Burung Yeni - Kiki Sulistyo

@kontributor 7/17/2023

Burung Yeni

KikiSulistyo



Yeni memelihara burung. Bukan burung sembarangan, melainkan burung yang tak kasat mata. Setiap pagi tetangga dan orang-orang yang lewat melihat bagaimana Yeni mengeluarkan sangkar kosong dari dalam rumahnya, menggantungnya di depan beranda, lantas dengan mata berbinar menjentik-jentikkan jarinya sambil bersiul-siul. Orang-orang heran sebab mereka tak melihat ada burung di sangkar itu. Seseorang -yang dulu pernah bekerja di toko kaset- dapat memastikan bahwa lagu yang selalu disiulkan Yeni adalah lagu “Hati yang Luka”; yang dulu pernah dilarang Menteri Penerangan. Seseorang itu kemudian menyampaikan keyakinannya kepada para warga.

     Semua warga permukiman itu tahu kalau Yeni adalah mantan penyanyi. Ia berasal dari Ampenan, di wilayah Nusa Tenggara. Ia berangkat ke ibu kota untuk ikut audisi. Suaranya bagus. Ia lolos audisi dan tampil di televisi. Namun, ia gugur sebelum sampai final. Meski begitu, keberhasilannya muncul di televisi membuat karier Yeni melaju. Ia dapat kontrak rekaman. Sayang, meski sudah dipromosikan habis-habisan, ternyata lagunya tidak laku. Memang peruntungannya kurang bagus, sebab di saat bersamaan seorang penyanyi baru juga mengeluarkan lagunya. Penyanyi itu berpenampilan menarik, dan kisah hidupnya yang konon penuh penderitaan, membuatnya cepat disukai. Maka tergilaslah karier Yeni dalam waktu yang sama cepatnya dengan ketika namanya muncul.

     Hati Yeni tak luka. Ia terus bernyanyi setiap kali ada tawaran. Namun, namanya sudah tak bisa dikatrol lagi. Pada pentas terakhirnya, kira-kira setahun sebelum ia memutuskan mengontrak rumah di ibu kota, tak ada seorang pun yang datang menonton, meski pertunjukan itu sudah digratiskan. Bahkan meski panitia sudah menjanjikan hadiah bagi yang mau datang. Itu membuat hati Yeni, akhirnya, luka. Ia malu pulang ke kampung halamannya. Karena itu ia memilih tinggal di ibu kota, di sebuah permukiman padat. Sejumlah selebritas yang sudah jarang tampil kerap menitipkan busana lama mereka ke Yeni dan meminta Yeni menjualkan dengan syarat Yeni harus menyampaikan bahwa para selebritas itu menjual busana mereka bukan karena mereka bangkrut, melainkan karena niat mereka untuk beramal. Dari penjualan busana itu Yeni mendapat penghasilan.

     Karena Yeni selalu berlaku sopan, ia diterima dengan baik di permukiman itu. Sopan tanda orang tunduk pada peraturan, dan peraturan berhubungan dengan kekuasaan. Dengan begitu, menghormati peraturan, artinya menghormati kekuasaan. Yeni tak pernah bikin masalah.

     Kadang memang ada warga yang bertanya kapan Yeni bakal kawin, tapi pertanyaan itu jelas sekali dilontarkan sebagai basa basi, tidak serius, tidak bermaksud mencampuri urusan pribadinya. Yeni pun selalu menjawab: “Sudah ada rencana. Tinggal menunggu dipinang. Semoga dilancarkan. Mohon doanya.” Dan orang itu akan menjawab dengan mengucap “amin” sekaligus menutup  pembicaraan.

     Karena Yeni tak pernah membuat masalah, ketika para warga mengetahui kebiasaan barunya, tak ada pula yang betul-betul mempermasalahkannya. Sampai, tentu saja, lagu yang dulu pernah dilarang Menteri Penerangan itu mulai ditandai sebagai lagu wajib yang disiulkan Yeni.

     Seorang petugas yang punya kerabat di permukiman itu mulai sering terlihat berkunjung. Ia selalu datang pagi-pagi, dan sebelum sampai di rumah kerabatnya, ia berdiri dulu di sekitar rumah Yeni dan diam-diam mengamat-amati dengan cermat ketika Yeni mulai bersiul.

     Suatu ketika petugas itu bertanya kepada Yeni: “Mbak, kenapa bersiul seperti itu?” Yeni agak kaget meski kemudian langsung menguasai diri. “Tidak kenapa-kenapa, Pak. Saya memang suka bersiul. Mari mampir dulu. Saya buatkan kopi ya?”

     “Tidak usah. Saya mau mengunjungi kerabat saya. Omong-omong itu burung apa?”

     “Oh, ini burung biasa saja, Pak. Bukan burung langka. Banyak yang pelihara burung sejenis ini,” jawab Yeni. Senyumnya mengembang memekarkan aroma pagi yang sesungguhnya sudah mulai pengap. Petugas itu mengangguk-angguk sebelum berucap: “Maaf, Mbak. Bisakah Mbak bersiul lagu yang lain? Mbak tahu kan lagu apa yang Mbak siulkan itu?”

     Yeni menjawab: “Tahu, Pak. Tidak boleh ya? Aduh, maaf ya, saya tidak tahu kalau menyiulkan lagu itu masih dilarang.”

     Ketika petugas itu pamit, setelah akhirnya duduk di beranda dan minum kopi, ia berkali-kali menoleh melihat sangkar burung yang kosong.

     Sejak kejadian itu, sebelum bersiul Yeni celingak-celinguk dulu. Bila ia melihat ada petugas, ia akan bersiul lagu yang lain. Bila ia tak melihat ada petugas, ia akan kembali menyiulkan lagu yang dulu pernah dilarang Menteri Penerangan itu. Kebiasaan itu tetap dilakukannya, sampai kemudian Yeni mengetahui kalau petugas tadi sudah pindah ke permukiman itu. Bukan cuma petugas itu yang pindah, ada petugas lain yang ikut pindah ke sana. Para warga rata-rata senang ada petugas tinggal di sekitar mereka. Mereka merasa terlindungi. Kalau misalnya mereka nyaris terlibat perkelahian di tempat-tempat lain, mereka selalu bilang bahwa mereka punya kerabat petugas. Biasanya orang yang terlibat perkelahian dengan mereka akan langsung ciut.

     Namun, bagi Yeni, kehadiran petugas-petugas itu membuatnya tidak tenang. Ia tak bisa lagi menyiulkan lagu yang dulu pernah dilarang Menteri Penerangan itu. Setiap pagi, ada saja petugas yang berdiri di dekat rumahnya, mengamat-amatinya. Terpaksa Yeni menyiulkan lagu-lagu lain.

     Kenyataan itu tak betul-betul diperhatikan para warga. Mereka lebih memperhatikan tabiat Yeni yang rajin menggantung sangkar burung, tanpa ada burung di dalamnya. Meski tak ada alasan kuat untuk menyebut kebiasaan itu meresahkan, bagi beberapa warga kebiasaan itu meresahkan juga. Mungkin, sebetulnya, mereka resah karena tak menemukan alasan kuat untuk menyebut kebiasaan itu meresahkan. Pada akhirnya mereka mengadu kepada Ketua RT.  

     Suatu pagi Ketua RT berkunjung ke rumah Yeni. Setelah duduk beberapa saat dan menyeruput kopi sambil mengamat-amati Yeni, Ketua RT berkata: “Maaf, dik. Itu kan sangkar burung tidak ada isinya, kenapa adik suka bersiul-siul seakan-akan di sana ada burungnya?”

     “Aduh, maaf ya, Pak. Apakah tindakan saya meresahkan Bapak?”

     “Sebetulnya tidak,” jawab Ketua RT. “Tapi beberapa warga melapor kepada saya, dan mendesak saya untuk menanyakan kepada adik.”

     “Saya akan menghentikan kegiatan saya kalau memang itu meresahkan. Tapi, Pak, perlu saya ceritakan bahwa saya punya seorang kakak perempuan yang dulu pernah kuliah di sini, maksud saya di ibu kota ini. Kakak saya itu hilang. Waktu itu memang musim demo. Kan jaman reformasi, Pak. Saya tidak tahu kalau kakak saya suka ikut demo. Soalnya dia orangnya kalem dan pendiam. Tapi sepertinya kakak saya tidak betul-betul hilang. Buktinya, namanya tidak tercantum dalam daftar orang-orang yang hilang.”

     “Apa hubungannya dengan tingkah laku adik belakangan ini, bersiul-siul menghadap sangkar yang tidak ada burungnya?”

     “Sebetulnya ada burungnya, Pak. Tapi burungnya hilang. Maksud saya, burungnya jadi tidak terlihat. Saya juga tidak tahu kenapa. Saya menemukan burung itu dalam keadaan terluka di pinggir jalan. Sepertinya ada orang yang memburunya. Saya selamatkan dia, terus saya belikan sangkar. Maksud saya untuk sementara, sebelum saya melepasnya lagi. Begitu dimasukkan sangkar, burung itu jadi tak terlihat. Meski begitu burung itu sebenarnya ada di dalam sangkar. Coba Bapak lihat baik-baik.” Yeni menjentik-jentikkan jarinya sambil bersiul-siul dan sesekali mengamati reaksi Ketua RT. Laki-laki itu merenung sebentar, lantas pamit.  

     Sampai beberapa hari kemudian tak ada tindakan apa-apa, baik oleh warga, maupun oleh Ketua RT. Para warga, selain sibuk bekerja, juga mulai mengalihkan perhatian mereka pada berita tentang seorang penyanyi yang berpenampilan menarik. Penyanyi itu dikabarkan punya skandal dengan seorang pejabat tinggi.

     Hanya para petugas yang masih rajin mengamat-amati Yeni. Jumlah mereka semakin banyak. Para warga tak pula memperhatikan kenyataan bahwa jumlah petugas di permukiman mereka kian banyak, sebab berita skandal pejabat dan penyanyi berpenampilan menarik semakin panas, bahkan mulai dikaitkan dengan seorang pejabat yang lebih tinggi kedudukannya. Entah bagaimana kaitannya, yang jelas desas-desus itu betul-betul menyedot perhatian warga.

     Para warga tak pula memperhatikan bahwa seiring meningkatnya jumlah petugas, sangkar burung milik Yeni juga terus bertambah. Bahkan sudah hampir memenuhi rumahnya. Sementara Yeni sendiri tak pernah kelihatan lagi. Cuma siulannya yang sering terdengar. * 

Kekalik, Februari-Oktober 2022   

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »