Jejak Kejadian di Pasar Bubrah - Sapta Arif

@kontributor 4/09/2023
Jejak Kejadian di Pasar Bubrah
Sapta Arif

 


(1)

Hidup seperti apa yang kau inginkan Sardiman? Pertanyaan itu pernah meluncur mulus dari mulut Dewanti. Namun, dalam lorong ingatannya, Dewanti tidak pernah menemukan jawaban. Kini mereka terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Sardiman telah menikah dan mungkin saja telah hidup bahagia. Keadaan yang berbanding terbalik dengan Dewanti.

Satu sore, lima tahun silam Sardiman mendapat kabar dari Sarwono, kalau Dewanti bunting. Tak ada yang tahu, siapa bapak dari anak dalam kandungannya. Sebagai pemain lama, Dewanti seharusnya bisa berjaga.

Perempuan tetaplah perempuan, begitu kata Sarwono. Bagaimanapun, mereka memiliki sifat alami yang terpendam dalam dirinya yang purba: menjadi ibu, beranak, mengurus suami, hingga pekerjaan rumah tangga. Meski hal-hal semacam itu ditolak mentah-mentah oleh Dewanti remaja. Apakah itu dalih yang ia buat untuk mengembara? Mencari duit? Tentu saja tidak. Sebagai anak kades yang pernah menjabat dua kali, Dewanti terlihat tidak akan kehabisan uang. Tapi tak ada yang tahu roda nasib Won, ucap Sardiman di telepon. Sarwono tidak habis pikir, Dewanti si bunga desa bertualang melayani laki-laki dari kota.

Sejak percakapan telepon dengan Sarwono, Sardiman berusaha keras mencari kabar Dewanti. Upaya ini menggiringnya kembali ke masa lalu. Pulang ke desa, bertemu teman-teman lama, sekaligus menemui cinta pertamanya.

(2)

“Dalam teori tipologi kepribadian Spranger ada enam tipe kepribadian manusia. Kurasa kau adalah manusia estetis.” ucap Nani pada kekasihnya. Mereka berada di kafe Arjes. Secangkir kopi tubruk beradu dengan Caffe Latte. Setumpuk urusan perkuliahan, bertarung dengan bara keinginan yang membuncah.

“Kalau kamu?”

“Oh, tentu si rasionalis. Segala sesuatu harus terukur pakai ini,” Nani menunjuk pelipis dengan jari telunjuk. “………dan ini.” ia memperlihatkan kalkulator di layar ponsel. Lekas angka-angka berlarian dari ponsel menyeruduk mata si lelaki. Mengawini Nani bukanlah hal mudah. Apalagi bapaknya dikenal berwatak sekeras batu.

Si lelaki mengambil ponsel Nani perlahan. Kemudian menutupnya di meja. “Tidak harus semua hal harus diukur dengan angka apalagi diteorikan.” Nani mengangkat alis, tangan kanannya melepas kaca mata. Si lelaki paham betul, ada perubahan dalam kelopak mata Nani. Ia nekat menggenggam tangan Nani.

“Apakah cinta juga butuh kalkulasi? Apa butuh teori para ahli? Bukankah perasaan ini anugerah Tuhan yang tidak bisa diukur apalagi diteorikan.”

Sejak saat itu, mereka kerap bersama layaknya sepasang kekasih. Meski tak ada kesepakatan di antara mereka, perasaan itu mengalir bak aliran sungai. Makin lama, aliran itu semakin deras. Hingga hujan perasaan cinta mereka pun buncah di kamar kos lantai tiga. Nani hamil. Bapaknya meradang. Mereka lekas dikawinkan.

(3)

“Aku menyesal dan berutang maaf pada Mba Nani, Mas. Mulai hari ini, aku tidak mungkin menemuimu lagi. Cukup, jangan hubungi aku lagi Mas.” sambungan telepon terputus. Sardiman mematung menatap kalender dengan angka-angka berwarna hitam. Lambat laun angka-angka itu mengabur, seperti bergerak-gerak, menari-nari dalam kepalanya. Pandang matanya lekas memudar.

Ingatan Sardiman mengembara pada pertemuan di suatu sore. Langit masih berwarna oranye, angin berembus pelan menggoyang batang pohon bambu hingga berbunyi. Dewanti tinggal di desa, bagi Sardiman desa ini bak lorong masa kecil yang gelap. Ia pernah menjadi pecundang sebelum hidup di kota. Meski ia begitu benci ingatan masa kecil apalagi keluarganya, ia tidak bisa serta merta membenci Dewanti. Perempuan ini seperti bandul yang mengikat hatinya ke mana pun ia pergi. Sardiman sudah beristri, tetapi tetap membawa bandul cinta pertamanya.

“Setelah semua yang terjadi, aku ingin menikah, beranak, dan pergi ke luar negeri.” ucap Dewanti.

“Aku bisa menafkahimu dan anak dalam kandunganmu itu.” sanggah Sardiman.

“Tapi kau tidak bisa menawar perasaan istrimu, Mas.…..”

(4)

Lamunan Sardiman buyar saat sebuah mobil sedan Corolla abu-abu keluaran tahun 1994 masuk ke halaman rumah. Seorang perempuan keluar, menenteng dua tas belanjaan. Gegas Sardiman menghampirinya.

“Aku ketemu Ibu di pasar Mas,” Sardiman merebut dua tas belanjaan Nani. Perempuan ini menatap suaminya nyelonong berjalan ke dalam rumah. “Mas!” teriakan Nani tidak membuat Sardiman berhenti.

Beberapa bulan belakangan, Nani merasakan sesuatu yang aneh dalam rumah tangganya. Hubungan ranjang begitu hambar dan seringkali percakapan berujung pertengkaran. Pada suatu malam ia mendapati suaminya terbangun dengan badan yang dipenuhi keringat dingin. Wajahnya pucat pasi. Manakala Nani hendak memeluk, tangannya ditepis dengan halus. Sardiman bangkit dan duduk di depan cermin rias Nani. Sepanjang sepuluh tahun pernikahan mereka, Nani tak pernah melihat wajah Sardiman sekacau ini. Seperti gabungan dari rasa takut, gelisah, dan bingung yang bercampur baur. Nani melihat biji hitam di matanya. Tatapan asing itu lekas menyambar mata Nani.

“Kenapa kau tak kunjung hamil Nani?” suaranya terdengar kering, seperti bunyi yang timbul dari gua di sebuah tempat yang dilanda kemarau panjang.

Dalam tubuh Nani terasa aliran yang deras dan panas menuju ke ubun-ubun kepala. Kurang dari satu detik, kepalanya serasa pening dan berat. Telinganya berdenging. Perutnya tiba-tiba terasa aneh, mual. Nani membalas tatap wajah Sardiman dengan raut yang tak kalah kacau. Wajah seseorang yang seharusnya membahagiakan, kini begitu memuakkan. Nani bangkit dari tempat tidur. Masih memakai gaun tidur yang tipis, ia menyambar jaket dari cantolan baju belakang pintu kamar. Mengambil kunci mobil dan kunci rumah. Lalu, suara sedan tua meraung meninggalkan halaman rumah. Sardiman hanya menonton dari celah korden jendela kamar di lantai dua.

(5)

Satu hal yang tak pernah diperhitungkan oleh Nani soal pernikahan adalah soal momongan. Impian ini sudah ia kubur jauh sebelum mengenal Sardiman. Terlebih, ia terbelit masa lalu yang kelam. Amat kelam.

Seharusnya ia sadar, sebagai perempuan rasionalis perkara cinta bukanlah sesuatu yang mudah. Wajah Nani lembut, tapi tatap matanya tajam. Ketika Sardiman menyelam di kedalaman mata Nani, ia menemukan tekad dan keinginan yang membara. Ada guratan tipis di pipi seperti lesung pipit. Namun, tidak membuat wajahnya terkesan manis. Guratan tipis itu adalah muara cinta pertama Sardiman. Baginya, saat pertama kali bertemu dengan Nani, ia membaca sebuah perjuangan penuh pedih air mata untuk sampai di titik mereka bertemu.

Nani dibesarkan oleh sosok laki-laki berwatak keras. Tohar, bapak Nani, adalah seorang lelaki yang terbuang. Sejak pecah tragedi 65, Kakek Nani ditangkap dan tak pernah kembali. Tohar menikah tujuh tahun kemudian. Laki-laki itu amat keras kepala. Nani lahir saat bapaknya berjuang dalam persidangan ujian skripsi. Sidang berhasil dimenangkan, tetapi laki-laki itu kalah memperjuangkan hidup. Istrinya meninggal saat melahirkan Nani. Bidan enggan menangani kelahiran bayi yang ditengarai sungsang. Dua rumah sakit di pusat kabupaten menolak atas alasan yang tak pernah dijelaskan. Nani lahir di atas mobil pick up.

Siang itu, di pertigaan Pasar Bubrah, orang-orang berkerumun, tapi tak seorang pun berani membantu. Mbok Mirah duduk terkulai di samping perempuan yang telah hilang kesadaran. Di pangkuannya yang bersimpah darah ada bayi kecil menangis. Seorang laki-laki yang masih berpakaian rapi menerobos kerumunan. Di hadapan matanya, ia menyaksikan Lek Diman memaki orang-orang dengan sumpah serapah. Ia mengumpat dan bersumpah pada Tuhan, bapak mereka bukan antek PKI.

Tubuh Tohar lemas seketika. Istrinya terkulai tanpa napas.

(6)

Bukan tanpa sebab, Sardiman amat membenci keluarganya. Terutama bapak, Sarpin. Di desa bapaknya kerap dipanggil mbah Sarpin. Selain dikenal sebagai tentara, Mbah Sarpin juga akrab dengan hal-hal gaib. Konon berkat dua susuk yang dipasang di kedua kaki, Sarpin berhasil menjadi yang tercepat dalam seleksi Akabri. Begitu juga saat berenang, kedua kakinya begitu cepat dan tangkas. Meski tidak memiliki jabatan tinggi, Sarpin tetaplah tentara yang dipandang terhormat di desa. Ia dipercaya menjadi salah satu petugas militer yang turut membersihkan desa-desa dari para antek PKI setelah tragedi 65. Sudah tidak bisa dihitung berapa desa yang ia sambangi. Tak terhitung pula berapa nyawa yang dihilangkannya.

Sarpin tetaplah manusia yang tak luput akan khilaf. Setiap bertugas, Sarpin memiliki kebiasaan mengambil barang yang dianggapnya unik dari rumah yang digrebek. Di kamar Sarpin, terdapat sebuah lemari kaca yang berisi barang-barang tersebut. Baginya, setiap barang memiliki cerita. Setiap barang adalah sarana nostalgia di masa jaya.

Melihat barang-barang antik terpajang di kamar bapaknya, Sardiman selalu merasakan perasaan yang aneh. Tiap kali Sardiman lewat kamar bapaknya, ia seperti mendengar suara tangis yang begitu menyayat. Pernah satu kali Sardiman nekat membuka kamar itu. Sarpin tengah duduk memandang lemari pajangan sambil tersenyum. Kebencian yang asing itu lahir saat kali pertama bapaknya bercerita.

“Ia todongkan golok. Pak Gimin, temen bapak kaget. Bapak langsung tendang tangannya, golok lepas terlempar. Tanpa ampun, bapak tendang lagi si bajingan itu sampai mental! Langsung nabrak tembok, dan pingsan. Dari belakang, Pak Gimin nembak! Dor!”

“Kamu harus jadi orang hebat! Minimal kaya Bapakmu ini.” sambil menepuk dada dan tersenyum bangga. Sarpin tidak menyadari di balik anggukan anaknya tersimpan bara kebencian.

Sifat penyayang ibunya menurun secara indentik pada Sardiman. Sardiman kecil begitu lemah dan cengeng. Dari pada memperkuat otot tubuh, ia kerap menghabiskan waktu di rumah Dewanti. Kakek buyut Dewanti dikenal sebagai juru ketik Belanda. Budaya membaca dan menulis mengakar kuat di keluarga Dewanti. Ada sebuah ruangan khusus berisi banyak buku yang kerap disambangi Sardiman. Bersama Dewanti, mereka berdua seringkali menghabiskan waktu sepulang sekolah hingga adzan maghrib berkumandang.

Saat itu, Bapak Dewanti masih menjabat sebagai kepala desa. Hubungan mereka rumit. Di satu sisi, Sarpin melarang anaknya main ke rumah kepala desa, di sisi lain, berkat Bapak Dewanti-lah anak Sarpin bisa lolos dari olok-olok teman-temannya.

(7)

Setelah sepuluh tahun tak bertemu, Tohar melihat putri semata wayangnya berdiri di ambang pintu. Watak kerasnya luluh seketika. Dengan bibir bergetar, ia memanggil berulang kali nama istrinya. “Oalah, Nani, senduk wis mulih.”

Tidak ada yang bisa melarang Tohar menggunakan nama Nani—istrinya—sebagai nama putri semata wayangnya. Tubuh Nani lemas dalam pelukan bapaknya. Ia berupaya keras melupakan masa kelam di hidupnya.

“Sudah kubilang, semua laki-laki itu brengsek!” tutur Tohar tanpa sedikit pun keraguan. Dengan lembut Tohar menuntun Nani ke kamar. Melakukan hal yang sama, seperti yang pernah Tohar lakukan pada putrinya, dua puluh tahun silam. Sepanjang malam, berhari-hari, hingga Nani remaja dipaksa mengugurkan kandungannya tiga kali.

(8)

“Hidup seperti apa yang kau inginkan Sardiman?” dada Dewanti kembang kempis. Di seberang telepon Sardiman terdiam.

Ada gumpalan sesal di hati Dewanti yang menyumbat napas. Suara isak tersengal. Dadanya amat nyeri. Sudah dua bulan sejak anaknya lahir, ia harus rajin memompa asi yang terbuang sia-sia.

Kini sesal di dadanya kian menggumpal. Ia berada di sebuah kapal penampungan. Nasibnya kian tak pasti, untung benar biro penyaluran tenaga kerja yang ia bayar masih mau memberikan kesempatan nelpon. Meski tak ada makan siang gratis, Dewanti harus menggadai kebebasan demi mendengar suara cinta pertamanya. []

Ponorogo, Januari 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »