Aku Menemukan Tuhan dalam Opera Yoevita - Maman S. Mahayana

@kontributor 2/08/2020
AKU MENEMUKAN TUHAN DALAM OPERA YOEVITA

Maman S. Mahayana




SASTRAMEDIA.COM - Puisi itu makhluk ajaib. Ia menyihir lantaran di sana tersimpan pesona. Ia juga mengancam ketika kata atau frasa atau apa pun dalam larik-larik puisi menggugah kesadaran kemanusiaan. Meski begitu, ada juga puisi yang memuakkan, manakala kata-kata gagal dikendalikan, lalu pesannya menjelma propaganda, iklan murahan, atau gombal ala Bombay. Itulah keajaiban puisi. Paradoks dan penuh misteri. 

“Tak ada kata jera bagi para pecinta puisi!” Dalam kondisi apa pun, dan dengan caranya sendiri, banyak orang yang tiada bosan merayakan puisi. Di antara anggota masyarakat yang kadang-kadang mencibir puisi, cukup banyak juga para penggembira, pendukung fanatik, atau mereka yang terlibat dalam permainan puisi dan bersikeras mempertahankan kehidupan puisi. Bahkan tak sedikit yang menempatkan puisi secara hiperbolis sebagai sesuatu yang sakral. Maka, jika ada cogan, “Puisi tak pernah mati,” ya, karena kenyataannya memang begitu.

Puisi adalah salah satu ragam sastra yang kuncinya terletak pada kepadatan, kelugasan, dan sekaligus juga ketaksaan (ambiguitas). Bagaimana kata-kata yang padat dan lugas itu menyimpan kedalaman makna, dan dari kedalaman makna itu muncul ketaksaan. Ketaksaan memungkinkan terjadi multitafsir. Dari sanalah ketaksaan dapat menekan saklar asosiasi dan imajinasi pembaca menghadirkan citraan. Maka, ada anggapan, bahwa hakikat puisi itu citraan! Dalam hal itu, puisi memainkan sihirnya melalui kualitas metafora, ironi, paradoks, dan sarana puitik lainnya. Begitulah puisi!

Tetapi, para penyair—meminjam istilah Subagio Sastrowardojo—yang sekadar mengandalkan bakat alam, tak mempedulikan itu. Mereka menulis puisi, ya menulis saja. Peduli hantu dengan segala macam tetek-bengek teori. Sikap inilah yang kelak membedakan penyair yang belajar dan penyair yang lebih suka main terabas, instan, dan mengabaikan proses. Penyair yang sebenar-benarnya penyair adalah mereka yang sadar bahwa perjalanan kepenyairannya selalu berada dalam proses menjadi. Mereka tidak melalaikan kesadarannya pada sejarah, pada proses untuk terus belajar sampai mereka pensiun dari gelanggang kehidupan ini. Membacai puisi-puisi penyair sebelumnya dan puisi penyair seangkatannya adalah bagian penting dari proses belajar itu. Oleh karena itu, belajar puisi yang hasilnya paling ampuh adalah membacai sebanyak-banyaknya puisi. Maka, jika ingin jadi penyair sejati yang menghasilkan sebenar-benarnya puisi, belajarlah pada puisi!
***

Di luar perkara tadi, puisi, konon, dipandang sebagai suara hati yang terdalam. Kaum romantik, bahkan, menempatkan puisi sebagai pesan ilahiah yang luhur dan suci. Ia merepresentasikan suara “tuhan” di dunia. Mereka berkeyakinan, bahwa ketika penyair berada dalam proses kreatif, Tuhan bertakhta dalam sanubari yang terdalam. Tentu saja hiperbolisme itu ditujukan untuk puisi-puisi yang baik, inspiratif, dan memberi penyadaran dan pencerahan.

Bagaimana dengan puisi-puisi Yoevita Soekotjo ini? Termasuk kategori puisi yang manakah. Di sinilah masalahnya. Ada beberapa hal yang patut dibicarakan berkaitan dengan puisi-puisi Yoevita Soekotjo ini.

Dari 72 puisi yang terhimpun dalam Opera Tujuh Purnama ini, keseluruhannya cenderung sebagai pewartaan pengalaman individual tentang berbagai peristiwa aku—engkau, aku—dia, aku—mereka dalam hubungan sosial. Jika di sana ada tema cinta Tanah Air, kehidupan bangsa, kritik sosial, atau keterpesonaan pada alam, subjek aku tidak lesap pada objek. Jadi, keberjarakan subjek—objek, menjadikan puisi-puisi itu seperti membentangkan garis demarkasi pembaca dengan teks. Akibatnya, pembaca seperti disuguhi berbagai peristiwa tentang pengalaman pribadi yang tidak menjadi pengalaman bersama. Dalam konteks ini, ke-72 puisi itu, sebagian tidak sepenuhnya mengajak pembaca masuk dan merasakan sendiri pengalaman subjektif penyair.

Puisi “Catwalk” misalnya. Dalam dua bait awal, kita disuguhi ironi antara perempuan yang hidup dengan segala keglamorannya dan perempuan ndeso dengan segala kesederhanaannya. Penyair coba menyajikan ironi dua perempuan yang berbeda nasib, berbeda kasta. Sampai di sini, ironi itu seperti membentangkan kisah dua perempuan dalam dua dunia yang meskipun tidak menghidupkan empati—simpatik, cukup jelas perbedaannya. Lalu apa yang dapat kita tangkap dari dua peristiwa yang dialami dua perempuan yang secara sosial-ekonomi sangat bertolak belakang itu?

Bait ketiga ternyata tidak menegaskan perbedaan dua dunia itu, melainkan mengembalikannya pada sosok ibu yang melahirkan. Dengan begitu, apa maknanya perbedaan nasib dan status sosial itu jika semuanya dikembalikan pada sosok ibu? Yoevita Soekotjo tidak melakukan pembelaan, tidak juga melakukan penolakan. Lalu, untuk apa dua perempuan yang berbeda kasta itu dibenturkan, jika tidak ada penyikapan dari penyairnya? 

Sikap Yoevita yang tidak hendak mempersalahkan pihak mana pun atau tidak melakukan pemihakan, tentu saja merupakan pilihannya. Meski begitu, gambaran yang terungkap dalam bait ketiga jadinya seperti tetes minyak dalam air. Ia tidak menyatu, tidak menjadi bagian integral sebagai keseluruhan wacana. Bait ketiga dalam puisi itu pada akhirnya seperti tidak fungsional sebagai penyikapan atas peristiwa yang digambarkan pada bait-bait sebelumnya. Oleh karena itu, jika bait ketiga itu diberi judul lain dan hadir sebagai puisi tersendiri, ia tak akan mengganggu tema yang diangkat puisi “Catwalk” itu.

Periksa juga puisi yang berjudul “Guntingku Tertinggal di Bandara.” Sebuah judul yang serta-merta mengajak pembaca menghidupkan pengalamannya tentang aturan yang berlaku di bandara. Itulah salah satu karakteristik puisi, yaitu citraan yang mampu menghadirkan pengalaman individual sebagai pengalaman bersama. Di bawah judul itu, ada pula keterangan: in memoriam Arie MP Tamba. Bagi pengamat sastra Indonesia atau sastrawan yang akrab dengan kehidupan di Taman Ismail Marzuki, nama itu juga sudah tidak asing lagi. Jadi, ada dua ikon atau tanda –bandara dan Arie MP Tamba— dalam puisi itu yang berfungsi sebagai pintu masuk menjelajahi teks puisi yang bersangkutan.

Pada bait pertama puisi itu, kita seperti dibawa pada sebuah hubungan intens antara aku dan engkau (mungkin Arie, mungkin juga orang lain). Jelas di sana sikap aku lirik yang tegar, meski dengan berbagai kesibukan: pergi dan pulang. Pada bait kedua, kita juga masih dapat mencantelkan hubungan aku—engkau. Dan suasana keterhubungan aku—engkau itu seketika lenyap manakala kita mencermati bait ketiga. Munculnya persona Jegeg Ayu laksana menggantikan posisi Arie dengan Jegeg Ayu itu. Hubungan aku—engkau (Arie) berganti menjadi aku—engkau (Jegeg). Jika begitu, apa fungsi kolofon di bawah judul yang menyebut Arie MP Tamba? Dalam situasi absurd itu, tiba-tiba puisi itu ditutup dengan larik begini: Dewa dewi menyambutku ke negeri Kahyangan biru//

Apa makna larik itu? Siapakah aku lirik di sana yang menyambutku ke negeri Kahyangan? Artinya, aku lirik memasuki dunia kahyangan. Lalu, bagaimana pula dengan peristiwa gunting yang tertinggal di bandara? Bagaimanapun, puisi bukanlah sekadar ekspresi perasaan dan gagasan yang disampaikan dalam bentuk larik-larik pendek. Setiap kata dalam puisi, tidak hanya harus diperlakukan punya makna tertentu dalam hubungannya dengan kata lain dalam keseluruhan teks puisi, tetapi juga berfungsi membangun wacana. Dengan begitu, setiap puisi mesti dimaknai sebagai wacana tersendiri yang mengusung tema dan pesan yang hanya berlaku dalam puisi yang bersangkutan. Di sinilah, puisi punya logika tersendiri, dan ketika logika itu diabaikan, hanya Tuhan yang tahu jawabannya.
***
  Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah perkara diksi, pilihan kata. Setiap kata mesti diperlakukan punya kualitas makna tersendiri yang berbeda dengan kata lain. Oleh karena itu, pemahaman setiap kata dengan segala nuansa maknanya, boleh dikatakan merupakan bagian perjuangan setiap penyair. Bukankah perkara kata-kata yang menjadi alat perjuangan dan pergulatan penyair? Bukanlah lapangan permainan penyair berkisar pada kata dengan kedalaman dan kedangkalan maknanya?

Semangat Yoevita dalam permainan kata ini, tentu saja patut kita hargai, sebab tidak banyak orang punya keberanian menciptakan ungkapan atau metafora yang tak lazim. Meskipun begitu, penyair patut pula mempertimbangkan kepadatan dan kehematan, di samping tentu saja penciptaan makna baru.

Dalam puisi “Catwalk” misalnya, ada larik begini: /Menggenggam duri dan api pada basmallah// Mengapa mesti ada frasa: pada basmallah? Lalu, siapa yang menggenggam duri dan api? Perempuan ndeso atau metropolis? Duri dan api secara simbolik bermakna negatif sebagai perjuangan yang penuh godaan. Jika kedua perempuan itu hendak ditempatkan sebagai pejuang kehidupan, mengapa pula mesti dikontraskan; ditempatkan dalam kasta yang berbeda?

Puisi “Guntingku Tertinggal di Bandara” sebagaimana disinggung tadi, ditutup dengan larik: Dewa dewi menyambutku ke negeri Kahyangan biru// Pertanyaannya: apa bedanya negeri Kahyangan dengan negeri Kahyangan biru? Jika ungkapan atau metafora Kahyangan biru itu menciptakan makna baru, tentu saja kata biru penting artinya disandingkan di sana. Tetapi, jika tidak, ia sekadar kelewahan belaka.

Beberapa contoh lain tentu saja masih dapat kita jumpai dalam sejumlah puisi lainnya. Dua contoh tadi sekadar hendak menegaskan, bahwa penyandingan kata tertentu, hanya penting jika memang menghadirkan makna baru. Jika tidak, ia akan tergenlincir sebagai kelewahan yang tak perlu.

Dalam kaitannya dengan perkara diksi—pilihan kata, Yoevita kiranya perlu lebih berhati-hati dan berjuang keras memikirkannya. Sebagai seseorang yang hendak memuliakan puisi, dan oleh karena itu, ia secara sadar menceburkan diri dalam dunia puisi, saya melihat, Yoevita seperti terperangkap pada anggapan umum bahwa puisi itu ragam sastra yang (harus) menggunakan bahasa yang indah. Konsep itu sesungguhnya tidak tepat benar, sebab rumusan itu tujuannya untuk pembelajaran sastra di sekolah, bukan untuk penyair atau untuk mereka yang ingin jadi penyair. Anggapan, puisi harus menggunakan bahasa yang indah, sudah tak berlaku lagi. 

Kesan hendak menghadirkan bahasa yang indah itu, bertebaran dalam hampir semua puisi yang terhimpun dalam antologi Opera Tujuh Purnama ini. Sekadar contoh, berikut dikutip beberapa larik puisinya yang mengisyaratkan hal tersebut.

Sembunyi dalam kepompong petaka
Meninju gahar mengoyak langit
Bocor gemanya di balik balai-balai megah
(“Satukan Panji Negeri”)

… konser hujan bersahutan
Menggedor dinding kehampaan
 (“Merambah Kesah”)

Meskipun tidak ada larangan kata tertentu disandingkan dengan kata lain, apalagi kebebasan itu dilindungi konsep licentia poetica, penyair perlu berpikir keras mempertimbangkan kesesuaian untuk membangun persajakan, musikalitas bunyi, dan logika untuk mendukung pesan yang hendak disampaikan.

Sembunyi dalam kepompong petaka adalah larik terakhir bait pertama puisi
“Satukan Panji Negeri”. Bait itu mengungkapkan pesan tentang seseorang yang munafik pada Tanah Airnya. Kemunafikan itu coba disembunyikan macam ulat dalam kepompong. Tetapi ulat dalam kekompong melahirkan metamorfosis: kupu-kupu, dan kupu-kupu cenderung menjelma makhluk yang indah. Jadi, larik itu kontradiksi dengan larik-larik sebelumnya. Tambahan pula ada kata petaka. Dengan begitu, larik itu menciptakan dua kontradiksi: (1) dengan larik-larik sebelumnya, (2) persandingan kepompong (yang kecil) dan petaka (yang besar). 
Kesadaran pada ketepatan pilihan kata—yang pas, tepat, padat—juga berkaitan dengan kedalaman makna. Ketaksaan biasanya lahir dari ketepatan pilihan kata itu. Oleh karena itu, ketika kita hendak menyandingkan kata tertentu dengan kata lain, ia benar-benar menciptakan majas yang segar, terhindar dari bentuk klise, dan menawarkan metafora atau analogi dan seterusnya yang dapat mengklik saklar asosiasi dan imajinasi pembaca.
Larik-larik berikut ini merupakan contoh, betapa pentingnya pilihan kata. Kuncup yang mekar merunduk pasi (“Merambah Kesah”), Sebelum kokok si jalu retakkan wajah pagi; Tapi kau mampu mengelabuhi Tuhan Illah. (“Sirna”)

Kita kembali menjumpai kontradiksi pada larik Kuncup yang mekar merunduk pasi. Bagaimana kuncup jadi mekar. Secara logika yang dapat mekar adalah putik, bukan kuncup. Mekar pun tak dapat jadi kuncup, melainkan layu. Kuncup adalah antonim mekar. Jadi secara logika, salah satunya tidak dapat disandingkan sebagai keterangan. Meskipun dalam perkembangan bahasa, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, setidaknya belum untuk dua kata itu. Paling tidak, dalam puisi itu, kuncup yang mekar cenderung sebagai kontradiksi. 

Sebelum kokok si jalu retakkan wajah pagi, tentu maksudnya sebelum datang pagi. Personifikasi kokok si jalu, memang membayangkan suasana menjelang pagi yang pecah lantaran kokok ayam. Tetapi personifikasi itu lazim dilakukan para penyair “zadul”. Dalam hal ini, penyair perlu membaca sejarah—puisi-puisi masa lalu, agar terhindar dari bentuk klise yang sudah kedaluwarsa.

Yang lebih problematik terjadi pada larik: Tapi kau mampu mengelabuhi Tuhan Illah. Tuhan Illah, tentu maksudnya ilahi, sebab illah, maknanya lain. Tetapi bagaimana dengan kata mengelabuhi? Jika yang dimaksud mengelabui (sebagai salah ketik), maka engkau lirik lebih hebat dari Tuhan, sebab ia mampu mengelabu(h)i Tuhan. Lain soalnya jika larik itu berbunyi: Tapi kau ingin mengelabu(h)i Tuhan. Sebagai keinginan, apa yang dilakukan engkau lirik, belum tentu berhasil. Apalagi, kita percaya, bahwa Tuhan lebih berkuasa daripada manusia. Maka, tidak mungkin seseorang berhasil mengelabui Tuhan.
Jika yang dimaksud sebagai mengelabuhi Tuhan, maka engkau lirik berlabuh pada Tuhan. Kata mengelabuhi—dari kata labuh—lazimnya melabuh, jadi mengelabuhi, bentuk yang tak lazim, meskipun sebagai licentia poetica, apa pun diizinkan, sejauh tetap dengan mempertimbangkan keberterimaannya dalam bahasa yang bersangkutan.
***

Dari ke-72 puisi yang terhimpun dalam antologi Opera Tujuh Purnama karya Yoevita Soekotjo ini adakah sumbangannya bagi perpuisian Indonesia? Bagaimanapun antologi ini telah ikut memperkaya khazanah perpuisian Indonesia. Jika di sana-sini ada kekurangan dan kelebihan, kita dapat menempatkannya sebagai bagian dari proses menjadi itu. Dalam konteks itu, kita mendapati, bahwa sesungguhnya Yoevita Soekotjo potensial menghasilkan puisi yang sebaik-baiknya puisi. Periksa misalnya, puisi yang berjudul “Gita” berikut ini.

GITA
:Ananda Munira Gita Utami

Gita,
Kau adalah lagu cintaku
Alunkan lagu merdumu bersama syairku
Jangan sampai terdengar sumbang
di setiap titi nadanya

Tanpa kolofon :Ananda Munira Gita Utami, judul puisi itu sendiri sebenarnya sudah puitis: Gita sebagai lagu. Dan puisi itu memang berbicara tentang (lagu) cinta: ibu—anak, kakak-adik, sesama saudara, sahabat, teman atau sesama manusia. Jadi, pengalaman individual aku lirik menjadi pengalaman bersama, bahwa cinta (manusia) mestinya memancar tanpa kebencian yang dikatakannya sebagai terdengar sumbang.

Larik-larik dalam puisi itu, terkesan laksana suara hati yang mengalir begitu saja sebagai pesan individu yang menjelma pesan kemanusiaan. Nadanya tenang yang menjadikan kita (pembaca) nyaman pula menikmatinya. Setiap lariknya disusun dengan kata-kata sederhana, tetapi dari kesederhaan itu pula, kita dapat menangkap kedalaman makna cinta aku lirik pada sosok Gita, pada kemanusiaan.

Kesederhanaan dan kedalaman itu, tampak juga dalam puisi berjudul “Di Balik Tabir”.

DI BALIK TABIR

“Basuhlah wajahmu, Yoe,”
demikian suara itu berbisik kepadaku.

Lalu aku pun seolah masuk
ke pusaran mesin waktu
ke masa lalu.

Puisi itu menegaskan lagi, betapa pengalaman individual aku lirik—Yoe, berhasil menjelma jadi pengalaman bersama. Tidak sulit kita menafsirkan pesan: basuhlah wajahmu … meskipun pemaknaannya bisa: insaflah, bertobatlah, kembalilah ke jalan yang benar atau jumpai Tuhanmu, dan seterusnya. Sesungguhnya, pesan pada Yoe, berlaku bagi sesiapa pun juga, yang penuh dosa atau tidak, yang brengsek atau yang baik, sebab berdialog dengan Tuhan, tidak mesti menunggu dosa luber ke mana-mana. Idealnya, manusia melakukan itu setiap saat. Jadi pengalaman individual Yoe, seketika menjadi pengalaman yang menumbuhkan kesadaran bersama. Lalu, pada saat kita berdialog dengan Tuhan, masa lalu menjadi ukuran atau rujukan, sejauh mana kita selama ini bermesraan dengan Tuhan.

Kembali, puisi yang disusun dengan kata-kata sederhana itu sesungguhnya menyimpan kedalaman makna: tentang dosa, penyesalan, pertobatan, dan harapan. Kesederhaan suara hati itu merupakan potensi yang dapat dikembangkan menjadi energi puisi yang penuh makna. Beberapa puisi lain, seperti “Engkau,” “Rajawali di Dermaga,” “Maestro Malam”—mesti frasa ejakulasi bait, agak mengganggu, dan “Danau Laut Tinggal”—terutama bait pertama, menunjukkan kesederhaan dan kedalaman itu.

Jika kita memperhatikan puisi-puisi yang disebutkan tadi, kekuatan Yoevita Soekotjo justru terletak pada kesederhanaan ekspresinya yang mengalir begitu saja. Semangatnya menghadirkan metafora yang terkesan dipaksakan, sebagaimana terjadi pada puisi “Maestro Malam” justru malah menghadirkan ingar (noise).
Begitulah, Yoevita telah mengajari kita: bagaimana kesederhaan puisi menyimpan kedalaman makna.
***

Jika puisi ditempatkan sebagai suara hati yang terdalam dan tuhan bertakhta di sana, maka ke-72 puisi itu, boleh dikatakan merupakan representasi suara hati penyairnya. Paling tidak, berdasarkan ke-72 puisi itu, kita dapat menyimpulkan, bahwa Yoevita Soekotjo hendak menegaskan kecintaannya pada Tanah Air, penolakannya pada kemunafikan, kemarahannya pada kaum fatalis yang memperalat agama, dan penghormatannya pada Tuhan dengan nama apa pun. Lalu, jika ada pertanyaan: siapakah penyair yang mempunyai banyak Tuhan? Jawabnya: Yoevita!

Semoga begitu kiranya …

-Sumber: Arsip Pribadi Riri Satria dari Makalah Acara Bedah Buku Opera Tujuh Purnama karya Yoevita Soekotjo, PDS HB Jassin, Jakarta, 10 Februari 2020.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »