Kertas Gorengan - Muhammad Faisal Akbar

@kontributor 5/19/2024

Kertas Gorengan

Muhammad Faisal Akbar

 


Seorang mahasiswa tengah menenteng skripsi yang hendak ditunjukkan kepada orang tuanya. Setelah melewati fase revisi yang alot dan adu argumen yang bertele-tele dengan dosen penguji, pelajar itu lulus dengan nilai ala kadarnya. Malbari, sang mahasiswa yang meluapkan raut muka sekenanya, tak benar-benar mencintai karyanya itu lantaran isinya yang menggelikan. Tapi, mengingat bapak ibunya yang senantiasa menyuruh kawin, toh ia selesaikan juga agar bisa lekas berkarier dan menabung.

Semasa kuliah, Malbari mempunyai kebiasaan unik, yakni menghabiskan waktu di belakang perpustakaan kampus, lokasi di mana tumpukan kertas skripsi dikumpulkan sebelum dipindahkan ke tempat pembuangan sampah. Di situ, Malbari larut dalam kesenangannya mengais dan memilah kertas-kertas yang tidak lecek alias masih layak pakai. Meski terdengar muskil untuk dimengerti, Malbari sesungguhnya memiliki tujuan mulia: agar seluruh kertas skripsi yang hendak dibakar itu tetap dapat dimanfaatkan.

Maka dengan bantuan Bang Sambul, si tukang sampah kampus, Malbari menyebarkan kertas-kertas tersebut ke kawasan sekitar. Tiap dirinya menemukan kertas skripsi dengan kualitas tekstur yang mulus, tampak sekilas senyum lirih di bibir mahasiswa itu. Malbari bergumam, “Syukurlah. Bila memang isinya tak sebagus itu, paling tidak, skripsi-skripsi ini tak akan dibuang dan dibakar sebagaimana ribuan lainnya.”

***

“Menurut kalian, mana yang lebih dulu: perut atau peradaban?” tanya seorang mahasiswa senior kepada sekelompok juniornya. Carut-marut pun terjadi.

“Perut! Memangnya siapa yang bisa membangun peradaban dengan perut keroncongan?” Gelak tawa pun mengerubungi forum, “teori Maslow mencatat bahwa aktualisasi diri itu berada di pucuk piramida hierarki kebutuhan.”

Lho, peradaban dulu dong,” bantah mahasiswa lain.

“Kenapa begitu? Tidak make sense….”

“Mengurus perut itu lebih mahal, bisa triliunan. Coba hitung, ada berapa BLT saat ini? Belum lagi penyediaan lapangan kerja. Untung-untung menteri perekonomian dan stafnya jago mengatur duit.”

“Bung, perut itu menyangkut kebutuhan dasar manusia. Kenyang dulu, baru bisa beradab!”

“Orang miskin, kan, sudah tahu adab tanpa perlu diajari. Jadi, peradaban mesti didahulukan.”

Idihalah, dasar komprador penyembah kapitalis!”

Arslim mendengar celotehan itu baru-baru ini, tepatnya ketika sedang mengantar tiga bungkus gorengan ke pelataran kampus. Tiap Jumat sore, para mahasiswa secara rutin menggelar kajian sembari duduk melingkar, berbincang-bincang serius dan sesekali bergurau. Tiap Jumat itu pula, Arslim nimbrung untuk menyimak. Hanya mengangguk-angguk, berlagak mengerti. Alasannya sederhana: ia ingin sekali mengenyam pendidikan tinggi.

Saking cekaknya wawasan Arslim, ketika ada mahasiswa yang menyebut nama seperti Proudhon atau Heidegger, yang timbul di benaknya adalah jenis tanaman langka. Ketika keluar istilah Watergate, Arslim malah membayangkan sebuah pompa air mahal impor yang berseliweran di iklan-iklan.

Maklum, sejak kecil, Arslim sudah dituntut untuk bekerja dan ilmunya mentok di jenjang SMP. Setelah itu, gedung sekolahnya adalah proyek pembangunan apartemen, tempat ia biasa mengaduk semen. Kendati demikian, Arslim tak patah arang dan tetap konsisten mengikuti kegiatan akademis ini. Mumpung ada pendidikan gratis, bisiknya dalam hati.

Selama ini, Arslim beberapa kali menghadiri diskusi dengan tema ekonomi, politik, seni, dan hukum. Dari semua itu, obrolan soal filsafatlah yang paling berbelit sekaligus mengasyikkan. Banyak yang bersangkut paut! Ini disambung ke situ, yang itu memanjang ke sini, yang di sana berkaitan dengan yang di sini, dan seterusnya. Ibarat tali-temali yang membujur, tak tahu di mana pangkalnya. Pokoknya, cukup untuk membuat Arslim betah melamun lama-lama.

Arslim memang gemar sekali melamun. Bila diadakan lomba melamun, dialah juaranya. Tokoh kita ini berprinsip bahwa lamunan itu tak terbatas. Akibat hobinya itu, para tetangga di kampung bahkan sanak saudara kerap menakut-nakutinya soal masa depan yang suram: karier abu-abu dan pasangan pun ogah dipinang. Kegiatan ini seakan-akan bergelimang dosa, apalagi jika dilakukan di perkotaan yang serbacepat. Intinya, sesuatu yang nirguna.

Tapi, apalah arti hujatan itu? Di sela-sela kesibukan, Arslim masih saja suka berdiam diri dan memandangi langit sore. Setiap hari tanpa jeda. Baginya, bengong saat petang menyambar langit adalah mukjizat yang tak mampu disangkal. Tatkala helm-helm berhamburan di sepanjang aspal dan burit dihabiskan sambil menatap lampu merah, Arslim justru menikmati angkasa yang bergulir dari biru ke merah, lalu menghitam. Murah, tapi tidak untuk semua kalangan.

Azan magrib berkumandang, dan Arslim masih menerka-nerka kata filsafat yang mondar-mandir di pelataran kampus itu. Ia berandai-andai, bukankah sudah seharusnya filsafat lebih sering terjun ke bawah dan menengok kehidupan jelata? Misalnya, dunia para tukang gorengan.

***

Arslim bersikeras bahwa gerobak gorengan tidak melulu melambangkan kemelaratan. Tanpa keraguan, jutaan gerobak yang terhampar di berbagai daerah telah menjadi saksi bisu atas beragam peristiwa: kisah asmara, tabrakan, pencopetan, demonstrasi dekat istana, sampai aksi terorisme. Benda ini juga tidak hanya menandakan harapan bagi orang pinggiran. Buktinya, gerobak reyot sekalipun sanggup menghidupi para konglomerat beserta kerabatnya apabila jumlahnya bejibun.

Bersama kotak besar beroda dua itu, Arslim kerap disambangi pejalan kaki, pengendara motor dan mobil, hingga para manusia silver serta badut jalanan yang tengah beristirahat mencari rezeki. Adakalanya sepasang debt collector bolak-balik membeli, untuk kemudian dimakan di tempat sambil minum es teh manis. Pernah juga ada orang asing yang meminta bantuan untuk menyelundupkan barang jadah untuk selanjutnya diambil orang asing yang lain. Serba-serbi aktivitas ini tak luput dari perhatiannya.

“Mas, beli 20 ribu ya. Dicampur saja, tahu isi, tempe dan molen,” tutur seorang perempuan. Arslim lantas menciduk rincian pesanan dengan sebuah food tongs yang gagangnya hampir berkarat.

“Bakwannya masih ada? Boleh deh bungkus 10 ribu. Rawitnya banyakkan, ya. Oh, boleh pinjam korek?” ucap pelanggan lain seraya mengeluarkan bungkus rokok.

Pembeli tak kunjung reda petang itu. Tapi, Arslim malah merasa gelisah. Kertas pembungkus gorengan mendekati penghabisan. Seribu celaka, umpatnya dalam hati. Ini adalah masalah. Sebab, berdasarkan pengakuan orang-orang, gorengan harus dilapisi kertas. Jika tidak, rasanya tak lagi sama.

“Eh Mas Arslim, saya beli 15 ribu, ye. Digabung saja semuanya kecuali gandasturi,” ujar lelaki yang singgah belakangan.

“Aduh, maaf, kertas pembungkusnya kosong. Belum ada lagi! Mau pakai kantong plastik saja?”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Lain kali mesti persiapanlah, Mas.”

Sang pelanggan pun pergi dengan wajah agak dongkol. Arslim membuka laci, menaruh uang, lalu merogoh ke bagian dalam. Bundelan kertas itu masih ada, dan memang sengaja ia amankan.

***

Melalui kenalannya, tukang sampah yang bekerja di kampus negeri seberang, Arslim biasa memperoleh tumpukan kertas bekas yang nantinya digunakan untuk menyerap minyak pada gorengan. Saking menumpuknya, ia terkadang boleh mencomot dan memilih sendiri. Adegan inilah yang sangat ditunggu-tunggu.

Tiap akhir semester, lazimnya sebelum liburan tiba, kertas dengan judul dan lambang kampus selalu Arslim simpan baik-baik di laci gerobak sebagai persediaan. Keterangan tahun penulisannya pun tertera rapi. Sebut saja dari 2015, 2016, 2017, 2018, terus sampai 2023. Puluhan skripsi yang selamat dari tong sampah besar itu memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai kertas gorengan. Dan kedua, sebagai bahan bacaan.

Skripsi-skripsi tebal lumayan banyak dijumpai. Arslim pernah melihat pembahasan soal perang fisik dan ideologi, penelitian mengenai hutan lindung, mazhab-mazhab abad belasan, serta komparasi gaji Ronaldo dan Messi. Bahkan, Arslim juga sempat mendapati skripsi perihal pedagang kaki lima yang menyelamatkan negara saat krisis ekonomi tahun 1998 pecah.

Di samping skripsi, Arslim kadangkala menemukan gundukan kertas berupa buletin berisi agitasi, berkas makalah, hingga Surat Keputusan Dekan yang terselip. Ada pula selebaran yang memuat hasutan untuk menurunkan rektor, kaderisasi berkedok ajakan seminar, sampai surat cinta berbasis teori Alexandre Dumas. Ia menganggap seluruhnya sebagai bonus belaka.

Akan tetapi, yang paling menarik justru datang kemarin siang, tepatnya ketika Arslim ikut membereskan kertas skripsi yang berserakan di belakang perpustakaan kampus bersama Bang Sambul, sebelum membawanya untuk stok kertas gorengan.

“Bang, kenapa baru sekarang saya diajak kemari?” tanya Arslim pada rekannya.

“Jadi begini, Slim. Bukannya gua gak mau ngajak lu. Selama ini, gua selalu dibantu satu mahasiswa untuk memilah-milah kertas ini. Nah, sekarang orangnya sudah lulus. Tapi dia berpesan: tumpukan kertas yang masih pantas digunakan harus terus dipertahankan, jangan sampai dibakar.”

“Mahasiswa itu sedang dihukum dosen? Atau memang dibayar?”

“Anaknya rajin minta ampun, suwer dah. Mau dihukum gimana? Dari tampangnya, sepertinya bukan orang susah.”

“Kalau baru saja lulus, berarti kertas skripsinya masih ada di sini dong, Bang?”

Hmmm, ada kok. Yang paling pojok itu, langsung angkut saja.”

***

Sembari menata gerobak, Arslim membaca skripsi kepunyaan Malbari, berjudul Data Kemiskinan dan Upaya Pengentasan Ketimpangan di Negara X Tahun 2019. Matanya bergerak dari huruf ke huruf, baris ke baris. Bab satu sampai tiga masih terbilang seru. Loncat ke bab empat, kepala Arslim seketika pusing kala angka-angka menyeruak dari segenap penjuru halaman. Renungannya menjelma getas sekaligus khidmat.

“Tingkat kemiskinan di Negara X yakni sebesar 6,01% dari seluruh wilayah....”

Arslim cepat-cepat melumat kopi, masih dengan kehampaan yang sama, kemudian menyalakan batang rokok. Lembar berikutnya makin membingungkan.

“Dari data yang dihimpun, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Negara X (Rasio Gini) pada September 2022 tercatat sebesar 0,217, menurun 0,003 poin dari Maret 2022 lalu….”

Arslim berkumur untuk membuang sisa tembakau yang menyelip di antara gigi yang menguning. Ternyata cuma ampas kopi yang memenuhi rongga mulut. Hawa kian panas. Serbet sebentar-sebentar ia kibaskan. Arslim tiba-tiba merindukan gerimis di kaki cakrawala. Hujan belum lagi turun.

“Jumlah penduduk miskin berkurang 1,22 juta orang menjadi 19,38 juta. Maka, berdasarkan teori yang diimplementasikan, pemerataan ekonomi akan terwujud dalam 2-3 tahun ke depan, dan….”

Bacaannya rampung. Arslim mengernyitkan dahi. Sebagai lulusan SMP, tulisan itu tentu terlampau berat. Oleh sebab itu, agar tidak salah paham, Arslim menelaah ulang.

“Woi, napa melongo gitu? Lagi baca apa, nih?” suara Bang Sambul—yang muncul entah dari mana—menggelegar di telinga.

“Oh, begini Bang, isi skripsi ini cukup aneh, khususnya di halaman 65. Disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi negara akan menempati posisi lima teratas di dunia. Kalau dibandingkan dengan situasi sekitar, saya cuma tahu bahwa beberapa pekan lalu, harga minyak, gas LPG, dan tepung terigu justru melambung.”

Heh, itu mah lumrah. Satu-satunya hal yang tidak melonjak itu, ya, penghasilan kita ini. Hohoho!”

“Nah, tengok ini, halaman 74. Jika kemiskinan betul-betul sudah diberantas, mustahil mantan kekasih saya rela menjual diri ke lintah darat demi melunasi utangnya yang menggunung, bukan?”

“Terkait pemberantasan ini, mending kita ngomongin Kali Brantas aja, lebih kentara juntrungannya!”

“Coba dengar dulu, Bang. Pada halaman 108, dijelaskan pula, ekonomi negeri ini akan lepas landas! Kalau ini benar, bapak saya semestinya tak lagi berpura-pura jadi dukun sakti untuk membayar tunggakan biaya pengobatan ibu.”

Bang Sambul menutup mulut rapat-rapat. Tangannya menepuk-nepuk pundak Arslim tanpa berkata-kata.

“Andai saja saya berpeluang menjadi dosen pembimbing, kertas-kertas ini sudah pasti dipenuhi goresan tinta merah,” sergah Arslim menyambung percakapan.

Lu ini mengada-ada. Ayo, bakar rokok lagi biar otak jernih.”

“Mana mungkin skripsi model gini lolos begitu saja ke ruang sidang dan meluluskan pengarangnya?”

“Pengarang? Maksud lu, skripsi ini karangan bebas, gitu?”

Bukaaan,” Arslim buru-buru menjumput spidol merah yang terletak di dalam saku. Bang Sambul mengamati gerak-gerik tukang gorengan kritis itu.

Untuk permulaan, Arslim menorehkan lingkaran pada judul dan membubuhkan komentar: Dapat dari mana datanya? Dasar pembual!

Langkah berikutnya, ia coret seluruh daftar pustaka di bagian akhir seraya menambahkan nasihat: Sumbernya sesumbar semua, harusnya diperiksa dulu!

Terakhir, Arslim yang sedari tadi merengut pun menyulap bab kesimpulan menjadi arena pelampiasan kekesalannya. Ia menulis persis di sebelah kanan kalimat penutup: Negara X itu ada di bumi bagian mana?

Bang Sambul menggeleng-gelengkan kepala, lalu memecah aksi brutal tersebut, “Di zaman edan ini, angka-angka, mah, emang bisa bohong. Jadi, gak usah dipikirin! Daripada dibuang, kertas-kertas itu toh ada manfaatnya, kan? Bisa dibaca atau dipakai buat ngebungkus gorengan lu.”

Arslim sepintas melirik kawan seperjuangannya itu dan merasa tidak enak hati atas perilakunya yang sembrono. Asap rokok menggumpal di sekeliling mereka.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »