Khalwat Puisi: Menjenguk Diri - Agus Manaji

@kontributor 5/19/2024

Khalwat Puisi: Menjenguk Diri

Agus Manaji

  


“Puncak-puncak puisi Islam klasik sebagian besar bertalian dengan tasawuf, terutama karena ia ditulis oleh para sufi atau yang berkecenderungan sufistik dan punya hubungan erat dengan tasawuf.”

(Pesantren, Santri, dan Puisi, esai Acep Zamzam Noor)

 Kita mudah bersepakat dengan pendapat Acep Zamzam Noor, tasawuf terbukti telah menyuguhkan sastra bermakna. Tak sekadar indah, sastra sufistik menawarkan alternatif spiritualisme di tengah kehidupan yang materialis dan hedonis. Tak Cuma ulama, para penyair juga penafsir ajaran agama. Para penyair, penghayat hidup, hadir sekaligus berjarak, di tengah (kehidupan) masyarakat.

              Sastra religious bernapaskan Islam dan sastra sufistik memiliki jejak panjang di Indonesia. Meski mulai era 70-an, nyala sastra ini tampak lebih benderang, bersama gagasan/temuan sastra lain yang muncul ketika itu, seperti puisi mbeling dan puisi konkret. Seolah ikut merayakan “kemerdekaan” pasca polemik antara kelompok manifest kebudayaan dan kelompok lembaga kebudayaan rakyat dengan realisme sosialisme-nya yang terjadi pada tahun 60-an. Selain itu, karya-karya sastra sufistik dari Taufik Ismail, Emha Ainun Nadib, Danarto, Kuntowijoyo, M Fudoli Zaini, maupun Abdul Hadi W.M. menjadi suara lain dari gemuruh pembangunan pemerintahan orde baru yang berdampak pada ausnya spiritualitas.

              Sedikit perihal Abdul Hadi WM yang belum lama ini meninggalkan kita, beliau berkontribusi besar mengenalkan kita kepada karya-karya sastra sufi dari Rumi, Iqbal, Omar Khayyam, al Hujwiri, dan bahkan Faust Goethe. Puisinya Tuhan, Kita Begitu Dekat telah menjadi setetes embun bening dalam perpuisian kita. Bukunya Sastra Sufi barangkali menjadi buku kompilasi paling kaya dan telah menjadi klasik yang diterjemahkan dan disusun secara serius oleh penulis Indonesia. Buku ini menghimpun puisi maupun prosa dari sastrawan sufi, dari khazanah peradaban Islam baik luar negeri maupun Indonesia. Terakhir, karyanya Tasawuf yang Tertindas yang diangkat dari disertasi Abdul Hadi W.M. adalah tafsir paling kritis dan otoritatif hingga saat ini atas puisi dan pemikiran Hamzah Fansuri.

              Di tahun 90-an hingga 2000-an sastra sufistik diteruskan generasi Acep Zamzam Noor, Abidah el Khalieqy, Hamdy Salad, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Kuswaidie Syafie, dan Abdul Wachid BS, Bernando J Sujibto. Gambaran periodisasi di atas sebetulnya tidak saklek atau ketat mengingat jenis ini berumur panjang. Puisi-puisi bernapaskan Islam dan sufistik terus ditulis, bahkan banyak nama dari era-era lampau itu masih menulis hingga hari ini. Kita masih membaca karya-karya baru Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, Sutardji Calzoum Bachri, hingga di hari-hari ini.

              Sofyan RH. Zaid, penyair asal Madura, pulau yang sama melahirkan penyair ampuh seperti Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Jamal D Rahman, M. Faizi, Raedu Basha, dan Mahwi Air Tawar, baru saja menerbitkan Khalwat. Di bagian Pintu Buku, Tasawuf, Filsafat, dan Puisi Sofyan menceritakan sejarah hidup kepenyairannya. Sejak menempuh pendidikan tingkat SD, MTs, kemudian Pondok Pesantren Annuqayah, Sofyan sudah menunjukkan ketertarikan pada puisi, filsafat dan tawasuf. Ia menulis, “buku Khalwat sebagai buku puisi kedua setelah Pagar Kenabian (2015) ini, berisi sepilihan puisi yang mewakili perjalanan hidup saya tersebut.”

Struktur dan Labirin Doa Pembuka

              Pemilihan judul Khalwat serta kata pengantar yang sarat nuansa tasawuf membantu pembaca dalam memahami buku. Kata “khalwat” atau “khalwah” merupakan salah satu istilah khas dalam khazanah tasawuf yang bermakna penarikan diri dan penyendirian spiritual. Pada tahapan awal, laku khalwat dilakukan secara fisik dengan menarik diri dari gangguan-gangguan luar yang berpotensi menyimpangkan seseorang dalam kontemplasi atas Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Pada tahap selanjutnya, khalwat dapat menjadi semata-mata spiritual ketika hati senantiasa hadir terus-menerus bersama Allah di mana pun setiap saat. Pada titik ini kemudian khalwat menjelma menjadi perbincangan mesra di relung kesadaran seseorang dengan Allah. Syaikhul Akbar Ibnu Arabi menimbang penting khalwat hingga merasa perlu menuliskan Rilalah al-Anwar fi maa Yumnah Shabib al-Khalwah min al-Asrar, sebuah panduan praktik menjalani khalwat.

              Sofyan dengan pertimbangan terukur mengatur puisi-puisinya ke dalam 5 bagian seperti struktur sebuah risalah tasawuf, yakni Mukadimah (1 puisi), Khalwat Pertama (12 puisi), Khalwat Kedua (12 puisi), Khalwat Ketiga (12 puisi), dan Khatimah (1 puisi). Demikian, kita mafhum Sofyan menggunakan kata “mukadimah” dan “khatimah” yang telah terserap ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, dan tidak memilih kata “pembukaan” dan “penutupan” misalnya, demi menebalkan nuansa kitab klasik Islam.

              Puisi pertama buku ini langsung membuat saya tertegun diam. Tiga bait saja, diksinya sederhana, bergema panjang dan membentangkan banyak hal. Terpaksa saya mengingat dan memanggil beberapa ingatan bacaan, dan sedikit tafsir.


DOA PEMBUKA DIRI

 

maha pemaksa

yang pengasih

maha penyiksa

yang penyayang

 

aku bergantung

dan berlindung kepadamu

dari bujuk iblis yang terkutuk!

bahkan mungkin

dari diriku sendiri

 

dengan menangis

aku kini mengemis padamu:

apa yang pernah diminta musa

tapi kau berikan pada muhammad

 

2013-2024

 

             Puisi Doa Pembuka Diri, pada bagian Mukadimah seolah berperan sebagai bacaan ta’awudz bagi seorang muslim yang akan mengaji Al-Qur’an. Melalui puisi ini Si Aku Penyair menyatakan pengakuan kehambaannya, memuja sekaligus menyadari Sifat-sifat Allah yang seolah bertentangan, tapi sesungguhnya saling melengkapi, dan kita bisa menyebutnya sebagai kesempurnaan: maha pemaksa/ yang pengasih/ maha penyiksa/ yang penyayang. Selanjutnya, pada bait kedua, Si Aku menyatakan kebergantungannya seraya memohon perlindungan Allah dari bujuk iblis yang terkutuk dan dari (nafsu) diri sendiri. Si Aku melanjutkan doanya pada bait ketiga, seraya menangis mengemis kepada Tuhan Apa yang pernah diminta Musa tapi kau berikan pada Muhammad.

              Puisi ini menggambarkan pengakuan posisi kehambaan insan di hadapan Allah. Lebih dari perannya sebagaimana bacaan Ta’awudz, penyebutan iblis di bait kedua, menurut saya, melengkapi kesadaran kehadiran -dan kemudian tentu menentukan orientasi dan tujuan- manusia dalam hidup. Bukankah soal penciptaan dan keunggulan manusia dalam Al Quran selalu bersanding dengan kisah pengingkaran Iblis atas perintah Tuhan untuk bersujud kepada manusia? Iblis kemudian meminta penangguhan pada Tuhan untuk hidup di dunia, untuk menggoda dan menjerumuskan manusia agar mengingkari kebenaran dan perintah Tuhan.

              Bait ketiga meneruskan doa sebelumnya, sekaligus menegaskan orientasi tujuan Si Aku selaku manusia: apa yang pernah diminta musa/ tapi kau berikan pada muhammad. Nabi Musa seorang nabi Istimewa, salah seorang nabi ulul azmi, dihormati oleh umat Yahudi, pembebas Bani Israel dari penindasan Firaun. Meski seorang nabi dan rasul, namun Nabi musa kerap menunjukkan karakter yang manusiawi. Misal, ia mulanya menolak menyampaikan risalah karena merasa lemah, tak fasih berbicara dan berdiplomasi. Ia pun meminta Tuhan agar diberi seorang pembantu Nabi Musa Kalimullah sebagai juru bicara. Kali lain, ia merasa sombong sebagai hamba Allah yang paling saleh, hingga ditegur oleh Tuhan. Akhirnya, Musa harus berguru kepada hamba Allah misterius anonym, mungkin bukan seorang nabi, dan kita mengenalnya sebagai Khidir. Konon kata “khidir” bermakna hijau, menghidupkan. Demikian kemudian Nabi Musa mengalami pencerahan.

              Apa yang dituturkan bait ketiga puisi ini bertalian dengan 2 peristiwa/kisah penting kedua nabi yang tersebut. Frase pertama, Apa yang pernah diminta musa, merujuk kepada permintaan Nabi Musa Agar Allah menampakkan diri agar Musa dapat melihatnya. Permintaan ini tidak dikabulkan, Musa hanya menyaksikan gunung hancur luluh. Kisah ini tertuang dalam surat al a’raf ayat143. Frase kedua, tapi kau berikan pada Muhammad, bertalian dengan Peristiwa isra mi’raj, peristiwa perjalanan Nabi Muhammad dalam satu malam dari kota Makkah ke kota Yerusalem, dan kemudian Mi’raj naik ke langit, hingga ke Sidratul Muntaha. Rasulullah kemudian bertemu Allah dan menerima perintah sholat 5 waktu. Menurut salah sebuah hadits, semula perintah sholat berjumlah 50 waktu, tapi atas saran Nabi Musa, yang dijumpai Rasulullah di langit bawah, Rasulullah menawarnya hingga tersisa hanya 5 waktu saja. Peristiwa Isra Mi’raj tersurat dalam Al Quran surat Al Isra ayat 1 dan An Najm ayat 13 – 18.

              Bagi saya, puisi Doa Pembuka Diri begitu apik, dengan diksi sederhana namun terukur, mampu menyajikan lipatan-lipatan dan labirin makna dengan pas. Tidak kurang, tidak berlebih. Pengaturan komposisi baris-baris puisi yang memusat mengisyaratkan keseimbangan dan ketenangan batin. Pernyataan tersirat akan perjumpaan dengan Allah Sang Kekasih dalam khazanah tasawuf tentu menjadi tujuan. Dan demikian, puisi ini telah berhasil merangkum isi dan memberi arah pembacaan buku khalwat.

 Khalwat Pertama: Munajat

            Selayaknya seorang muslim hendak mengaji, sehabis membaca ta’awudz, kemudian membaca basmalah. Sofyan menempatkan puisi Bismillah! sebagai puisi pertama dari bagian Khalwat Pertama. Di awali dengan menyatakan kefakiran diri, puisi ini kemudian mengungkap kesadaran akan pentingnya tawakal manusia kepada Allah. Tampak pada puisi ini ikhtiar Si Aku untuk menafikan, melawan egonya dan dirinya sendiri. Ia berseru lirih, bawa ke mana kau hendak/ tak akan aku berontak. Hidup adalah perjalanan yang disimbolkan dengan sungai dan alirannya menuju ke segara/laut. Kaum sufi menghayati hidup, melawan ego, dan menghidupkan kesadaran akan kedaifan sehingga mampu selaras dengan kehendak Tuhan.

Bagi yang akrab dengan kitab klasik tasawuf semisal Risalatul Qusyairiyah, At Ta’aruf al Kalabadzi, Al Luma Abu Nashr As Sarraj, tentu mafhum jika kaum sufi adalah penghayat agama yang original dan sahih. Konsep tauhid, misalnya, dipahami secara khas oleh setiap sufi, dalam kata-kata mereka sendiri sebagai buah dari pengalaman. Pendapat-pendapat tersebut sering tampak beda bahkan bertentangan tapi sesungguhnya mengandung spririt (arti) yang sama atau setidaknya beririsan satu sama lain. Dalam konteks inilah rasanya kita lebih mudah membaca puisi Tasawuf III. Diksi “sungai” kembali muncul pada puisi ini.

 

TASAWUF III

 

sungai terpanjang setelah nil

adalah rinduku

 

Annuqayah, 2007

 

            Judul puisi dan badan puisi berkait erat, satu kesatuan. Dengan diksi “sungai”, “nil”, dan “rindu”, hanya 2 larik saja, Sofyan berhasil mendefinisikan ulang tasawuf dalam relasi cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Sungai Nil, kita tahu, diakui sebagai sungai terpanjang di dunia, dan bagi Penyair, rasa rindunya kepada Kekasih menjadi sungai terpanjang berikutnya. Ada kerendahan hati di sini dengan tidak menyebut “yang paling panjang”. Puisi ringkas ini juga mengisyaratkan sebuah perjalanan panjang, disinggung pula dalam puisi Bismillah!, yang membutuhkan perjuangan mujahadah melawan hawa nafsu dan pe-nafi-an diri.

            Dengan pola ungkap seperti puisi Tasawuf III, puisi terakhir bagian Khalwat Pertama, berjudul Tuhan, hanya berisi 1 kata: tahan! Bagian judul dengan bagian isi puisi seolah dua sisi dari sekeping mata uang logam. Rima “han” menautkan judul dengan isi, kemudian menggemakannya dalam semesta tafsir di benak pembaca. Bukankah Tuhan Mahasegalanya, Mahapengasih, Mahasuci, dan seterusnya, sementara manusia betapapun memiliki tubuh sehat dan rasionalitas yang kuat, dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata tetap saja berlumur keterbatasan dan lumpur dosa. Kedaifan manusia, atau salik, jatuh bangun, hadir dan tenggelam, dalam menempuh jalan panjang pencarian, berhadapan dengan samudera kemahaan Tuhan, tak ayal membangkitkan perasaan patah, gusar, sekaligus pasrah. Puisi Tuhan seolah meringkas seluruh ikhtiar dan munajat dari 11 puisi lain di bagian Khalwat Pertama. Dalam soal keringkasan puisi ini mengingatkan kita pada puisi Sutardji Calzoum Bachri, Kalian. Selengkapnya kita nikmati puisi Tuhan:

 

                        TUHAN

 

                        tahan!


                       2023

 

Khalwat Pertama, bagian pertama buku, menyajikan puisi-puisi intim, munajat perbincangan antara Sang Pencinta (Si Aku) dengan Sang Kekasih (Sang Khalik), kesaksian penghambaan, serta monolog perenungan diri. Khalwat pertama inilah yang selaras dengan definisi khalwat pada tahap awal, yakni penarikan diri dari (pergaulan) dan maslahat dunia.

Khalwat Kedua: Sendiri Bersama

            Khalwat Kedua, bagian kedua buku ini, menampilkan 12 puisi dari tahap khalwat selanjutnya. Pada tahap ini khalwat dapat menjadi semata-mata spiritual ketika hati senantiasa hadir terus-menerus bersama Allah dimana pun setiap saat. Puisi-puisi pada ruang ini tidak eksklusif, ada kehadiran orang lain, mungkin kawan, semisal pada puisi Pintar, Tapi Tolol Seperti Gawai dan puisi Simulakrum, atau ada tokoh Gus Dur (?) seperti pada puisi Songkem. Atau Ibu pada puisi Bunda Doa. Tempatnya pun bisa berbeda-beda, seperti sepanjang jalan, kafe, puncak, tepi sungai Wilmington. Kita juga membaca waktu pagi yang hablur, siang hari atau kapan pun.

            Ikhtiar untuk hadir terus bersama Allah tidak mungkin tanpa hambatan seperti kita berkendara di jalan tol. Kemajuan peradaban menawarkan aneka pilihan (semu) menggoda. Silaturahim kepada tokoh spiritual/ulama bisa menjadi pelipur dan pengingat. Hanya ruhani-ruhani sefrekuensi bisa bergetar dalam resonansi. Puisi Songkem, yang tampaknya diperuntukkan buat Gus Dur, merekam hal ini. Penyair mencatat: ruhku pada ruhmu bersalam/ di antara riuh orang-orang/ yang pura-pura mencari berkah.

Perenungan Sofyan atas fenomena kehadiran gawai menghenyak kesadaran kita. Alih-alih berfungsi memudahkan kerja dan komunikasi manusia, gawai dalam banyak kasus justru berakibat dehumanisasi, manusia kehilangan focus dan orientasi. Pada puisi Simulakrum Penyair menggambarkan pertemuannya dengan seorang kawan di sebuah kafe. Mereka saling kangen. Ironisnya pertemuan itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan mungkin sia-sia karena kemudian perpisahan terjadi begitu mereka asyik dengan gawai masing-masing. Kita cuplik 2 bait puisi ini:

 

                                   beberapa menit kemudian

perpisahan tiba lebih awal

sebelum lambai selamat tinggal

dan ikrar untuk bertemu lagi

 

saat tangan sam-sama meraih gawai

dan mulai saling abai!


Khalwat Ketiga: Pulang

              Bagian Khalwat Ketiga, masih kelanjutan Khalwat Kedua. Pengenalan manusia akan Tuhannya mensyaratkan pengenalan diri. Sebuah hadis masyhur di kalangan kaum sufi berbunyi, man arafa nafsanu, arafa rabbahu, siapa yang mengenal dirinya (akan) mengenal Tuhannya. Syaikh Imam Abdullah Al Haddad menafsirkan hadis tersebut dengan mengaitkannya kepada Al Fushilat ayat 53 yang berbunyi Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di cakrawala dan pada diri mereka sendiri sehingga menjadi jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Jagat besar, alam semesta (makrokosmos) dan jagat alit, diri manusia (mikrokosmos), bertaut serupa cermin satu sama lain. Mereka yang mengetahui (kekurangan dan kelebihan) dirinya akan dapat mengenali Tuhannya saat berhadapan dengan alam. Proses pengenalan diri setiap insan berbeda-beda, amat personal.

              Puisi-puisi pada bagian ini menggambarkan proses penyair untuk pulang, melacak asal usul, untuk kemudian menera ulang orientasi hidup, dalam bahasa Abdul Hadi W.M., “kembali akar, kembali sumber”. Akar atau sumber tidaklah tunggal, dapat berupa filsafat, spiritualitas nilai agama, tradisi, asal usul leluhur.

              Filsafat menjadi salah satu jazirah pencarian diri yang menggoda, tampak akan dapat memuaskan akal rasional. Penyair Sofyan pun bergulat dengan filsafat, bertemu Eric Fromm, Sartre, maupun Karl Marx. Sayang, tampaknya pencarian kurang memuaskan. Dalam puisi Alien, si Aku mendapati kenyataan, kopi dalam gelas kemanusiaan tinggal ampas, lalu Erich Fromm dan Sartre memanggilnya: “alien… alien... alien…”. Akhirnya Sofyan insaf dan berseru: sebab akulah kesepian itu!

              Pencarian diri membawa penyair pulang kampung untuk menyaksikan bulan, tanda kebesaran Allah di ufuk (ingat surat Al Fushilat ayat 53 tadi!). Bulan yang sama disaksikan di perantauan sesungguhnya, tapi dari sudut berbeda, dari tanah kelahiran, dekat hulu kehadiran, hingga tampak lain beda. Dalam puisi Bulan Batang-Batang, Sofyan menemukan bulan yang putih perak kemerahan cahayanya ternyata seperti bibirmu berkilau memaksa orang-orang bersaman. Ikhwal tujuan penciptaan manusia juga membawa penyair melakukan perenungan hari ‘alastu, hari perjanjian primordial di alam ruh, di mana ruh manusia mengakui Tuhannya sebagaimana tertuang dalam surat al A’raf ayat 172 (puisi Alastu). Bagi kaum sufi, hari itu adalah hari persaksian bahwa Tuhan-lah Sang Kekasih. Hari Alastu adalah “hari awal” sekaligus menjadi simbol “hari akhir” pertemuan dengan Sang Kekasih di akhirat kelak.

              Keluarga menjadi rujukan manusia dalam mengenali diri. Jalan takdir kehadiran manusia di dunia adalah hubungan cinta ayah dan ibu. Di sini, kasih sayang Tuhan mewujud dalam kasih sayang orang tua kepada anak-anak mereka. Betapa penting peran dan makna orang tua, khususnya Ibu. Seorang manusia sampai kapan pun tetaplah seorang anak dari Ibunya. Kasih sayang dan pendidikan Ibu akan terus menjadi suluh dalam kehidupan seorang anak. Kita simak petikan puisi Dadaisme Ibu:

 

kemana pergi

sejauh menjadi

aku tetap kanakmu, ibu

 

dunia ini masih dadamu

dan segala waktu

adalah masa kecilku

             Sekali lagi, puisi-puisi pada bagian Khalwat Ketiga, menggambarkan fase khalwat kedua, di mana manusia tak sekadar menarik diri, tapi berusaha memutus ikatan-ikatan keduniawian. Bukan memutusnya sama sekali, karena toh manusia harus hidup di tengah masyarakat, namun untuk menemukan nilai hidup. Demikian, manusia menepi sejenak, menjalin dan mengayam kembali simpul dan ikatan primordial.

            Spirit puasa, terutama di 10 hari akhir bulan Ramadhan, di mana seorang muslim disarankan oleh Nabi untuk mengencangkan ikat pinggang dan beri’tikaf, sejatinya sama dengan spirit khalwat. Lailatul Qadar atau malam kemuliaan sesungguhnya karunia Tuhan atas hambanya yang terpilih, yang meronda dan bersiap diri sepanjang hari dengan laku ibadah penghambaan penuh penghayatan. Mereka yang sukses beribadah dan beri’tikaf, mereka yang berhasil menjalani khalwat, sama-sama mendapat karunia Lailatul Qadar, yakni pencerahan ruhani yang kelak menjadi spirit dan energi dalam kehidupan manusia selanjutnya.

            Puisi-puisi Sofyan RH Zaid tampak bening, buah dari perenungan hati yang jernih. Dengan diksi yang padat, beberapa tampil prismatik, menyuguhkan aneka warna dan lipatan tafsir. Sofyan RH. Zaid, lewat buku terbarunya, mengajak pembaca untuk berkhalwat lewat puisi. Tidak harus meninggalkan kehidupan sehari-hari, tapi dengan sedikit-sedikit memutus ketergantungan kita pada (kepalsuan) dunia, seraya mengaktifkan sensor hati demi merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan.

Demikian. Semoga.

Muntilan, 4 Mei 2024

 

Rujukan dan Bacaan

1: Pesantren, Santri, dan Puisi, esai Acep Zamzam Noor, dalam Majalah Horison no. 4, tahun XXXI, April 1997.

2: Buku esai Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, kumpulan esai Abdul Hadi WM, penerbit pustaka firdaus, terutama pada esai berjudul sama dengan judul buku, hal 3 -20, juga esai sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia, halaman 21- 41.

3: Sastra Sufi, Penyusun, Penyunting, Penerjemah Abdul Hadi WM, Pustaka Firdaus, Juni 1996

4: Tasawuf yang Tertindas, diangkat dari disertasi Abdul Hadi WM, Penerbit Paramadina

5: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Khazanah Istilah Sufi, Amatullah Armstrong, penerbit Mizan, cetakan 1, Desember 1996

6 : Risalah Kemesraan, terjemahan atas kitab Rilalah al-Anwar fi maa Yumnah Shabib al-Khalwah min al-Asrar, karya Ibnu Arabi, bersi Indonesia, Penerbit Serambi, th 2005.

7 : Puisi Kalian, dalam buku O Amuk Kapak, karya Sutardji Calzoum Bachri, Sinar Harapan, Cet pertama, th 1981, halaman 98.

8 : Pemuas Kalbu, terjemahan atas Al Nafais al Ulwiyyah fi Al Masail al Shufiyah, penerbit IIMaN dan Penerbit Hikmah, tahun 2003, hal 114 - 116

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »