Menonton Manusia di dalam Kotak Kaca - Mochamad Bayu Ari Sasmita

@kontributor 11/19/2023

Mochamad Bayu Ari Sasmita

Menonton Manusia di dalam Kotak Kaca

 


Aku dan Amy membolos kuliah Profesor James, sebuah kecerdasan buatan yang berprofesi sebagai dosen matakuliah Pengantar Antropologi, hanya untuk pergi ke Museum Nasional di pinggiran kota. Mereka punya koleksi baru dan ia bisa bergerak. Tiba-tiba saja suku bangsa yang sempat menjadi penghuni sekitar dua per tiga daratan di bumi ini tinggal sepasang sehingga harus dipindahkan ke museum untuk mendapatkan pengawasan lebih ketat. Akan konyol jika dua manusia terakhir dari suku bangsa itu tiba-tiba gantung diri bersama. Sudah terlalu banyak kepunahan yang dialami atau dilihat umat manusia, mereka tidak ingin ada lagi yang punah. Pihak museum menempatkan keduanya di sebuah wadah kaca raksasa, seukuran sebuah kamar di hotel bintang lima.

Kami sepakat untuk bertemu di depan pahlawan paling mutakhir negeri ini pada pukul sembilan pagi. Tapi Amy sudah tiba di tempat perjanjian pada pukul setengah sembilan pagi. Dia sudah tidak sabar untuk melihat mereka, sepasang manusia Jawa terakhir itu. Kalau saja tidak insaf akan usianya, dia pasti sudah meloncat-loncat seperti gadis kecil yang akan diajak ke kebun binatang oleh kedua orang tuanya.

Ada sebuah taksi berhenti dan dengan segera membuka pintu. Kami masuk. Kecerdasan Buatan yang ditanam pada mobil taksi memerintah kami untuk memasukkan koordinat yang kami tuju. Ada sebuah layar yang menunjukkan peta kota ini. Aku sentuh gambar museum, kemudian memindai kode bar yang tersedia untuk pembayaran. Setelah selesai, taksi mulai berjalan. Pelan. Sekitar enam puluh kilometer per jam. Museum tidak terlalu jauh dari tempat kami bertemu. Sekitar sepuluh menit kami sampai di depan museum. Tidak ada kesulitan berarti di jalan. Kemacetan sudah musnah di dunia ini. Pintu taksi terbuka dan kami keluar.

“Selamat menikmat hari Anda,” kata Kecerdasan Buatan.

Kami mengabaikannya. Aku tidak yakin apakah dia bisa tersinggung atau tidak ketika diabaikan seperti itu. Tidak pernah ada peristiwa Kecerdasan Buatan merasa terhina kemudian menyerang manusia. Yang jelas, mobil taksi itu menutup pintunya lagi dan mulai berjalan lagi entah menuju ke mana, setidaknya dia tidak akan pernah keluar dari kota ini. Begitulah sistem yang telah diatur untuk taksi.

Aku menggamit tangan Amy, lalu kami mulai berjalan menuju museum, menaiki tangga, dan masuk ke sana setelah menjalani sebuah pemindaian di pintu masuk. Benda-benda di museum kami berharga, begitu berharga, sehingga setiap pengunjung yang masuk perlu dipindai terlebih dahulu agar tidak terjadi kemungkinan terburuk seperti bom bunuh diri, misalnya.

Kami segera mengabaikan segala koleksi lain di museum itu dan segera berjalan menghampiri kerumunan di sekitar kotak kaca raksasa. Itu seperti panggung sebuah sandiwara yang telah disusun sedemikian rupa. Ada tempat tidur, sofa, televisi, rak buku, kompor, peralatan memasak, lemari pendingin, juga sebuah bak mandi. Pemandangan itu mengingatkanku akan pementasan klasik dari karya Anton Chekov (itu benar-benar nama yang begitu lama dan belum ada yang sanggup menandingi kebesarannya) ketika masih SMA dulu. Sepasang manusia Jawa itu terlihat masih muda. Mereka tampak gelisah. Sesekali si lelaki memandang ke arah kerumunan di luar kotak kaca, lalu tertunduk lagi. Mukanya tampak memerah. Antara malu dan marah. Mungkin juga keduanya.

“Dia malu-malu,” bisik Amy sambil berjinjit agar mulutnya sampai tepat di dekat telingaku. “Apa dia hanya akan berdiam diri di sofa saja? Kuharap dia melakukan sedikit aksi.”

Pihak museum, tentu saja, tidak bermaksud menjadikan sepasang manusia Jawa itu sebagai pemain sirkus yang akan menampilkan atraksi-atraksi berbahaya. Sebaliknya, mereka bermaksud agar sepasang manusia Jawa itu terlindungi dari berbagai ancaman atau kemungkinan terburuk dalam kehidupan ini. Kotak kaca itu, kabarnya, terbuat dari kaca antipeluru, bahkan juga tahan ledakan. Jika tiba-tiba gedung museum ini ambruk, mungkin yang selamat hanya sepasang manusia Jawa di dalam kotak kaca itu.

Tapi akan membosankan kalau mereka hanya diam saja. Mereka mestinya bergerak, melatih otot-otot tubuh mereka agar tetap bugar. Berdiam diri hanya akan memperburuk kondisi tubuh. Hal itu hanya akan menjadi ironi atas tujuan mulia pihak museum dan pemerintah.

Beberapa orang mulai berteriak: “Ayolah, kami tidak datang untuk omong kosong semacam ini. Lakukan sesuatu, Bung!”

“Hei, cium si perempuan kalau kau seorang pejantan. Atau, perkosa dia!” kata seorang pria gemuk berwajah merah dan berjanggut putih. Dia terlihat mabuk, matanya sayu. Tapi dia tidak sedang membawa botol minuman keras merek apa pun karena memang tidak ada makanan dan minuman yang boleh masuk ke museum. Dia kemudian tertawa, terpingkal-pingkal, memegangi perutnya, sampai kemudian jatuh ke belakang. Tidak ada seorang pun yang bersedia mencegahnya jatuh. Semua orang di belakangnya menghindar. Dia segera tak sadarkan diri. Dia terlalu mabuk. Petugas keamanan, yang berupa robot tipe humanoid yang juga ditanami kecerdasan buatan, menyeret orang mabuk itu keluar dari museum.

“Apa yang terjadi dengan orang itu?” Tanya Amy.

“Sesuatu yang selalu terjadi pada seorang bajingan. Lupakan dia, Amy, mari lihat sepasang manusia Jawa. Lihat, dia mulai bergerak!”

Amy kembali melihat ke depan. Di sana, di dalam kotak kaca itu, si lelaki mulai bangkit dari sofanya. Dia berjalan ke lemari pendingin dan mengambil sebotol air mineral, membuka segel dan tutupnya, kemudian meneguknya langsung tanpa gelas sampai tandas. Jakunnya naik turun ketika dia meneguk minuman. Ketika aku mengarahkan penglihatanku ke sekitar untuk sejenak, orang-orang mulai terhibur. Mereka mulai tersenyum ketika sepasang manusia Jawa, meskipun hanya salah satu dari mereka, mulai bergerak. Meskipun yang dilakukannya hanyalah gerak normal sebagaimana yang biasa dilakukan semua orang.

Dia kemudian melemparkan begitu saja botol kosong itu ke sebuah keranjang sampah. Lelaki itu kembali duduk di sofa, menyandarkan tubuhnya, dan melihat kepada kami dengan mata terpicing. Dia kemudian menggelengkan kepalanya berulangkali dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Maruti,” teriaknya kepada si perempuan, “kapan orang-orang itu akan bubar?”

“Nanti, Maruta,” kata si perempuan, “nanti ketika jam museum tutup.”

“Berapa jam lagi?”

“Sepuluh jam lagi. Museum tutup pukul lima.”

“Mereka semua menyebalkan.” Dia bangkit dan mendekat ke arah kami. “Persetan dengan kalian. Bubarlah. Berikan aku sedikit privasi, Berengsek!” Setelah mengumpat, dia kembali ke sofanya, berbaring kemudian tidur menyamping agar bisa memunggungi kami.

“Kasar sekali,” kata Amy. “Tapi si perempuan begitu lembut. Lihat! Sekarang dia duduk di samping si lelaki.”

Si perempuan menepuk pundak si lelaki dan mengatakan sesuatu kepadanya: “Abaikan saja mereka.”

“Mana mungkin?”

Mereka terus mengobrol. Si perempuan coba untuk menghibur si lelaki. Tapi si lelaki tetap merajuk dan mengabaikan si perempuan, dia tidak ingin berbalik dan melihat entah berapa pasang mata yang menatap tajam kepadanya. Si perempuan tampak tidak terlalu terganggu, dia merasa begitu enjoy dalam menjalani kehidupannya di dalam kotak kaca dengan sekian pasang mata yang memerhatikan setiap gerakan tubuhnya, bahkan sampai kedipannya yang begitu singkat sekali pun.

Amy berjinjit lagi. “Apa menurutmu mereka juga akan melakukannya di dalam sana?”

“Aku tidak yakin. Setidaknya, aku yakin mereka tidak akan melakukannya ketika museum masih buka. Tapi bisa saja ketika museum tutup. Mereka, tentu saja, diharapkan oleh pihak museum dan pemerintah untuk berkembang biak, menghasilkan sejumlah bayi yang sehat untuk kemudian dikawinkan secara silang agar kelangsungan hidup manusia Jawa tetap lestari. Beberapa keturunannya nanti mungkin masih akan hidup di dalam ‘penangkaran’ itu, sama seperti satwa-satwa langka yang pernah kita lihat beberapa tahun lalu di kebun binatang.”

Amy berhenti berjinjit. Dia kemudian melihat pada kotak kaca lagi.

Si perempuan bangkit dari sofa, kemudian masuk ke toilet (tempat itu juga tembus pandang), menurunkan celananya, dan duduk pada toilet duduk. Dia bersikap tenang, bahkan dia sempat melihat kepada kami, para pengunjung museum, dan tersenyum. Setelah selesai, dia berdiri dan pergi ke wastafel untuk mencuci tangannya dengan sabun. Segera kemudian dia menghampiri si lelaki.

“Mengapa tidak kita hibur saja mereka?”

“Gila! Sinting! Ini pelanggaran hak asasi! Kita juga manusia!”

“Hei, Betina!” kata seorang pria berkumis tebal dan berjaket kulit. “Cobalah untuk masturbasi di dekat kaca.”

Para perempuan yang mendengarnya merasa risi, termasuk Amy, dan segera memprotesnya. Pria berkumis tebal itu mati-matian membela dirinya bahwa yang dikatakannya pasti diinginkan oleh semua lelaki mana pun. Dia kemudian menunjuk-nunjuk setiap lelaki yang ada di museum, termasuk diriku.

“Kau pasti juga berharap dia melakukan itu, bukan, Bung? Ayo, mengaku saja! Aku ada di pihakmu. Kita akan bungkam mulut semua betina di tempat ini.”

“Sayang sekali,” kataku tanpa ragu, “pikiran semacam itu tidak terpikirkan sama sekali di kepala saya. Omong-omong, saya akan berterima kasih kalau Anda tidak melontarkan kata-kata semacam itu lagi. Itu mengganggu, sangat mengganggu.”

“Benar. Benar kata dia. Kau saja yang cabul,” kata lelaki lain.

Semua orang kemudian serentak mencibirnya. Bahkan ada yang melapor kepada petugas keamanan agar pria berkumis tebal itu diseret keluar dari museum seperti pria gemuk berwajah merah tadi. Petugas keamanan itu, tanpa perlu menimbang lagi, segera menyeret pria berkumis tebal itu. Suasana segera kembali kondusif. Tapi perempuan Jawa di dalam kotak kaca mulai berjalan melenggak-lenggok seperti harimau lapar. Aku pernah mendengar hal semacam itu dari Profesor James. Aku ereksi. Tapi semua itu bisa kusembunyikan dengan mantel panjangku. Untuk sekarang bulan November. Sudah masuk musim gugur dan suhu mulai dingin. Aku bersyukur karena mengenakan mantel panjang tadi. Setidaknya, aku bisa menyembunyikan hal ini dari Amy atau aku akan kena marah nanti karena ternyata aku tidak ada bedanya dengan pria berkumis tebal yang telah diseret keluar tadi.

“Apa yang dia lakukan? Mengapa dia berjalan seperti itu?” Tanya Amy lagi. Kali ini aku yang menunduk karena dia berkali-kali menarik lengan mantelku sebelumnya.

“Ini adalah sesuatu yang pernah diceritakan Profesor James. Perhatikan gerakannya. Begitu pelan, tenang, tapi siap menerkam kapan pun ada kesempatan.”

“Harimau?”

“Benar-benar harimau. Mungkin, setelah punah pada tahun 1980-an, jiwa harimau Jawa merasuk pada tiap tubuh perempuan Jawa dan membantu mereka untuk mendapatkan kembali gerakan semacam itu setelah terlindas oleh gelombang westernisasi.”

Si lelaki berbalik sejenak, menatap si perempuan dengan tatapan kebingungan.

“Apa yang kaulakukan? Hentikan! Jangan beri mereka hiburan apa pun!”

Si perempuan berhenti berjalan, berdiri tegap, kemudian bertanya: “Mengapa?”

“Kau tidak mematuhiku?”

“Kurasa masa-masa seperti itu telah begitu lama lewat. Jawab saja pertanyaanku.”

Si lelaki bangkit, kemudian berjalan menghampiri si perempuan. Dia segera menarik rambut panjang si perempuan sampai si perempuan terjatuh sambil menjerit. Semua pengunjung museum, terutama yang perempuan, termasuk Amy, ternganga, tidak percaya terhadap yang telah mereka saksikan sekian detik yang lalu.

“Jalang,” kata si lelaki, mengumpati si perempuan. “Kau mau pamer tubuhmu di hadapan para lelaki berengsek di luar sana?”

“Bukan seperti itu.”

“Diam kalau aku sedang bicara!”

Beberapa kali si lelaki menendang si perempuan sampai si perempuan terguling-guling dan mengaduh. Si perempuan menangis, air matanya jatuh ke atas karpet berwarna cokelat muda. Si lelaki terus mengoceh dan memaki-maki si perempuan. Mulutnya sampai berbusa. Kemudian dia berhenti. Lalu, menghampiri lemari pendingin, membukanya, dan mengambil sebotol air mineral lagi. Dia meneguknya separuh, kemudian coba mengatur napasnya dengan baik. Ketika tatapannya tidak sengaja mengarah kepada kami yang telah memandanginya dengan tajam dan kesal, dia segera mengalihkan pandangannya. Dia berjalan menyamping seperti kepiting sambil terus memunggungi kami.

“Dia tidak bermoral,” kata Amy. Kali ini dia tidak berbisik sehingga beberapa orang di sekitar kami juga dapat mendengarnya. “Dia lelaki yang tidak bermoral.” Lalu, setelah menarik napas, dia berteriak: “Mati saja kau! Mati saja! Tidak ada tempat bagi mereka yang masih suka melakukan kekerasan terhadap perempuan di dunia ini! Pihak museum mestinya menempatkanmu di kursi listrik atau memenggal lehermu di alun-alun.”

“Ya. Benar.”

“Benar. Gadis ini benar. Mati saja kau lelaki berengsek.”

Semua orang, tanpa terkecuali, mendukung Amy. Mereka sepakat memaki si lelaki di dalam kotak kaca. Beberapa dari mereka juga melemparkan beberapa benda tidak berguna yang dapat mereka temukan di saku celana atau tas mereka meskipun itu tampak sia-sia. Tapi, secara simbolis, itu adalah bentuk ketidaksukaan pengunjung museum terhadap si lelaki yang telah melakukan perbuatan aniaya kepada si perempuan. Si lelaki dalam kotak kaca masih memunggungi kami, mengabaikan semua makian kami. Dia kemudian menyumbat telinganya dengan kedua tangannya. Itu gestur yang buruk, yang mestinya tidak dilakukan; sesuatu yang biasa dilakukan oleh seorang antikritik.

“Penjaga! Penjaga! Seret saja lelaki Jawa itu keluar dari kotak kaca, dari museum ini! Dia tukang onar!”

1 November 2022—22 Oktober 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »