Kisah Abraham Sungkar, Lelaki yang Gagal Jadi Presiden Indonesia 2024 setelah Telat Kencing pada 1984 - Dadang Ari Murtono

@kontributor 2/11/2024

Kisah Abraham Sungkar, Lelaki yang Gagal Jadi Presiden Indonesia 2024 setelah Telat Kencing pada 1984

Dadang Ari Murtono

 


Ami bilang jika segala sesuatu berjalan lancar, semua orang di Indonesia akan tahu siapa Abraham Sungkar.

“Tapi siapa Abraham Sungkar?” aku bertanya.

“Itu masalahnya,” kata Ami. “Ia seharusnya menjadi presiden Indonesia tahun 2024.”

 

Menurut Ami, Abraham Sungkar lahir di Kota P pada awal tahun 70-an. “Namun semua dimulai sejak jauh hari sebelum ia dilahirkan,” kata Ami, “ketika Abraham Sungkar masih empat bulan dalam kandungan ibunya.”

Ini mulai terdengar tidak masuk akal. Dan aku cemas dengan kesehatan Ami.

“Aku baik-baik saja,” kata Ami. “Beberapa orang, kau harus yakin, mempunyai kemampuan yang tidak biasa. Dalam kasus Abraham Sungkar, ia memiliki ingatan yang sangat kuat. Termasuk ingatan sewaktu ia masih berada dalam kandungan.”

“Dan apa yang terjadi pada Abraham Sungkar sewaktu ia berada dalam kandungan?” aku bertanya, bukan karena aku benar-benar ingin tahu, tapi lebih karena ingin menghormati Ami yang sudah bersedia bercerita.

“Seperti semua yang dialami bakal janin berusia empat bulan dalam kandungan,” kata Ami, “malaikat mengajukan pertanyaan dan Abraham Sungkar menjawab. Tujuh puluh tujuh kali malaikat mengulangi pertanyaan itu dan tujuh puluh tujuh kali Abraham Sungkar menjawab iya. Dan seperti setiap bayi yang kemudian dilahirkan ke dunia yang fana ini, begitulah kesepakatan dibuat antara Abraham Sungkar dan malaikat, lalu Abraham Sungkar lahir lima setengah bulan kemudian.”

“Aku tidak ingat malaikat mengajukan pertanyaan kepadaku sewaktu aku masih empat bulan dalam rahim,” kataku. “Bahkan jika pertanyaan itu diulang sampai tujuh puluh tujuh kali.”

“Karena itu,” Ami menjawab, “aku bilang beberapa orang mempunyai kemampuan yang tidak biasa. Dan dalam kasus Abraham Sungkar, ia memiliki ingatan yang sangat kuat. Dalam kasus Logan, ia punya kemampuan regenerasi yang bagus dan bisa menumbuhkan cakar di kedua tangannya.”

“Logan?” aku bertanya.

“Wolverine,” Ami membalas, setengah tersenyum.

“Sial,” aku menjawab.

 

Sebelum bertanya kepada bakal janin berusia empat bulan dalam kandungan, kata Ami, malaikat memutar slide-slide peristiwa atau rekaman episode-episode kehidupan yang bakal dialami si bakal janin seandainya si bakal janin bersedia dilahirkan.

“Sebuah takdir,” kata Ami.

Dan si bakal janin, yang baru saja menerima ruh dari Sang Pencipta, akan menimbang-nimbang sebelum pada akhirnya ia memutuskan akan bersedia dilahirkan atau tidak.

“Jika itu memang benar-benar terjadi,” kataku, “aku pasti sudah mengatakan tidak bersedia. Seseorang dengan akun anonim di X menuduhku berbuat cabul. Dan semua orang menghabisi aku tanpa memberiku kesempatan membela diri. Dan lihatlah aku kini, terkucil, sendirian, tak punya apa-apa selain kau. Dan satu-satunya alasanmu menemaniku, kalau kupikir-pikir, hanya karena kau belum membayar uang tujuh juta yang kau pinjam setahun lalu. Dan kau juga kena makian karena masih berteman denganku, kan? Kau berkali-kali mengeluh stress, tapi tetap saja kau memilih untuk tetap berteman denganku.”

“Kau hanya tak ingat,” kata Ami, yakin. “Kau hanya tak ingat. Tapi yang jelas, kau menjawab iya pada waktu itu, pada waktu kau masih empat bulan dalam kandungan ibumu dan malaikat bertanya kepadamu. Karena itulah kau lahir dan bertemu denganku. Dan aku yakin aku menjawab iya pada waktu aku masih empat bulan dalam kandungan ibuku dan malaikat bertanya apakah aku bersedia dilahirkan meski telah diperlihatkan kepadaku slide-slide jika suatu waktu aku akan berhutang kepada seseorang yang dikucilkan karena dituduh melecehkan seseorang dan terpaksa berteman dengannya, meski memang terus-terusan mengeluh stress. Maafkan aku untuk keluhan-keluhan itu ya?”

“Maafkan aku karena telah merepotkanmu, ya?” aku membalas.

 

Slide-slide peristiwa yang diputar untuk Abraham Sungkar, kata Ami, adalah slide-slide yang sangat bagus. “Barangkali salah satu yang paling bagus yang mungkin terjadi pada takdir seseorang,” tambah Ami.

Slide-slide itu tidak dimulai dari bagaimana ia lahir, melainkan satu waktu ketika Abraham Sungkar berusia empat tahun dan ia bermain di bawah pohon jambu di halaman rumahnya dan angin sepoi-sepoi berhembus dari selatan dan bunga-bunga jambu berguguran.

“Itu,” kata Ami, “sepertinya ingatan pertama yang direncanakan untuk diingat oleh Abraham Sungkar. Tapi seperti kataku, ia ternyata memiliki ingatan yang sangat kuat. Jadi, ingatan pertamanya dimulai jauh sebelum itu, yakni sewaktu ia masih empat bulan dalam kandungan.”

Aku mengangguk. Ami berulang-ulang mengucapkan empat bulan dalam kandungan seolah-olah itu adalah bagian paling penting dari keseluruhan ceritanya.

Lantas slide melompat jauh ke suatu hari pada tahun 1984 ketika seorang tentara mengelus kepalanya dan berkata, “Kelak, setelah lulus sekolah, datanglah kepadaku.” Slide tersebut dilengkapi semacam lanskap yang tidak terlalu jelas. Sebuah karung, mobil jeep, pagi yang masih sedikit gelap, dan nuansa horor yang agak pekat.

Kemudian sebuah slide ketika ia menjadi tentara dan menembaki orang-orang di Timor Timur.

Lalu Abraham Sungkar melihat dirinya bertemu Soeharto di Istana Negara. Kemudian ia menyaksikan dirinya menculik sejumlah orang yang berdemonstrasi pada tahun 1998. Dan selanjutnya ia menemukan dirinya berhadap-hadapan dengan hakim yang mulia dalam satu sidang militer setelah Soeharto lengser.

Abraham Sungkar, yang masih bakal janin berusia empat bulan dalam kandungan, menggeleng dan hampir memutuskan tidak mau dilahirkan. Namun setelah itu ia melihat dirinya sendiri berdiri gagah di atas podium, berorasi di hadapan ribuan masyarakat, mendeklarasikan sebuah partai politik.

Abraham Sungkar menemukan dirinya berkampanye ke pelosok-pelosok negeri. Dan pada akhirnya, pada tahun 2024, Abraham Sungkar menyaksikan dirinya sendiri dilantik menjadi presiden Indonesia.

Slide terakhir adalah Abraham Sungkar berbaring di ranjangnya yang empuk, dikelilingi orang-orang yang menyayangi dan menghormatinya, sebagai salah satu presiden terbaik Indonesia. Ia menghembuskan napas terakhir dan orang-orang menangis sedih.

“Hidup yang menarik,” aku menghela napas.

“Dan bakal janin Abraham Sungkar mengangguk mantap kepada si malaikat,” kata Ami. “Ia menjawab iya dan terus menjawab iya sebanyak tujuh puluh tujuh kali.”

 

“Tapi masalahnya,” kataku sambil tersenyum masam, “tak mungkin Abraham Sungkar menjadi presiden Indonesia tahun 2024. Selain kau, barangkali tak ada lagi yang tahu bahwa ada seseorang bernama Abraham Sungkar di Indonesia.”

“Itu memang masalahnya,” jawab Ami. Ia menggeleng-gelengkan kepala.

Abraham Sungkar bermain-main di bawah pohon jambu yang tumbuh di halaman rumahnya ketika berusia empat tahun, kata Ami meneruskan ceritanya. Angin sepoi-sepoi berhembus dan daun-daun jambu berguguran. Beberapa di antaranya menyelip di sela-sela rambut Abraham Sungkar. Dan Abraham Sungkar tersenyum bahagia.

Semua, agaknya, telah dimulai.

Lalu Abraham Sungkar menunggu. Ia menunggu dan menunggu. Ia menunggu hari di tahun 1984 ketika seorang tentara tiba dan mengelus kepalanya dan berpesan agar Abraham Sungkar datang kepada si tentara setelah lulus sekolah atas.

Tapi tidak ada yang terjadi selain Abraham Sungkar yang menunggu dan terus menunggu dan terus menunggu. Bahkan ketika tahun 1984 sudah berganti 1985. Abraham Sungkar masih menunggu, berharap ada kekeliruan kecil mengenai tahun dalam slide yang diputar untuknya oleh si malaikat. Maka ia menunggu lebih lama lagi. Lebih lama sedikit lagi. Dan tahun kembali berganti. Dan Abraham Sungkar berpikir mungkin kesalahan tahun dalam slide itu sedikit lebih jauh. Maka ia kembali menunggu. Menunggu. Dan tahun-tahun terus berganti.

Abraham Sungkar tidak pernah menemukan dirinya menjadi tentara dan menembaki orang-orang di Timor Timur. Abraham Sungkar tidak pernah menemukan dirinya bertemu Soeharto di Istana Negara. Abraham Sungkar tidak pernah menemukan dirinya menculik sejumlah orang yang berdemonstrasi pada tahun 1998. Abraham Sungkar tidak pernah dihadapkan di meja peradilan militer. Abraham Sungkar tidak pernah berdiri di podium dan berorasi dalam sebuah deklarasi partai politik. Dan tentu saja, Abraham Sungkar tidak akan pernah menjadi presiden Indonesia tahun 2024.

Abraham Sungkar hanya terus menunggu. Dan sepanjang waktu itu, ia merenungkan apa yang salah, apa yang menjadi muasal kekacauan peristiwa yang ditakdirkan untuknya.

Dan pada akhirnya, Abraham Sungkar menemukan titik mula kekacauan itu.

“Dan apa itu?” aku bertanya. “Apa titik mula kekacauan takdir Abraham Sungkar?”

“Pada hari itu,” kata Ami, “pada suatu hari di tahun 1984, sewaktu ia seharusnya bertemu si tentara, Abraham Sungkar memulai aktivitas hariannya sedikit terlambat. Si tentara baru saja pergi setelah membuang satu karung berisi mayat seorang lelaki di ujung gang ketika Abraham Sungkar keluar rumah untuk kencing seperti kebiasaannya. Dan mobil jeep si tentara sudah berjalan menjauh. Abraham Sungkar bersumpah ia masih melihat kepulan asap mobil jeep itu. Beberapa menit, hanya beberapa menit dan keseluruhan takdir berubah.”

“Oh,” aku mendesis. “Apa yang dilakukan tentara itu sebenarnya?”

“Apalagi?” Ami berkata pelan. “Dugaan Abraham Sungkar adalah seharusnya ia bangun lebih pagi, ia kencing seperti biasa, dan memergoki si tentara yang sedang membuang mayat seorang preman korban penembakan misterius tak jauh dari rumah Abraham Sungkar. Si tentara menghampirinya, memberinya alamat, dan menyuruhnya tutup mulut, dan menjanjikan akan memasukkannya ke akademi tentara begitu ia lulus sekolah atas. Agaknya, jika itu terjadi, ia akan cukup berbakat menjadi tentara. Karirnya melesat cepat. Ia ditugaskan ke Timor Timur. Dan semua akan berjalan sebagaimana slide-slide yang ditunjukkan oleh si malaikat ketika ia masih empat bulan dalam kandungan.”

“Tapi semua itu tidak terjadi,” kataku.

“Begitulah,” kata Ami. “Begitulah yang diceritakan Abraham Sungkar kepadaku. Hanya karena ia terlambat bangun dari tempat tidur beberapa menit. Dan kau tahu alasan ia terlambat bangun dari tempat tidur?”

Aku menggeleng, tentu saja.

“Abraham Sungkar sudah membuka mata waktu itu,” kata Ami. “Tapi dia ingin sedikit bermalas-malasan di tempat tidur. Beberapa menit, katanya. Dan beberapa menit itu mengubah keseluruhan takdir yang ditentukan. Hanya beberapa menit. Beberapa menit yang muncul dari keputusannya sendiri.”

“Oh,” aku mendeis.

“Karena itulah,” lanjut Ami, “Abraham Sungkar pada akhirnya juga berkata kepadaku bahwa kita sendirilah yang menentukan takdir kita. Bukan Tuhan. Bukan malaikat. Bukan apa yang sudah direncanakan semenjak kita masih dalam kandungan.”

“Ya,” aku menyahut. “Bukan Tuhan, bukan malaikat.”

Aku terdiam sebentar. “Namun hari ini, orang lainlah yang menentukan takdir kita. Seperti yang aku alami,” aku menambahkan setelah menarik napas panjang. “Bahkan orang lain yang menggunakan akun anonim di dunia maya dan menyebarkan isu yang tidak jelas. Lalu, boom, hancurlah keseluruhan kehidupanku, karirku, teman-temanku. Semua!”

Ami tersenyum tipis.

“Semua akan baik-baik saja,” katanya, “semua akan baik-baik saja. Kau bisa melewati ini.”

Aku menggeleng. Aku tak yakin aku bisa.

“Mungkinkah,” kataku pada akhirnya, “kita pernah telat bangun pagi dan semua takdir baik yang disediakan kepada kita berubah? Seperti yang dialami Abraham Sungkar?”

Kini Ami yang menggeleng. “Sepertinya itu tidak lagi penting sekarang,” katanya. “Kita hanya harus menerima dan menghadapinya, seperti Abraham Sungkar.”

Dan aku mengangguk, lemah.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »