Berguru Puisi pada Jokpin - Emi Suy

@kontributor 4/28/2024
Berguru Puisi pada Jokpin
Emi Suy




Pertemuan Penuh Hikmah

Saya pertama kali jumpa penyair Joko Pinurbo -yang biasa akrab dipanggil Mas Jokpin- di Goethe Institut Jakarta dalam sebuah acara saya sastra pada tahun 2014. Pertemuan kami selanjutnya terjadi pada tahun-tahun berikutnya dalam banyak acara sastra, antara lain di Toeti Heraty Museum Cemara 6 Galeri, Perpustakaan Nasional, Bentara Budaya Jakarta, Gramedia Jakarta, Acara Ibadah Puisi di Pasar Seni Ancol, Yogyakarta Literary Festival, serta Kafe Basabasi Yogyakarta.

Saya selalu memaknai pertemuan itu sebagai pertemuan antara murid dan guru, di mana saya yang mendaku diri sebagai murid Mas Jokpin, meskipun beliau tidak pernah menganggap saya murid melainkan sahabat. Saya mendapat banyak pelajaran penuh hikmah baik soal sastra – terutama puisi – serta yang tidak kalah penting adalah pelajaran tentang kehidupan yang bermakna.

Mas Jokpin seorang penyair besar yang mempunyai kepribadian yang sangat rendah hati, humoris dan ramah, big name but low profile. Beliau tidak pilih kasih dalam memberikan dukungan kepada para penulis dan penyair, terutama penulis muda yang sering dianggap masih pemula. Semua diberikan semangat yang luar biasa sehingga mereka percaya diri dalam mengekspresikan pengalaman dan pengetahuannya ke dalam karya sastra. 

Saya sangat beruntung bisa berkomunikasi dengan Mas Jokpin secara langsung tentang apa saja. Tidak hanya melulu soal puisi, tapi juga kehidupan secara luas yang meliputi masalah sosial budaya bahkan politik. Beliau juga sempat memberikan prolog untuk dua buku kumpulan puisi saya: Alarm Sunyi (2017) dan Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami (2022). Mas Jokpin mendedah buku Alarm Sunyi sebagai sunyi yang ambigu, dan menyampaikan bahwa ibu yang saya angkat dalam kumpulan puisi terbaru saya sebagai kampung halaman penyair. 

Saya merasa dekat sekali dengan Mas Jokpin lantaran saya begitu akrab dan menyukai karya beliau. Dekat tak hanya dalam konteks intens berkomunikasi, tetapi saya merasa dekat melalui membaca buku-buku beliau yang selalu mencerahkan pikir dan rasa. Setiap usai membaca buku Mas Jokpin saya selalu merasa makjleb. Kepiawaiannya merangkai diksi yang berasal dari benda-benda yang dekat dengan keseharian kita, seperti celana, telepon genggam, kamar mandi, tahi lalat, sarung dan lainnya, dengan sangat luar biasa dikisahkan kembali secara memikat. Tak sedikit puisi yang makjleb itu terkandung humor yang segar dan menggugah, mengajak kita masuk ke dalam relung pemaknaan yang dalam. Bagi saya membaca sajak-sajak Mas Jokpin tidak perlu mengernyitkan dahi sebab hampir semua tulisan beliau mudah dipahami dan selalu meresap di hati.

Beliau pernah bilang kepada saya: "Teruslah menulis dan produktif, Em", demikian pesan Mas jokpin pada suatu waktu. Kata-kata itu saya pegang sebagai “jimat” yang membangkitkan semangat dalam menggauli dunia sastra yang masih juga sepi dengan penulis perempuan.

Selain itu, Mas Jokpin juga sempat mengenalkan Ananda Sukarlan ke saya. Beliau menyarankan agar saya membangun kontak dengannya. Itulah titik mula, saya akhirnya kenal dan bekerja sama dengan Mas Ananda hingga sekarang, salah satunya menjadi librettist untuk opera: "I'm not for sale".
Ibadah Puisi Jokpin: Pelajaran Laku Puisi yang Tak Terlupakan

Ada satu hal yang menarik bagi saya, yaitu dalamnya penghayatan kehidupan puisi oleh Mas Jokpin yang menganggap laku sastra sebagai ibadah. Kata “ibadah” seakan membawa saya (mungkin juga kita semua) pada rasa tulus ikhlas dalam menjalani laku puisi yang sunyi ini, puisi yang selalu dianggap tidak dapat menghidupkan ekonomi penulisnya, tetapi membawa kedamaian batin dan ketenangan jiwa.

Banyak puisi Mas Jokpin yang mengulik tema persaudaraan, hubungan antar manusia, kesepian, sosial, budaya populer, kegembiraan kanak-kanak, imajinasi yang menggunakan benda-benda keseharian yang memiliki aspek luaran (kulit) dan dalaman (isi), dan kelucuan (humor) yang dibalut ironi terasa seperti tidak kehilangan jiwa kanak-kanak yang asyik bermain, tapi sekaligus membawa makna bagi orang dewasa yang mau merenungi kata-kata dalam kisah-kisahnya yang kadang agak ganjil tetapi riil. 

Ada beberapa poin yang saya catat ketika belajar puisi (secara diam-diam) dengan Mas Jokpin, di antaranya: Pertama, ambil objek kisah yang terdekat dengan kehidupan kita hari ini. Kedua, jangan berpikir yang jauh-jauh, seakan mau menciptakan surga untuk dunia nyata. Ketiga, membaca karya para penyair terdahulu, dengan mengusung tema yang serupa kita bisa melakukan pengungkapan secara berbeda dalam konteks masa kini. Keempat, kita harus memiliki kesadaran toleransi puisi, misalnya Chairil Anwar yang beragama Islam pernah menulis tentang Nabi Isa (dalam sajak Isa) dengan sangat dahsyat; Sitor Situmorang yang seorang Kristen pernah menulis Malam Lebaran yang berisi satu baris magis: bulan di atas kuburan. Subagio Sastrowardoyo pernah menulis Yesus Kristus yang lahir dengan putih wajah, serta Sapardi Djoko Damono pernah menulis tentang penyaliban di Golgota dalam sajak Duka-Mu Abadi.

Tema puisi boleh sama dengan penulis terdahulu, tapi tulislah dengan pengungkapan yang berbeda, harus berbeda! Itulah kreativitas seorang penyair. Satu tema bisa menjadi berbagai bentuk dengan isi yang aneka macam. Kita bisa membandingkan gaya ungkap yang pernah digunakan para penyair sebelum kita, artinya kita tetap mengamalkan “tradisi puisi”; apa-apa yang sudah berlaku untuk puisi tetapi dengan cara melampauinya atau setidaknya melakukan inovasi dan transformasi atasnya. 

Intinya banyak membaca karya besar para penyair terdahulu, tetapi dengan melakukan pengucapan yang berbeda dan teknik yang sesuai dengan pengucapan sendiri. Meniru tetapi tidak mentah-mentah, tetap ada penambahan di sana-sini, gaya teknik yang kita ciptakan sendiri dengan dahsyat dan rasa yang dalam. 

Satu hal lagi ajaran Mas Jokpin yang tidak akan ssaya lupakan, yaitu rajin menabung, yaitu menabung kata, satu hal yang sering Mas Jokpin ulang-ulang. Seorang penyair harus mencatat kata-kata baru di setiap kesempatan, kemudian nanti diolah menjadi beberapa sub judul puisi. Itulah yang disebut menabung kata menurut Mas Jokpin. Kata adalah harta paling berharga bagi penyair, oleh karena itu mesti ditabung untuk masa depan.

Menulis ulang dengan cara yang berbeda juga dikerjakan oleh Mas Jokpin. Chairil Anwar menulis Nabi Isa dengan dahsyat, tapi Mas Jokpin melukiskan Yesus dengan cara yang lebih rileks pada tahun 2003, yaitu pada puisi Celana Ibu, yang ada di kumpulan puisinya yang pertama; Celana. Kumpulan puisi tersebut, terutama yang berjudul Celana sempat menuai kontroversi, tapi kemudian dapat diterima, bahkan menjadi lagu yang sering dinyanyikan pada saat Hari Natal dan Paskah. 

Puisi yang berat beban muatannya akan menemukan titik stagnan, begitu kata Mas Jokpin. Jika menemui hal demikian, puisi mesti dipecah menjadi beberapa bagian sub judul, kemudian dikembangkan lagi menjadi beberapa konsep. Setelah menjadi beberapa file puisi, puisi telah ada di ruang inkubasi, dan kita bisa kembali menengoknya untuk melakukan pendalaman dan editing hingga merampungkannya menjadi benar-benar puisi. Metode inilah yang akan memecahkan beban berat itu. 

Mas Jokpin juga menegaskan bahwa tema berbeda dengan perspektif, tema puisi sejak dulu banyak tentang cinta, maut, kehidupan, tetapi perspektif seorang penyair akan menentukan bagaimana bentuk dan isi puisi tersebut, serta bagaimana pengucapannya sangat ditentukan oleh pengetahuan kebahasaan seorang penyair (terutama yang menyangkut kelisanan).

Mas Jokpin juga menyinggung, kesulitan lainnya dalam menulis puisi adalah tidak percaya pada kata. Bahwa setiap kata sebenarnya punya kekuatan tersendiri. Kalau kita percaya pada kata, maka kita harus kejam dalam menggunakan dan memainkan diksi. Penyair harus berani memangkas jangan disayang-sayang, kata beliau. Percayalah setiap kata mengandung makna. Percaya kepada pembaca. Bahwa pembaca akan bisa menghayati makna tanpa harus kita menjelaskannya. Percayalah pada proses kreatif kita. Penyair harus efisien menggunakan logika terhadap tragedi, bermain ironi, dan mesti tajam melihat ke mana langkah kata pergi. Kesimpulan menulis selalu 25 persen, sisanya 75 persen adalah mengedit. Begitulah kerja menyair menurut Mas Jokpin.

Kabar yang Mendukakan: Mas Jokpin Berpulang, tapi Tak Ada Kata “Perpisahan”

Mas Jokpin telah menghasilkan kurang lebih 18 buku karya sastra. Buku yang paling banyak tentu saja buku puisi, sebab beliau tak lain tak bukan adalah penyair tulen. Saya sebagai murid yang tak pernah diakui beliau senantiasa belajar dari buku-bukunya itu. Setiap membacanya saya merasa didekatkan dengan suara beliau yang ringan tetapi mengesankan. 

Mas Jokpin selain sebagai guru adalah seorang penyair besar di jagat kesusastraan Indonesia, bahkan sampai negeri seberang, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan lainnya, beliau dikenal secara baik dan dihargai. Mas Jokpin penyair besar yang tak pernah merasa diri besar, beliau selalu rendah hati.

Suatu kali setelah menyerahkan buku Api Sunyi padanya, beliau mengirimi saya pesan:

Sunyi itu menjernihkan.
Sunyi itu menerangi.
Sunyi itu menyalakan kreativitas.
(Jokpin)

Pesan yang mengandung “sunyi” seakan membawa saya masuk ke relung batin dunia kepenyairan. Saya merasa sangat berterima kasih kepada Mas Jokpin atas dorongan semangat dan pelajaran yang berharga dalam setiap percakapan yang hangat. Terima kasih banyak, Mas Jokpin, sugeng tindak. Semoga tenang, damai dan bahagia di keabadian bersama-Nya. Mas Jokpin telah pergi dalam usia yang belum genap 62 tahun (11 Mei 1962 – 27 April 2024). 

Di satu wawancara dengan Bentara Budaya Yogyakarta, Mas Jokpin sempat mengutarakan alasannya kepada pewawancara ketika ditanya soal mengapa puisi-puisinya semakin pendek, beliau mengatakan, “Mungkin karena napas saya tidak panjang lagi seperti dulu.”

Mas Jokpin, penyair bertubuh kecil tapi adalah seorang penyair besar itu berpulang. Sabtu pagi, 27 April 2024, kabar duka itu datang menggedor dada saya dan dada kita semua. Banyak surat kabar memberitakan kepergiannya.

Mendengar kabar kau terbang ke bulan bukan mengambil baju lebaran,
tapi kau bertemu Tuhan. 

Saya membayangkan bulan berkata;

"di perak warnaku
aku melihatmu di peluk Tuhan -- tapi di bawah
di atas tanah yang kau pijak
ada bunga salip putih dan lilin menyala
di antara bingkai wajah puisi
mengantar kepergianmu
abadi"

Selamat jalan, penyair, kau boleh tiada, tapi puisimu abadi, hidup dalam hati kami. Selamat jalan, penyair, kini napasmu tak lagi sesak, kini tubuhmu terbebas dari rasa sakit. Kalau orang-orang mengenangmu sebagai penyair, aku mengenangmu sebagai sumber mata air puisi dari waktu ke pintu, aku mengenangmu sebagai guru, istirahatlah dengan damai dan tenang dalam kasih Tuhan. Kepergianmu ... duka milik kita, tapi cinta-Nya yang besar mendekapmu, damai.”

Aku bersunyi mengheningkan diri mengenangmu dalam doa dan puisi. Rasa kehilangan duka sedalam perasaan nyatanya ... sunyi di luar gaduh di dalam. Saya  sungguh merasa berhutang budi kepada Mas Jokpin, dan merasa kehilangan sosok beliau. Saya belajar menjahit kata-kata kepada Mas Jokpin. Saya membaca kehidupan dalam sajak-sajak beliau yang begitu dekat dengan keseharian. Hingga suatu hari, saya merenung lalu menyimpulkan, bahwa sebenarnya yang mengajari kita menjahit adalah luka, maka kita perlu berterima kasih pada kehidupan, pada ketiak baju mestak celana dan koyak di saku yang terkadang menumpahkan rasa dan perasaan.

Jika saya boleh meringkaskan Mas Jokpin dalam beberapa kata, maka kata-kata itu adalah: cerdas, kreatif, rendah hati, bersahabat, motivator, inspirator, guru, serta pembimbing atau mentor.

Selamat jalan, Mas Jokpin, selamat jalan Guruku..


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »