DUNIA SAYEMBARA SASTRA 
Wiratmo Soekito




SASTRAMEDIA.COM - Heboh di sekitar sayembara Kumpulan Puisi Terbaik 1976-77 hanyalah bagian saja dari tradisi buruk dalam dunia sayembara sastra di negeri ini. 

Dalam tahun 1960 Moh. Rustandi Kartakusumah telah menolak hadiah sayembara sastra yang disponsori oleh Badan Pekerja Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Pernyataan penolakannya itu diumumkan dengan segera setelah para pemenangnya diumumkan dalam Kongres Kebudayaan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional di Bandung. Sebagai alasan resmi adalah mutu juri yang diragukan. Boleh jadi, sikap ini memang berdasar (weel grounded), tetapi, terdapat kenyataan-kenyataan yang harus dipertimbangkan, di antaranya, ialah, bahwa ia bukan pemenang pertama, bahkan pemenang kedua pun tidak. 

Selain itu, pada waktu itu sedang terjadi "perang dingin” antara para sastrawan yang memandang kegiatan sastra sebagai bagian dari politik (LEKRA, LKN) dan yang tidak memandang kegiatan sastra sebagai bagian dari politik, kendatipun mungkin sebagai suatu gerakan dalam masyarakat (yang dapat mengingatkan kita kepada romantisme Schiller, naturalisme Zola, simbolisme Baudelaire, dan seterusnya.) Kebetulan para juri termasuk yang terakhir ini, sedang Rustandi termasuk yang pertama.

Dalam permulaan tahun-tahun enam-puluhan-an, setelah peristiwa di atas, majalah bulanan Sastra, yang redaksinya diketuai oleh H.B. Jassin, menetapkan penyair-penyair terbaik yang sajak-sajaknya dimuat dalam majalah tersebut. Akan tetapi, di luar dugaan, Poppy M. Hutagalung (kini Ny. A.D. Donggo) telah menyatakan penolakannya terhadap keputusan juri yang telah menetapkannya sebagai salah seorang pemenang. Kemudian diketahui, bahwa di belakang penolakan ini berperan Pramoedya Ananta Toer, yang pada waktu itu sedang menjalankan suatu rencana untuk menjatuhkan nama H.B. Jassin sebagai seorang kritikus sastra, karena, yang terakhir ini telah ”berdosa” membela Hamka yang sedang diganyang oleh para sastrawan yang memandang kegiatan sastra sebagai bagian politik. 

Ini hanya untuk memberikan beberapa contoh saja bagaimana suatu tradisi buruk telah diciptakan dalam dunia sayembara sastra. 

Penolakan Sutardji Calzoum Bachri terhadap keputusan juri mengenai para pemenang hadiah Kumpulan Puisi Terbaik 1976-77 tentu saja tidak dapat disamakan secara kongruen dengan penolakan Rustandi maupun penolakan Poppy, lebih-lebih karena Sutardji merupakan pemenang hadiah pertama. Sepanjang pengetahuan saya, penolakannya itu semata-mata disebabkan oleh kesalahan ”administratif” (untuk meminjam istilah Goenawan Mohamad dalam wawancaranya dengan harian Sinar Harapan, 15 April) karena, kumpulan puisi Yudhistira Ardi Noegraha, salah seorang pemenang seperti yang telah ditetapkan oleh juri, baru diterbitkan dalam tahun 1978. Akan tetapi, menurut analisa saya, kesalahan ”administratif” tersebut pasti dipengaruhi atau, setidak-tidaknya, diilhami oleh penilaian Sutardji mengenai kemampuan kritis juri sebagai kritikus sastra. 

Walaupun Abdul Hadi W.M., salah seorang pemenang seperti yang telah ditetapkan oleh juri, setelah Dewan Kesenian Jakarta, sebagai sponsor sayembara ini, memperbaiki kesalahan "administratif” dengan membatalkan keputusan juri mengenai Yudhistira, menurut analisa saya, tidak disebabkan oleh karena ia sudah mengakui kemampuan kritis juri.

Sikap terhadap keputusan juri ternyata berbeda-beda. Sikap yang ideal adalah menerima keputusan juri, tetapi tanpa berarti mengakui kemampuan kritis juri. Dasar sikap ini adalah pengertian, bahwa setiap keputusan juri adalah “sah” bagaimanapun juga absurdnya juri yang bersangkutan. Ini dalam acara pertama. Baru dalam acara kedua dipersoalkan pertanggungjawaban juri. Harus diperhatikan, bahwa dalam suatu sayembara bukan pemenang-pemenangnya yang bertanggung jawab, melainkan juri. Pemenang-pemenang yang bersangkutan bisa menerima hadiah mereka (dan keputusan juri). Ingatlah misalnya Albert Camus, pemenang hadiah Nobel untuk sastra dalam tahun 1957. Ia mempunyai penilaian yang berbeda dengan penilaian Akademi Stockholm, karena, menurut penilaiannya, yang lebih berhak daripadanya adalah Andre Malraux. Namun, Camus menerimanya. 

Sikap Sutardji dapat dimengerti, ia ingin mengambil-alih pertanggungjawaban kritis juri, karena, ia tidak percaya kepada kemampuan, setidak-tidaknya, salah seorang anggota juri. Ibarat seorang pemain sepak bola, ia tidak percaya kepada keadilan wasit, lalu menonjoknya. 

Mengapa dapat dimengerti, karena, dalam pemilihan-pemilihan umum di negeri kita pun juri atau wasit telah ikut main pula, sehingga, sebagian dari para kontestan telah terpaksa berjuang melawan juri. Mengapa tidak dalam kontes puisi! Jadi, sikap Sutardji dapat dimengerti. Lebih-lebih, karena, susunan juri yang diketuai oleh Goenawan Mohamad, memang tidak meyakinkan. Mereka adalah penyair-penyair, bukannya kritikus sastra. Ukuran-ukuran mereka, seperti yang tercermin dari wawancara Goenawan Mohamad dengan harian Sinar Harapan, adalah ukuran-ukuran suka atau tidak suka. Demikianlah kata ketua juri, "kalau saya menyukai salah satu konserto Bach pada hal sementara itu saya pun menyukai lagu Farid Hardja, itu tak berarti saya kusut pikiran dan Bach jatuh merk.” 

Menurut pendapat saya, seorang penyair harus bersikap seperti Voltaire dalam menghadapi seorang kritikus yang menilai sajaknya, dengan mengutuk... “Saya tak setuju dengan pendapatmu, tetapi, hakmu untuk menyatakannya akan saya bela sampai mati.” Sebab, penyair itu bukan murid kritikus yang harus mengikuti nasihat-nasihatnya bagaimana menciptakan puisi. Akan tetapi, jika penyair menjadi kritikus, ia harus berpaling kepada Bertolt Brecht, ia adalah dramawan dan kritikus teater. "Facts rather than his theories,”kata Martin Esslin mengenai Brecht, karena, drama ciptaannya non-Marxis, tetapi, teorinya Marxis. Untung ia penyair, dan tidak hanya kritikus semata-mata. Orang prototip ini jangan dijadikan juri.***

Jakarta, 27 April, 1978

-Sumber: Horison, Mei 1978, Nomor 5, Tahun XIII

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »