Seorang Tabib yang Datang dari Negeri Jauh - Arif Purnama Putra

@kontributor 6/11/2023

Seorang Tabib yang Datang dari Negeri Jauh

Arif Purnama Putra 



“Bagi siapa yang bisa mematahkah jari kelingkingku ini, silakan maju!” sambil mengacungkan jari, Buya Gaek begitu marah di tengah masyarakat yang ramai di balai desa.

...

            Buya Gaek tinggal di Singkulan, desa yang jauh dari pusat kecamatan di daerah kami kerap disebut sebagai rumah persembunyian orang-orang celaka yang gagal di rantau. Tentu pantas juga bila cerita itu berkembang di luar kabupaten kami, karena tidak dipungkiri pula daerah ini sering dijadikan tempat pemutus kaji oleh mereka yang menuntut ilmu, terlebih ilmu kebal dan sejenisnya. Singkulan adalah satu-satunya desa yang paling masyhur dalam persoalan itu, ditambah pula di desa ini dua sisi gelap dan terang nyaris sama-sama tersohor; Buya Gaek dan Lin Tomo.

            Lin Tomo terkenal dengan sebutan tabib cino itu datang dari negeri jauh, begitu barangkali cerita orang-orang mengenal Lin Tomo. Dia tidak sipit ataupun datang dari cina sana, atau keturunan cina yang mewarisi ilmu tabib secara turun-temurun. Dulu, Singkulan masuk ke dalam kabupaten Kerinci, setelah pemekaran akibat pecahnya perang saudara lantaran permainan politik antek-antek Belanda yang masih bercokol di daerah pesisiran ini. Nyatanya sepeninggal kebangkrutan tambang emas Belanda di daerah Salido Painan, mereka akhirnya berpindah ke Muaro Padang dengan dalih diusir, padahal mereka sudahlah mengalami kebangkrutan yang tak tertolong lagi. Mau mengadu ke pihak kerajaan, tidaklah mungkin. Akhirnya mereka membuat sandiwara, yang dikenal dengan sandiwara Batangkapeh. Dimana semua pembesar-pembesar seantero Bandar Sepuluh dikumpulkan untuk melengserkan kekuasaan yang saat itu dipegang kendali Kerajaan Inderapura dibawah naungan Kesultanan Aceh.

            Lin Tomo adalah nama pemberian dari seorang Datuk yang suatu waktu anaknya disembuhkan oleh Lin Tomo. Karena ia sudah berjanji akan memberikan gelar kepada siapa yang bisa mengobati anaknya, akhirnya Lin Tomo mendapatkan gelar itu sebagai tabib yang ahli dalam pengobatan tradisional, sehingga Lin Tomo disemat kepadanya. Tentu beralasan mengapa nama tersebut yang dipilih, pasalnya pada zaman raja-raja dulu, pernah seorang cino daratan datang dalam sayembara yang dibuat raja Inderapura. Sayembara itu guna meminimalisir penyebaran wabah campak, semacam penyakit kulit yang menimbulkan bintik-bintik di kulit. Wabah yang penyebarannya sangat cepat, nyaris setengah dari masyarakat pada masa itu terjangkit. Lin Tomo yang datang dari Cina daratan itu ikut menyumbang keahliannya sebagai tabib. Sampai-sampai ia diberi tanah oleh raja dan diperistrikan pula.

            Kisah itulah yang beredar ke segala penjuru, sehingga Lin Tomo begitu masyhur dalam pengobatan tradisional. Sedangkan Buya Gaek hanyalah seorang petani yang kalau sedang masa paceklik beralih profesi sebagai pandai besi. Selain itu, ia juga kerap diundang ke acara-acara syukuran, sesekali mengisi khotbah jumat. Di Singkulan, segala memang nampang beradu-adu antara spiritual; buya dan dukun. Buya Gaek juga dikenal sebagai anak dari guru mengaji di Singkulan, namun Buya Gaek tidaklah membuka pengajian di rumahnya sebagaimana dulu ayahnya, tidak pula aktif ceramah masjid ke masjid. Itu yang membuat ia tidak pernah mendapatkan pengakuan secara langsung dari masyarakat, karena belum pernah membuktikan ilmunya secara nyata di hadapan orang banyak. Ia hanya berusaha mendoakan saja bila orang-orang meminta kesembuhan kepadanya. Berbeda jauh dengan Lin Tomo dan kawan lain yang seprofesinya. Mereka kalau sudah malam jumat, pasti melakukan ritus-ritus yang dihadiri orang banyak, katanya menyambut arwah leluhur yang menjelma ke dalam tubuh.

            Sebagian masyarakat juga memercayai bahwa Lin Tomo adalah dukun keturunan. Di Singkulan, orang-orang masih memercayai betul hal-hal seperti itu, karomah dukun turunan melebihi doa dari orang siak seperti Buya Gaek. Tetapi hari itu bukan lagi tentang dua sisi tersebut. Di siang yang nyalang, saat para petani istirahat sehabis panen padi. Tiba-tiba seorang anak menghampiri Buya Gaek, mengabarkan bahwa ia diundang Lin Tomo untuk mendoa syukur atas rumah barunya yang sudah selesai dibangun. Tentu saja Buya Gaek mengiyakan itu, toh, selama ini Lin Tomo tidak pernah ada masalah dengan Buya Gaek. Buya Gaek pun demikian, ia tidak pernah mempermasalahkan urusan orang-orang di kampung yang tiba-tiba sudah menjadi dukun saja, sudah bisa saja mengobati berbagai macam penyakit.

***

            Malam itu Buya Gaek mendatangi rumah Lin Tomo, semuanya tampak khidmat dan suka cita. Anak-anak riang bermain sambil menggenggam cemilan yang disediakan oleh tuan rumah. Buya Gaek duduk sendiri. Tak lama berselang Blawar menghampirinya dan bertanya apa alasan Buya Gaek mau datang ke rumah Lin Tomo. Buya Gaek menjawab sependeknya, bagaimana pula menolak orang yang sedang bersyukur atas capaiannya. Kemudian duduk pula di sampingnya Mawas.

“Gimana, Gaek, seduduk pula kita malam ini, ya.”

“Eh, namanya juga sekampung, mana bisa tak bersua.” Jawab Buya Gaek sambil menggulung tembakaunya.

“Ilmu Buya Gaek jauh di atas Lin Tomo, Was. Jangan pandang sebelah mata.” Tambah Blawar.

Waik, jadi beliau yang santing itu?” tanya Mawas serius.

“Kan Mawas itulah, gajah di pelupuk mata tak nampak.” Sambil memalingkan wajah, Blawar tertawa.

“Awak ini siapalah, cuma petani yang sehari-hari sibuk memikirkan makan buat besok.” Jawab Buya Gaek dan beranjak dari tempat duduknya menuju ke dalam rumah.

            Setelah acara berlangsung khidmat, tak ada bahasan selain tentang proses pembangunan rumah Lin Tomo. Rumah yang dikerjakan kebut itu cukup besar dengan kamar pasien tiga ruang, kamar tamu yang besar dua. Sedangkan kamar Lin Tomo dan keluarga agak ke belakang. Pria yang sudah tidak muda itu memang tak begitu akrab dengan Buya Gaek, malam itu mereka juga tidak duduk berdekatan ataupun mengobrol hangat sebagaimana tuan rumah dan tamu. Tetapi Lin Tomo tidak pula menyindir-nyindir obrolan lain, meski umumnya yang datang malam itu adalah kawan-kawan seprofesinya yang sangat bertentangan dengan Buya Gaek. Bagaimana tidak, Buya Gaek adalah satu-satunya orang di Singkulan yang menolak zakat dari orang yang berprofesi sebagai dukun. Di Singkulan, zakat diberikan langsung oleh mereka yang berzakat kepada penerima. Buya Gaek sejak lama sudah menolak itu, ia pun tidak memberikan alasan mengapa menolak. Nyaris setiap tahun mereka berusaha mengantarkan zakat ke rumah Buya Gaek, namun ia tetap menolak. Pernah suatu hari zakat itu diterima anak sulungnya tanpa sepengetahuannya, Buya Gaek marah besar sampai-sampai ia memberi sang anak dua pilihan; kembalikan zakat atau minggat. Jelas sang anak tak berkutik.

            Itulah mengapa banyak dari mereka yang berseberangan dengan Buya Gaek. Banyak dari mereka yang hadir mempertanyakan mengapa Buya Gaek pula yang jadi pendoa di rumah Lin Tomo. Tapi bagaimana lagi, Lin Tomo punya nama besar, mana pula berani dukun Singkulan menentangnya. Satu-satunya yang berani menolak Lin Tomo hanyalah Buya Gaek. Tapi pada hari-hari baik, Buya Gaek tak pernah menolak kalau diajak. Misalnya seperti acara malam itu, atau gotong royong yang acap diarahkan Lin Tomo.

            Setelah semua tamu pulang, Buya Gaek yang datang karena dijemput anak Lin Tomo agak kemalaman pulang. Sebelum pulang, Lin Tomo mengajak Buya Gaek duduk berdua di halaman depan. Lin Tomo mengajak Buya Gaek bekerja dengannya sebagai pendoa. Jadi setelah pengobatan dilakukan Lin Tomo, Buya Gaek mendoakan pasien-pasien itu.

“kau sudah tau jawaban dariku, Lin. Saya rasa ini percakapan yang tidak perlu kita lanjutkan. Sebaiknya panggil anakmu dan antarkan saya pulang.”

“Jangan sentimen begitu, Buya, maksudku bukan mengajakmu menjadi tabib atau dukun. Tapi setidaknya rumah ini juga melantunkan doa-doa ayat suci, bukan semata mantra-mantra saja.”

“Bukankah dalam mantramu juga menyebut nama Tuhan dan nabi?” tanya Buya Gaek tenang.

Aih... jangan bawa ke sana, Gaek. Itu lain cerita.” Lin Tomo menaikan nada suaranya.

“Sudahlah, panggil anakmu, sudah larut ini, besok mau ke sawah soalnya.”

***

            Tidak banyak yang mengetahui percakapan Lin Tomo dan Buya Gaek malam itu, apa lagi soal tawaran Lin Tomo kepada Buya Gaek. Setelah malam itu, semua nampak janggal dan canggung. Buya Gaek yang biasanya kerap dibawa orang kampung bekerja ke sawah tidak lagi dapat bagian. Prosesi mendoa di acara-acara pun tidak lagi menggunakan jasa Buya Gaek. Ia mulai bingung, namun tidak berusaha mencari tau apa sebenarnya yang sedang terjadi. Buya Gaek tau betul masyarakat Singkulan disamping percaya terhadap mistik dan mitos amat tinggi, tetapi juga masih memegang teguh warisan para guru terdahulu bahwa Tuhan adalah gaib dan segala doa juga dapat terkabul.

            Hampir setahun setelah malam di rumah Lin Tomo, Buya Gaek memang kosong mengisi acara-acara mendoa, apa lagi diajak bekerja ke sawah masyarakat Singkulan. Begitu juga dengan mengisi khotbah jumat. Ia terpaksa menghabiskan waktunya sebagai pandai besi dan menjual hasil kerjanya ke pasar-pasar di luar Singkulan. Memang melelahkan, tetapi anak sulungnya cukup tau diri dan ikut bersama sang ayah. Jadi tidak ada pilihan lagi baginya berleha-leha, kalau tak kerja akan susah makan. Buya Gaek sudah memberitahu sang anak bahwa mereka tidak mempunyai keluarga yang banyak di Singkulan, desa yang nyaris berada di hulu itu memang membuat Buya Gaek jauh dari kerabatnya. Namun ia percaya, bahwa mendiang ayahnya memaksa untuk bermukim di sana beralasan. Itu sebabnya sang ayah mencarikan jodoh di desa Singkulan. Sebab, setelah sering sakit-sakitan, mendiang ayahnya terpaksa dibawah pulang ke kampung untuk dirawat. Alih-alih jadi tongkat estafet, Buya Gaek harus kalah dengan keadaan.

            Tiba-tiba suatu petang menjelang magrib, anak Lin Tomo datang ke rumah Buya Gaek. Ia kabarkan bahwa sang ayah sudah empat bulan sakit. Kata anaknya, sang ayah memang mempunyai riwayat penyakit perut, namun sebulan ini perutnya tidak sakit. Tapi beliau tetap merasakan sakit di tubuhnya. Tapi tidak tau bagian mana. Tidak makan nasi selama dua minggu, hanya minum air putih saja. Buya Gaek tidaklah terkejut, ia menyuruh anak Lin Tomo mencarikan daun bunga raya dan tujuh helai daun sitawar dan sidingin, kemudian baca alfatihah dan dua kalimat syahadat. Anak Lin Tomo tertegun, lalu beranjak pulang dengan murung.

            Buya Gaek menyimpan risau dengan keadaan Lin Tomo. Pria yang juga merupakan sumando dari Buya Gaek itu rupanya sedang sakit parah, pantas saja beberapa bulan belakangan tidak terlihat di balai desa. Biasanya sekali sebulan ia akan berada di balai desa untuk memberikan arahan kepada masyarakat untuk gotong royong atau agenda lainnya. Menurut cerita anak Lin Tomo, setelah dari balai desa empat bulan lalu, sang ayah diajak Blawar mengobati, yang katanya salah satu kerabatnya karena Blawar tidak sanggup mengobati pasien tersebut. Sudahlah dicoba berbagai macam obat, tapi tetap tak mempan. Pasien yang datang dari negeri Inderapura, negeri yang dikenal tempat raja-raja berdaulat pada masanya. Seorang wanita muda yang terjangkit penyakit, menurut anak Lin Tomo itu penyakit cacar, sebab pasien tersebut sudah nginap di rumahnya beberapa hari. Namun lantaran pasien tak nyaman dengan bau menyan dan bunga, ia minta dipulangkan. Tak berselang beberapa hari setelah pasien itu pulang. Lin Tomo jadi susah tidur, makan juga tidak mau. Sudah banyak pula ritus-ritus dilakukan setiap malam, hasilnya tetap nihil.

            Paginya Buya Gaek menuju rumah Lin Tomo dan melihat keadaan Lin Tomo yang makin tak karuan, ia lihat Lin Tomo duduk di teras rumah sambil nyinyir sendiri, padahal tidak ada lawan bicara. Buya Gaek menepuk pundaknya dan seketika Lin Tomo ketakutan histeris kemudian lari bersembunyi. Lalu anaknya menghampiri Buya Gaek dan menyebutkan berita yang beredar bahwa semuanya adalah ulah Buya Gaek. Anak Lin Tomo bercerita bahwa setelah malam mendoa itu, ayahnya membakar habis jimat-jimat yang sudah disediakan untuk pengobatan. Katanya malam itu, ia akan fokus pada pengobatan murni tradisional tanpa jimat dan memanggil leluhur. Hari-hari selanjutnya ia tidak lagi menerima pasien banyak, kadang ia menolak, hanya terkena di hatinya saja yang diterima. Itu pula alasan Blawar dan kawan seprofesi ayah mengira perubahan sang ayah karena hasut dari Buya Gaek. Sehingga sebagian masyarakat yang meminta pengobatan kepada ayah mengarah ke Blawar dan lainnya, di sanalah Blawar menceritakan bahwa ilmu ayah sudah hilang diambil Buya Gaek, karena ayah takut dengan Buya Gaek, karena Buya Gaek lah dukun sebenarnya. Tapi, tidak ada yang tau pasien terakhir ayah ketika itu adalah anak seorang alim ulama, orang siak dari negeri Inderapura.

            Seketika Buya Gaek bergegas ke balai desa, di sanalah masyarakat melihat kelindan amarah Buya Gaek, tak pernah sekalipun ia semarah itu, sampai membuang tuah.

“Bagi siapa yang bisa mematahkah jari kelingkingku ini, silakan maju!” sambil mengacungkan jari, Buya Gaek begitu marah di tengah masyarakat yang riuh. Seketika semua diam, anjing saja berani menyalak. Aku memandang wajah mamakku, kulihat nyala dan nyalang sayangnya. Oh, segala menderu dan tersudu dalam dada.


Catatan:

Sepuluh Bandar di daerah Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Minangkabau) dibawa kekuasaan Kerajaan Inderapura

Dukun keturunan adalah orang yang dimasuki arwah leluhur

Sumando: Suami saudara perempuan

Mamakku: Saudara lelaki dari ibu

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »