Abdul Hadi WM: Hati Penyair Madura - Saifur Rohman

@kontributor 2/04/2024

Abdul Hadi WM: Hati Penyair Madura

Saifur Rohman





Langit sastra Indonesia tampak sangat mendung. Jumat 19 Januari 2024 pukul empat pagi, di beranda media sosial, Gayatri Wedotami atau akrab disapa dengan Chen Chen, putri Prof Dr Abdul Hadi Wiji Muthari atau biasa disebut dengan Abdul Hadi WM menulis kepergian sang ayah pada pukul 03.36 WIB. Jenazah disemayamkan di rumah duka di Jatiasih dari RSU Gatot Subroto. Sejumlah tokoh nasional turut serta mengantarkan kepergiannya. Belum kering tanah pusaranya, tiga hari kemudian Sastra Indonesia makin mendung ketika mendengar kabar Ignas Kleden meninggal dunia pada Senin (22 Januari 2024).

Bila Ignas Kleden lebih dikenal dalam pemikiran kritis tentang sosial, Hadi lebih dikenang sebagai penyair sufistik dalam sejarah sastra Indonesia. Bagi Teeuw, Kleden dan Abdul Hadi tidak pernah bisa ditemukan karena Abdul Hadi “tidak pernah menyentuh persoalan sosial” dan Ignas Kleden tidak pernah menyentuh dunia sufisme. Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern II melihat melihat bahwa Abdul Hadi dianggap “tidak pernah melibatkan diri secara langsung terhadap masalah sosial, atau terhadap masyarakat di sekelilingnya” (Teeuw, 1989: 45). Menyanggah hasil pembacaan Teeuw itu juga dapat ditampilkan laporan dari Koran Tempo. Dalam laporan Koran Tempo dikatakan, Abdul Hadi adalah penyair yang selalu istikamah dengan tema-tema sufistik (Sabtu, 20 Januari 2024).

      Dari kutipan itu jelas, Teeuw menuduh apatisme Abdul Hadi hanya karena tidak bisa mengaitkan dengan kasus-kasus sosial seperti puisi pamflet Rendra, perlawanan Wiji Thukul, kritik sosial Mutofa Bisri, atau herosime 1966 oleh Taufik Ismail, tetapi selaras dengan imagisnme Sapardi Djoko Damono atau kesederhanaan Djoko Pinurbo.

      Puisi-puisi awal Abdul Hadi justru menyingkap realitas ultim dari kemanusiaan melalui artefak sosial, seperti jalan raya, jam, pulpen, dan tulisan. Dalam buku Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno (2001) Sutardji Calzoum Bachri bersaksi awal kepenyairan Abdul hadir adalah 1970-an. Dia dianggap berhasil mengikatkan sajaknya “dengan kesederhanaan namun terasa mantap dalam upaya meraih kearifan” (Bachri, 2001: 2).

Marilah kita membaca puisi-puisi di awal kepenyairannya. Pada 1978 dia menulis puisi berjudul “Jalan” (Budaya Jaya, No 100, September 1978). Dikisahkan, “Matamu penuh jam: Kau Berjalan./ Tiktok itu menghentikanmu di tiap tikungan,/ Kau menoleh ke arah angin yang bilang, Kau Ketinggalan! –Tapi kau tak kehilangan/Seperti gelombang. Dan angin maut tak dapat/ mematahkan jalanmu di air”. Sebuah perjalaan yang saling menyalip itu akan didapati orang melaju cepat dan orang yang tertinggal. Ketika tokoh aku dituduh tertinggal, dia menyatakan tidak masalah karena dia tidak kehilangan tujuan. Kematian pun tidak akan menghentikan tujuannya. Di akhir puisinya, ketika sang tokoh mulai menua, tapi sang tokoh pun menunjukkan tujuannya untuk mencapai kebenaran yang ultim. Dikatakan, “Mereka pun tua, mereka mengucapkan:/ Kebenaran tidur/ Lebih dalam”.

      Realitas kebenaran yang ditangkap oleh penyair tidak berhasil dipahami oleh Teeuw. Sial bagi Teeuw karena puisi-puisi awalnya terlibat lebih dalam menuju wilayah eskatologis. Jika Teeuw hidup sekarang, dia akan tahu bahwa realitas eskatologis, mistik, dan ilahiah menjadi bagian tak terpisahkan dari Abdul Hadi hari ini. Puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat “ dipilih oleh Koran Tempo sebagai bagian dari obituari pada Sabtu (20 Januari 2023). Koran tersebut memberikan label sufisme dalam puisi-puisinya. Puisi-puisi yang dikumpulkan dalam Meditasi membuktikan hal itu. Tidak berselang lama, Meditasi memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1978. Saat itu dia berumur 32 tahun. Abdul Hadi WM lahir di Madura, 24 Juni 1946. Pemamahan tentang sastra dan filsafat diperoleh dari pendidikan jurusan Sastra Indonesia dan filsafat di UGM. Dia kemudian melanjutkan pascasarjana di Universiti Sains Malaysia (USM) pada 1996. Pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Menjadi dosen tetap di Universitas Paramadina-Mulya Jakarta sejak 1998 dan menjadi dosen luar biasa di Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Selain memperoleh Hadiah Puisi Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta 1978 untuk kumpulan puisi Meditasi, juga memperoleh Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1979, hadiah Buku Terbaik Yayasan Buku Utama (2001) dan Hadiah Mastera (2003).

      Fakta tersebut menunjukkan bahwa Abdul Hadi secara intelektual telah memahami konsepsi sastra, filsafat, dan capaian-capaian estetik sebelumnya. Pemahaman itu merupakan bukti faktual untuk mengelak dari tuduhan Teeuw tentang apatisme sosial. Apalagi ketika Abdul Hadi menyatakan bahwa makna puisi bukan hanya pada kata-kata eksplisit, tetapi di tempat yang tidak lagi bisa dimanifestasikan dalam kata-kata. Ungkapan itu ditulis dalam pengakuan proses kreatif puisi-puisinya yang diterbitkan oleh Grasindo pada 2006. Pembawaannya yang kalem dan tidak banyak bicara juga memberikan kesan bahwa dia adalah seorang pemikir yang kuat. Hal itu terbukti saat kami mengundangnya dalam acara kesastraan di kampus di Jakarta beberapa waktu silam.

Pembaca masa kini dapat menikmati puisi-puisi dalam buku Meditasi itu di dalam kumpulan yang diterbitkan oleh Grasindo berjudul Madura, Luang Prabhang (2006). Terdapat 100 puisi yang berasal dari beberapa kumpulan puisi sebelumnya. Dia mengaku masa paling produktif dalam penulisan puisinya adalah 1967-1990. Menurutnya, masa itu adalah “periode yang saya akui merupakan masa-masa subur kepenyairan saya sebelum terbenam dalam kegiatan akademis dan ilmiah pada dekade berikutnya.” (Hadi, 2006: xi). istilah “kegiatan akademik” sebagaimana dituliskan itu mengacu pada upaya menempuh pendidikan doktoral di Universiti Sains Malaysia.

Dibandingkan dengan Teeuw, penilaian Sapardi Djoko Damono tampak lebih hati-hati. Damono dalam Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan menekankan aspek stilistiknya dengan menyatakan bahwa kekuatan Abdul Hadi terletak pada citra lihatan (Damono, 1983: 32). Citraan itu dapat dikatakan sebagai tampilan luar dari puisi Hadi karena tampilan dalamnya merujuk pada wilayah yang tak tepernamai.

Pendek kata, capaian estetis Hadi dalam horison sastra Indonesia tidak berhenti pada citraan visual sebagaimana dikatakan oleh Damono. Madura sebagai bagian dari budaya pesisir adalah latar belakang kunci untuk memahami ruang kreatif dan sosialnya. Zawawi Imron tentang “dubur ayam” dan “celurit” melambangkan budaya yang terbuka dari Madura, tetapi Hadi dengan “kedekatan Tuhannya” memberikan ruang religius yang lebih esensial dan mendalam. Hadi memperkenalkan substratum budaya pesisir yang dipenuhi dengan sage-sage tentang Siti Jenar, Al-Hallaj, atau Hamzah Fansuri. Jika Zamawi Imron adalah mulut orang Madura, maka Abdul Hadi adalah hatinya. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »