Di Depan Galeri, Di Jalan Braga - Hasan Aspahani

@kontributor 11/12/2023

Di Depan Galeri, Di Jalan Braga

Hasan Aspahani


Apabila Tanto, sang ketua OSIS itu bilang oke, mau jadi ketua panitia, maka selebihnya Arna dan Suri, dua seksi sibuk yang paling bisa diandalkan, yang mengatur segalanya. Termasuk memastikan reuni di sekolah sebelah itu dilakukan pada waktu yang sama. Jika itu tak terjadi, semua rencana mereka menyelesaikan dan melepas beban masa lalu itu buyar.

“Makasih, ya, To…” Mereka menyalami dan mengucapkan terima kasih pada Tanto, setelah seluruh rangkaian acara reuni itu selesai. Tanto menjawab dengan ucapan yang sama hangat dan tulusnya, memeluk teman-teman SMA itu satu per satu. Tak ada yang tahu, seluruh biaya reuni itu didanai oleh Eva, termasuk biaya hotel untuk beberapa teman yang menginap di Bandung. Tak ada yang tahu, Eva meminta itu dirahasiakan, ketika ia mengusulkan reuni pada Arna dan Suri.

“Sekolah sebelah gimana? Jadi reunian juga?” tanya Eva, di grup yang hanya berisi mereka bertiga. “Jadi. Anak-anak cowoknya lanjut touring dan menginap di Jayagiri,” kata Arna. Reza tak mungkin tak ikut, kalau tak mau disumpahi seumur hidup oleh teman-temannya anak-anak cowok sekolah sebelah, yang kini sebagian besar telah jadi pejabat-pejabat dan pengusaha penting. Itu artinya ada waktu seharian bagi Eva untuk tidak bersama Reza. Waktu yang cukup untuk rencana mereka.

Bagian penting lainnya dari rencana mereka itu adalah memastikan Rian datang. Rian yang tak pernah datang reuni setelah mereka lulus tiga puluh tahun yang lalu. Suri yang bertugas memastikan hal itu. Rian yang menetap di Paris dan bahkan mungkin sudah jadi warga negara Prancis, akan berada di Bandung dalam beberapa minggu, untuk satu pameran besar dan persiapan sebuah galeri seni baru di sebuah bangunan lama di Jalan Braga.

Kalian mungkin bertanya, kalau hanya untuk mempertemukan Rian dan Eva, kenapa harus serumit itu caranya? Apa mau dikata, cerita ini memang telah rumit sejak awal. Kerumitan itulah yang tak pernah terselesaikan, menjadi beban bagi Eva, dan kini saatnya ia harus melepaskannya. Eva adalah bintang di sekolah. Pintar, pandai menari, bersuara bagus, berbagai seni peran, dan siapa yang tahu keluarga besarnya? Pemilik sejumlah aset properti, jaringan hotel, dan perkebunan di Jawa Barat. Rian adalah bintang yang lain. Sama pintarnya dengan Eva, bakat melukis dan menulis sama besarnya ada dalam dirinya. Ayahnya pendiri dan pemilik sekolah dan perguruan tinggi swasta di Bandung. Ia diharapkan kelak menjadi penerus aset pendidikan dengan belasan ribu mahasiswa itu. Harapan yang tampaknya tak menarik baginya. Ketika Eva dan Rian berpacaran seluruh siswa di sekolah mereka seperti merayakan pertunangan putri dan pangeran. Semua merasakan sudah sepantasnya mereka berpasangan.

Sementara itu, di sekolah sebelah, yang terpisah sekeping tembok beton, ada Reza, bintang lain, pangeran lain. Reza teman Tanto satu SMP. Reza yang juga pintar, yang ketika dia jadi model sampul majalah remaja satu hari majalahnya ludes, tak tampak lagi di toko dan di lapak-lapak koran di Bandung. Ia pandai bermain gitar dan punya band dengan beberapa temannya. Ayahnya memberinya sebuah studio untuk berlatih, tapi tak pernah berharap dia jadi musisi profesional. Ia diharapkan meneruskan kerajaan bisnis ayahnya, yang membentang di seluruh tanah Parahyangan. Ayahnya kontraktor proyek-proyek besar pembangunan infrastruktur di Jawa Barat.

Ketika mereka duduk di kelas dua, Eva dan Reza terpilih menjadi Mojang dan Jajaka Jawa Barat. Dari sinilah kerumitan itu bermula. Reza jatuh cinta pada Eva. Dia melakukan apa saja, melimpahi perhatian dan kebaikan yang menyudutkan dan menjebak Eva.

Rian tahu benar kekuatan cintanya pada Eva dan percaya pada kesetian Eva. Sampai tangan keluarga Eva dan Reza terulur mencampuri urusan mereka. Hingga mereka tamat SMA, Eva dan Rian seperti menjalani hubungan gelap. Bertemu pun kucing-kucingan.  Eva dan Rian sesungguhnya tak pernah berpisah. Tapi mereka tak pernah juga bersatu. Reza terlalu kuat, terlalu baik, dan tak pernah ada cukup alasan bagi Eva untuk menolak dan menghindar dari semua rencana baik dua keluarga besar, yang hendak menyatukan mereka, menyatukan dua keluarga: keluarganya dan keluarga Reza. Rian dan Eva tak pernah membayangkan punya rencana untuk lari dari takdir yang tak memihak mereka itu. Mereka terlalu baik untuk pemberontakan seperti itu. Rian hanya pergi menyingkir. Ia sekolah seni di Prancis. Dan membangun reputasi sebagai perupa global di sana.

Cinta yang tumbuh sekuat itu, yang tak pernah tercerabut akar-akarnya, yang terus tumbuh meskipun telah berkali-kali berusaha dibunuh oleh Rian, dengan berbagai cara, oleh beberapa perempuan lain, akhirnya ia biarkan saja menyemak, merimbun, meliar. Hal yang sama terjadi pada Eva. Di hari akhir pertemuan mereka, di Jalan Braga, Eva minta agar Rian memutuskannya. Tapi Rian tidak mau. Rian tidak bisa. Dia pergi dan Eva menangis di bangku restoran klasik di bangunan warisan era kolonial itu. Eva tak melihat, Rian juga meneteskan air mata, sambil melangkah pergi dengan motornya. Mereka tak pernah lagi berhubungan setelah itu.

“Apa kabar, Seniman?” kata Eva menyapa Rian. Rian tersenyum hangat dan Eva melihat cahaya rindu memancar terang di matanya. Eva nyaris tak tahan melihatnya. Seberat dan serapih itukah kamu menahan dan menyimpan perasaan yang dulu itu, Rian.

“Hai, Eva. Baik. Reza gimana?” tanya Rian. Eva tahu dengan pertanyaan itu, Rian ingin mengatakan bahwa dia masih terluka, luka dengan perih yang mungkin masih sama dengan apa yang ia rasakan 30 tahun lalu. Ketika Eva menjelaskan bahwa dia tak bisa mengelak dari apa yang dirancang oleh keluarganya dan keluarga Reza. Rian tak bisa melakukan apa-apa dan tak bisa melepaskan Eva, dia tak bisa menghentikan cintanya pada Eva. Apa pun yang terjadi pada kekasihnya itu.

Percakapan itu seperti basa-basi dua sahabat lama di tengah riuh kegembiraan reuni angkatan, setelah tiga dekade terpisah. Tempat reuni itu, sebuah lapangan luas dengan panggung terbuka yang teduh tersedia bagi mereka berkat kebaikan salah seorang alumni yang jadi bupati di wilayah itu. Ada banyak hiburan, band yang memainkan lagu-lagu awal 90-an. Eva dan Rian yang tak pernah berjauhan di sepanjang reuni itu saling lirik dan senyum ketika lagu 2D dibawakan. Haruskah kuteteskan air mata di pipi, harusnya kucurahkan segala isi di hati. Lagu yang sering mereka rekues untuk diputar di radio Oz.

“Nanti mau ke Green Gallery ya, Rian?”

“Kamu nggak dikawal?” Rian seperti mengingatkan bagaimana bulan-bulan terakhir sebelum lulus, Eva ke mana-mana diantar dan dikawal supir. Begitulah Reza dan keluarga mengejawantahkan perhatian dan cinta pada Eva. Dan membangun tembok di sekeliling Eva dari jangkauan Rian.

“Nggak. Reza sama teman-temannya di Jayagiri sampai besok pagi.” Eva seperti sengaja memberi isyarat pada Rian, bahwa dia ingin memanfaatkan waktu tanpa Reza itu bersamanya.

Tentang galeri itu, bagaimana Eva bisa melupakannya? Di situlah dulu mereka berpisah, dan Rian meninggalkannya menangis sendiri di meja, dengan kopi dan kentang goreng yang tak sempat dia sentuh.

Setelah tutup beberapa tahun, bangunan di Jalan Braga itu hendak dibuka menjadi galeri dan restoran. Tak banyak yang berubah pada interiornya. Konsepnya memadukan yang klasik dan yang kontemporer. Banyak perupa muda memajang karya tiap kali pameran digelar pameran di sana. Green Gallery sesungguhnya belum resmi dibuka.

Tanto, Arna, dan Suri mengantar Eva dan Rian ke Braga, ke Green Gallery. Setelah tiga sahabat itu menjauh, bergabung dengan acara lain dengan teman-teman lain, dengan geng masing-masing, Eva dan Rian segera terlempar ke masa lalu. Eva seperti menjelma menjadi remaja yang bebas, 30 tahun lalu, sebelum Reza masuk ke dalam kehidupannya. Ia menggandeng erat lengan Rian. Menuntunya duduk di kursi, kira-kira persis tempat seperti dulu terakhir mereka berpisah. Eva memasan kopi dan kentang, persis seperti dulu yang dipesan Rian, apa yang tak sempat disentuh oleh Rian, hingga Rian pergi. Sejurus mereka terdiam. Tapi Rian melihat senyum di wajah Eva begitu penuh. Eva menikmati benar momen pertemuan itu.

“Aku ditawari mengelola galeri ini, jadi kurator tetap. Kawan-kawan seniman di sini pengen banget aku menerima tawaran itu. Gimana menurutmu?” tanya Rian. Rian tak berubah. Ia masih seperti Rian yang dahulu. Dia bukan orang yang peragu, dia tahu benar apa yang dia mau, dia selalu matang memutuskan ketika ambil satu langkah penting dalam hidupnya. Tapi dia selalu melihatkan Eva, dengan bertanya, meminta pendapatnya.

“Terima aja, Rian. Bagus, dong. Balik aja ke sini, kamu bisa jadi penghubung teman-teman di sini dan buka jalan bagi mereka ke jejaringmu di Eropa.”

Mereka terdiam lagi. Kemauan yang mereka perlukan. Senyap yang menerjemahkan semua kenangan lama. “Minum, dong. Nanti tak sempat lagi….” kata Eva. Rian tersenyum dan meminumnya. Juga mengambil sepotong kentang, mencocolnya ke saos tomat dan mengunyahnya.

Mereka bertatapan. Seperti saling menerjemahkan dan menumpahkan apa yang terjadi selama 30 tahun memisahkan mereka. “Rian, kali ini aku benar-benar ingin kamu memenuhi permintaanku. Katakan kita putus ya… dan beri tahu aku kamu mencintai perempuan lain.”

“Buat apa, Eva? Kita sudah berpisah selama ini dan sejauh ini…”

“Tapi kamu pergi dengan luka, dan itu karena aku. Aku tak bisa menanggung rasa bersalahku, Rian….”

“Saya kira itu setimpal kan? Kita sama-sama terluka… Aku tak bisa berhenti mencintaimu. Sejak dulu, kamu tahu itu. Apapun yang terjadi padamu. Aku hanya bisa mencintaimu. Ini bukan cinta monyet anak SMA. Aku bukan orang yang seperti itu. Aku juga ingin bisa akhirnya melupakan cintaku itu, tapi nyatanya tidak, Eva.”

“Katakan aja kita putus. Katakan aja kami tak lagi mencintaiku.’

“Kamu menyuruh aku berbohong?”

“Berbohong aja, Rian. Bohongi saja aku….”

“Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, Eva. Aku mencintaimu. Itu sudah cukup menyakitiku, jangan suruh aku mengingkari itu karena hanya akan menambah sakit yang kuderita, Eva.”

Eva menangis. Rian menyeka air matanya. Ia melakukan itu dengan tulus. Dengan cinta yang mengalir dan Eva merasakannya, tak berbeda seperti apa yang ia rasakan dulu. Rian tidak berdusta, dia memang tak pernah berubah.

Eva memaksakan diri untuk tersenyum ketika mereka berpisah. Kentang itu mereka habiskan, dan kopi itu tandas diteguk Rian. Tapi ada yang tak bisa disampaikan oleh Eva. Beban masa lalu yang hendak ia sampaikan itu tak bisa dilepaskan oleh Eva. Di kursi panjang di depan galeri, Eva dan Rian menunggu. Tanto, Arna, dan Suri akan menjemput mereka. Sudah 15 menit mereka menunggu. Eva baru sadar tas dan ponselnya tertinggal di mobil Tanto. Sementara Rian tak tahu nomor mereka. Eva gelisah. Dia ingin lekas-lekas menemui Reza. Dia ingin menyusul Reza ke Jayagiri. Apa yang semula tak ia rencanakan. Dia merasa tak tahan dan tersiksa berlama-lama dengan Rian. Dia tak menyalahkan Rian. Rian tak salah dengan kekuatan cintanya itu. Dia juga tak mau menyalahkan dirinya sendiri. Tapi itulah yang memenuhi dadanya, rasa bersalah. Dia merasa egoistis sekali, meminta sesuatu yang tak mungkin dipenuhi Rian, meminta Rian melepaskan beban rasa bersalah di hatinya.

Untungnya, seorang perempuan singgah di depan galeri dan mengenal Rian. Rian tadi sudah memberi tahu Eva bahwa dia juga ingin bertemu seseorang di situ. Dia diperkenalkan oleh Rian kepada Eva sebagai seorang art dealer Indonesia di pasar seni dunia. Dia bekerja sama dengan pemilik Green Gallery, dan sangat ingin Rian juga membantu galeri itu. Rian dan si perempuan dengan wangi yang memenuhi sepanjang jalan Braga itu kembali masuk ke galeri.

Eva tiba-tiba merasakan Jalan Braga kosong. Dia perlahan-lahan merasakan kesendirian, hanya dia yang tegak mematung di situ, di depan galeri itu. Eva tak sadar ketika Tanto, Arna, dan Suri datang menjemputnya.

Jakarta, 18 Oktober 2023.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »