Mengaji Imaji, Memanen Puisi - Agus Manaji

@kontributor 4/09/2023
Mengaji Imaji, Memanen Puisi
Membaca Antologi Puisi Panen Beno Siang Pamungkas
Agus Manaji



Sebagai salah seorang eksponen gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman bersama Kusprihyanto Namma juga Triyanto Triwikromo, puisi-puisi Beno Siang Pamungkas telah lama mewarnai perpuisian Indonesia. Saya ingat, ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas, sekitar medio tahun 90-an, pernah membaca puisi Beno di surat kabar seperti Bernas, Republika, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Majalah Ceria, Majalah Anita dan beberapa antologi puisi seperti Serayu. Samar saya ingat larik-larik ringkas kritis penyair menyoroti polusi dan perubahan lingkungan.

            Panen, buku antologi puisi teranyar Beno Siang Pamungkas menghimpun 73 puisi dari rentang perode tahun 1992 hingga tahun 2023. Dari rentang waktu itu ada tahun-tahun kosong puisi, contoh tahun 1995, 1996, 1998, 1999, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2014 – 2017, taka da puisi berangka tahun tersebut. Boleh jadi penyair menulis puisi pada tahun tersebut, tetapi tidak memuatnya dalam buku kali ini. beberapa puisi periode awal mengembalikan memori saya pada puisi Beno Siang Pamungkas yang saya baca puluhan tahun silam. Di halaman identitas buku tertulis, cetakan kedua, Februari 2023. Dan buku ini pun memuat 4 puisi bertarikh 2023. Kita dapat berkesimpulan Penyair Beno masih berpuisi hingga saat ini, tidak kapok, meskipun telah berkali-kali jatuh cinta dan patah hati kepada puisi.1

            Beragam hal mengusik perhatian penyair. Beragam peristiwa menjadi inspirasi penyair untuk menuliskan puisi. Rasanya tidak mungkin membahas semua puisi dalam tulisan ringkas ini. Saya hanya akan mengangkat beberapa puisi yang menarik saya dan memaksa saya mengomentarinya. Gaya berpuisi Beno Siang Pamungkas didominasi ungkapan spontan, larik-larik pendek, sampai taraf tertentu plastis, tajam. Demikian pun, penyair mencoba gaya berpuisi dengan larik-larik bersusun seperti prosa. Lingkungan alam menjadi salah satu sumber inspirasi penyair. Puisi Taman Semak Belukar bertarikh 1992 membuka buku ini:

 

Jangan ganggu aku mencintai semak

Biarlah angin laut membuang telvisi dan berita koran

Aku ingin menjaga sinar matahari, pasir, dan belukar

Luput dari tanggal radar.

(Puisi Taman Semak Belukar)

 

Puisi tampak menunjukkan keberpihakannya kepada alam. Ada kesan penyair menolak pembangunan atau mungkin eksploitasi alam. Biarlah angin laut membuang televisi dan berita koran, seru penyair. Diksi televise, berita koran, juga radar menjadi symbol dari pembangunan ekploitase alam. Bukankah dulu di tahun 90 an televise dan koran menjadi corong untuk mengabarkan keberhasilan dan janji  pembangunan. Keberpihakan penyair pada alam kembali ditunjukkan lewat puisi Surat Dari Ujung Watu, sekali lagi televise menjadi lambang kemajuan palsu: Ujung watu adalah tidur panjang/ Lelap dalam masa lalu/ Tertinggal laju mesin peradaban/ Dan segala yang bernama kemajuan// Namun di sini ada satu keyakinan / Bahwa cinta kami kepada kotak-kotak besi dan kaca/ Tak bisa mengganti rasa gembira/ Mencinta gunung dan ombak/ Serta sawah dan lading.

            Janji dan derap pembangunan yang berdasar kepada pemikiran dan perencanaan ilmiah penuh perhitungan, di mata penyair menjadi janji yang mencurigakan. Alih-alih membaca angka statitik progres pembangunan di pulau Kalimantan, penyair justru menjadi pembawa berita dari padang luka, dimana pohon-pohon dieksekusi hingga taka da lagi sisa. Tanah bengkah. Bumi belah. Borneo menjelma duka belantara. Penyair menyaksikan pohon terakhir telah dimakamkan dan ia masih mendengar derap gemuruh marabahaya mendekat. Lalu kemana manusia? Ternyata nasib Tarzan manusia terpenjara pendingin ruangan dan kotak-kotak kaca. Kita baca berita itu dalam puisi bergaya susun larik prosa berjudul Borneo, puisi bertarikh 1993. Kita masih melihat pandangan sikap ini di tahun 2021 dalam puisi Negeri Abrakadabra: Gunung-gunung dirobohkan/ Tambang-tambang dikeruk/ Laut tak lagi punya ikan/ Deratan penganggur semakin panjang.

            Kecintaan pada alam tampak pula pada puisi Cintailah Burung-burung. Imaji Burung-burung sudah sering digunakan dalam perpuisian kita maupun perpuisian luar. Penyair-penyair sufi macam Jalaluddin Rumi, dan khusus Fariduddin Attar lewat karyanya Matiq At Thair2, menjadikan burung sebagai perlambang jiwa manusia yang mendamba Tuhannya. Cecep Syamsul Hari tergolong penyair yang berulangkali menggunakan diksi burung dalam puisi-puisinya3, dan bahkan pernah menautkan diksi burung dengan Attar secara apik dalam puisi cinta nan liris Kenang-Kenangan. Cecep menggambarkan jiwa pencinta sebagai ‘sayap burung attar yang terbakar’. Penyair Beno Siang Pamungkas mengingatkan kita manusia untuk menyayangi makhluk Tuhan yang bernama ‘burung’. Cintailah burung-burung, seru penyair, sebab lewat burung-burung, Ia (Tuhan) ingatkan (diri) manusia dan karena lewat burung-burung Manusia (dapat) Menemukan (makna) kebebasannya.

            Penyair sesungguhnya manusia eksistensial. Meskipun ia menulis puisi untuk merespon sesuatu hal, penyair akan memberikan respon khasnya. Penyair tampil orisinil sebagai dirinya. Kita baca puisi ringkas Arak dan Sajak berikut :

 

Sepotong sajak menyelinap ke dalam tidurku

Secawan arak memanggil mimpi seorang anak

Ia bertanya tentang cara doa bekerja

Dan apa benar tuhan tak pernah tertawa

 

Puisi ini menarik perhatian saya. Tampak benar keusilan penyair dalam menyampaikan gagasan dan pertanyaannya. Saya mencoba mengurai dan memahami puisi ini. Kata ‘Arak’ dan ‘Sajak” tentu saja memberi efek rima akhir ‘jak’, rima ini diperkuat lagi dengan diksi ‘anak’ pada akhir larik kedua. Dua larik terakhir, yakni larik ke 3 dan 4 juga mempertimbangkan rima. Tapi apakah kekuatan puisi ini hanya dalam soal rima? Tidak! Puisi ini juga menjadi kuat karena melalui puisi ini penyair berani menyampaikan pertanyaan yang cukup subversif. Uniknya (lihai sekali!!??) pertanyaan tersebut dia sampaikan melalui sepotong sajak yang katanya, menyelinap ke dalam tidurku. Tetapi apakah benar Si Aku tidur? Mungkin juga tidak, mungkin Si Aku hanya setengah tak sadar karena meminum arak. Atau dalam tidur itulah Si Aku meminum arak yang memanggil mimpi seorang anak? Meski terdapat ambiguitas, yang memang diciptakan oleh penyair, kita membaca lapis-lapis kesadaran atau ketidaksadaran, untuk sampai pada pertanyaan usil seorang anak dalam mimpi itu : Ia bertanya tentang cara doa bekerja/ Dan apa benar tuhan tak pernah tertawa. Betapa dalam pengaruh kesadaran di bawah pengaruh arak sekalipun, penyair dengan sengaja meminjam mulut seorang anak (yang belum baligh) untuk menanyakan pertanyaan itu!!!

Kenakalan lain diperlihatkan Penyair dalam puisi Pilox. Berseting Gereja Blenduk, Si Aku, layaknya anak muda nakal, menyemprotkan pilox (cat warna semprot) ke kubah gereja. Di tempat sakral dimana Tuhan dipuja, gereja, layaknya muda-mudi berandal membuat grafiti tanda cinta di dinding toilet atau pada batu dan pepohonan di tempat wisata, ia menggambar perasaan jatuh hati pada Tuhan dengan grafiti bertulis:

 

Namaku dan namaMu

Di tengahnya kugambar anak panah dan waru

(puisi Pilox)

 

Tentu saja perilaku iseng melukis graffiti ini mungkin fiktif belaka, tetapi hal ini tetap memperlihatkan keliaran imajinasi penyair yang unik. Perilakunya mungkin dusta, tetapi jujur perasaannya.

Beno Siang Pamungkas tampak sekali rileks dalam soal bentuk.  Dengan sikap ini Penyair menuliskan perenungannya dalam bentuk-bentuk yang berubah-ubah. Meski gaya bahasa penyair tetap tampak. Suatu kali penyair mengambil bentuk puisi bebas atau Puisi bentuk prosa (proisi), lalu kemudian di kesempatan laindan tak ambil peduli dengan bentuk penyek sekali mirip haiku. Jika haiku menampilkan lanskap alam yang menyentuh perasaan, maka puisi Beno Siang Pamungkas lebih kea rah kilatan pikiran, perasaan atau kesimpulan. Dalam soal ini, karena keringkasannya tampaknya kita harus membangun makna referensial4 dengan berinteraksi dengan narasi dan teks di luar puisi tersebut. Jika hanya menilik tekstual saja, rasanya pembaca akan kesulitan memahami puisi macam ini, atau mungkin si pembaca justru akan menilai puisi tersebut jelek atau gagal.

Puisi Al Hikam termasuk ke dalam jenis puisi terakhir. Kita baca utuh puisi ini:

 

Haruskah kukata

Bila di jeda detak jantung pun

Kau ada

 

Kata Al Hikam berasal dari bahasa arab bermakna kebijaksanaan. Tuhan sendiri Mahabijaksana, Al Hakim. Al Hikam juga merupakan judul kitab kuning karya ulama sufi masyhur Ibnu Ataillah As Sakandari, seorang sufi tarekat Sadziliyyah5. Kitab ini berisi ujaran-ujaran, aforisma-aforisma indah sarat makrifat ilahiah. Tidak mudah untuk memahami kitab ini. Ibnu Athaillah melalui Al Hikam tiada henti menegaskan kehadiran hamba dan mengingatkan pentingnya ibadah, khususnya dzikir. Mungkin karena itulah di Indonesia, dalam masyarakat kultur pesantren kitab ini tergolong kitab khusus. Salah satu gaya yang sering dipakai Ibnu Athaillah dalam Al Hikam adalah majaz pertentangan untuk menerangkan posisi ambivalen hamba di hadapan Tuhan. Kiranya ini juga yang digunakan Penyair dalam sajak ini. Lewat perspektif detak jantung (dalam biologi: detak jantung berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh) penyair menyatakan perasaan karibnya dengan Tuhan. Kedekatan yang menimbulkan salah tingkah, masih menyisa ruang, jarak antara Tuhan dan hamba, sehingga Penyair mengungkapkan perasaannya justru dengan pertanyaan retorik. Mungkin kesadaran atau perasaan ini muncul dari penghayatan penyair atas hidup, tapi boleh jadi karena interaksi Penyair dengan kitab Al Hikam, baik mendaras secara soliter maupun ngaji ke seorang kiai.

            Saya berteman dengan penyair Beno Siang Pamungkas di media social facebook. Tapi saya nyaris tidak mengenalnya secara fisik. Siapakah dia? Nama Beno Siang Pamungkas sendiri terdengar puitik di telinga saya. Puisi Pohon Keluarga mungkin membantu kita mengetahui sedikit banyak tentang siapa dia. Dalam puisi tersebut kita bias simpulkan bahwa beliau beretnis tionghoa, etnis yang di negeri ini kerap dipandang dengan curiga oleh pribumi maupun pemerintah. Penyair berseru, di tanah yang sulit menerima kami tumbuh seperti pohon lainnya. Puisi Pohon Keluarga, dengan gaya ungkap prosaic, mengisahkan pohon keluarga yang kian rimbun dan tua, namun tak berbuah, yang ranting dan cabangnya berserakan. Berlatar pertemuan keluarga bermarga Tjan sehabis lebaran di lereng gunung Lawu, keluarga besar yang masing-masing anggotanya dalam keseharian telah terpisah terpencar oleh jarak dan kesibukan sehingga menjadi alpa dengan wajah daun, berusaha membaca kembali sejarah keluarga mereka. Berusaha merekatkan anggota dan memaknai rasa kekeluargaan. Di tengah kesulitan dan problema hidup dari dalam, juga tantangan rintangan dari luar, anggota keluarga tetap Penyair menulis dengan ngungun haru:

 

Ada yang terbata-bata, kadang berurai airmata, sesekali dengan gelak tawa. Ranting dan cabang yang berserakan itu saling mengaku. Masing-masing menyimpan rasa bersalah. Juga cinta yang tegang dan tak terpahami. Kami menjadi alpa dengan warna daun. Dari sejarah yang berawal dari marga Tjan. Kami menyusun bentangan kawat. Telegram. Dan foto-foto lama. Kabel-kabel bersilang, menjulur ke balik bukit. kami bertanding melawan gerusan jam. Melangkah, menyebar biji dan serbuk sari, sebelum mentari padam. Di tanah yang sulit menerima kami tumbuh seperti pohon lainnya.

(puisi Pohon Keluarga)

           

Di cover belakang buku Panen, Achiar M Permana, berpendapat jika ia lebih menyukai puisi-puisi Beno Siang Pamungkas pada awal-awal periode kepenyairan, decade 1980 – 1990-an. Menurutnya, puisi-puisi pada periode tersebut lebih spontan, lebih jujur. Sedang puisi-puisi yang belakangan terasa ada hasrat untuk “ndakik-ndakik” (lebih rumit atau filosofis). Saya tidak sepenuhnya sependapat dengan pendapat ini, terutama pendapatnya terakhir. Factor usia, tingkat kematangan, perubahan gaya hidup, memang tampak berpengaruh pada puisi Beno Siang Pamungkas belakangan. Spontanitas dan kejujurannya terlihat lewat wajah yang lain. Puisi-puisinya yang tampak rumit, filosofis, atau religius, diimbuh sedikit kenakalan menarik untuk dibaca.

Puisi-puisi Beno Siang Pamungkas belakangan, menurut saya, masih menunjukkan pesona. Untuk seorang penyair yang telah jatuh hati dan patah hati berkali-kali pada puisi, Beno Siang Pamungkas telah menerima ikhlas puisi secara apa adanya. Imaji-imaji Penyair, dari yang lugas sampai yang liar dan nakal, bahkan kadang tampak sungsang, mampu merangsang perasaan dan pemaknaan pembaca. Selain itu, melalui puisi-puisinya, Penyair membuktikan kepekaannya terhadap perubahan kesadaran dirinya dan realitas kehidupan sekitarnya. Tak segan-segan pula Penyair menyatakan keberpihakannya.

                                                                                               

Muntilan-Jogja, 8 Maret 2023


______________ 

Note:

1 : Panen, Buku Kumpulan Puisi Beno Siang Pamungkas, penerbit Cipta Prima Nusantara 2023, di halaman Tentang penulis buku, halaman 88.

2: Mantiq At Thair, Musyawarah burung sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penyair Hartoyo Andangjaya, penerbit Pustaka Jaya. Penerjemahan dalam versi bahasa yang berbeda dilakukan oleh Asep Subhan, Penerbit Pojok Cerpen. Seyyed Hosein Nasr meluangkan untuk menuis 1 bab tersendiri untuk membahas karya Attar ini dalam buku Spiritualitas dan Seni Islam, Terbitan Mizan, cet pertama tahun 1993.

3: ini dapat kit abaca dalam buku antologi puisi Efrosina, Cecep Syamsul Hari, penerbit Orfeus Books, tahun 2002.

4: Ignas Kleden pernah menyinggung soal ini dalam Sastra Indonesia dalam 6 Pertanyaan, penerbit Grafiti. Hal 8.

5: terjemahan kitab Alhikm dan syarahnya banyak sekali beredar di Indonesia. Termasuk KH. Sholeh Darat pernah mensyarah kitab ini dalam bahasa jawa. Di antara versi yang popular saat ini adalah Kitab Al Hikam yang diberi syarah oleh Syekh Fadlalla Haeri, seorang ulama amerika. Tafsir/syarah terasa lebih pas bagi orang modern.

 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »