Ijtihad Keseriusan dalam Proses Kreatif - Matroni Muserang

@kontributor 4/02/2023

Ijtihad Keseriusan dalam Proses Kreatif

MatroniMuserang

 


Konsep keseriusan menjadi penting di tengah-tengah keramaian “main-main” di dunia maya dan dunia nyata. Betapa banyak kita menemukan konten-konten yang main-main tetapi viral. Betapa gampangnya kekinian memviralkan hal-hal yang main-main tersebut sehingga menjadi seolah-olah serius. Fenomena semacam itu marak, sebab kita sudah mulai meninggalkan laku proses kreatif dalam banyak hal. Adanya proses kreatif sebelum sesuatu itu muncul menjadi salah satu indikasi keseriusan. Hal tersebut juga terjadi dalam penciptaan karya sastra dewasa ini, baik itu puisi, cerpen, atau novel.

Di tengah fenomena tersebut, kemudian terbit buku Kaidah Puisi dan Akidah Kepenyairan (TareBooks, 2022) yang ditulis oleh Sofyan RH. Zaid, seorang penyair yang berlatar ‘pesantren’ dan filsafat. Buku ini membuat 32 esai yang terbagi ke dalam dua bagian: Akidah Puisi dan Kaidah Kepenyairan. Sofyan memulai buku ini dengan mengutip R.G. Collingwood “kapan seseorang berganti dari pemula ke pakar dalam suatu bidang? Ketika dia tahu akan menjadi pemula di sepanjang hidupnya”.  Kutipan tersebut membuka kesadaran kita pentingnya merasa menjadi seorang pemula di saat kita sudah terbiasa merasa menjadi profesional, sehingga tidak merasa butuh lagi untuk terus belajar.

Buku Kaidah Puisi dan Akidah Kepenyairan hadir dalam rangka menjawab problem proses kreatif itu. Buku ini menghentak saya ketika membaca, bagaimana mungkin buku lahir dari tangan seorang penyair, yang seharusnya lahir dari sarjana-sarjana lulusan sastra Indonesia.  Melalui buku ini, Sofyan seperti tengah melakukan ijtihad, terutama soal keseriusan dalam berproses kreatif.

Ijtihad Sofyan terlihat pada “Tiga Derajat Bahasa dalam Puisi” (halaman 29), di mana dia membuat semacam teori yang tidak pernah saya temukan sebelumnya, bahwa puisi umumnya memiliki tiga derajat bahasa: Pertama Bahasa Umum, yakni bahasa keseharian sebagaimana bahasa yang dipakai penyair untuk menciptakan puisinya, misal bahasa daerah atau bahasa nasional. Kedua Bahasa Puitis, yaitu bahasa yang digunakan penyair dengan sejumlah perangkat puitiknya, seperti majas dan lainnya untuk menuliskan puisinya. Bahasa yang lazim dipakai penyair untuk berkomunikasi secara estetis. Ketiga Bahasa Penyair, ialah bahasa khusus yang diciptakan sendiri oleh penyair untuk puisinya. Bahasa penyair bisa dibilang bahasa yang khas bersumber dari cara ungkap atau gaya ucap penyair yang unik dan berkarakter. Bahasa penyair bagai ‘tanda tangan’, selain berbeda juga menjadi pembeda di antara masing-masing penyair.

Saya kira di momen bahasa penyair inilah inti dari proses kreatif, sebab semua orang bisa menciptakan bahasa puitis dengan perangkat teorinya, tetapi belum tentu mampu menciptakan bahasa penyair. Sebab bahasa penyair dalam puisi memang bahasanya sendiri yang diciptakan sendiri oleh penyair. Hal ini memang tidak mudah, akan tetapi proses kreatif yang tidak abal-abal akan mampu menjawabnya.

Selain itu, pada “Empat Tingkatan Maknawi Puisi” (halaman 32), Sofyan juga membuat empat tingkatan maknawi puisi. Pertama Ekspresif, puisi yang lebih pada gambaran perasaan atau emosi. Puisi ekspresif merupakan puisi yang ditulis berdasarkan perasaan semata. Puisi-puisi melankolis, ratapan, pemujaan, dan hujatan, termasuk dalam tingkat pertama ini. Kedua Reflektif, puisi yang lebih pada perenungan atau pemikiran. Puisi reflektif adalah puisi yang ditulis berdasarkan pikiran semata. Puisi-puisi yang masuk pada tingkat kedua ini adalah puisi yang ‘berat ke tema’, atau puisi yang dijadikan ‘alat’ untuk menyampaikan sesuatu.

Ketiga Filosofis, puisi yang lebih pada kedalaman atau ‘cinta kebijaksanaan’ sebagaimana definisi filsafat secara bahasa. Cinta lahir dari kuatnya perasaan, sedangkan kebijaksanaan lahir dari dalamnya pemikiran. Puisi filosofis, puisi yang ditulis berdasarkan perasaan (ekspresif) dan pikiran (reflektif) secara harmonis.  Dalam puisi filosofis, hadirnya perasaan adalah perasaan sublim, dan adanya pemikiran adalah pemikiran yang murni. Keempat Futuristik, puisi yang lebih pada pandangan masa depan atau visioner. Puisi futuristik adalah puisi yang ditulis berdasarkan pengetahuan, baik pengetahuan ‘fisik’ maupun ‘batin’. Puisi futuristik kadang disebut dengan istilah profetik atau kenabian ketika sumbernya berasal dari ‘pengetahuan batin’. Empat tingkatan tersebut merupakan rangkaian dari proses kreatif kepenyairan dalam menciptakan puisi. Dalam hal ini menulis puisi bukanlah kerja “main-main”.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh filsuf Muhammad Iqbal bahwa penyair adalah manusia pencipta bukan peniru, adalah manusia pemburu bukan mangsa. Puisi yang dihasilkan penyair harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan memburu ‘apa yang belum ada’, bukan sekadar menggambarkan ‘apa yang ada’ tanpa sentuhan apa-apa. Puisi yang ditulis penyair harus mampu hidup di tengah masyarakat dan setidaknya sanggup menjadi alasan kegembiraan, semangat hidup, inspirasi bagi kemanusiaan, atau sesuatu yang baru untuk kehidupan.

Itulah dua contoh ijtihad Sofyan melalui buku ini di antara ijtihad lainnya. Sebagaimana prinsip ijtihad, hasilnya bisa salah, bisa benar. Namun Sofyan telah menunjukkan pada kita keseriusan berproses kreatif dalam berkarya puisi dan bersikap sebagai penyair. Sebagai pembaca, kita berhak menilai, menolak atau menerima, terutama setelah membaca buku ini.

Sumenep, 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »