Menekuri Proses Kreatif Sastra Pesantren dalam Puisi Penyair Santri - Muhammad Ghufron

@kontributor 4/30/2023

Menekuri Proses Kreatif Sastra Pesantren dalam Puisi Penyair Santri

Muhammad Ghufron

 


“Ajarkanlah putra-putrimu sastra, agar jiwa-jiwa mereka hidup”. Demikianlah al-Faruq (pembeda) Khalifah Umar bin Khattab suatu kali berujar. Kehadiran sastra adalah semburat yang ampuh menerangi segala persoalan hidup yang hampir kehilangan maknanya. Sastra adalah entitas yang sublim. Karena itulah, seperti ucapan Martin Heidegger, …dan tugas seorang sastrawan yang sangat relevan dan fungsional ialah mengembalikan makna hidup pada kemanusiaan.

Barangkali, alasan macam inilah yang menjadikan sastra tetap hidup dalam sebuah institusi keagamaan tertua di nusantara, yakni pesantren. Dalam beberapa titimangsa terakhir, sastra tumbuh tidak hanya menjadi sebuah pengajaran dalam kurikulum madrasah di pesantren, melebihi itu ia telah menjadi bagian dari horizon yang menyelimuti laku keseharian para santri.

Pada puisi “Penyair Santri”, yang terpublikasi pada halaman puisi sastramedia.com (1/15/2023), Khairuzzaman NT dengan cukup sublim menautkan pergumulan santri dengan sastra, khususnya di Pondok Pesantren Annuqayah, di mana puisi tersebut lahir.

 

Penyair Santri

 

Abdul dan ahmad

Rajin menulis puisi

Di sela ngajinya yang padat

Anak-anak puisi semakin meloncat

 

Keduanya sama-sama percaya

Puisi akan membuatnya abadi

Setidaknya dalam puisinya sendiri

 

Aku ingin mengabdikan diri

Kata abdul

Setidaknya pada puisi

 

Ahmad mengamininya

Meski puisi baginya

Hanya ruang kecil

Untuk menutup kebosanan

 

Ia tetap mengerjakan tugas dengan sungguh

Menyetorkan hafalan tanpa gemuruh

Sambil lalu menyapu halaman pondok

Di sudut hatinya, agar tak ada tembok

 

Annuqayah, 2022

 

Inklusivitas Pesantren dan Ruang Kreativitas yang Membebaskan

 

Dalam dinamika wacana sastra pesantren, Annuqayah mendapat julukan sebagai “pondok sastra” (Horison/ Juli/ 2022). Di sanalah sastra diajarkan secara intensif. Komunitas-komunitas sastra, kelompok teatrikalisasi puisi, perpustakaan, dan media terus digalakkan. Majalah Esensi, edisi No.3, Tahun 2014, pernah memuat deskripsi bagaimana proses kreatif para santri Annuqayah yang setidaknya dipengaruhi oleh lima hal: melubernya buku kumpulan puisi, munculnya jurnal dan tabloid yang dibiayai oleh komunitas sastra, maraknya kegiatan diskusi sastra, munculnya komunitas dan sanggar, serta faktor lomba. Inklusivitas macam ini turut andil dalam menciptakan ruang kreativitas yang membebaskan bagi para santri.

Inklusivitas pesantren Annuqayah telah menjadi rahim bagi lahirnya penyair santri dalam kurun beberapa waktu terakhir. Tersebutlah nama-nama penyair seperti M. Faizi, Raedu Basha, A’yat Khalili, Muhammad Ali Fakih, Zainul Muttaqin, Sofyan RH Zaid, Bernando J. Sujibto, Sengat Ibrahim, merupakan jebolan dari pesantren ini. Para penyair santri muda terus tumbuh bermunculan dengan karakter kepenyairannya yang khas, yakni menautkan dimensi nilai-nilai etis dan estetis.

Di satu sisi, Pengajaran gramatika bahasa di pesantren serupa Nahwu-Sharaf, sastra Arab, retorika (Balagah), ilmu tentang aturan main sastra Arab klasik (‘arudh), menjadi bekal prinsipiel bagi para santri memahami ajaran Islam seperti Al Quran, Hadits, Fiqh, Tasawuf. Melalui bekal tersebut, paradigma keilmuan para santri kian inklusif, termasuk dalam menggumuli teks-teks sastra. Di sisi lain, Zammiel El-Muttaqien dalam Akar Tradisi Sastra Pesantren di Kompas Jatim (2005), menyebut bahwa salah satu ciri khas keilmuan di pesantren kalau tidak menggunakan medium puisi, biasanya disampaikan dengan cara puitis.

“Penyair Santri” seolah mendedahkan mata kita sejenak menekuri proses kreatif sastra di pesantren. // Abdul dan ahmad/ rajin menulis puisi/di sela ngajinya yang padat/ anak-anak puisi semakin meloncat//. Iklim pesantren yang mengekang, tak membuat suatu pengalaman momen puitik tertanggal begitu saja. Ia mesti terabadikan. “...//Keduanya sama-sama percaya/ puisi akan membuatnya abadi/ setidaknya dalam puisinya sendiri//. Keyakinan untuk ‘abadi’, membuat puisi tak akan pernah lekang di ingatan para santri, senantiasa digumuli secara arif dalam suatu proses kreatif yang terus eksis.

 Tanpa berpretensi melebih-lebihkan, ada semacam keyakinan bahwa selain mengabadi, puisi menjadi salah satu ruang paling subtil mendekatkan diri pada yang liyan, suatu ikhtiar untuk menghubungkan yang imanen dengan yang transenden. “... //aku ingin mengabdikan diri/ kata abdul// setidaknya pada puisi // ”. Mengabdi pada puisi pada akhirnya juga menjadi sebentuk cara bagi seorang santri mengabdi pada Tuhan .“Inilah cara bagi saya untuk mengabdi pada Tuhan dan tanah air”, ujar penulis Amerika cum intelektual publik, Paul Goodman tentang puisi.

Meski ‘mengabdi pada puisi’, kewajiban untuk mengabdi pada pesantren juga menjadi identitas mereka. “...// Ia tetap mengerjakan tugas dengan sungguh/ Menyetorkan hafalan tanpa gemuruh/ Sambil lalu menyapu halaman pondok/ Di sudut hatinya, agar tak ada tembok//”. Penggalan ini menyiratkan bahwa dalam tradisi pesantren menaati peraturan dan mengerjakan kebaikan lainnya seperti ‘menyapu halaman’ dianggap menjadi sebentuk ikhtiar menggapai dimensi barokah (bertambahnya kebaikan), sebaliknya bertindak makar justru akan menghalangi mereka menggapai dimensi itu.

Konvergensi antara nilai etis dan estetis pada puisi di atas merupakan perwujudan sublim dari kehidupan pesantren. Reflektif dengan penuh kebersahajaan naratif yang padu berhasil mendedah khalayak sastra tentang sebuah dendang jiwa seorang santri. Pembaca diajak berkelana menekuri proses kreatif santri dengan dunia sastra di pesantren dengan segala keunikan dan keajekannya.

 Bukan tidak mungkin, dalam beberapa waktu ke depan, sastrawan dengan latar belakang pendidikan pesantren akan terus bermunculan. Kita mengharapkan kemunculan tersebut sebagai penanda bahwa karya sastra masih dan akan terus eksis di pesantren. Sebab, eksistensi sastra di pesantren tidak lagi dipandang sebagai entitas yang dangkal, melebihi itu meminjam terminologi Raedu Basha dalam Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren, telah menjadi satu-satunya pengejawantahan relung jiwa manusia sastrawan santri dalam suatu “art”.

 Dengan demikian, sublimasi muatan makna dalam karya-karya mereka diharapkan menjadi semacam oase yang menyejukkan di tengah gelimang hidup yang kian banal, paradoks, dan manipulatif. Dengan kata lain, karya-karya sastra mereka tampil sebagai sebuah strategi dakwah termutakhir yang terus berjalin-kelindan dengan nilai kemanusiaan. Aguk Irawan MN dalam sebuah Muktamar Sastra di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo pada 18-20 Desember 2018 menyampaikan bahwa pesantren dan karakter sastranya adalah salah satu unsur budaya yang punya strategi efektif untuk membentengi masyarakat dari pelbagai hal negatif; termasuk terjerumusnya masyarakat ke dalam budaya massa dan radikalisme. Semoga.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »