Daerah Tak Bertu(h)an - Fakhrunnas MA Jabbar

@kontributor 5/12/2024

Daerah Tak Bertu(h)an

Fakhrunnas MA Jabbar

 


LORONG-lorong itu mengepung pemukiman. Orang-orang berlalu-lalang sesukanya. Tak peduli laki-laki atau perempuan dengan balutan baju warna-warni. Di sudut-sudut lorong yang agak gelap para perempuan molek berbilang bangsa berjajar. Mata mereka agak liar menatap setiap lelaki yang lewat di depannya. Banyak kerumunan bisa terdedah tiba-tiba.

Police is coming!” teriak seorang centeng Tionghoa sambil melambai-lambaikan tangan. Para kerumunan orang-orang itu bersurai tiba-tiba. Tak lama kemudian, lorong-lorong yang ada di sekitar pemukiman itu pun jadi sunyi. Padahal bulan terang benderang bercahaya di awal purnama itu.

Dawood dan Sahlan, dua  budak Melayu yang sudah berjam-jam berkitaran di kawasan remang-remang itu hanya terpana bersaksi. Keduanya saling bertatapan dan tersenyum ketika mengenang ratusan perempuan yang menjajakan diri itu berlarian. Menyelamatkan diri dari tangkapan polisi Singapura itu.

“Jangan-jangan Tuhan pun enggan lewat di sini,” ucap Dawood berkelakar sambil menepuk bahu sohibnya, Sahlan.

“Bukan begitu. Dulu, kawasan ini daerah tak bertuan…Jadi para mucikari menghimpun anak buahnya di sini,” balas Sahlan.

“Pas sudah. Sekarang sudah jadi ‘daerah tak bertu(h)an’ barangkali.” Seloroh Dawood diiringi tawa terbahak-bahak.

“Ah, awak nih merapek aja.. Taklah begitu, Tuhan ‘kan ada di mana-mana.”

“Sudahlah, setidak-tidaknya orang-orang yang datang ke sini, merasa Tuhan sudah tak ada. Tak ada perasaan takut lagi. Sebab, bila mereka takut pada Tuhan tentulah mereka tak akan berfoya-foya di sini”

Dawood dan Sahlan sama-sama tertawa. Boleh juga saling menertawakan diri mereka masing-masing. Pasalnya, bertahun-tahun tak pernah jumpa justru bertemu di tempat yang penuh asyik-maksyuk itu.

Selang berapa lama, suara adzan Isya melengking tinggi. Kedua sahabat karib itu benar-benar senyap sejenak mendengar panggilan salat itu.

“Itu pertanda Tuhan masih ada di sini,” suara Dawood menimpali lagi begitu suara adzan berakhir.

Keduanya terdiam serempak. Mendengarkan suara adzan lebih cermat. Sahlan tampak lebih tertunduk. Dawood memperhatikannya secara seksama.

Sebuah masjid orang Arab sudah berdiri tegak sejak lama di situ. Bersisian di sebelahnya ada pula vihara orang-orang India dan sebuah kelenteng, tempat ibadah orang Tionghoa. Setidak-tidaknya ada pula dua gereja melengkapi kawasan pemukiman. Hanya letaknya saja berbeda-beda lorong, satu dengan yang lain.

Dawood, perantau dari Riau sudah bermastautin lama di negeri Singa itu. Kepergiannya dua puluh tahun silam bermula dari rasa patah hati. Ia menaruh hati pada Salamah, dara kampung yang molek. Tapi cintanya berakhir tragis. Sedang bersenang-senang menjalin kasih, tiba-tiba Dawood ditinggalkannya meski atas perintah ayah dan emaknya. Memang, Salamah pada akhirnya lebih memilih, Hasyim, lelaki berpunya yang masih ada hubungan saudara-mara dengan Salamah. Kaji punya kaji, Dawood bisa memahami karena lelaki padanan Salamah memang lebih berpunya dibanding diri Dawood sendiri.

Kepergian Dawood meninggalkan kampung halaman, bak ‘berdendam’ untuk mengubah nasib. Ia ingin berjaya di rantau orang agar hidup lebih bermarwah bila suatu saat balik ke negeri asal.Ia ingin menunjukkan kehebatannya di mata orang kampung terutama Salamah dan Hasyim yang sudah berpadu-kasih.

Di Singapura, Dawood beruntung bisa bekerja di sebuah jawatan kuasa di bidang transportasi. Bahkan dia sudah punya sebuah flat, tempat tinggalnya. Meski di usia hampir 40 tahun, lelaki bercambang lebat itu masih saja hidup membujang. Memang ada satu-dua anak dara Singapura yang pernah berhubungan dekat, tapi hati Dawood masih tertutup buat mereka. Bahkan ada pula beberapa amoy molek di tempat kerjanya yang bersimpati, tapi Dawood masih menepis mereka. Tampaknya, hatinya begitu terluka kala ditolak Salamah dan keluarganya.

“Apa kabar Salamah?” tiba-tiba Dawood bersuara agak kuat memecah kesunyian yang melintas beberapa saat di kawasan ‘lampu merah’ itu.

“Hah..masih terkenang juga pada dara yang telah membunuh perasaan awak itu,” sahut Sahlan sambil tertawa mengejek. “Sudahlah, Wood, kembang tak setangkai, kumbang pun tak seekor. Lupakan sajalah perempuan tak setia itu,” tambah Sahlan geram.

“Lan, bagaimana aku bisa lupa? Kata pepatah Melayu, sedangkan tapi jatuh lagi dikenang, apatah lagi tempat bermain. Aku dulu berhubungan kasih cukup lama, Lan.”

“Iya..aku tahu. Aku faham. Tapi, sejarah yang getir begitu tak perlulah dibalik-balik lagi. Lagi pula, Salamah sudah beranak-pinak pula dengan Hasyim. Mereka dah bahagia.” Suara Sahlan agak meninggi. Dawood tampak tak bergeming.

Hening kembali menyeruak di antara kedua lelaki itu. Suasana di kawasan yang kemudian mereka sepakati secara kelakar dengan sebutan ‘Daerah Tak Bertu(h)an’ –huruf t kecil- itu kembali ramai. Ratusan perempuan cantik berkeliaran di tepi jalan dengan aroma wewangian yang beragam. Mereka semua menunggu para lelaki yang sebagian sudah menjadi pelanggan. Namun, masih banyak pula yang baru pertama kali mendatangi kawasan itu seperti diri Sahlan.

Beberapa hari sebelum mendatangi kawasan hiburan itu, Dawood sudah menceritakan bahwa tak kurang dari 3000 orang perempuan penjaja diri menggantungkan hidup di situ. Para perempuan itu berdatangan dari beberapa negara di kawasan Asia. Bahkan, ada pula yang datang dari Rusia dan Eropa. Dawood hapal betul liku-liku di situ. Sampai-sampai dirinya berkawan akrab dengan salah seorang centeng Tionghoa di sana.

Lorong demi lorong dilewati Dawood dan Sahlan dengan langkah gontai. Maklum, sedari awal Dawood ingin menggambarkan sisi lain negeri Singapura yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Apalagi, Sahlan, sahabat karibnya itu benar-benar ‘orang surau’. Jadi bisa dibayangkan bagaimana Sahlan terus mengucap istighfar menyaksikan dunia hitam yang sangat bertolak-belakang dengan ajaran kebajikan yang didalaminya sejak kecil.

Pertemuan dua sahabat karib setelah dua puluh tahun berpisah itu berakhir dengan kerinduan. Dawood begitu rindu mendengar kabar dari kampung. Persis di seberang Selat Melaka. Sahlan pun rindu terus hendak berjumpa menyaksikan keanehan-keanehan dunia yang selama ini tak pernah tersentuh di negeri seberang itu. Hubungan telepon di antara mereka terus semakin akrab. Ada-ada saja yang dikabarkan Sahlan pada Dawood perihal perkembangan di kampung halaman.

Peluang saling berhubungan ini digunakan Dawood pula untuk menanyakan ihwal bekas kekasih hati, Salamah. Dalam bayang-bayang di pelupuk matanya, Dawood selalu saja merasakan kemanjaan Salamah saat berada di pelukannya di masa belia dulu. Bahkan perasaan itu terasa kian dekat..begitu dekat. Bila Sahlan berkirim kabar soal Salamah, pastilah Dawood merasakan seolah-olah bayangan Salamah sedang menari-nari di depan matanya. Dawood begitu merindukan dara molek di masa lalunya itu.

Hari-hari Dawood semula terasa bagai garis datar belaka. Namun, kabar terbaru dari Sahlan perihal Salamah benar-benar membuat dirinya menahan napas cukup lama. SMS Sahlan berbunyi singkat : Wood, Salamah sakit keras akibat salah satu ginjal tak berfungsi. Sudikah kau menolong?

Lelaki lajang yang berada di perantauan itu langsung menghubungi Sahlan melalui telepon bimbitnya. Hatinya berkecamuk bagaikan derum gelombang selat Melaka di kala musim utara. Ingin dirinya terbang pulang ke kampung, tapi perasaan gusar menyentaknya. Bukankah Salamah sudah jadi bini orang? Sudah punya anak-anak pula. Seketika, Dawood merasa dirinya tak berhak apa-apa atas diri perempuan masa silamnya itu.

Tapi di balik hatinya yang lain, Dawood coba meronta. Bukankah dulu kisah-kasihnya terpaksa diakhiri karena Salamah mengikuti kehendak hati ayah dan emaknya? Padahal, pertalian kasih mereka tak pernah terputus barang sedetik pun. Sampai Dawood merajuk, membawa diri sampai ke negeri jiran? Bahkan, sikapnya tak hendak menikah dengan perempuan mana pun di perantauan itu mempertegas betapa dirinya tak pernah lekang melupakan Salamah?

“Lan, seserius apakah sakitnya Salamah?” begitulah suara Dawood usai menerima SMS Sahlan.

“Seriuslah, Wood. Ginjalnya tak berfungsi. Akibatnya, dia harus cuci darah setiap hari. Biayanya begitu besar. Kecuali bila ada orang yang bermurah hati menyumbangkan sebuah ginjalnya, insya Allah dia boleh pulih lagi.” Sahlan berusaha menjelaskan secara rinci ihwal penyakit yang mendera Salamah.

“Bila bertindak cepat, tentulah belum terlambat, Wood. Tapi aku juga tak bisa berbuat apa.” Sambung Sahlan.

Dawood lama terdiam di seberang.

“Bagaimana suami Salamah?” Tanya Dawood tertahan.

Sahlan bercerita panjang lebar soal Hasyim, suami Salamah. Lelaki itu kini benar-benar sudah tak berdaya karena pekerjaannya membalak kayu sejak beberapa tahun terakhir sudah tak berjalan lancar lagi. Pemerintah menganggapnya sebagai pekerjaan ilegal. Bila dia terus melakukan penebangan di kawasan hutan lindung di kampung itu pastilah penjara yang akan menanti. Hal ini sudah dialami teman-teman sesama pembalak seperti Suib, Hadi dan Samiyan. Pastilah Hasyim tak hendak mengikuti jejak teman-temannya itu berada di dalam bui.

Oleh sebab itu, keberadaan Hasyim kini benar-benar tak berdaya. Dirinya hanya bisa pasrah. Apalagi sebagian harta dan tanah yang dimilikinya sedikit di kampung itu sudah dilepas pula. Dia hanya bisa bermenung pasrah.

Dawood yang sejak dulu terbilang lelaki pembelas itu langsung memutuskan untuk menyerahkan sebuah ginjalnya buat Salamah. Kabar pengorbanan Dawood itu benar-benar menjadi buah bibir orang sekampung. Ada yang berdecak kagum bagaimana pertahanan cinta-kasih seorang lelaki terhadap bekas kekasih hati yang sudah jadi isteri orang lain. Tak sedikit pula yang memuji Dawood atas kerelaan menyerahkan sebuah ginjalnya demi memperpanjang umur Salamah. Bermacam-macam perdebatan yang muncul ihwal sikap Dawood yang luar biasa.

Lebih lagi, saat Dawood sengaja menjemput Salamah dan mengajak serta suami dan anak-anaknya untuk menjalani operasi ginjal di Singapura. Segala biaya benar-benar atas jaminan dirinya. Bisa dibayangkan, saudara-maa Dawood di kampung begitu mencerca dan menyatakan Dawood sudah gila. Tapi Dawood tak begitu peduli.

Bagi dirinya yang dibesarkan dalam adat-resam Melayu, bila kata hati sudah pasti tak ada aral apa pun yang dapat menghalangi. Bak kata pantun lama: buah kemumu, buah bidara/ sayang selasih diluruh/ hilanglah emak hilang saudara/ kekasih hati diturutkan.

Sepekan di Singapura, usai menjalani operasi pencangkokan ginjal di Mount Elizabeth Hospital, kondisi Salamah dan Dawood sama-sama mulai pulih. Meski bersisian bilik di rumah sakit itu, Dawood selalu lebih bergairah untuk menjenguk Salamah. Dia bagai tak begitu mempedulikan Hasyim yang lebih banyak bermenung menjaga isterinya. Hasyim benar-benar tak berdaya bila mengenang bagaimana nasib isterinya justru dipertaruhkan orang lain. Bahkan orang itu adalah Dawood yang pernah bermadu-kasih dengan isterinya. Rasa bersalah, pelan-pelan menyeruak dalam benaknya saat menyaksikan bagaimana keangkuhannya merenggut Salamah dari pelukan Dawood.

Mendengar gelagat Dawood yang berada di luar alur-patut saat memberi perhatian lebih pada Salamah yang sudah jadi isteri orang, Sahlan masih mencoba menyadarkan sahabat karibnya. Berulang-ulang, Sahlan membisikan hal itu baik saat berjumpa selama Salamah dirawat di Singapura maupun setelah berpisah lagi dengan Dawood.

“Dawood, tak elok mengejar-ngejar bini orang. Kau akan dipandang mulia bila pengorbananmu pada Salamah dilakukan atas dasar ketulusan,” kata Sahlan selalu.

“Dawood…jangan kau pandang semua tempat menjadi ‘Daerah Tak Bertu(h)an’. Kau keliru..sangat keliru, Wood!” lanjut Sahlan.

“Lan..aku sudah memutuskan akan menikahi Salamah!” begitu suara tegas Dawood lewat telepon pada Sahlan di suatu petang.

“Masya Allah, Wood. Tak elok merebut bini orang. Allah akan murka. Orang sekampung juga akan murka.”

Sepekan berselang, Dawood harus menelan ludahnya sendiri. Kata hati yang pasti sebagaimana diucapkannya berulang-ulang sama sekali tak bisa mengalahkan kehendak Allah.

Kata dokter, tubuh Salamah tidak serta-merta bisa menerima organ ginjal orang lain. Dawood tak habis-habis menangis. Lelaki bertubuh kekar itu tersungkur.

Gelombang selat Melaka berguncang deras. (diinspirasi bersama dheni kurnia)

 

                                                            ****

 Pekanbaru, 16.2024

 

Catatan:

merapek          = mengada-ada, main-main

telepon bimbit = handphone

bermastautin   = menetap, bertempat tinggal

pembelas         = cepat merasakasihan

adat-resam      = ajaran adat-istiadat

aral                  = rintangan, halangan

papa-kedana   = jatuh miskin yang sedalam-dalamnya

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »