Lanun Alang Tiga: Cermin Semangat Perjuangan dalam Bingkai Sejarah - Riki Utomi

@kontributor 3/10/2024

Lanun Alang TigaCermin Semangat Perjuangan dalam Bingkai Sejarah

Riki Utomi



Kita patut menyambut gembira dengan hadirnya novel bertema sejarah Lanun Alang Tiga karya Datuk Seri Lela Budaya Rida K Liamsi ini. Setelah sukses dengan masterpiece-nya Bulang Cahaya, kini hadir kembali dengan karya terbarunya yang menggugah. Datuk Rida memang sangat piawai dalam menggali sejarah ke dalam karya prosa fiksi yang memikat; berkesan, memotivasi, menginspirasi, dan memberi kontribusi besar bagi masyarakat Melayu, baik di Riau dan Kepulauan Riau, juga umumnya masyarakat Melayu di Indonesia bahkan sampai negeri jiran, Malaysia. Novel yang sarat nilai-nilai sejarah dan keraifan lokal Melayu ini, menurut saya, mampu menjadi barometer untuk kembali mengenang tentang betapa besarnya, gagahnya, dan mulianya kita (bangsa Melayu) pada masa lalu. Tentu bukan hanya besar, gagah, dan mulia secara kekuasaan namun juga dalam kekuatan melawan kezaliman penjajah (Belanda).

Melalui pembacaan novel ini kita dapat mengetahui bahwa sejak dahulu, sebelum terbentuk NKRI, Belanda telah kemaruk dan menyusah di tanah Melayu; selalu berusaha ingin mendapatkan apa-apa yang bukan miliknya dan lebih parah ingin mencampuri urusan kerajaan-kerajaan Melayu dengan menekan para sultan dalam perjanjian-perjanjian tertulis. Hal itu menunjukkan bangsa asing begitu masif ingin mendapatkan apapun di bumi Melayu ini. Tetapi, tentu hal itu tidak serta-merta mereka dapatkan dengan mulus, meskipun jalan licik melewati perjanjian-perjanjian penandatanganan secara politis itu dilakukan dengan petinggi kerajaan. Sebagian dari kaum bangsawan kerajaan yang memang menaruh kebencian terhadap kaum kolonial tersebut akan bersikeras untuk berontak dengan menyimpan persiapan-persiapan untuk melawan, seperti ibarat “menyimpan api dalam sekam”. Untuk itulah tidak jarang terjadi pertempuran dahsyat yang merugikan pihak penjajah. Ini menunjukkan bahwa sejak dulu bangsa Melayu telah memiliki karakter sebagai manusia-manusia tangguh dalam berperang, selain juga rasa kesetiaan dalam menjaga resam dan marwah adat untuk dijunjung tinggi yang tidak rela diinjak-injak oleh kekuasaan bangsa asing.

Lihatlah betapa seenaknya saja Belanda mengatakan bahwa kerajaan Melayu sebagai “negeri pinjaman” yang bilamana sewaktu-waktu terjadi pembangkangan diantara para sultan akan diambil alih oleh pihak Belanda. Hal ini—seperti pula yang digeramkan oleh para sultan dalam cerita ini—membuat saya pribadi sebagai pembaca juga menjadi ikut geram. Hal ini dapat kita tinjau dari ungkapan Sultan Mahmud Muzaffar Syah pada 1841 yang di nobatkan menjadi sultan yang baru menggantikan ayahnya yang wafat.

“Beta paling sakit hati dengan isi perjanjian ini yang mengatakan bahwa negeri kita ini sebagai negeri pinjaman. Padahal ini negeri milik nenek moyang kita, orang Melayu yang didirikan dengan darah dan air mata. Gara-gara kita cuai dan kalah dalam berunding, lalu penjajah Belanda itu dengan senang lenang merampas kedaulatan kita dan mengatakan negeri kita ini milik mereka dan kita cuma meminjam. Kalau bisa beta rampas! Besok pagi pun beta rampas!” (hlm. 167-168)

Bisa-bisanya bangsa kaum kafir laknatullah itu berkata begitu! Dan kita sebagai pemilik sah tanah ini, bangsa ini, akan mudah saja diambil oleh mereka? Nauzubillahiminzallik! Namun sebagai pembaca, rasa geram saya itu terobati juga karena dibuat kagum oleh perjuangan sebagian besar para sultan baik dari bangsa Melayu sendiri dan dari Yang Dipertuan Muda belah Bugis dengan para pengawal-pengawal setia mereka untuk mempertahankan marwah. Lihatlah, betapa gigihnya para lanun Tempasuk menghancurkan Belanda di Tanjungpinang, lalu mereka membantu Sultan Mahmud Riayat Syah membangun istana di Daik, Pulau Lingga untuk menjadikan pusat pemerintahan. Juga betapa gigih dan setianya kepada sultan dari sosok Tengku Sulung sebagai panglima besar Reteh yang mengabdi kepada Sultan Lingga. Begitu pula ayahnya Tok Lukas yang juga senantiasa setia kepada sultan. Mereka sebagai sosok pemberani menentang kezaliman penjajah.


“Yang Dipertuan Besar Mahmud Muzaffar Syah telah dimakzulkan oleh Belanda. Pihak Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga tidak berdaya melawan dan terpaksa mendukung Belanda. Beta tidak mau menyembah raja lain, selain Mahmud dan keturunannya! Yang menggantikannya, bapak saudaranya, Tengku Sulaiman. Kita harus membela Baginda Mahmud karena dialah yang telah menyelamatkan kita, orang-orang Iranun dari kejaran Belanda. Dialah yang telah memberi kita negeri tempat berpijak dan beta telah berjanji akan membela Baginda Mahmud sampai mati. Besok kita membuat kubu yang baru dan bersiap perang. Kita pindah ke Sungai Batang. Di sana ada tempat yang bagus, menghadap ke Kuala Indragiri. Kita boleh menanti Belanda dan sekutunya, Sultan Riau, di sana. Kalau takdir kita harus mati, biarlah kita mati secara terhormat. Pantang kita bangsa Iranun ini bertekuk lutut pada penjajah!” kata Panglima Besar Sulung memberi tahu para pengawalnya. Kemudian mereka bersumpah untuk sehidup semati. (hlm. 178-179).

 

***

 

Novel Lanun Alang Tiga karya Datuk Rida ini bukan sebatas mengisahkan unsur-unsur sejarah saja, tetapi juga unggul dalam mengisahkan tokoh-tokoh utamanya sebagai sosok dengan karakter kuat dalam menjalani hidup. Masing-masing tokoh mampu menunjukkan karakternya yang khas. Nadin Sukmara dalam novel ini sebagai seorang wartawan Suara Borneo di Sabah, Malaysia, menjadi tokoh sentral yang mengawali kisah novel ini. Setelah berhasil menuliskan berita tentang sepak terjang suku Iranun, ia disokong pihak redaksi untuk mengadakan penelitian dan peliputan khusus tentang hal itu ke Riau dan Kepualaun Riau. Kebetulan karena ia sendiri juga keturnan Iranun, begitu pula Pemimpin Redaksinya. Maka ia pun pergi dari Sabah menuju Pekanbaru. Dimana dalam perjalanannya mengumpulkan bahan berita selama sebulan itu ia ditemani oleh Profesor Kazzai seorang ahli sejarah dan Mustam seorang wartawan tempatan yang senantiasa menceritakan tentang sejarah kaum Iranun yang telah memencar kemana-mana pada seantero jagad Melayu ini.

Novel ini dikisahkan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu, yaitu pengarangnya sendiri. Sehingga secara garis besar pengarang dapat bebas dan leluasa mengisahkan tentang segala tokohnya baik dari sosok Nadin dan lainnya, maupun tokoh-tokoh masa lalu dalam sejarah, seperti para Sultan dan orang-orang kepercayaannya. Secara jauh, novel ini mampu diungkapkan secara lihai oleh Datuk Rida dengan segala konflik yang melanda para tokohnya.

Mengangkat sejarah masa lalu ke dalam karya fiksi memang tidak mudah. Sejarah masa lalu yang memang pernah ada terjadi di negeri Melayu ini merupakan harta yang tidak ternilai bagi kita sebagai generasi masa kini. Hanya melewati orang-orang yang memiliki kecerdasan dalam mengolah imajinasilah yang mampu meresap kembali nilai-nilai resam itu dan mengungkapkannya untuk dijadikan kisah spektakuler dalam bentuk karya sastra. Maka Datuk Rida, hemat saya, merupakan salah seorang yang luar biasa dalam menggali khazanah sejarah itu untuk dapat kita nikmati kembali saat ini.

Lihatlah betapa runtut kisah yang dipaparkan tentang bagaimana kehidupan pada masa kerajaan itu. Jalinan yang selaras dari sejumlah tokoh dari berbagai kerajaan Melayu di Riau maupun di daerah lain yang juga saling terpaut. Hal ini diperkuat oleh angka tahun yang runtut dan jelas melatarbelakangi setiap peristiwa penting pada masa itu. Dijalin pula oleh konflik, baik internal maupun eksternal dari kaum-kaum elit bangsawan Melayu dengan pihak Bugis atau juga dengan pihak Belanda. Tidak luput kisah-kisah terjadinya sengketa yang saling berebut kekuasaan dalam menggantikan kedudukan sebagai pucuk pimpinan negeri hingga berakhir pertikaian sesama anak negeri. Namun pula kadang kala dapat diredam oleh jalinan tali perjodohan antaranak bangsawan untuk kembali merekat persaudaraan antarsesama puak agar tidak larut dalam sengketa berkepanjangan. Ya, selain dengan mengangkat tombak dan menghunus keris, juga dengan jalan pernikahan dalam menjaga pertalian persaudaraan itu mampu dirasa menjadi jalan tengah agar dapat menepikan keegoan masing-masing pihak yang memiliki kekuasaan.

Ketertarikan dari dua insan seperti yang terjadi pada Tengku Maimunah, anak gadis Tengku Yahya yang menyukai Tok Lukus pengawal setia kerajaan juga dirasa memiliki jalinan persebatian untuk mempererat antara bangsa Iranun dengan kaum bangsawan Melayu. Meskipun sebelumnya terjadi konflik batin di pihak Tengku Yahya karena masalah perbedaan derajat, karena Tok Lukus berasal dari kaum bajak laut.

 

“Apa Ayahanda tidak malu bermenantukan Raja Lanun? Raja perompak?” tiba-tiba Tengku Maimunah berkata dengan suara serak, sambil memandang ayahnya. Tapi ayahnya tersenyum, “Apa yang salah? Apa yang sumbang? Moyang kita dulu, Raja Kecik atau Abdul Jalil Rahmat Syah, pada mulanya sebelum menjadi Sultan Johor, juga seorang bajak laut. Tapi dia berdarah Melaka. Darah Bukit Siguntang. Malanun itu bukan mencari hidup, tetapi salah satu cara merebut yang hak. Hak kita raja-raja Melayu. Cuma caranya melalui cara bajak laut untuk mengumpulkan harta dan pengikut. Datuk ananda dulu, Sultan Ismail juga merayau sampai ke Siantan. Bukan mencari makan, tetapi mengumpulkan kekuatan untuk merebut kembali tahta Kerajaan Siak. Yang mengatakan kita ini jahat, musuh-musuh kita. Hanya Belanda. Mereka orang asing. Ini bukan kampung halaman mereka. Mereka itu yang merampas hak kita. Mereka juga datang dengan perahu perang, jauh dari negeri orang putih dan mereka itu sebenarnya yang bajak laut. Merompak negeri kita. Raja Laut, merampas hak orang lain. Sama, tinggal siapa yang mengatakannya. Siapa yang berkuasa,” Tengku Yahya memberi tahu anaknya, apa yang dia pikirkan, bagaimana sikapnya jika sampai anaknya menikah dengan Tok Lukus. (hlm. 232-233).

 

Seperti yang sering terjadi dalam lingkungan kerajaan bahwa jalinan antarkerjaan dapat dieratkan dengan menjodohkan anak-anak raja. Penjodohan yang lazim dan seolah menjadi “baku” pada masa itu menjadikan orang-orang pada masa kerajaan dahulu tidak dapat leluasa dalam memilih. Seperti yang terjadi pada Tengku Maimunah yang sempat akan dijodohkan dengan seorang putra sultan dari Trengganu. Namun ia bersikeras menolak. Tetapi, lagi-lagi, “kebakuan” itu diungkapkan neneknya dengan penuh harapan.

 

“Bahwa menjadi putri seorang raja itu memang tidak boleh banyak memilih. Ada yang disebut nikahul siasah: pernikahan untuk kepentingan kerajaan, merapatkan persaudaraan, mengekalkan persekutuan, dan kepentingan tahta/kuasa.” (hlm. 233).

 

Setidaknya dapat kita bayangkan “kekangan” yang terjadi dalam lingkungan kaum elit bangsawan pada masa lalu dalam hal itu. Namun, tentu pada masa itu penanaman prinsip demikian mampu memberikan sugesti penuh untuk menunjang kepentingan-kepentingan tertentu bagi para raja selain dari mempertahankan sebuah kerajaan. Hingga jalinan antarkerajaan, suku, politik, ekonomi, dan lainnya dapat berlangsung erat oleh tali pernikahan anak-anak raja. Hal ini diperkuat lagi oleh pengalaman nenek Tengku Maimunah yang juga dahulu dinikahkan dengan seorang anak raja dari Kerajaan Siak, Tengku Ismail.

 

“Nenenda juga begitu. Bukankah dahulu nenenda tidak tahu siapa Tengku Ismail Siak itu? Tapi ayah nenenda Sultan Mansyur Syah, menjodohkan kami. Kita perlu mempererat persebatian sesama Melayu menghadapi pihak Bugis,” ucap Tengku Tifah. Perempuan yang tampak sangat arif dan penuh pertimbangan. (hlm. 232-234).

 

Persebatian panjang Tok Lukus dengan Kemaharajaan Riau Lingga patut dijadikan hikmah. Sebagai orang kepercayaan sultan, Tok Lukus yang juga keturunan bangsawan, datuknya raja di Tempasuk merupakan raja Iranun, benar-benar ingin mengabdi tanpa pamrih. Pengabdiannya dalam menolong Tengku Yahya menuju Lingga dari kejaran pihak-pihak yang saling merebut kekuasaan. Kisah kasih mereka ini setidaknya tersandung kasta. Tok Lukus yang memang dikenal lanun penguasa laut itu memang rendah hati, tidak serta-merta mengungkapkan rasa sukanya dengan menggebu-gebu kepada Tengku Maimunah. Kisah asmara ini sepertinya belum dapat diikuti titik terangnya apakah mereka berhasil membangun kasih? Namun dalam hal ini, sebagai pembaca, kita dapat mengambil hikmah bahwa seorang yang notabenenya keras dan garang, cadas dan liat, tetap mampu memperlihatkan kelembutan dan tidak tergesa-gesa dalam bersikap ketika mengungkapkan perasaan cintanya, lebih jauh dapat dikatakan mampu menunjukkan nilai-nilai karakter sopan santun dan tahu diri, juga tahu adat dimanapun berada.

Di sini Datuk Rida menempatkan porsi yang sama dalam mengolah konflik tokoh-tokohnya. Bukan hanya kisah dari tokoh-tokoh sejarah saja yang disikahkan demikian, tetapi juga dari tokoh sentral novel ini Nadin Sukmara. Sebelum wartawan muda engergik ini bertolak ke Riau, ia sudah memiliki kekasih anak asli Sabah yaitu Haini yang juga seorang wartawan. Jalinan cinta mereka sudah masuk usia empat tahun. Namun belum kuat untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Tetapi setibanya ia di Riau, berada di Reteh, Indragiri, Nadin seperti nahkoda kehilangan kompas; terombang-ambing oleh perasaannya yang begitu sulit untuk menentukan pilihan. Ia pun mengalami konflik batin karena memendam perasaan cinta kepada seorang dara suku Iranun bernama Julia. Julia, seorang gadis periang yang setamat kuliah ingin mengabdi di kampungnya sebagai guru seni-budaya. Sebagai anak kepala suku Iranun, orang tua Julia yaitu ayahnya Ami Mat setuju bila Nadin menikah dengan anak gadisnya itu.

Tetapi di satu sisi, Julia juga mengalami konflik batin yaitu rasa serba salah apakah ia akan menerima Nadin dalam hidupnya kelak, sedangkan ia juga telah memiliki kekasih yaitu Awi yang masih ada di Pekanbaru. Satu sisi ia menyukai Nadin karena memiliki watak fleksibel, suka bercanda, menepati janji, dan mampu berterus terang. Berbeda dengan Awi yang selalu dingin, apa adanya, kurang agresif, sulit ditebak, dan sedikit bicara. Sehingga dua insan ini saling memendam perasaan dan saling menebak takdir hidup.

Di sini terasa sekali begitu kompleksnya kisah-kisah yang diuraikan dalam novel ini. Pak Rida mampu memberikan bobot ceritanya dengan alur kisah yang lancar, padat, terarah, dan tidak jatuh kepada kesan-kesan percintaan yang picisan. Segala sikap dari tokoh yang mengalami konflik tersebut dapat kita ikuti dengan sikap-sikap dewasa dan bersahaja. Hal ini dapat dilihat dari tokoh Julia yang menyikapi dengan bijak, akhirnya memutuskan untuk tidak menerima Nadin dalam kehidupannya, meski ia tahu hati Nadin terluka. Julia berbuat demikian karena mengerti bagaimana perasaan perempuan bila terluka. Ia tidak ingin larut memendam perasaan remuk dan serba salah itu. Ia mengerti perasaan Haini, pacar Nadin yang menghubunginya dari Sabah sebelum keberangkatannya ke Jepang, untuk menanyakan kepastian hubungan itu.

 

Julia meneruskan semua isi WA Haini kepada Nadin. Kemudian dia menulis penutup, “Bang Nadin, dimana sekarang? Pulanglah segera. Kak Haini menanti. Jangan rusak hubungan yang sudah bertahun-tahun itu karena perkenalan sebulan. Tidak mudah juga bagi Julia untuk membuat putusan meninggalkan bang Awi. Kami sudah sepakat untuk tetap memelihara hubungan kami meski Ami dan Umi belum setuju ….” (hlm. 335).

 

Konflik percintaan itu akhirnya berakhir dengan keputusan dewasa dari Julia yang penuh kepastian untuk menolak “rasa hati” Nadin kepadanya. Meski di satu sisi, ayahnya telah menganggap ia sebagai anak durhaka yang tidak mau menuruti keinginan orang tua. Bagi Julia, tidaklah boleh sama masa kini dengan masa dahulu. Sebagai orang berpendidikan ia tidak ingin dikekang dalam hal perjodohan meski ia tahu keinginan ayahnya yang ingin benar jalinan kesukuan Iranun itu tetap ada, karena Nadin dan dirinya masih sama-sama keturunan Iranun. Sedangkan Awi seorang yang dari latar belakang keturunan Arab bergelar Said yang mana menurut orang tua Julia tidak sesuai untuk menjalin ikatan keluarga. Namun Julia tetap memegang cintanya meski ia tidak tahu juga apakah orang tua Awi setuju untuk menerima dirinya.

Jalinan kisah kasih ini terasa indah dan menggugah. Berkesan dengan segala sikap dan tindak-tanduk tokoh-tokohnya. Kita dapat larut terbawa oleh rasa hati yang miris dan pilu. Siapapun mereka, dalam kisah novel ini, mampu menemukan jalan hidup untuk menentukan takdir sendiri. Sikap Julia yang menunjukkan kesan sebagai perempuan yang teguh dan kuat pendirian merupakan cerminan perempuan masa kini dengan segala intrik yang menggempurnya, tetapi ia tidak oleng dan jatuh. Sebaliknya ia tetap menjunjung nama baik sebagai gadis yang berasal dari suku bangsa Iranun.

Setidaknya kita dapat mengambil hikmah dari kisah mereka; apakah tokoh yang dikisahkan dalam nuansa masa lalu atau tokoh yang dikisahkan pada masa kini dalam novel yang mengharu biru ini, bahwa sebuah realisasi yang pernah dipegang dan hidup pada masa lalu—apapun bentuknya—tidak seluruhnya dapat diwujudkan di masa kini. Sebab masa lalu (sejarah) hanya mampu menjadi “cermin” bagi kita untuk berpikir, menyikapi dengan bijak, dan bertindak dengan selaras dan sesuai. Masa kini memerlukan “olah pikir” yang tajam namun tidak menepikan sejarah. Sebab, sejarah (masa lalu) bagaimanapun tidak boleh dilupakan. Melupakan sejarah ibarat kita lupa siapa diri kita sebenarnya.

Novel ini, di satu sisi, juga membawa kesan tersendiri dengan akhir kisah yang memberikan daya gugah untuk bagaimana kita menghargai sejarah, budaya, dan memajukan suatu daerah dengan menjadikannya aset wisata yang diharapkan dapat memberikan dampak kemajuan ekonomi bagi daerah tersebut. Tetapi dalam hal ini, tetap tidak melupakan sosok-sosok sejarah yang telah bersebati di hati orang-orang Melayu. Adanya pertemuan antara investor dari Sabah (Malaysia) dengan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Lingga (Indonesia) untuk membangun pusat pariwisata berbasis sejarah dan budaya Melayu mencerminkan sikap menjalin kembali hubungan persaudaraan yang pernah hidup itu. Hal ini seperti dikatakan tokoh Datuk Rahman, pemilik surat kabar Suara Burneo dan Ketua Yayasan Warisan Iranun Sabah.

 

“Selain pulau-pulau di Alang Tiga ini menarik sebagai destinasi pelancongan, kami juga dari yayasan ingin mengekalkan kengangan kami pada para tokoh Iranun yang dulu pernah sampai di pulau ini, terutama Tok Lukus dan Panglima Sulung. Memang mereka dulu dikatakan Belanda sebagai bajak laut, lanun. Tapi itu dari sisi pandangan penjajah. Dari sisi perjuangan kerajaan-kerajaan Melayu di kawasan semenanjung, mereka ini juga pejuang dalam melawan penjajah. Seperti yang terjadi pada 1787 ketika Raja Ismail dan 100 perahu perangnya membantu Sultan Riau Mahmud Riayat Syah untuk menghancurkan garnisun Belanda di Pulau Bayan dan Tanjungpinang.” (hlm. 351).

 

Sekali lagi, menikmati novel Lanun Alang Tiga karya Datuk Rida ini memberikan kita—saya sendiri khususnya—wawasan yang sarat makna dari sejarah kemaharajaan Melayu di Riau dan Kepulauan Riau. Juga menjadi “cermin” yang dapat melihat kembali karakter ketokohan orang-orang Melayu pada masa lalu yang memiliki etos semangat perjuangan dalam mempertahankan marwah dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat. (*)

Selatpanjang, 21 Januari 2024

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »