Hidup Terbuat dari Perkara-Perkara yang Nyaris Puitis - Emi Suy

@kontributor 11/19/2023

Emi Suy

Hidup Terbuat dari Perkara-Perkara yang Nyaris Puitis

: Pembacaan atas Perkara-Perkara Nyaris Puitis Hilmi Faiq

 


Membicarakan buku puisi Hilmi Faiq “Perkara-Perkara Nyaris Puitis” (Gramedia Pustaka Utama, 2023) cetakan pertama -- dengan tampilan sampul unik berwarna hijau toska dan gambar bermacam benda tenggelam dalam kaleng mirip sarden -- ini sungguh menarik dan menggugah. Buku ini memuat sajak-sajak tanpa disertai nomor urut dan keterangan letak halaman, bisa jadi ini strategi penulis dan penerbit agar supaya pembaca dibuatnya makin penasaran. Buku ini juga hanya menyertakan judul dan gambar di sampul (bagian depan) tanpa disertai nama penulis juga keterangan genre buku (puisi) yang biasa terletak di pojok kanan bawah halaman belakang buku, tepatnya di bawah barcode.

Tapi saya tidak akan melakukan penafsiran atas tampilan visual (fisik) buku Hilmi Faiq yang unik tersebut menggunakan teori semiotik, misalnya. Saya lebih tertarik untuk menilik lebih jauh beberapa puisi (batin bukunya) di dalamnya dengan interpretasi bebas sebagai konsekuensi pembacaan yang kreatif. Kita tahu bahwa menulis sajak atau puisi adalah suatu kegiatan kreatif juga sebuah upaya memuliakan kehidupan, mengatasi rasa tidak baik-baik saja -- demi menjaga kewarasan dan keseimbangan dalam hidup. Kata-kata memang bisa hilang, tapi tulisan akan dikenang dan dibaca ulang serta bisa memberikan pelajaran tentang kepekaan, empati dan inspirasi pada semua orang.

Puisi ialah milik semua orang, seperti udara bersih atau pemandangan langit malam, meski bagi setiap orang puisi dirasakan dan diterima (maknanya) dengan cara berbeda-beda. Termasuk perkara-perkara dalam hidup juga milik masing-masing orang dengan perbedaan penerimaannya. Tidak semua perkara dalam hidup kita maknai dengan puitis, meski nyaris. Mungkin hanya penyair atau penikmat puisi sejati yang dapat sampai pada momen puitik itu, tetapi orang awam pun bukan tidak mungkin sampai pada penghayatan yang puitis, mungkin bisa dikatakan nyaris, artinya tidak benar-benar tepat.

Menurut saya menulis puisi ialah salah satu upaya memeluk diri sendiri -- memaknai proses menulis puisi sebagai upaya memeluk “luka” sendiri untuk menyembuhkannya. Syukur-syukur puisi dapat memeluk atau paling tidak dapat menyentuh ruang batin orang-orang yang membacanya -- mendengarkan suara-suara yang diungkapkan oleh penulisnya kemudian tercerahkan, itu sebuah harapan yang besar. Saya kira puisi-puisi Hilmi Faiq telah melakukan tugas puisi dengan baik, yaitu menyentuh batin pembacanya, setidaknya bagi saya sendiri.

Puisi adalah bentuk seni yang telah ada selama berabad-abad. Bahwa puisi begitu penting dalam kehidupan ini, itu jelas. Betapa banyak orang yang mengaku setelah membaca puisi Jokpin merasa ditumbuhkan kembali harapan hidupnya yang sebelumnya porak poranda. Puisi juga dapat meningkatkan empati dan pengertian terhadap orang lain. Puisi memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan pikiran kita, mempunyai kelebihan sebagai media untuk mengekspresikan diri dengan cara yang sehat dan bisa membuat kita seolah katarsis -- mengalami suatu pencerahan.

Perkara-perkara dalam hidup seringkali kita alami, kita jumpai saban hari, ia melintas, bahkan singgah dalam hidup kita. Kita berada di tengah arus kehidupan yang bukan hanya kadang-kadang, tetapi seringkali tidak baik-baik saja. Cuaca iklim politik saat ini relevan sekali dengan sajak-sajak dalam buku “Perkara-Perkara Nyaris Puitis”, dengan kalimat pembuka semacam BAB: Tuhan Tak Mati dan Yang Dekat-Dekat. Katanya, setelah ini kita tahu hidup perlu ditertawakan bersama, sebab sudah lama dia menertawakan kita.

Segala kisah di lini kehidupan disajikan dengan sangat menarik dan saya kerap merasa "makjleb" dihunjami tusuk-tusukan tepat di ceruk hati oleh sajak-sajak Hilmi Faiq, terutama melalui sajaknya yang berjudul Negeri Jerami.

Hilmi Faiq telah berhasil menggunakan puisi sebagai media untuk menyampaikan kritikan terhadap permasalahan sosial yang terjadi antara pemerintahan dengan masyarakat (negara dan rakyat). Mengenai kenyataan-kenyataan, baik tentang rasa pahit, manis, getir, asin, asem, bahkan pedas, tidak hanya dijumpai di rumah makan atau di warung Tegal, namun tidak perlu jauh mencarinya sebab saban hari kita menyaksikannya dan sebagian kita lalui tanpa sadar. Seperti tampak dalam sajak berjudul Nyamuk.

Nyamuk

 

Seekor nyamuk hinggap di paha yang terlupa

: kau biarkan terbuka menggoda.

Sudah lama kiranya dia di sana,

Sampai kembung minta ampun.

 

Sekonyong-konyong kau sambar buku

: berkhotbah tentang kebaikan manusia.

Buk! Lalu tinggal tersisa merah saga.

 

Buku tentang kebaikan manusia

kau ajak sekongkol untuk membunuh.

 

2020

 

Betapa sederhana sajak Nyamuk di atas, kita seperti baru tersadar bahwa di hadapan seekor nyamuk kita hanyalah manusia yang mudah lalai dan kejam. Kita sering menggunakan buku -- yang bisa dimaknai sebagai kitab atau apa saja yang mengajarkan kebaikan dengan ganjaran pahala, misalnya – untuk mengajari orang lain tentang keharusan ini dan itu, tetapi dalam praktiknya kita justru menggunakannya untuk memukul seekor nyamuk yang lapar dan haus, nyamuk yang tengah meminum darah kita untuk meredakan derita lapar-hausnya, seakan kita menolak untuk mengamalkan kebaikan alih-alih lebih suka mengkhotbahkannya kepada orang lain.

Hal yang sama berlaku dalam kehidupan sosial kita, betapa sering kita mendengar dan melihat orang mengkhotbahkan agar kita bersikap adil dan jujur, misalnya, ‘jangan korupsi karena itu kejahatan’ (kata pejabat A), tetapi faktanya yang menganjurkannya malah suka berbohong dan koruptif.

Kondisi ketidakpedulian dan ketidakpekaan sosial yang secara faktual terjadi di sekitar kita juga tampak dalam puisi berjudul Pemancing Lapar, di sana penyair menggunakan metafor “buah segar” untuk menggambarkannya. Ketidakpedulian sosial itu terlihat di tiga baris penghabisan sajak Pemancing Lapar:

Tetapi itu tabiatmu sejak dulu

               : Berbagi harum.

               Tak pernah menyuguhkan buah ranum.

 

2022

 

Membaca puisi Hilmi Faiq membuat saya seperti tengah menonton film pendek tentang ketimpangan sosial, menjumpai hal-hal yang mengenaskan, terjadi di sekitar kita. Seperti dalam sajak yang lain, gambaran seorang remaja yang lusuh, rambut gimbal, berhari-hari tidak mandi, mungkin aroma itulah yang mengundang lalat silih berganti menghinggapi tubuhnya. Ia tak lagi khawatir dengan lapar, sebab ia bisa tidur pulas dan tenang, meski saya mencurigai si Bana menghisap aroma aibon sebelum terlelap. Tak peduli panas dan hujan si Bana tetap tenang.

Puisi-puisi Hilmi Faiq juga banyak yang menyinggung soal peran negara dan pemerintah yang absen. Seperti terjadi di negara kita yang para elit politiknya sudah duduk lupa berdiri, yang para aparatur negaranya korupsi dan tidak amanah. Cerita ini saya temukan dalam sajak Di Bawah Lindungan Tuhan, Tentang Seorang Polisi Ibukota, Jaga Jarak, dan Hikayat Seorang Wakil Rakyat.

Sekeras-kerasnya batu gunung, mungkin lebih keras hidup ini yang saban hari banyak kali dinamika hidup sosial dan politik yang acap menggembleng, membentur-benturkan hidup kita yang akan melahirkan banyak luka mengendap dalam perasaan-perasaan dan pikiran kita. Bagaimana pun kita tetap berusaha menjaga kewarasan di segala cuaca ini. Mungkin sebuah doa menjadi penguat -- menjadi penyemangat bahwa apa pun hidup ini mesti berlanjut, hal ini saya jumpai di sajak Kepala Batu. Sebuah doa untuk menguatkan diri di tengah iklim politik yang tidak baik-baik saja.

Suara yang hilang, jeritan yang lama-lama tak terdengar dan tak lagi didengar, namun terus bergerak -- kendati babak belur, tapi tidak sendirian digencet aturan-aturan yang kian mencekik -- ia terus berjuang, tak peduli tubuhnya yang menyala akan dipadam oleh pengendali kuasa dalam sebuah permainan. Cerita ini saya temukan pada sajak Di Negeri Saya.

Ada kalanya perasaan-perasaan gelisah -- misalnya, saat melihat ketimpangan sosial -- itu muncul, tapi tak jarang sebagian kita lebih suka bereaksi apa adanya atas realita sehari-hari, malah sebagian lain memilih sikap cuek daripada empati. Menjaga nyala “kegelisahan etis” itulah yang hendak dilakukan oleh puisi, dan Hilmi Faiq berupaya melakukannya.

Alangkah lebih indah jika “pesan” sajak yang dimaksud itu tak sebatas (pen-)citraan atau kemunafikan, tapi suatu kebenaran yang dinarasikan dengan jujur dan tepat, seperti kejadian-kejadian yang saya temukan di dalam buku kumpulan puisi Hilmi Faiq ini. Buku puisi yang memuat potret realita sosial yang dikemas dalam sajak-sajak yang setelah kita baca ada ledakan di penghujung kata, bukan ledakan emosi, namun ledakan tawa dan ledakan inspirasi.

Kiranya hanya hati yang jernih dan pikiran yang bersih yang mampu membaca potret realita dan menuangkannya ke dalam sajak-sajak humor yang menggelitik, mencerahkan dan secara langsung dapat memengaruhi -- mengubah paradigma dan perspektif kita. Buku puisi tanpa daftar isi dan kata pengantar ini menarik bahkan telah membawa saya pada arus kegelisahan penulisnya. Yang mahal dari buku ini adalah cara pandang dan gagasan yang dituliskan begitu asik, dengan diksi-diksi yang bertenaga, ringan tapi nendang, konyol dan lucu tanpa melupakan pesan kritik sosial yang ingin disampaikan pada pembaca.

Jika puisi-puisi itu terluka, saya ingin menjahitnya dengan ulasan yang solutif. Namun, ada juga saya menemukan sajak yang belum selesai, seperti masih menyisakan ambigu dan tanda tanya besar, salah satunya sajak yang berjudul Pneumonia.

 

Pneumonia

 

Dadaku terdiri dari senin dan kamis

 

Pneumonia adalah infeksi atau peradangan paru-paru, dadanya yang terkena radang terdiri dari senin dan kamis? Apakah nafasnya yang senin kamis ataukah keriuhan di dadanya yang berlangsung dari senin sampai kamis? Ini ambigu. Kalau napasnya yang senin kamis pastilah yang mengidap pneunomina sudah meninggal dunia. Jadi saya gagal mencerna -- meresapi sajak tersebut.

Buku “Perkara-Perkara Nyaris Puitis” layak dimiliki dan dibaca, mengapa? Membaca buku ini kita tak perlu mengernyitkan dahi, bahkan tidak akan sakit kepala karena diksi-diksinya mengalir. Ada yang dikemas dengan humor (humor gelap), walaupun kerap menemukan kata-kata yang menendang atau menampar kita atas rekam kejadian yang ada di dalamnya.

Di halaman 27, sajak yang berjudul Beda Keyakinan telah digubah Mas Ananda Sukarlan menjadi partitur -- not balok. Puisi yang menceritakan tentang perjumpaan dengan seseorang yang menawan yang menyebabkan terjangkitnya korona.

Dari semua sajak, ada sajak yang paling saya suka. Saya kutipkan utuh di sini, sajak yang berjudul Kaleng Khong Guan:

 

Kaleng Khong Guan

: Untuk Jokpin

 

Tak ada yang lebih tabah

daripada kaleng Khong Guan

Dia tetap senang diisi kerupuk, kacang

Peyek maupun rengginang

 

2021

 

Mengingatkan pada buku Jokpin yang berjudul “Perjamuan Khong Guan”, sajak Kaleng Khong Guan mengangkat realita yang terjadi di bulan Lebaran. Bahwa saat lebaran kerap terjadi banyak penipuan yang halal, yang tidak mengandung unsur pidana, yakni penipuan yang legal karena hampir sudah menjadi tradisi di setiap rumah yang anggota keluarganya merayakan lebaran dan menunggu sungkeman tetangga atau sanak saudara. Kaleng Khong Guan yang tersaji adalah kaleng refil dari tahun ke tahun dengan isi bervariasi sesuai selera -- bukanlah isi biskuit seperti asli pada umumnya dan paling atas ada wafer yang kerap jadi rebutan. Tapi kaleng berisi kerupuk, kacang, peyek dan rengginang. Sajak yang menggelitik, mengandung humor tapi serius ini sejatinya di dalamnya menyimpan makna yang lain, bahwa saat lebaran bukanlah ditandai dengan kemewahan baju baru, makanan mewah, dan segala sesuatu yang glamor. Lebaran ditandai oleh kemenangan kembali pada fitrah-Nya -- setelah sebulan penuh kita berpuasa, kita merayakan dengan kesederhanaan dengan kemenangan sejati, kebersihan hati dan jiwa. Di sisi lain, kumpulan sajak Khong Guan milik Jokpin dimaksudkan mengangkat perihal pentingnya toleransi antar umat beragama, terutama antar manusia.

Bait-bait dalam sajak-sajak Hilmi Faiq tidak hanya membuat saya tenggelam di kedalaman makna namun turut hanyut oleh derasnya arus suasana batin penulisnya. Dari berbagai sudut pandang bahkan dengan kacamata seorang jurnalis Hilmi Faiq telah berhasil mengungkapkan suara-suara batin, kegelisahan dan menerjemahkan lanskap kehidupan kota lewat sajak-sajak yang asik untuk dibaca.

Hilmi Faiq mampu menjadikan sajak sebagai ruang penghubung yang mempertemukan suara-suara batin -- kegelisahan penulis dengan realita yang dipotretnya melalui sebuah proses kristalisasi, kontemplasi jiwa dan mengungkapkan kembali peristiwa nyata itu dengan begitu apik dan estetik. Puisi itu sendiri sebagai ruang sunyi -- ruang yang sarat dengan perenungan dan permenungan. Puisi sebagai cermin, sebagai mozaik, sebagai instrumen, sebagai puzzle, sebagai alarm, sebagai embun, sebagai sari pati kehidupan, sebagai jembatan, sebagai jalan sunyi, sebagai arus deras yang menghayutkan. Puisi sebagai apa yang kita pikirkan dan rasakan, sebagai kehidupan itu sendiri.

Saya teringat Seno Gumira Ajidarma yang mengatakan bahwa, "Setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri. Puisi memang tidak bisa menunda kematian manusia yang sampai kepada akhir hidupnya, tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang masih hidup."

Akhirnya saya jatuh hati berkali-kali dan bertubi-tubi pada buku “Perkara-Perkara Nyaris Puitis”, mengapa? Sebab hidup saya juga puitis -- kiranya perlu dan penting dirayakan dengan membaca buku puisi ini. Selamat menunaikan perkara-perkara yang puitis. Salam.

Jakarta, 31 Oktober 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »